Mengapa mereka disebut sebagai tokoh dunia yang telah mereka lakukan

sumber : google image

oleh : Muhammad Yudil Khairi

(Widyaiswara BDK Banjarmasin)

A. PENDAHULUAN

    Kian menjadi-jadi dan seolah berakar sangat dalam. Begitulah kesan yang timbul saat kita mengamati korupsi yang demikian marak di negeri ini. Pada satu titik, timbul pertanyaan menggelitik. Adakah korupsi ini merupakan budaya yang diwariskan para pendahulu kita? Apakah korupsi itu adalah warisan sejarah? Apakah kita memang anak cucu para koruptor? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, marilah kita menengok sejarah.

     Sejarah bangsa Indonesia pernah ada catatan apik bahwa bangsa ini memiliki sosok-sosok pendiri yang memiliki integritas tinggi. Mereka berwatak pejuang, disiplin, jujur, berdedikasi, dan anti korupsi.

     Dalam tulisan ini, terurai kisah-kisah para tokoh bangsa dengan integritas tinggi yang dalam perjalanan kariernya dihadapkan pada pilihan antara kepentingan negara dan kepentingan pribadi atau keluarga. Ibarat jus jeruk yang demikian menyegarkan saat kita berada di gurun yang cuacanya sangat panas, seperti itupula kisah mereka bagi kita yang hidup pada zaman penuh kasus korupsi ini.

      Para tokoh dalam tulisan ini memilih hidup sederhana bukan karena tidak mampu, bukanpula karena tidak bisa kaya. Mereka memilih opsi itu karena fokus dalam menjalankan amanah rakyat, bukan fokus memperkaya diri. Menjadi abdi negara dan rakyat.

        Menoleh pada deretan tokoh yang ada ditulisan (seri 1) ini, kita patut menarik napas lega dan berbangga hati, setidaknya mereka membuktikan bahwa negeri ini pernah memiliki pemimpin-pemimpin yang amanah, jujur, sederhana, dan sangat bertanggungjawab.

Para tokoh-tokoh ini adalah fakta bahwa bangsa kita tidaklah memiliki budaya korupsi sejak lama. Dari mereka, kita bisa optimis, menjadi pribadi berintegritas dan amanah bukanlah kemustahilan bagi kita.

Sebelum kita melihat, siapa saja tokoh-tokoh bangsa tersebut, sejenak kita aka mengingatkan kembali tentang integritas.

B.  PEMBAHASAN

     Kata integritas dalam keseharian sering kita dengar, orang yang berintegritas akan memiliki karakter yang akan mencerminkan nama baik seseorang, integritas akan menjadi pertaruhan seorang pada posisi tertentu. Tanggal 3 Januari 2015, Kementerian Agama pada saat memperingati Hari Amal Bakti ke 69 meluncurkan lima nilai budaya kerja Kementerian Agama, satu dari lima nilai budaya tersebut adalah Integritas. Integritas adalah keselarasan antara hati, pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik dan benar. Indikasi positif dari nilai integritas:

  1. Bertekad dan berkemauan untuk berbuat yang baik dan benar;
  2. Berpikiran positif;
  3. Arif dan bijaksana dalam melaksanakan tugas dan fungsi;
  4. Mematuhi peraturan Perundang-undangan yang berlaku;
  5. Menolak korupsi, suap atau gratifikasi.

Adapun indikasi negatif dari nilai integritas sebagai berikut:

  1. Melanggar sumpah dan janji pegawai/jabatan;
  2. Melakukan perbuatan rekayasa atau manipulasi;
  3. Menerima pemberian dalam bentuk apapun diluar ketentuan.

    Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi memaknai integritas adalah mampu melaksanakan tugas secara konsisten dalam perkataan dan perbuatan, berperilaku terpuji, disiplin dan penuh dedikasi berdasarkan pada norma dan etika. Kata integritas sendiri berasal dari bahasa Inggris, yaitu Integrity, yang berarti menyeluruh, lengkap atau segalanya. Integritas berarti bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan kode etik. Integritas adalah cara berpikir, berkata, berperilaku dan bertindak dengan baik dan benar serta memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral.

       Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian integritas adalah: (1) mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; (2) kejujuran. Integritas itu berhubungan dengan perbuatan yang harus dilakukan seseorang, integritas itu nyata dan terjangkau dan mencakup sifat yang bertanggung jawab, jujur, menepati kata-kata, dan setia. Jadi, integritas tidak pernah lepas dari kepribadian dan perilaku seseorang yang berhubungan dengan sifat yang dipercaya, komitmen, tanggung jawab, kejujuran, kebenaran, dan kesetiaan terhadap tugas dan tanggung jawab yang diembannya.

      Dedi Mahardi (2015) dalam bukunya integritas bangsaku, memaknai integritas merupakan suatu sikap yang merujuk pada konsistensi antara tindakan dengan nilai-nilai dan prinsip kebaikan serta ucapan. Sementara itu beberapa penjelasan mengenai integritas menurut Dr. Phill Pringle (2001) dalam bukunya Top 10 Qualities of A Great Leader adalah sebagai berikut:

  1. Integritas berasal dari sikap tidak mementingkan diri sendiri;
  2. Integritas dibangun di atas dasar disiplin;
  3. Integritas adalah kekuatan moral yang terbukti tetap benar di tengah api godaan;
  4. Integritas adalah kemampuan untuk bersabar ketika hidup ini tidak berjalan mulus;
  5. Integritas adalah tahan uji yang memerlukan perilaku yang dapt diduga;
  6. Integritas adalah kekuatan yang tetap teguh sekalipun tidak ada yang melihat.

Setelah kita mengingat kembali apa itu integritas, kini saatnya kita akan melihat siap saja tokoh-tokoh bangsa yang nilai integritasnya tidak diragukan lagi. Mereka adalah:

      Lahir dengan nama asli Musyudul Haq di Koto Gadang, Sumatera Barat, 8 Oktober 1884. Setelah Indonesia merdeka, karena kompetensinya, Agus Salim sempat dipercaya menjabat menteri dalam beberapa kabinet. Di kabinet Sjahrir I dan II, Agus Salim adalah menteri muda luar negeri. Sementara itu, di kabinet Amir Sjarifuddin (1947) dan kabinet Hatta (1948-1949), ia menjabat menteri luar negeri.

        H. Agus Salim adalah seorang yang sangat pandai, ia mampu berbicara dan menulis secara sempurna, sedikitnya dalam sembilan bahasa, kelemahannta hanya satu, ia hidup melarat (itulah tulisan Willem Schermerhorn, seorang pejabat Belanda, dalam Het dagboek van Schermerhorn /buku harian Schermerhorn saat mengomentari sosok H. Agus Salim. Suatu ketika, di sebuah tempat di dataran Eropa, berkumpullah para diplomat dari berbagai negara. Diantara mereka ada seorang lelaki berjanggut putih. Keberadaannya sangat mudah dibedakan dari yang lain. Selain lebih pendek, dandanannya pun sungguh kontras. Bila para diplomat lain berpenampilan necis, ia justru mengenakan jas berhiaskan beberapa jahitan di sana-sini.

       Kesahajaan yang oleh Schermerhorn disebut sebagai kemelaratan itu oleh Mohammad Roem disebut sebagai manifestasi nyata dari prinsip Laiden is Lijden “memimpin adalah menderita” yang pertama kali dipopulerkan oleh Mr. Kasman Singodimejo. “saya teringat perkataan Kasman, Leiden is Lijden, memimpin adalah menderita. Penderitaan tidak hanya berupa penjara, tetapi juga kepahitan hidup. Penderitaannya ditunjukkan dalam hidup sederhana yang kadang-kadang mendekati serba kekurangan dan kemiskinan, tutur Mohammad Roem dalam tulisannya, Haji Agus Salim, memimpin adalah menderita (1977).

