Suryanto, Model pendidikan karakter … 257
p-ISSN 1412-0712 | e-ISSN 2527-8312
jawab, tertib, disiplin, bekerja sama, kreatif,
inovatif, terampil dan produktif, jujur,
rukun, tidak putus asa, sopan santun,
berakhlak mulia, demokratis, berkepribadian,
berdaya tahan, dan mampu memfilter budaya
asing. Kata kunci tersebut telah menjadi ciri
pembinaan karakter pada misi sekolah,
misalnya:“Mewujudkan keteladanan guru
dalam bersikap, berperilaku, dan berpikir”,
“Membentuk sumber daya ma-nusia aktif,
kreatif, dan inovatif”, “Menumbuhkan
kebiasaan salam, sapa, senyum, dan sopan
santun”, “Membentuk sumber daya manusia
cerdas intelegensia, emosi, spiritual, sosial,
dan bertanggung jawab”, “Membudayakan
senyum, salam, sapa, sopan, santun,
semangat, dan sepenuh hati kepada warga
sekolah”, “Melaksanakan sopan, tanggung
jawab, jujur, rukun, dan tidak putus asa”.
Pengambil kebijakan meyakini
rumusan visi misi memiliki benang merah
pada upaya pendidikan karakter. Sebab, salah
satu arah dirumuskan visi misi adalah
pembentukan karakter siswa. Praktiknya,
guru dapat menyisipkan pendidikan
karakter kepada siswa melalui mata pelajaran
yang diampunya, memberi teladan, dan
menyediakan kegiatan pengembangan diri,
pembiasaan menegakkan peraturan sekolah.
Sebagai contoh: pagi hari sebelum guru
mengajar, kepala sekolah memberi
pengarahan sekitar 15 menit. Cara ini
memberi nilai positif pada guru agar tidak
terlambat mengajar di kelas atau ha-dir di
sekolah. Cara ini dapat membentuk
kedisiplinan guru dan siswa. Kebiasaan
pem- berian pengarahan diharapkan dapat
menjadi bahan refleksi bagi guru untuk
ditularkan kepada siswa selama beberapa
menit sebelum dan setelah selesai memberi
pelajaran.
Berdasarkan paparan di depan
disimpulkan bahwa sekolah sudah
merumuskan visi misi dengan jelas. Namun,
sangat disayangkan tingkat kesadaran kepala
sekolah belum direalisasikan ke dalam
program konkret sebagaimana rumusan visi
misi yang telah dimiliki untuk dijadikan
panduan budaya kerja bagi semua warganya.
Mereka beralasan, karena pendidikan karakter
sudah terpadu dalam mata pelajaran Agama,
PPkn., Bahasa Jawa, IPA, IPS, Olahraga,
Matematika, Bahasa Indonesia, Kesenian.
Selain itu, masalah tersebut juga sudah
terpadu dengan kegiatan ekstra kurikuler,
seperti: pramuka, keseni-an, UKS, olahraga,
keagamaan, dokter kecil, kelompok belajar,
dan sebagainya.
Alasan tersebut sepenuhnya tidak
salah, ada hal lain yang tidak dapat diabaikan
perannya. Menurut Zuhdi, Kunprasetyo, dan
Masruri (2013) bahwa hal terpenting untuk
meningkatkan hasil belajar dan aktualisasi
nilai-nilai yang dipadukan dalam pelajaran
itu perlu dikembangkan ke dalam kultur
sekolah yang positif. Selain itu,
keikutsertaan siswa dalam kegiatan ekstra
kurikuler hendaknya diarahkan ke
pengembangan kemampuan, rasa tanggung
jawab sosial, potensi, dan prestasi. Karena
itu, Frezee & Rudnitski (1995) menyarankan
bila ingin memadukan sejumlah mata
pelajaran hendaknya dibangun melalui
keterkaitan antara tujuan, isi, keterampilan,
dan sikap.
Kedua, kegiatan pembelajaran di
kelas diamati pada permasalahan guru dan
siswa. Permasalahan guru dan siswa tidak
berdiri sendiri, tetapi keduanya saling
mempengaruhi. Permasalahan guru sebagai
akibat dapat menyebabkan munculnya
permasalahan pada siswa. Atau sebaliknya,
permasalahan siswa dapat menimbulkan
masalah pada guru. Namun, karena guru
sebagai manajer dan sutradara pembelajaran
di kelas maka penyebab permasalahan
lazim ditimpakan pada guru.
Apa pun alasannya, Rumini (1995)
menyarankan bahwa guru tidak boleh meng-
abaikan kehadiran siswa. Hal itu
ditegaskan oleh Sumantri (dalam
Kusrahmadi, 2007) bahwa bagi seorang guru
harus mengetahui perkembangan dan
karakteristik siswanya.
Hasil observasi dan wawancara
ditemukan permasalahan guru, yaitu: (1)
Guru tidak membuat rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP), tetapi mereka
menggunakan RPP yang terdapat pada
lembar kegiatan siswa (LKS) atau pinjam