Kecenderungan baru teori evolusi hereditas

Pengertian teori evolusi seringkali disalahartikan hanya sebatas pernyataan Charles Darwin yang mengatakan manusia itu berasal dari kera. Padahal Charles Darwin maupun teori evolusi TIDAK PERNAH menyatakan bahwa manusia itu berasal dari kera.

Halo semua, apa sih yang terlintas di pikiran lo kalo ada pembahasan tentang teori evolusi? Wah, biasanya materi teori evolusi ini seringkali jadi topik yang begitu kontroversial. Entah kenapa, satu topik dalam pelajaran Biologi ini jadi hal yang begitu sensitif sekali untuk dibahas, baik di sekolah, maupun dalam pembicaraan umum sehari-hari. Padahal, terlepas dari perdebatan kontroversial terkait teori evolusi ini, penerapan dan aplikasi dari teori evolusi ini telah menjadi landasan para ilmuwan selama berpuluh-puluh tahun terakhir untuk implementasi teknologi dan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang riset medis, rekayasa genetika, bahkan computer science.

Hayo, ada yang nyadar gak bahwa setiap riset pengobatan dalam pembuatan obat, vaksin, dan serum menggunakan dasar teori evolusi? Ada yang tahu gak bahwa banyak teknologi pertanian, seperti perancangan bibit unggul, adalah aplikasi dari teori evolusi yang kita nikmati manfaatnya sehari-hari?

Lho bukannya teori evolusi itu salah ya? Bukannya teori evolusi itu pandangan Charles Darwin bahwa manusia berasal dari kera?

Sangat disayangkan, pengertian teori evolusi menjadi sangat DIPERSEMPIT menjadi sebatas “teori Charles Darwin yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera”. Entah bagaimana, teori evolusi ini selalu dikait-kaitkan dengan sosok Charles Darwin yang seolah-olah mengatakan bahwa asal-usul manusia itu dari monyet atau kera. Padahal dari sejarahnya perumusan teori evolusi sendiri, tidak pernah ada pernyataan seperti itu. Charles Darwin sendiri juga tidak pernah menyatakan hal itu.

Kesalahpahaman tentang teori evolusi ini semakin diperparah dengan penjelasan yang keliru dari buku cetak pelajaran sekolah. Berdasarkan buku cetak pelajaran sekolah tingkat SMA pada umumnya, penjelasan tentang teori evolusi ini sangatlah singkat, bahkan ada beberapa yang tidak dijelaskan sama sekali. Kalaupun dijelaskan, materi yang dibahas cuma soal perbandingan panjang leher jerapah versi Jean B.Lamarck dengan versi Charles Darwin. Sayangnya, untuk topik-topik yang erat kaitannya dengan evolusi seperti diversifikasi spesies, struktur kromosom, konsep hereditas, mutasi genetik, seleksi alam dan lain-lain seringkali tidak disangkut pautkan dengan evolusi. Padahal justru topik-topik itu sangat relevan yang menjadi landasan kuat teori evolusi.

Mirisnya lagi, banyak sekali konten-konten di internet yang menjelaskan teori evolusi dengan mengada-ngada, terutama konten yang berbahasa Indonesia. Berkali-kali, pembahasan tentang teori evolusi selalu diidentikan dengan pandangan bahwa asal-usul manusia dari kera, padahal (sekali lagi) teori evolusi tidak pernah bilang seperti itu. Hal-hal yang berkaitan erat dengan teori evolusi yang benar, seperti mutasi genetik, konsep seleksi alam, atau apa bedanya spesies, genus, order, super family atau sub-order, dan lain-lain malah tidak dibahas sama sekali.

Tidak heran jika banyak para pelajar yang seringkali menanyakan pertanyaan seperti ini:

Zen, menurut teori evolusi Darwin itu kan dahulu kala manusia berasal dari kera. Tapi kok sampai sekarang sudah ada manusia, kera juga masih ada dan ga musnah?

Berdasarkan teori Darwin mengatakan kalo nenek moyang manusia adalah kera, lalu pertanyaannya jika pada zaman dahulu kera itu berevolusi jadi manusia seperti yang dikatakan oleh Darwin, lalu kenapa kera yang di zaman sekarang juga tidak berevolusi jadi manusia?

Munculnya banyak pertanyaan semacam ini di kalangan pelajar adalah cerminan bahwa pemahaman konsep evolusi biologi yang diajarkan di sekolah-sekolah sangatlah sempit.