       Rumah mewah atau setidaknya salah satu yang terbagus di lingkungannya. Begitulah bayangan awam ketika memperkirakan kediaman seorang pesohor, apalagi pejabat negara yang berpengaruh. Tapi, membayangkan rumah H. Agus Salim seperti itu adalah kekeliruan besar.

      Walaupun sempat menduduki jabatan menteri dalam beberapa kabinet pemerintahan di negeri ini, H. Agus Salim ternyata sempat tak memiliki rumah kediaman tetap. Semasa tinggal di Jakarta, ia berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Kebanyakan rumah yang dikontrak oleh H. Agus Salim pun tidaklah luas dan nyaman, tak jarang hanya memiliki satu kamar. Demi mengubah suasana, setiap enam bulan sekali, H. Agus Salim menyusun ulang tata letak meja-kursi, lemari, hingga tempat tidur. Dengan melakukan itu, ia merasa mengubah lingkungan tanpa perlu pindah ke tempat lain. Tak jarang pula, rumah yang ditempatinya itu bocor dimana-mana.

       Meski demikian, keluarga H. Agus Salim tak mengeluh. Mereka selalu mengedepankan syukur. Bagi mereka, rumah yang bocor justru dirasakan sebagai suka cita yang dapat menciptakan keasyikan bersama. Bila hujan tiba dan atap bocor, Zainatun Nahar, istri H. Agus Salim, bergegas menaruh ember-ember di tempat-tempat yang bocor. Ia lalu mengajak anak-anak mereka yang masih kecil membuat perahu dari kertas, dan asyiklah mereka bermain perahu bersama.

       Pada akhirnya, H. Agus Salim memiliki rumah yang lantas bisa diwariskan kepada anak-anaknya. Rumah itu terletak di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Namun, rumah tersebut juga bukanlah istana megah. “rumahnya seperti rumah perkampungan, sama sekali tidak mencerminkan seorang tokoh terkenal seperti kita bayangkan.

       Seseorang yang mampu menjadi pemimpin daerah dalam umur 25 tahun tentu bukanlah orang biasa. Begitulah Baharuddin Lopa. Pria kelahiran Mandar, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1935 itu menjabat BupatiMajene saat baru berumur 25 tahun. Hebatnya, dia tak segan berkonfrontasi dengan Komandan Batalyon 710 yang melakukan penyelundupan.

        Sempat menjadi Duta Besar RI untuk Arab Saudi, Lopa akhirnya menjadi Jaksa Agung RI sejak 6 Juni 2001 sampai wafatnya pada 3 Juli 2001. Semasa aktif, Lopa dikenal tegas dan berani melawan kejahatan kerah putih. Ia menyeret Tony Gozal alias Go Tiong Kien dengan tuduhan memanipulasi dana reboisasi Rp 2 Miliar. Lopa juga mengejar keterlibatan Arifin Panigoro, Akbar Tanjung, dan Nurdin Halid dalam kasus korupsi. Selain itu, ia pun berani mengusut kasus yang melibatkan mantan presiden Soeharto.

Sangat berhati-hati dan cermat sudah menjadi kebiasaan Lopa. Bagi dia, takada urusan sepele. Tak terkecuali soal bensin di mobil yang dipakainya. Suatu ketika, sebagai kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Lopa mengadakan kunjungan ke sebuah Kabupaten di wilayah kerjanya. Dalam perjalanan pulang, Lopa tiba-tiba menyuruh ajudannya menghentikan mobil. Lopa bertanya kepada sang ajudan, “siapa yang mengisi bensin?” si ajudan pun dengan jujur menjawab, “Pak Jaksa, Pak!”. Mendengar itu, Lopa menyuruh ajudannya memutar mobil, kembali ke kantor sang Jaksa yang mengisikan bensin ke mobil itu.

Tiba di sana, Lopa meminta sang jaksa menyedot kembali bensin sesuai dengan jumlah yang diisikannya. “saya punya uang jala untuk beli bensin, dan itu harus saya pakai,” seloroh Lopa. Kecurigaan Lopa berawal saat jarum penunjuk di meteran bahan bakar mendekati “F”. Padahal, seingat dia, saat tiba di tujuan, jarum penunjuk justru mendekati “E”. Dari situlah, ia mengetahui ada orang yang telah mengisikan bensin ke mobilnya.

        Segala sesuatu harus sesuai peruntukkannya. Mobil dinas hanya untuk keperluan dinas, tak boleh untuk kepentingan pribadi. Bagi Lopa, itu prinisp yang sangat mendasar. Itu sebabnya, dia melarang istri dan ketujuh anaknya menggunakan mobil dinas untuk keperluan sehari-hari. Suatu ketika, Lopa diundang menjadi saksi pernikahan, tuan rumah dan para kerabat telah menunggu kedatangan Lopa. Mereka menanti mobil dinas berplat DD-3 berhenti didepan pintu, namun lama ditunggu, mobil itu tak jua tiba. Ketika sedang resah menanti, tiba-tiba saja suara Lopa terdengar dari dalam rumah. Rupanya, ia bersama istrinya dating ke sana dengan menumpang pete-pete, angkutan kota khas Makassar. “ini hari minggu, ini juga bukan acara dinas, jadi saya tak boleh datang dengan mobil kantor,”terang Lopa.

Bukan hanya urusan mobil, soal telepon pun Lopa sangat ketat. Di rumahnya, telepon dinas selalu dikunci. Bahkan, semasa menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, dia sampai memasang telepon koin di rumah dinasnya agar pemakainnya terpantau.

     Sikap tegas yang diterapkan kepada diri sendiri dan keluarga secara otomatis terbawa pula dalam menjalankan tugas. Lopa dikenal sebagai sosok yang tak kenal kompromi. Siapa pun siap dihadapinya bila memang bermasalah. Salah satu contoh ketegasan itu adalah saat Lopa mengusut kasus pengadaan fiktif Al Qur’an senilai Rp. 2.000.000 yang melibatkan Kepala Kanwil Agama Sulawesi Selatan K.H. Badawi. Ia tak mau berkompromi meskipun Badawi adalah sahabatnya. Pak Lopa dengan Pak Badawi saat itu berteman akrab, hampir setiap malam Jum’at, saya disuruh menjemput K.H. Badawi untuk baca doa selamat di rumah pak Lopa, terang Pariama, eks ajudan Lopa. Dalam kasus itu, lopa tetap mengusut tuntas. Ia tak menggubris meskipun Badawi berkali-kali memohon agar kasusnya tidak diproses.

        Saling memberi hadiah untuk menyenangkan hati memang tuntunan agama. Namun, dalam kapasitas sebagai pejabat negara, hadiah tak bisa diterima begitu saja karena biasanya ada udang di balik batu. Ada maksud tertentu di balik pemberian itu. Baharuddin Lopa adalah sosok yang sangat alergi terhadap hadiah dalam bentuk apa pun, baik yang diberikan oleh pejabat bawahannya, pejabat dari instansi lain, maupun pengusaha. Ia selalu menolak dengan halus. Setiap menerima parsel pun, ia akan langsung mengembalikannya.

         Pariama yang pernah menjadi ajudan Lopa tahu betul mengenai hal itu. “Ia selalu mengatakan kepada si pemberi hadiah bahwa dirinya tidak perlu diberi hadiah, karena ia memiliki gaji. Yang perlu diberi hadiah adalah rakyat yang susah,”katanya. Suatu ketika, Lopa mendapatkan hadiah Rp. 100.000 dari H. Edi Sabara yang kala itu menjabat Gubernur Sulawesi Tenggara. Pada tahun 1970-an, nilai itu sangat besar, namun Lopa tak tergiur, ia tak mengambil uang itu, tapi menyuruh ajudannya untuk menyerahkan ke panti jompo di Lepo-Lepo, Kendari.

  1. Sri Sultan Hamengku Buwono IX

    Ratusan ribu orang menangis, bersedih, dan berduyun-duyun mengantar ke Imogiri, Kompleks Pemakaman Raja-raja Mataram, pada Oktober1988. Tak sedikit dari merekameratap ingin melihat wajah Sultan Hamengku Buwono IX yang meninggal dunia pada 2 Oktober tahun itu di Washington DC, Amerika Serikat.

        Sri Sultan yang bernama asli Bendoro Raden Mas Dorodjatun memang memiliki tempat tersendiri di hati rakyat Yogyakarta, bahkan Indonesia. Ia dikenal sebagai sultan yang demokratis, merakyat, dan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

       Sejak Indonesia merdeka, Sri Sultanditetapkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, ia pun beberapa kali diangkatsebagai menteri. Antara lain menteri negara dalam Kabinet Syahrir III dan Kabinet Hatta, deputi perdana menteri dalam Kabinet Natsir, menteri pertahanan di Kabinet Wilopo, serta menteri koordinator bidang ekonomi, keuangan, dan industri Kabinet Ampera. Puncaknya, ia mendudukikursi wakil presiden pada 1972– 1978.

         Kala itu, pertengahan 1960-an.Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengendarai sendiri mobilnya ke luar kota, tepatnya ke Pekalongan. Entah mengapa, Sri Sultansaat itu melakukan kesalahan. Dia melanggarrambu lalu lintas. Malang bagi Sri Sultan,seorang polisi yang tengah berjaga memergokinya. Tak ayal, priiiit... Polisi itu pun menghentikan mobil Sri Sultan.

“Selamat pagi!” ucap Brigadir Royadin, polisi itu, sambil memberi hormat dengan sikap sempurna. “Boleh ditunjukkanrebewes (surat- surat kelengkapan kendaraan berikut surat izin mengemudi).”Sri Sultan tersenyum dan memenuhi permintaan sang polisi. Saat itulah sang polisi baru tahu bahwa orang yang ditindaknya adalah Sri Sultan.Brigadir Royadin gugup bukan main. Namun, dia segera mencoba memperbaiki sikap demi wibawanya sebagai polisi.

“Bapak melanggar verbodden. Tidak boleh lewat sini. Ini satu arah!” kata dia. “Benar... Saya yang salah,” jawabSri Sultan. Ketika melihatkeragu-rauan di wajah Brigadir Royadin, beliau berkata, “Buatkan saja saya surat tilang.”

        Singkat cerita, sang polisi pun melakukan tilang kepada Sri Sultan.Tak ada sikap mentang- mentang berkuasa yang diperlihatkan Sri Sultan pada saat itu. Bahkan, tak lama kemudian, dia meminta Brigadir Royadin bertugas di Yogyakarta dan menaikkan pangkatnya satu tingkat. Alasannya, Royadin dianggap sebagai polisi yang berani dan tegas.

Cerita yang dialami oleh Sri ultan, memberikan suatu pelajaran bahwa, setiap orang, siapapun dan apapun jabatannya, harus taat kepada hukum.

        Konon menjadi polisi sudah menjadi cita-cita masa kecil Hoegeng Iman Santoso. Itu antara lain karena ia sangat terkesan oleh sosok Ating Natadikusumah yang kala itu menjabat Kepala Jawatan Kepolisian Karesidenan Pekalongan. Di mata Hoegeng, Ating yang gagah, suka menolong, dan banyak teman adalah sosok yang pantas dijadikan teladan.

         Kariernya dijalani secara bertahap. Hoegeng pada awalnya menjadi agen polisi, lalu menjabat Kapolsek Jomblang,Semarang, pada 1945. Selanjutnya, ia menjabat Kepala Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DPKN) Surabaya (1952–1955), Kepala Reskrim Sumatera Utara (1955–1959), Deputi Operasi Menteri Muda Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) pada 1967–1968, hingga akhirnya diangkat sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia pada 1968–1971.

       Di sampingdi jalur kepolisian, Hoegeng yang meninggal di Jakarta pada 14 Juli 2004 juga sempat menjadi kepala Jawatan Imigrasi RI (1960– 1965) dan Menteri Iuran Negara RI (1966–1967).

“Apa hubungannya toko kembang dengan jabatan kepala jawatan imigrasi?” Itulah protes yang dilontarkan Merry Roeslani, istri Jenderal Hoegeng Iman Santoso yang lantas menjadi Kapolri, ketika dimintasang suami menutup toko kembang milik merekahanya satu hari jelang pelantikan sebagai kepala jawatan imigrasi.

        Ibu Merry tak habis pikir dengan permintaan suaminya itu karena toko kembang tersebut adalah salah satu sumber penghasilan tambahan mereka. Hoegeng menjawab tegas, “Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya.” Rupa-rupanya, Hoegeng takut toko bunga itu menjadi beban bagi dirinya dalam menjalankan tugasnya. Dia tak ingin orang-orangmembeli kembang di toko itu hanya karena melihat jabatan yang diembannya.

        Hoegeng Iman Santosa dan keluarganya mendapat sebuah kejutan besar ketika diangkat sebagai Kepala Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Sumatera Utara pada 1956. Sempat berdiam di Hotel De Boer selama beberapa waktu karena rumah dinas masih dihuni pejabat lama, Hoegeng terkejut bukan kepalang saat tiba giliran menempati rumah itu. Rumah dinas itu dipenuhi barang-barang mewah.

Hoegeng tak bisa menerima hal itu. Ia dan keluarganya berkeras tetap tinggal di hotel jika barang-barang mewah itu masih ada di sana. Mereka baru akan pindah bila rumah tersebut hanya diisi barang-barang inventaris kantor. Pada akhirnya, Hoegeng dan keluarganya mengeluarkan semua barang mewah itu ke tepi jalan.

Bagi Hoegeng, keberadaanbarang-barang mewah itu sangat mencurigakan. Pasalnya, mereka belum mengenal siapa pun di tempat baru tersebut. Belakangan diketahui, barang- barang itu berasal dari bandar judi yang hendak menyuapnya.

C.  PENUTUP

      Dari cerita yang dijalani oleh 4 tokoh bangsa di atas, kita bisa banyak mengambil pelajaran bagaimana seharusnya seseorang yang memiliki pejabat bersikap.

     Sembilan nilai antikorupsi yang juga dikenal sebagai sembilan nilai integritas yang dirumuskan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, adil.

    Dari sembilan nilai antikorupsi tersebut kita bisa melihat kalau nilai sederhana, tanggungjawab, jujur, disiplin, berani, adil dilakukan oleh tokoh-tokoh bangsa tersebut.

Sebagai generasi penerus, hendaknya kita bisa meneladani, kisah hidup mereka kita jadikan contoh dalam mengarungi kehidupan ini. Sudah saatnya kita untuk tidak melakukan korupsi, sudah saatnya kita berintegritas, agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju tanpa adanya korupsi.

REFERENSI

Mahardi, Dedi. Integritas Bangsaku. Jakarta: Elex Media Komputindo.2015

Pringle Phil, Top 10 Qualities of A Great Leader. Pennsylvania: Harrison House Publishers. 2008

Buku Saku Memahami Gratifikasi, 2010, Komisi Pemberantasan Korupsi

Orange Juice For Integrity Belajar Integritas kepada Tokoh Bangsa. 2014. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kedeputian Bidang Pencegahan Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat

//www.kanal.web.id/pengertian-integritas

Sumber : M.Yudhil Khairi

Penulis : M.Yudhil Khairi

Editor : Bang Yoes

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA