Manusia purba dengan ciri ciri diatas diperkirakan telah memiliki keterampilan sosial yang baik

Homo sapiens diperkirakan mendekati bentuk manusia modern. Sejarah Homo sapiens di Indonesia sudah cukup banyak diketahui. Pada artikel ini akan dibahas sejarah manusia purba jenis Homo sapiens mulai dari sejarah penemuannya, ciri-ciri fisiknya, hasil kebudayannya, dan jenis-jenis manusia purba yang tergolong Homo Sapiens.

Homo sapiens mempunyai kemampuan lebih maju dibandingkan manusia purba jenis Meganthropus dan Pithecanthropus. Homo sapiens berasal dari dua kata, yaitu homo yang berarti manusia dan sapiens yang berarti cerdas. Jenis manusia purba ini disebut manusia cerdas karena dapat membuat peralatan dari batu dan tulang yang digunakan untuk aktivitas berburu dan meramu.

Meskipun Homo sapiens dianggap mendekati manusia modern saat ini. Kehidupan Homo sapiens masih sederhana. Para ahli menduga bahwa Homo sapiens hidup pada masa pleistosen. Mereka memiliki kemampuan yang terus meningkat dalam menggunakan peralatan. Homo sapiens mulai mempunyai kemampuan mengasah batu menjadi semakin halus. Jenis manusia purba ini telah mengenal teknik membuat gerabah dengan menggunakan meja putar.

Klasifikasi ilmiah Homo sapiens

Manusia purba jenis Homo sapiens memiliki klasifikasi ilmiah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum       : Chordata

Kelas        : Mammalia

Ordo         : Primata

Sub Ordo : Haplorhini

Famili       : Hominidae

Sub Famili: Homininae

Bangsa      : Hominini

Genus        : Homo

Spesies      : Homo Sapiens

Ciri-ciri fisik Homo  sapiens

Meskipun memiliki kemampuan lebih maju, Homo sapiens mempunyai ciri-ciri fisik yang berbeda dibandingkan dengan jenis manusia purba sebelumnya. Bentuk fisiknya diduga mendekati bentuk fisik manusia modern. Ciri-ciri fisik dari Homo sapiens diantaranya adalah:

  1. Mampu berdiri dan berjalan dengan tegak
  2. Mempunyai volume otak 1.650 cc
  3. Mempunyai bentuk muka datar dan lebar
  4. Mempunyai akar hidung yang lebar
  5. Mempunyai busur kening yang menonjol dan terlihat nyata
  6. Bagian mulut sedikit menonjol
  7. Mempunyai ciri-ciri mirip ras mongoloid dan ras austramelanosoid
  8. Mempunyai tinggi tubuh 1,30 m sampai 2,10 m
  9. Mempunyai otak lebih berkembang daripada Meganthropus dan Pithecanthropus
  10. Memiliki otot kunyah, gigi, dan rahang sudah menyusut
  11. Mempunyai dagu
  12. Penyusutan pada otot dibagian tengkuk

Berdasarkan sejarah Homo sapiens, maka ciri fisik terpenting yang menandakan perbedaan Homo sapiens dengan manusia purba sebelumnya adalah volume otak yang dimiliki Homo sapiens. Volume otak yang dimiliki manusia purba jenis ini tergolong cukup besar.

Kehidupan sosial Homo sapiens

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, meskipun memiliki kemampuan lebih maju tetapi kehidupannya masih sederhana. Ciri kehidupan sosial dari Homo sapiens diantaranya adalah:

  • Bertahan hidup dengan cara berburu dan bercocok tanam
  • Hidup mulai menetap dan tidak berpindah-pindah tempat
  • Berburu menggunakan peralatan dari batu dan kayu yang sudah diruncingkan
  • Mampu membuat peralatan sederhanan dari tuang dan batu untuk berburu maupun untuk pengolahan makanan
  • Sudah mulai menggunakan pelindung tubuh atau baju yang terbuat dari kulit hewan buruan