Oke, mungkin banyak di antara lo yang penasaran bagaimana Zenius menjawab pertanyaan di atas. Sejujurnya memang agak ribet untuk menjawab pertanyaan di atas. Kenapa ribet? Karena sebetulnya PERTANYAANNYA SENDIRI SUDAH SALAH. Bagian mana dari pertanyaan tersebut yang salah? Banyak banget. Mari kita bedah satu per satu kesalahan dari pertanyaan di atas.

Kecenderungan baru teori evolusi hereditas

Kesalahan 1

Pihak yang bertanya berasumsi bahwa jika proses evolusi terjadi pada satu spesies, otomatis seluruh spesies tersebut akan berubah menjadi spesies yang baru. Ini asumsi yang salah. Karena teori evolusi nggak pernah menyatakan seperti itu.

Zaman 20.000 tahun yang lalu, tidak ada yang namanya anjing chihuahua, retriever, bulldog, pitbull, dan lain-lain. Tidak pernah ada jejak fosil bahwa anjing jenis chihuahua, pincher, herder, pitbull, dkk itu bisa bertahan dan hidup dengan berburu di hutan rimba 20.000 tahun yang lalu.

Kecenderungan baru teori evolusi hereditas

Tapi melalui penelusuran DNA, kita bisa tau bahwa seluruh varian anjing yang ada di zaman modern sekarang ini adalah keturunan dari Canis lupus alias serigala. Spesies baru itu terus bertambah di alam seiring berjalannya waktu.

Kesalahan 2

Pihak yang bertanya berasumsi bahwa teori evolusi itu prosesnya seperti illustrasi di bawah ini:

Kecenderungan baru teori evolusi hereditas

Padahal gambar di atas adalah illustrasi yang KELIRU dalam menggambarkan teori evolusi. Terus ilustrasi dari teori evolusi yang bener kayak gimana dong? Nih kayak gini seharusnya illustrasi yang lebih tepat:

Kecenderungan baru teori evolusi hereditas

Kesalahan 3

Kera itu tidak bisa berevolusi!

Wah, kenapa nggak bisa? Karena yang berevolusi itu spesies, sedangkan kera itu bukan nama spesies. Kera atau dalam bahasa Inggris disebut “ape” itu adalah super-familia hominidae dari order primata. Contoh spesies dari kera itu gorilla, orangutan, simpanse, bonobo.

Ngomong-ngomong soal kera, jangan dipukul-rata bahwa semua binatang yang gelantungan di pohon itu kera ya. Misalnya monyet yang biasa dipakai atraksi topeng monyet, monyet itu nama latin spesiesnya (Macaca fascicularis), dan monyet itu tidak termasuk dalam golongan KERA. Lain lagi dengan lemur yang ada di film Madagascar, lemur itu juga BUKAN KERA.

Jadi dalam taksonomi biologi, order primata itu dibagi menjadi sub-order atau superfamily: Homonidae (kera), Simiformes (monyet), Lemuroidae (lemur). Jadi monyet itu bukan kera, lemur bukan monyet. Kera ya kera, monyet ya monyet, lemur ya lemur. Jangan dicampur-campur yak!

Kecenderungan baru teori evolusi hereditas
dari kiri ke kanan: lemur, kera, monyet.

Nah sekarang lo ngerti kan kenapa kami bingung gimana ngejawab pertanyaan di atas? Pertama, karena pertanyannya sendiri aja udah salah. Kedua, pihak yang bertanya belum memiliki pengetahuan dasar biologi. Jadi banyak asumsi dalam pertanyaan tersebut yang pada dasarnya udah salah. Tapi nggak apa-apa, namanya juga proses belajar pasti diawali dengan salah paham dulu. 🙂

Jadi kalo balik lagi ke pertanyaan “Apakah manusia berasal dari kera?”, pastikan bahwa proses menjawabnya itu harus didasari pemahaman tentang taksonomi dulu. Karena bisa jadi, yang dipikirkan tentang “kera” di pemikiran orang awam itu berbeda-beda. Bisa jadi ada orang-orang yang berpikir kera itu sama dengan monyet, padahal bukan. Bisa juga orang berpikir lemur itu sama dengan kera dan monyet, padahal bukan.

Nah sekarang dengan sedikit pemahaman definisi dari kera, pertanyaan “Apakah kera berevolusi menjadi manusia?” itu sendiri sudah salah ya. Karena yang bisa berevolusi itu spesies, sementara kera itu bukan nama spesies. Teori evolusi tidak pernah menyatakan bahwa kera berevolusi menjadi manusia.

Oke, mungkin lo sekarang jadi kepikiran, bagaimana kalau pertanyaan diubah menjadi:

“Apakah manusia berasal dari spesies yang termasuk dengan golongan kera, seperti gorila, simpanse, orangutan, bonobo?”

Again, teori evolusi maupun Charles Darwin sendiri tidak pernah memberikan statement seperti itu. Apakah Charles Darwin pernah mengatakan bahwa manusia berasal dari kera? TIDAK PERNAH. Charles Darwin dan teori evolusi tidak pernah menyatakan bahwa manusia berasal dari orangutan, simpanse, bonobo, dan gorila. Faktanya memang manusia bukan berasal dari gorila, simpanse, orangutan, atau bonobo.

Lha, Terus yang Bener Teori Evolusi itu Gimana sih?

Sangat disayangkan penjelasan konsep yang dibahas dalam buku pegangan sekolah seringkali jadinya malah ngelantur. Penjelasan teori evolusi hanya berhenti pada perbandingan leher jerapah si Lamarck dan Darwin. Udah puluhan tahun kurikulum di Indonesia silih berganti, penjelasan teori evolusi di buku textbook leher jerapah lagi, leher jerapah lagi. Penjelasan yang sangat sempit untuk penerapan sebuah teori yang sangat luas hingga menjadi fondasi disiplin ilmu Biologi modern.

Nah, terus gimana caranya untuk memahami konsep evolusi yang benar? Untuk memahami teori evolusi secara menyeluruh, gak akan mungkin bisa dijelaskan dengan 2-3 paragraf doang. Nggak mungkin juga bisa dijelaskan oleh 1 artikel ini. Karena untuk memahami proses yang kompleks ini, ada beberapa konsep dulu yang harus lo pahami. Berikut di antaranya:

  1. Genetika & Hereditas
  2. Struktur DNA
  3. Pengertian dari spesies pada taksonomi
  4. Mutasi Genetik
  5. Konsep seleksi alam

Jika ingin memahami lebih detil lagi, kita bahkan bisa telusuri bagaimana proses penemuan dari konsep-konsep di atas berdasarkan penelitian dan penemuan dari tokoh-tokoh kunci seperti Charles Darwin, Alfred Wallace, Gregor Mendel, Thomas Hunt Morgan, dan Francis Galton.

Pastinya ga mungkin semua konsep di atas dibedah satu per satu dalam satu artikel ini. Jadi kemungkinan penjelasan lebih detilnya tentang komponen-komponen yang perlu kalian ketahui tentang teori evolusi, akan dijelaskan satu per satu secara terpisah dalam artikel yang lain. Sementara itu pada artikel ini, kami hanya akan memberikan “introduction singkat” tentang konsep-konsep yang perlu lo pahami terlebih dahulu, jika lo ingin mengetahui apa itu teori evolusi yang benar

Konsep Genetika & Hereditas

Sebelumnya, keep in mind dulu, konsep genetika dan hereditas belum rampung ketika Charles Darwin menggagas teori evolusi pada tahun 1859. Selang beberapa tahun kemudian, tepatnya 1865 seorang Gregor Mendel melalui eksperimennya dengan 28.000 tanaman kacang polong, menyusun tiga hukum pewarisan sifat yang nantinya akan menjadi tulang punggung teori evolusi.

Seperti apa hukumnya? Singkatnya, sebelum Mendel, orang-orang berpendapat bahwa suatu keturunan adalah percampuran kedua sifat orangtuanya. Misal, bunga merah jika dikawinkan dengan bunga putih maka akan menghasilkan bunga merah muda. Kedua sifat orangtua bercampur menjadi sifat anaknya. Itu adalah pandangan orang kuno yang keliru dan sudah dibantah oleh sains genetika.

Pandangan yang keliru ini terbantahkan oleh hukum-hukum Mendel. Di percobaan Mendel, ketika dua bunga merah muda dikawinkan, selain menghasilkan keturunan warna merah muda, terdapat juga bunga yang tetap berwarna merah dan putih yang rasionya mengikuti aturan dari Hukum Mendel. Hayo ada yang masih ingat pelajaran Biologi SMP tentang hukum Mendel?

Kecenderungan baru teori evolusi hereditas

Hukum-hukum Mendel menyatakan bahwa ada varian sifat yang diturunkan dari orangtua ke anak, dan masing-masing orangtua menyumbang satu varian sifat. Lalu, jika ada satu varian sifat yang lebih kuat (dominan) daripada yang lain, maka sifat tersebut akan menutup sifat yang lebih lemah (resesif).

Kecenderungan baru teori evolusi hereditas
Foto ayah dan anak | bentuk fisik (fenotipe) yang ditampilkan seorang anak cenderung mirip dengan orangtuanya.

Perhatikan bahwa Mendel hanya menyebut secara teoritis bahwa ada varian sifat yang diturunkan. Pada zaman Mendel, belum ditemukan materi atau benda apa yang menentukan pewarisan sifat. Hampir seratus tahun kemudian, barulah manusia tahu bahwa yang diwariskan orangtua adalah masing-masing kromosom yang di dalamnya terdapat GEN yang mewariskan sifat.

Struktur DNA

Pada abad 20, barulah ditemukan materi apa yang bertanggung jawab dalam menentukan pewarisan sifat. Pada tahun 1953, James Watson, Francis Crick, dan Rosalind Franklin, menemukan keberadaan DNA (Deoxyribonucleic Acid), sebuah materi yang menentukan pewarisan sifat keturunan.

Seperti apa sih DNA itu? Kita ambil contoh manusia ya. Manusia itu kan terdiri dari banyak sel tuh, bayangkan lo ambil satu sel aja yang ada inti selnya. Pada inti sel kita bisa lihat untaian untaian yang disebut kromosom. Nah, satu untaian kromosom yang diambil tadi, tersusun dari “serat-serat benang” yang dinamakan DNA. Jadi, kromosom tersusun atas banyak sekali barisan DNA. Manusia seperti kita memiliki 23 pasang kromosom (total 46 kromosom), dimana 23 di antaranya diberikan oleh ayah kita, sementara 23 sisanya diberikan oleh ibu kita.

Kecenderungan baru teori evolusi hereditas

Tapi ga semua barisan DNA sepanjang kromosom memiliki fungsi. Maksudnya, bisa “diterjemahkan” menjadi karakteristik manusia (warna kulit, bentuk rambut, dll) . Hanya segmen barisan DNA tertentu saja yang bisa dipakai untuk mendefinisikan sifat manusia. Segmen barisan DNA yang bisa mendefinisikan suatu sifat tertentu inilah yang disebut dengan GEN.

Pada satu untai benang kromosom, cuma 3% barisan DNA yang bisa jadi GEN. Sisa barisan yang ga bermakna (97%) disebut dengan “junk DNA (DNA sampah)”. “Junk DNA” bukan maksudnya DNA itu ga ada fungsi atau manfaatnya sih. Walau awalnya disangka non fungsional, tapi banyak temuan baru tentang daerah “junk” ini setelah Human Genome Project (HGP) selesai. Pada point selanjutnya lo bisa memahami salah satu fungsi dan penjelasan kenapa ada banyak banget Junk DNA di kromosom

Jadi, kami rangkum ya: Sifat kita diwariskan oleh masing-masing 23 kromosom yang diberikan ayah dan ibu, yang kemudian saling bertautan menjadi 46 kromosom atau 23 pasang kromosom. Di mana, masing-masing kromosom itu memiliki barisan DNA dan 3% di antaranya adalah DNA yang membentuk sifat kita (warna kulit, bentuk rambut, tinggi badan, dll.)

Apa itu Spesies?

Sebelumnya kan kami sudah bilang, bahwa evolusi terjadi pada level spesies. Lantas spesies sendiri itu apa? Kebanyakan orang awam, mengklasifikasikan binatang berdasarkan namanya saja. Sejak kecil kita tahu berbagai macam hewan dan tumbuhan seperti anjing, kucing, gajah, jerapah, laba-laba, buaya, kupu-kupu, pohon beringin, pohon bambu, dll dari perbedaan bentuk fisik berdasarkan penglihatan mata kita saja. Namun jika kita melihat dari sudut pandang biologi, makhluk hidup itu diklasifikasikan bukan hanya dari bentuk tubuh atau anatominya saja, tapi juga sampai menelusuri perbedaan morfologi, fisiologi, bahkan sampai kemiripan struktur DNA-nya.

Struktur klasifikasi makhluk hidup ini akhirnya dikategorikan pada beberapa level yang kita kenal sebagai taksonomi, dari mulai Kingdom, Phylum, Class, Order, Sub-order/Superfamily, Familia, Genus, Species. Dalam hal ini, spesies adalah tingkatan terbawah dari taksonomi yang merupakan individu yang memiliki identitas unik dibandingkan spesies yang lain. Patokan klasifikasinya darimana? Ya dari dari kemiripan struktur DNA dan urutan basa nitrogen penyusunnya (A, T, G, C) dan juga kemampuan makhluk hidup tersebut untuk menghasilkan keturunan yang fertil di alam bebas.

Contohnya nih, coba lo liat gambar laba-laba Theridion grallator di bawah ini:

Kecenderungan baru teori evolusi hereditas
(laba-laba Theridion grallator)

Di antara 4 jenis laba-laba itu keliatannya beda banget kan? Mungkin lo berpikir 4 laba-laba ini beda spesies, tapi faktanya keempat laba-laba ini spesies yang sama karena mereka bisa kawin (dan sering kawin) antar variannya itu dan melahirkan keturunan yang fertil alias bisa berkembang biak terus. Sekarang, coba lo perhatikan 3 jenis kukang di bawah ini:

Kecenderungan baru teori evolusi hereditas

Coba lo liat kukang kalimantan, kukang jawa, dan kukang sumatera itu relatif mirip banget kan? Orang yang ngeliat sekilas mungkin nebak itu spesies yang sama cuma beda corak warna rambutnya saja. Padahal sebetulnya ketiga kukang di atas adalah spesies yang berbeda karena ketiga makhluk ini tidak bisa kawin antar mereka di alam. Nah, proses evolusi jelas hanya bisa terjadi pada tingkat spesies. Karena proses ini harus melalui proses kawin antar individu untuk menjadi spesies baru. Apakah monyet (Macaca fascicularis) mungkin suatu saat nanti berevolusi? Mungkin. Apakah kera bisa berevolusi? Tidak, karena kera bukan nama spesies.

Terlepas dari itu, biar bagaimanapun klasifikasi taksonomi adalah human construct alias buatan manusia untuk menyederhanakan betapa kompleksnya keanekaragaman makhluk hidup dengan jutaan variasi morfologi, anatomi, fisiologi, dan struktur DNA. Jadi spesies sebagai tingkatan akhir dari taksonomi seringkali tidak bisa didefinisikan secara universal.

Mutasi Genetik

Sekarang kita tau bahwa biologi mengklasifikasikan makhluk hidup berdasarkan kemiripan struktur DNA, dan juga bahwa semua makhluk hidup tersusun sesuai gen yang terdapat pada inti dari sel. Nah, masalahnya gak semua sel dalam tubuh kita bertahan dari sejak kita lahir sampai mati. Sel-sel penyusun makhluk hidup itu diganti seiring bertambahnya umur. Oleh karena sel lama diganti oleh sel baru, materi genetik di sel lama harus direplikasi menjadi sel baru yang identik agar mempertahankan bentuk atau sifat yang nampak. Misalnya, gen pada sel kulit orang berkulit hitam, akan membentuk sel kulit baru yang kadar melaninnya sama sehingga walaupun selnya tergantikan seiring bertambahnya usia, orang tersebut tetap berkulit hitam.

Most of the time, replikasi DNA dari orangtua ke anak terjadi secara sempurna. Namun, ada saatnya error dalam replikasi terjadi. Nah, perubahan kode pada materi genetik ini yang disebut MUTASI. Hal yang menyebabkan mutasi genetik ini bermacam-macam, mulai dari penyebab natural (Ya, replikasi DNA mungkin salah secara alami), Radiasi UV, logam berat seperti Chromium, Arsenik, dll, Radioactive decay, sinar Gamma, X-ray, dll. Makhluk hidup yang melewati proses mutasi genetik disebut dengan mutant. Makanya kalau di rumah sakit, kita dianjurkan jangan dekat-dekat ke ruangan beradioaktif agar tidak terpapar radiasi yang bisa menyebabkan keturunan kita menjadi mutant.

Proses mutasi genetik ini diketahui pertama kali oleh Thomas Hunt Morgan, di mana ia berhasil memaksakan mutasi pada lalat buah hingga lalat tersebut memiliki sifat baru yaitu mata yang berwarna putih. Again, most of the time, mutasi genetik merugikan bagi suatu organisme, contohnya pada tikus berwarna putih yang membuat dirinya mudah diterkam predator, bebek dengan 4 kaki yang berpotensi cedera dan infeksi, atau pada manusia yang terlahir dengan sel darah merah yang kisut (sickle cell), dll. 

Kecenderungan baru teori evolusi hereditas
kura-kura berkepala dua adalah mutant, replikasi DNA yang tidak sempurna.

Jadi kalo lihat berita ada kambing berkepala dua, bebek berkaki tiga, pohon kelapa yang batangnya bercabang-cabang, jangan buru-buru heboh itu siluman jadi-jadian dari alam gaib dulu ya! Itu semua ada penjelasan ilmiahnya, yaitu mutasi genetik alias replikasi DNA yang salah. Nah, karena mutasi ini hampir selalu merugikan, seringkali mutant tidak sempat bereproduksi alias sudah mati duluan punya keturunan. Tapi, walaupun jarang sekali terjadi, ada saatnya proses mutasi ini dapat menguntungkan si organisme, yang memungkinkan organisme bereproduksi, dan menghasilkan spesies baru. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Jawabannya adalah…

Seleksi Alam

Bagaimana mutasi bisa menguntungkan dan merugikan bagi organisme? “Untung” dan “rugi” dalam konteks ini ditentukan sejauh mana organisme itu bisa bertahan hidup dengan kondisi alam atau lingkungan.

Ada saat ketika mutasi dapat menguntungkan organisme tersebut untuk beradaptasi terhadap alam. Contohnya, beruang kutub (Ursus maritimus) dan beruang cokelat (Ursus arctos) memiliki nenek moyang yang sama yang berwarna cokelat kehitam-hitaman. Lalu, keturunan beruang purba tersebut mengalami mutasi sehingga warna rambutnya putih. Di ekosistem hutan, hal ini merugikan karena mangsa-mangsa dapat dengan mudah menghindari beruang bewarna putih.

Namun, ketika planet bumi diliputi Zaman Es (110.000 – 11.700 tahun yang lalu), mutasi perubahan warna rambut beruang menjadi putih ini menjadi suatu keuntungan. Di daerah tundra yang bersalju, beruang putih lebih cenderung mampu berburu dan hidup hingga mereka menghasilkan keturunan jika dibanding dengan beruang berwana cokelat. Sedangkan di daerah hutan yang terjadi adalah sebaliknya. Beruang dengan warna gelap lebih diuntungkan dengan beruang yang berwarna putih. Akhirnya beruang yang berwarna putih sukses di daerah yang dingin dan bersalju, sedangkan kerabatnya yang berwarna cokelat sukses bertahan hidup di daerah hutan. 

Kecenderungan baru teori evolusi hereditas
mutasi warna rambut beruang kutub didukung oleh kondisi lingkungan membuatnya bisa bertahan hidup di lingkungan tundra dan bersalju

Jadi kebayang ya, alam menyeleksi hasil mutasi gen suatu organisme. Nah kalo semakin banyak sifat yang diseleksi dan mutant terus bereproduksi menghasilkan keturunan yang fertil hingga ribuan tahun sehingga dua jenis organisme menjadi sangat berbeda dan gak bisa melakukan kawin silang, maka terbentuklah spesies baru. Ini yang terjadi pada beruang kutub dan beruang cokelat sekarang, setelah ribuan tahun berpisah habitat dan terjadi banyak banget mutasi yang terjadi sehingga mereka sangat berbeda sampai nggak bisa kawin dan menghasilkan anak yang fertil di alam, akhirnya sekarang kita menyebut mereka sebagai dua spesies yang berbeda, walaupun memiliki leluhur yang sama.

Itulah proses evolusi, ada mutasi yang terjadi secara random dan hasil mutasi tersebut diseleksi oleh alam. Mutant yang berhasil bertahan hidup karena didukung oleh kondisi alam dan berhasil membentuk keturunan fertil dan terus berkembang biak selama ribuan tahun akan menjadi spesies yang baru. Lalu jika beruang kutub merupakan evolusi dari beruang berwarna cokelat, apakah beruang cokelat berarti harus punah? Nggak dong ya, spesies yang lama akan tetap bertahan selama masih bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Evolusi tidak terjadi seperti transformasi Pokemon atau Digimon, simsalabim beruang cokelat berubah jadi putih terus jadi spesies baru, dimana beruang yang cokelatnya jadi punah. Nggak seperti itu ya! 🙂

Kecenderungan baru teori evolusi hereditas
Proses evolusi dalam biologi tidak bekerja seperti evolusi dalam anime Pokemon

****

Penjelasan di atas sebetulnya adalah versi yang amat sangat singkat, atau bisa dibilang cuma “introduction” untuk memahami apa itu konsep genetika, hereditas, struktur DNA, seleksi alam, taksnomi makhluk hidup, dll. Jadi kami sarankan, lo jangan berpuas diri dan merasa paling tahu tentang evolusi hanya karena selesai baca artikel ini. Ada masih banyak hal yang perlu lo pelajari untuk bisa benar-benar paham konsep dari teori evolusi. Para ahli Biologi saja membutuhkan waktu puluhan tahun untuk memahami dan menguji ulang kembali konsep-konsep dari teori tersebut.

Di era modern sekarang ini, para ahli biologi mencoba menguji teori ini hingga tingkat akurasi yang sangat detil, bahkan sampai “membedah” bagaimana urutan DNA (A, T, G, C) pada manusa dengan bantuan teknologi, proyeknya sudah berjalan dan dinamakan Genome Mapping Project. Coba deh lo browsing tentang human genome project.

Di sisi lain, ada banyak sekali aplikasi teknologi dan sains modern yang didasarkan pada teori evolusi, yang rasanya udah sulit sekali dibantah karena manfaatnya udah kita rasakan hampir setiap saat.

Emang apa sisi aplikatif dari teori evolusi yang bisa kita rasakan? Bukannya teori evolusi cuma ngomongin asal-usul spesies aja?

Contohnya nih: Pembuatan serum obat, vaksinasi, rekayasa genetika, analisis bakteri penyakit, perancangan bibit unggul dalam pertanian dan peternakan, dan juga sebagai acuan dalam langkah-langkah konservasi satwa dan lingkungan.

Hal yang ironis adalah banyak orang yang tidak percaya dengan teori evolusi, padahal tanpa mereka sadari, penerapan dari teori evolusi telah menjadi manfaat yang mereka dapatkan bagi kehidupan mereka sehari-hari.

Kalau sebuah konsep ilmiah udah disebut sebagai TEORI, artinya konsep itu telah teruji dan melalui proses verifikasi berulang-ulang kali. Setelah pembuktian hipotesis berulang kali dan hasilnya menyatakan hal yang sama, maka konsep itu disebut dengan teori. Seperti yang digambarkan pada video di bawah ini:

Keterangan sumber:

Fan, Zhenxin; Silva, Pedro; Gronau, Ilan; et all. “Worldwide patterns of genomic variation and admixture in gray wolves” (2016).ncbi.nlm.nih.gov.
Groves, C. P.; Wilson, D. E.; et all. “Mammal Species of the World: A Taxonomic and Geographic Reference” (2005). Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Darwin, Charles. “The Descent of Man: And Selection in Relation to Sex” (1871). First edition, p. 3. London: J. Murray.
Dawkins, Richard “The Magic of Reality: How We Know What’s Really True” (2011)United Kingdom: Bantam Press.
Morgan, Thomas Hunt; Alfred H. Sturtevant, H. J. Muller and C. B. Bridges. The Mechanism of Mendelian Heredity” (1915). New York: Henry Holt.
Lindqvist, C.; Schuster, S. C.; Sun, Y.; et all. “Complete mitochondrial genome of a Pleistocene jawbone unveils the origin of polar bear” (2010). Proceedings of the National Academy of Sciences, Volume 107, Issue 11, 2010, pp.5053-5057
Riddley, Matt. “Genome: The Autobiography of a Species In 23 Chapters” (1999).  New York: Perennial.
https://evolution.berkeley.edu/evolibrary/article/evo_41

—————————CATATAN EDITOR—————————

Kalo ada yang pengen ngobrol, diskusi, atau bertanya tentang biologi khususnya teori evolusi, silakan bertanya dan ngobrol langsung dengan Glenn dan Dhia pada kolom komentar di bawah artikel ini.