Mengapa pembagian harta warisan anak laki-laki paling besar daripada anak paerempuan

  1. Home /
  2. Archives /
  3. Vol 2 No 2 (2021): Oktober /
  4. Articles

DOI: https://doi.org/10.51675/jaksya.v2i2.166

Keywords: Waris, bagian laki-laki dan perempuan, hukum Islam

Abstrak:  Harta warisan adalah semua peninggalan pewaris yang berupa hak dan kewajiban atau semua harta kekayaan yang ditinggalaki-lakian untuk dibagikan kepada yang berhak (ahli waris). Dalam pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan juga perlu adanya asas keadilan tanpa mendiskriminasikan antara laki-laki dan perempuan. Berbeda pada masa jahiliyyah, pembagian warisan hanya berlaku pada laki-laki saja dan terhadap anak yang belum dewasa, anak perempuan atau kaum perempuan tidak berhak mendapat warisan dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Setelah Islam sempurna pembagian warisan tidak lagi pembedaan antara ahli waris anak-anak, perempuan, dan orang dewasa dalam memperoleh hak-haknya untuk menerima warisan. Dalam hukum Islam, tentang pembagian warisan telah ditetapkan dalam Q.S. al-Nisā’ ayat 11, khususnya tentang bagian laki-laki dan perempuan. KHI mengatur kewarisan dalam pasal 174 yang termasuk golongan laki-laki yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek dan golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. Dalam pasal 176 dijelaskan tentang besarnya bagian. Anak perempuan bila hanya seorang, ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih, mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia, 2011. Ahmad Rofiq. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001. Ahmad Warson Munawwir. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Perempuanogressif, 1997. Asrory Zain Muhammad dan Mizan. Al-faraidh: Pembagian Pusaka dalam Islam. Surabaya: Bina Ilmu, 1981. Dian Khairul Umam. Fiqih Mawaris. Bandung: CV Pustaka Setia, 2000. Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an. Jakarta: Tinta Mas, 1997. Hilman Hadikusuma. Hukum Waris Adat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. ___, Hukum Waris Indonesia menurut Perundang-undangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Muhammad Ali al-Shobuni. Hukum Kewarisan Menurut al-Quran dan al-Sunnah. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2005. M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2005. Q. Sholeh. Asbabun Nuzul. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2009. Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1995. Umi Kulsum. Risalah Fiqih Wanita Lengkap. Surabaya: Cahaya Mulia, 2007.

Wahbah al-Zuhaili. Tafsir al-Munir. Damaskus: Dar al-Fikr, 2005.

Seluk Beluk Hukum Keluarga

14 Mei 2021

​​​​​​​Dalam perkara waris, putusan-putusan pengadilan telah berkembang. Beberapa di antaranya dianggap sebagai putusan pelopor, seperti putusan yang mendudukkan ahli waris perempuan setara dengan ahli waris laki-laki.

Bacaan 5 Menit

Mengapa pembagian harta warisan anak laki-laki paling besar daripada anak paerempuan

Ilustrasi

Islam mendudukkan masalah waris sebagai hal yang sangat penting yang penjelasannya termaktub di dalam Al-Quran. Masalah kewarisan pasti dialami oleh setiap orang. Beberapa jalur yang biasa ditempuh untuk memperoleh porsi waris adalah melalui pengadilan dan musyawarah kekeluargaan. Dari kedua jalur itu, tentunya duduk bersama untuk menghasilkan kesepakatan adalah jalan yang perlu diutamakan.

Kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris telah ditentukan dalam Al-Quran surat An-Nisa (4:11), yang artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan”.

Ayat tersebut memberikan penjelasan bahwa Allah SWT menetapkan bagian satu orang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dengan demikian, jika seseorang meninggalkan seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan, maka dalam kasus ini anak laki-laki mendapat bagian dua pertiga dan saudara perempuannya mendapat bagian satu pertiga dari harta warisan. (Baca: 6 Masalah Waris Islam yang Sering Terjadi)

Dalam hukum waris Islam pada prinsipnya pembagian terhadap anak laki-laki lebih besar dari anak perempuan. Hal ini berdasarkan ketentuan dalam Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan sebagai berikut: “Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.”

Namun, dalam perkara waris putusan-putusan pengadilan telah berkembang. Beberapa di antaranya dianggap sebagai putusan pelopor. Misalnya putusan yang mendudukkan ahli waris perempuan setara dengan ahli waris laki-laki. Porsi bagian anak laki-laki secara eksplisit disamakan dengan bagian anak perempuan.

Pada tahun 2012, salah satu hakim agung yakni Muhktar Zamzami dalam risetnya menemukan 3 putusan pembagian waris Islam yang melenceng dari hukum Islam. Jika hukum Islam menyaratkan pembagian waris laki-laki dan wanita adalah 2:1, maka Mukhtar menemukan pembagian sama rata dan ternyata tidak masalah.  Ketiga putusan tersebut yaitu putusan PA Makassar No.338/Pdt.G/1998/PA.Upg, putusan PA Makassar No.230/Pdt.G/2000/PA.Mks dan putusan PA Medan No.92/Pdt.G/2009/PA.Mdn.

"Ketiga putusan tersebut merupakan putusan pelopor dalam mendudukkan ahli waris perempuan setara dengan ahli waris laki-laki. Porsi bagian waris anak laki-laki secara eksplisit disamakan dengan bagian anak perempuan, yakni satu banding satu," kata Mukhtar, pada 9 Januari 2012 lalu.


Page 2

Seluk Beluk Hukum Keluarga

14 Mei 2021

​​​​​​​Dalam perkara waris, putusan-putusan pengadilan telah berkembang. Beberapa di antaranya dianggap sebagai putusan pelopor, seperti putusan yang mendudukkan ahli waris perempuan setara dengan ahli waris laki-laki.

Bacaan 5 Menit

Menurut Mukhtar saat itu, ketiga putusan tersebut diterima oleh para pihak dan tidak ada upaya hukum sama sekali. Reaksi keras masyarakat muslim terhadap ketiga putusan tersebut juga belum pernah terdengar. "Penerapan hukum ini berdasarkan teori justice as fairness (teori keadilan yang bertumpu pada kewajaran)," terang Mukhtar yang berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul 'Kajian Hukum terhadap Kedudukan dan Hak Perempuan dalam Sistem Hukum Kewarisan Indonesia Dikaitkan dengan Asas Keadilan dalam Rangka Menuju Pembangunan Hukum Kewarisan Islam'.

Di dalam disertasinya, Mukhtar menemukan bahwa UU No 1/1974 tentang Perkawinan telah meninggalkan alam budaya patriarki dan beranjak menuju bentuk keluarga bilateral. Dalam UU ini, kedudukan dan hak perempuan mulai setara dengan laki-laki.

Baca:

Porsi Sama Rata

Pengadilan Agama Medan telah menyelesaikan perkara waris dalam putusan Nomor 92/Pdt.G/2009/PA-Mdn. Dalam perkara ini sebagai Penggugat adalah tiga orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan dari pewaris serta tiga orang cucu perempuan dan satu orang cucu laki-laki, melawan Tergugat yaitu dua orang anak perempuan dan satu orang anak laki-laki dari pewaris.

Isi putusan tersebut bahwa anak laki-laki dan anak perempuan mendapatkan bagian yang sama rata. Hal ini berdasarkan permintaan dari anak perempuan sebagai Tergugat karena selama orangtuanya sakit dialah yang merawat dan memenuhi kebutuhan orangtuanya, sedangkan Penggugat tidak peduli akan nasib orangtuanya.

Terdapat tiga pertimbangan hukum hakim dalam putusan PA Nomor 92/Pdt.G/2009/PA-Mdn. Pertama, menurut ijtihad majelis hakim dalam perkara tersebut pembagian harta warisan baik dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 11 maupun dalam Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam bukanlah sebuah harga mati dari suatu ketentuan yang sama sekali tidak dapat berubah lagi, terutama ketika permasalahannya terkait dengan rasa keadilan itu sendiri merupakan salah satu illat hukum (penyebab yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan hukum).

Pertimbangan hukum selanjutnya adalah mengenai tergugat atau anak perempuan yang merawat dan memenuhi segala kepentingan pewaris semasa hidupnya serta melakukan pembayaran atas pengobatan ketika pewaris sakit. Dengan alasan tersebut majelis hakim menafsirkan bahwa pengabdian atau jasa ahli waris terhadap pewaris termasuk ke dalam hutang jasa pewaris yang harus ditunaikan.


Page 3

Seluk Beluk Hukum Keluarga

14 Mei 2021

​​​​​​​Dalam perkara waris, putusan-putusan pengadilan telah berkembang. Beberapa di antaranya dianggap sebagai putusan pelopor, seperti putusan yang mendudukkan ahli waris perempuan setara dengan ahli waris laki-laki.

Bacaan 5 Menit

Pertimbangan hukum yang terakhir karena kaum laki-laki dibebani dengan masalah hidup yang lebih besar seperti mencari nafkah, memiliki tanggungjawab penuh terhadap keluarga yang tidak mampu dijalankan oleh kaum perempuan. Dengan demikian pemahaman sebaliknya dari pendapat tersebut adalah apabila perempuan dibebankan masalah hidup yang lebih besar, dalam hal ini mampu mencari nafkah sendiri dan dapat pula mencukupi kebutuhan keluarganya maka perempuan juga dapat memperoleh bagian yang lebih besar ataupun sama dengan bagian yang diperoleh laki-laki. Pendapat ini dikutip dari kitab Hikmah Attasyri’ wa Falsafatuh karangan Syeikh Ali Ahmad Aljurjawi.

Dua putusan lainnya adalah putusan PA Makassar No.338/Pdt.G/1998/PA.Upg, putusan PA Makassar No.230/Pdt.G/2000/PA.Mks. Riset Hukumonline juga menemukan putusan serupa, yakni Putusan PA Pangkajene No.97/Pdt.G/2002 /PA Pkj.

Mengapa pembagian harta warisan anak laki-laki paling besar daripada anak paerempuan

Dikutip dari artikel salah satu media nasional, Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Sirajuddin Sailellah, mejelaskan bisa saja anak perempuan mendapat porsi sama dengan anak laki-laki, tetapi hal ini kasuistis. Misalnya, anak perempuan selama pewaris (ayah atau ibu) hidup banyak berkorban baik secara materiil maupun moril sementara anak laki-lakinya tidak. Padahal, anak laki-laki yang seharusnya menanggung hidup orang tuannya.

Menurutnya, hukum waris merupakan muamalah bukan ibadah magdoh atau ibadah yang sudah ditentukan syarat dan ketentuannya dalam syariat Islam. Sehingga hukum dalam praktiknya ketika mendapat kasus tertentu bisa berubah demi menjungjung tinggi prinsip keadilan.

"Jadi yang dikedepankan itu bukan prinsip kepastian tapi prinsip keadilan," kata Sirajuddin sambil mengutip salah satu ayat dalam Surah Al-Maidah ayat 8 Allah befirman bahwa keadilan lebih dekat kepada ketakwaan. "Dasar hukumnya di dalam Alquran, berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa," tambahnya.

Ia mengatakan, dibaginya harta antara anak laki dan perempuan secara rata tidak bisa disamakan ketika dalam kondisi normal. Jika dalam keadaan normal maka hukum waris dibagi sesuai yang telah ditetapkan Allah SWT di dalam surah An-Nisa.

"Jadi jangan digeneralisir putusan itu (wanita mendapat sama dengan bagian laki-laki) itu karena ada kasus di mana anak perempuan banyak berkorban untuk orang tua yang sebenarnya harus anak laki-laki.  Kalau tidak ada kasus dibagi sesuai syariat Islam," katanya.