Mengapa kebanyakan masyarakat perkotaan membeli air bersih untuk keperluan memasak

Kebutuhan air dalam rumah tangga, dapat dibedakan menurut tingkat sosialnya. Saeni (1989) mengemukakan bahwa kebutuhan air rata-rata untuk suku primitif adalah 5 liter/hari/orang, kebutuhan air penduduk di negara yang sedang berkembang rata-rata 12 liter/hari/orang. Kebutuhan air untuk negara maju lebih besar dari negara berkembang. Untuk negara maju kebutuhan air rata-rata per orang 800 liter, di Indonesia rata-rata 65 liter per hari.

Kebutuhan air pada permukiman kumuh, bila menggunakan standar rata- rata kebutuhan air di Indonesia per hari tiap orang adalah 40 liter. Apabila mengacu bahwa rata-rata jumlah jiwa per keluarga di Jakarta (pada tahun 1996 seperti pada Tabel 1) adalah sebesar 4,22 jiwa, maka per keluarga per hari membutuhkan air sebesar 168,8 liter, berarti per bulan diperlukan 5.064 liter. Keluarga sederhana memerlukan air rata-rata per orang 90 liter untuk mandi, cuci, menyiram bunga, memasak, dan untuk kebutuhan tubuhnya sendiri. Wardhana (1999) mengemukakan bahwa kebutuhan air bersih orang Indonesia di perkotaan mencapai 150 liter/hari/orang yang perinciannya seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Standar kebutuhan air bersih perorang perhari bagi penduduk Indonesia

No Keperluan Air yang dipakai (liter) Keterangan

1 Minum 2, 0 Minum dan

2 Memasak, kebutuhan dapur 14,0 Masak 16,5 liter

3 Mandi, kakus 20,0 Kebutuhan lain :

4 Cuci pakaian 13,0 135,5 liter

5 Air Wudhu 15, 0

6 Airuntuk kebersihan rumah 32,0

7 Air untuk menyiram tanam 11,0

8 Air untuk memcuci kendaraan 20,0

9 Air untuk keperluan lain 20,0

Jumlah 150,0 150 liter

Sumber : Wardhana,1999

Kaum miskin perkotaan kurang tercukupi kebutuhannya atas pelayanan kebutuhan dasar mereka, seperti air bersih, sanitasi, saluran air dan jalan akses. Walaupun pengaruh krisis ekonomi terhadap penyediaan infrastruktur lingkungan belum sepenuhnya dipahami, bukti-bukti awal menunjukkan keadaan ini dipengaruhi oleh kurangnya bantuan pemerintah baik untuk perawatan

infrastruktur yang sudah ada dan investasi baru yang sangat dibutuhkan. Di kebanyakan daerah, keluarga dan orang miskin dapat keluar dari kemiskinan dan mengurangi kerentanan mereka sebagai bagian dari usaha mereka sendiri. Tanggapan keluarga dan masyarakat miskin terhadap masalah dan krisis yang terjadi di lingkungan mereka tergantung oleh asset – tenaga kerja, sumber daya manusia, dan sumber daya social yang mereka dapat gunakan (USDU, 2003).

Di kawasan permukiman kumuh kebutuhan air cenderung meningkat seiring dengan makin banyaknya jumlah orang yang tinggal di kawasan permukiman kumuh. Banyak kota-kota di Indonesia menghadapi tantangan adanya kekurangan dalam pelayanan kota. Sebagai contoh, pada tahun 1999, hanya 33 persen rumah tangga yang bias dilayani oleh air bersih; kurang dari 1 persen dari seluruh rumah tangga di seluruh kota dihubungkan dengan pipa air bersih. Air permukaan dan air tanah terkontaminasi, meluasnya sedotan air tanah telah menambah persoalan lingkungan yang besar di perkotaan. Tidak ada laporan yang pasti mengenai drainase perkotaan atau pengendalian banjir, tetapi informasi terbatas menunjukkan kesenjangan sedang berlangsung di berbagai area. Lingkup pengelolaan sampah relative cukup baik, jika tidak, itu terjadi di seluruh Indonesia. Tetapi pembuangan akhir masih menjadi masalah baik jumlahnya maupun kualitasnya. Transportasi kota juga terjadi layanan yang sangat kurang, walaupun jalan-jalan utama ada perbaikan dan perluasan antara tahun 1980an – 1990an. Kemacetan lalu lintas adalah persoalan yang besar di sebagian besar kota dan transportasi umum tidak bias diandalkan. Pembangunan dari semua pelayanan menjadi semakin terhenti akibat krismon (USDU, 2003).

Kepadatan penduduk yang tinggi di kawasan permukiman kumuh menyebabkan terjadinya pencemaran pada sumber airnya, terutama limbah rumah tangga. Di kawasan permukiman padat penduduk dengan tingkat sanitasi lingkungan yang rendah sering ditemukan pencemaran akibat buangan limbah rumag tangga, misalnya ditemukannya bakteri Escherichia coli di sumber air yang digunakan oleh penduduk. Effendi (2003) menyebutkan bahwa E.coli adalah salah satu bakteri coliform tidak berbahaya yang ditemukan dalam tinja manusia, sehingga keberadaan E.coli secara melimpah menunjukkan bahwa perairan tersebut tercemar oleh manusia.

Walaupun Indonesia memiliki sumber air yang cukup, saat ini muncul kekhawatiran tentang kualitas air di Indonesia, akses dan tidak adanya pola penggunaan yang berkelanjutan. Akses untuk memperoleh air yang aman di Indonesia sangat terbatas dan keberadaannya akan terus menurun seiring dengan meningkatnya polusi air. Sampah rumah tangga, limbah industri, penggunaan untuk pertanian yang berlebihan dan sampah organic dan sampah kering adalah penyebab polusi dan penurunan kualitas air di Indonesia. Sistem penyimpanan yang tidak baik dan penggunaan bahan-bahan kimia pada industri/pertanian memperparah kondisi ini (USDU, 2003).

Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau kehidupan lain ke dalam air dan atau berubahnya tatanan komposisi air oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya (Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air). Untuk mengetahui tingkat pencemaran air, perlu diuji sifat-sifat air, dan disesuaikan dengan baku mutu air sesuai dengan kriterianya. Menurut Fardiaz (1992), yang dimaksud dengan baku mutu air pada sumber air adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar yang terdapat dalam air, tetapi air tersebut tetap dapat digunakan sesuai dengan kriterianya. Air pada sumber air menurut Fardiaz (1992) dapat dibedakan menurut kegunaannya menjadi:

1. Golongan A, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa harus diolah terlebih dahulu.

2. Golongan B, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air baku untuk diolah sebagai air minum dan keperluan rumah tangga.

3. Golongan C, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan.

4. Golongan D, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian dan dapat dimanfaatkan, untuk usaha perkotaan, industri, dan listrik tenaga air. Dalam penelitian ini dibatasi pada air Golongan A dan B.

Sumber pencemaran air dibedakan menjadi sumber pencemaran domestik dan sumber pencemaran non domestik. Sumber pencemaran domestik (rumah

tangga) terdiri dari perkampungan, kota, pasar, jalan, terminal, rumah sakit dan sebagainya. Sedang sumber pencemaran non domestik yaitu pabrik, industri, pertanian, peternakan, perikanan, transportasi dan sebagainya (Sastrawijaya,1991).

Limbah domestik merupakan semua buangan yang berasal dari kamar mandi, kakus, dapur, tempat cuci pakaian, cuci peralatan rumah tangga, apotik, rumah sakit, rumah makan, dan sebagainya. Limbah tersebut terdiri dari zat organik (padat atau cair), bahan berbahaya dan beracun (B3), garam berkarat, bakteri, terutama golongan fekal coli, jasad patogen, dan parasit. Sedang limbah non domestik limbah di luar tersebut. Kotoran rumah tangga (domestik sewage) adalah air yang telah dipergunakan yang berasal dari rumah tangga atau kotoran permukiman tersebut, termasuk di dalamnya adalah air yang berasal dari kamar mandi, tempat cuci, kakus, serta tempat memasak. Hubungan antara sumber pencemar dan wilayah yang tercemari beserta masyarakatnya merupakan faktor penting pemicu konflik baik di permukiman kumuh maupun non kumuh (Sastrawijaya,1991).

Permasalahan sumberdaya air perkotaan di Indonesia mencakup hal-hal sebagai berikut (USDU, 2003) :

1. Hilangnya cadangan air;

2. Ketidakandalan pelayanan, juga karena kondisi pipa-pipanya, pelayanan menjadi terbatas yang hanya beberapa jam perhari.

3. Permukiman terpaksa harus mengandalkan sumur-sumur pribadi, mengadakan kontrak dengan penjual air dan membayar air botol untuk mengurangi resiko ketidakandalan pasokan air bersih;

4. Ketidakefisienan pengelolaan prasarana air. Standar umum efisiensi rendah di PDAM. Pengenaan tarif biasanya berdasarkan keputusan politik daripada berdasarkan pertimbangan efisiensi biaya dan pemulihan biaya ekonomi. Lebih lanjut, usaha untuk berbagi sumber air dengan pemda sekitar melalui kerja sama pemanfaatan sumber air agar dapat diperoleh skala ekonomi masih juga sulit dipromosikan.

5. Ketidakcukupan komitmen pemerintah daerah sebagai penjamin kinerja dan pinjaman PDAM. Sebelum pengaturan, yang melibatkan supervise

dari pemerintah pusat dan penandatanganan SLA dengan Departemen Keuangan, secara efektif mengurangi peran dan tanggung jawab pemerintah daerah. Walaupun belakangan penetapan tarif pada posisi yang kritis, mereka tidak mempunyai insentif untuk memonitor dan mendukung PDAM kea rah kinerja yang lebih baik.

6. Beberapa kondisi di atas membawa pada suatu keadaan yang kurang menguntungkan bagi investasi. Beberapa ada usaha untuk mengadakan semacam kemitraan antara pemerintah daerah dan swasta (Public-Private Partnership) dalam sektor air bersih, tetapi keberhasilannya sangat terbatas disebabkan berbagai proble keuangan pada banyak PDAM.

Indonesia merupakan salah satu yang menempati peringkat terendah dalam hal pengairan dan sanitasi di Asia. Jumlah penduduk yang memperoleh fasilitas air PDAM sangat rendah. Pada saat ini kondisi air, pengairan/selokan, infrastruktur pembuangan dalam kondisi yang memprihatinkan. Pemeliharaan terhadap sistem pengairan sangat terbatas dan/atau mengkhawatirkan pada sebagian besar kota. Hal ini mengakibatkan meluasnya kontaminasi permukaan air dan sumber air tanah. Air yang bersumber dari sebagian besar PDAM tidak dapat dikonsumsi/diminum. Sangat sulit untuk memindahkan polutan dari air dengan biaya yang terjangkau, dengan menggunakan plankton. Akibatnya, Indonesia pernah mengalami infeksi gastrointestinal epidemic dan kasus typus tertinggi di Asia. Kuantitas dan kualitas sumber air yang kurang baik disebabkan oleh rendahnya system pengisian ulang air, gangguan system pengairan, eksploitasi yang berlebihan; polusi yang berasal dari sampah rumah tangga, limbah pabrik, dan penggunaan untuk pertanian yang berlebihan; dan kurangnya kebijakan harga. Ini menandakan bahwa beban polusi saat ini sangat tidak proporsional dengan masyarakat miskin perkotaan. Perkotaan di seluruh Indonesia, pipa pengairan rumah tangga berkolerasi dengan pendapatan rumah tangga. Karena sumber air telah terpolusi dan dibeberapa daerah, danau, rumah tangga yang tidak memiliki akses kepada system pipa pengairan tidak mempunyai pilihan kecuali harus membeli air minum dari pedagang keliling yang harganya relative lebih mahal – sering sejumlah lima puluh kali lebih mahal per unit air daripada rumah tangga yang memiliki jaringan dengan PDAM (USDU, 2003).

Tantangan utama untuk memperbaiki kualitas air termasuk kelemahan dan inkonsistensi penegakan hokum dan peraturan, kegagalan untuk menerapkan program perijinan pada tahun 1995, kurangnya standar operasional prosedur bagi rumah sakit dan industri lain yang menangani limbah, dan kurangnya data yang akurat untuk menentukan tingkat polusi. Melalui desentralisasi, kota dan kabupaten berhak merencanakan dan mengelola lingkunga, termasuk konstruksi dan operasional pusat penanganan fasilitas limbah/air. Masih terlalu dini untuk menyatakan dampak dari kebijakan ini terhadap managemen program kualitas pengairan (USDU, 2003).