Jenis-jenis manusia purba Homo sapiens di Indoneisa

Homo sapiens dapat dibedakan berdasarkan daerah penemuan fosil di Indonesia. Oleh karena itu, jenis manusia purba Homo sapiens dibedakan menjadi 3 yakni Homo wajakensis, Homo soloensis, dan Homo floresiensis. Penjelasan dari ketiga jenis manusia purba tersebut berdasarkan sejarah Homo sapiens di Indonesia adalah:

Fosil dari Homo wajakensis ditemukan pada tahun 1889 di Wajak, Jawa Timur oleh Dr. Eugene Dubois. Fosil manusia purba ini diperkirakan sudah ada semenjak 15.000 – 40.000 tahun Sebelum Masehi. Struktur tengkoraknya berbeda dengan struktur tengkorak bangsa Indonesia. Homo wajakensis mempunyai persamaan dengan pribumi purba orang Australia.

Dr. Eugene Dubois menduga bahwa Homo wajakensis adalah ras Australoide. Homo wajakensis memiliki silsilah langsung dengan bangsa asli Australia. Manusia purba ini mulai menyebar ke timur dan barat Benua Asutralia. Rahang atas dan rahang bawah yang ditemukan sangatlah sama dengan manusia purba dari ras Australoid. Menurut pendapat seorang ahli, Homo wajakensis sebenarnya mirip dengan Homo Soloensis. Kedua jenis manusia purba tersebut sama-sama berasal dari pleistosen tinggi dan telah dikelompokkan. Sifat-sifat fisik inilah yang mendekati manusia zaman sekarang.

Pada tahun antara 1931 – 1934, seorang ahli purbakala bernama G. H. R. Von Koenigswald, Oppenoorth, dan Ter Haar menemukan fosil-fosil manusia purba di sebuah Lembah Sungai Bengawan Solo di dekat Desa Ngadong, di sebuah daerah Blora dan Sragen, Jawa Tengah. Fosil yang ditemukan berupa tengkorak, gigi, dan tulang rahang. Manusia purba ini kemudian diberi nama Homo soloensis. Homo soloensis ditemukan pada lapisan Pleistosen bagian atas. Manusia purba ini diprediksi hidup sekitar 900.000 hingga 300.000 tahun silam. Hasil budaya yang ditemukan adalah kapak genggam/ kapak perimbas, alat serpih, dan peralatan yang terbuat dari tulang.

Manusia purba ini memiliki tingkata yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Pithecanthropus erectus. Berdasarkan perkiraan, Homo soloensis merupakan evolusi dari Pithecanthropus mojokertensis. Namun, ada juga yang mengatakan jika manusia purba ini termasuk Homo Neanderthalensis. Manusia purba ini adalah termasuk ke dalam Homo Sapiens dari Asia, Eropa, dan Afrika.

Homo florensis dijuluki sebagai Hobbit. Manusia purba ini memiliki tubuh dan volume otak yang kecil. Tulang belulangnya ditemukan di Liang Bua, Pulau Flores pada tahun 2001. Penemuan kesembilan sisa-sisa tulang itu (diberi kode LB1 sampai LB9) menunjukkan postur paling tinggi sepanjang manusia modern (sekitar 100 cm). Terdapat kontroversi mengenai hasil penemuan ini. Berbagai ciri-ciri Homo floresiensis, baik ukuran tengkorak dan tulang, kondisi kerangka yang tidak memfosil, temuan sisa-sisa tulang hewan, dan alat-alat disekitarnya menjadi penyebab kontroversi ini.

Hasil peninggalan budaya dari Homo sapiens

Setiap jenis manusia purba memiliki peninggalan budaya sesuai dengan zamannya masing-masing. Begitu pula dengan Homo sapiens, manusia purba jenis ini juga memiliki benda peninggalan budaya. Benda-benada tersebut digunakan untuk berburu, bercocok tanam, ataupun aktivitas lainnya. Hasil peninggalan budaya dari Homo sapiens diantaranya adalah sebagai berikut:

Peneliti bernama Von Heine Galdern melakukan penelitian terhadap kapak persegi. Ia memperhatikan penampang alangnya yang terkadang berbentuk persegi panjang atau trapezium, sehingga memberi nama kapak persegi. Kapak persegi terbuat dari batu-batu indah yang dibuat sangat indah dan halus. Hal ini menyebabkan bahwa benda tersebut kemungkinan tidak untuk bekerja, melainkan hanya sebagai lambang kebesaran, jimat, alat upacara, atau sebagai alat tukar (barter).

2. Kapak corong (Kapak sepatu)

Kapak corong merupakan kapak perunggu yang bagian atasnya berlubang, berbentuk corong yang digunakan untuk memasukkan tangkai kayu. Kapak corong ada yang bentuknya kecil dan halus, yaitu candrasa. Alat ini diduga hanya digunakan untuk tanda kebesaran atau alat upacara saja karena bentuknya yang kecil dan halus. Kapak corong diperkirakan dibuat dengan teknik a cire perdue.

3. Nekara

Nekara ialah gendering besar yang dibuat dari bahan perunggu, berpinggang di bagian tengahnya, dan tertutup di bagian atasnya. Nekara biasanya digunakan sebagai peralatan upacara. Hal ini dapat dilihat dari hiasan yang berada pada dinding nekara. Hiasan tersebut juga sebagai gambaran mengenai kehidupan dan kebudayaan yang berkembang saat itu. Nekara ada yang berukuran besar dan kecil. Nekara yang berukuran kecil dan ramping disebut moko atau mako. Jenis artefak ini banyak ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali, Pulau Sangean, Sumbawa, Roti, Leti, Selayar, dan Kepulauan Kei. Nekara yang besar ditemukan di Bali dan yang berukuran kecil serta ramping ditemukan di Pulau Alor.

4. Kapak genggam

Kapak genggam memiliki bentuk mirip kapak perimbas, tetapi berukuran jauh lebih kecil. Alat ini digunakan dengan cara digenggam pada ujungnya yang lebih kecil. Hampir di seluruh wilayah Nusantara memiliki alat tersebut.

5. Alat serpih

Alat serpih berfungsi sebagai pisau, mata panah, dan alat pemotong. Alat ini ditemukan oleh Von Keonigswald tahun 1934 di Sangiran, Gua Lawa (Sampung, Ponorogo), Cabbenge (Sulawesi Selatan), Timor, dan Roti. Alat ini berukuran kecil antara 10 – 20 cm dan banyak ditemukan di gua-gua.

6. Alat tulang/ tanduk runcing

Alat tulang atau tanduk runcing terbuat dari tulang binatang untuk pisau, belati, dan mata tombak yang banyak ditemukan di Ngandong (Ngawi, Jawa Timur). Selain hasil-hasil budaya tersebut, ada juga hasil budaya lainnya dari jenis manusia purba Homo sapiens. Hasi budaya tersebut diantaranya adalah kapak pendek (Bache Courte), flakes, bejana perunggu, kapak genggam Sumatra (Pabble), kapak batu, dan perhiasan serta manik-manik dari perunggu.

Selain itu, Homo sapiens memiliki kebudayaan yang lebih tinggi dari jenis manusia purba lainnya di Indonesia. Jika dilihat dari hasil kebudayaannya, maka sudah tergolong pada budaya Batu Tengah yakni Mesolitikum. Alat yang digunakan sudah dihaluskan dan tempat tinggal mereka berada di gua-gua, sehingga meninggalkab abris sous roche dan sampah kerang (kjokkenmoddinger).

Mereka bertempat tinggal di pantai Sumatra Timur. Alat yang digunakan berupa kapak  Sumatra, kapak pendek, dan pipisan atau batu penggiling. Kjokkenmoddinger ditemukan di Gua Sampung (Ponorogo, Jawa Timur), Timor, Pulau Roti, dan Bojonegoro. Alat yang digunakan ada yang terbuat dari batu dan tulang (bone culture).

Inilah penjelasan mengenai jenis sejarah homo sapiens di Indonesia. Selain Homo  sapiens, ada berbagai nama manusia purba di Indonesia yakni Meganthropus paleojavanicus dan Pithecanthropus erectus (baca juga cara hidup Meganthropus paleojavanicus, sejarah manusia purba, dan ciri-ciri Pithecanthropus robustus). Semoga bermanfaat.

ciri homo sapienshomo sapiensmanusia purbaPrasejarah

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA