Jelaskan hadits ditinjau dari kualitas dan kuantitas perawi hadits

  1. A.      Pembagian Hadits dari Segi Kuantitasnya

Hadits ditinjau dari segi kuantitasnya atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.

1. Hadits Mutawatir

a. Ta’rif Hadits Mutawatir

Kata mutawatir menurut lughat ialah mutatabi’ yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah:

“Hadits tentang sesuatu yang mahsus (yang dapat ditangkap oleh panca indera), yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”[1]

“Hadits mutawatir ialah Hadits yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”

b. Syarat-syarat Hadits Mutawatir

Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1)      Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.

2)      Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta. Sebagian dari mereka menetapkan 5 orang perawi, sebagian yang lain menetapkan 10 orang perawi, sebagian yang lain menetapkan 12, 20,40 dan 70 0rang perawi.

3)      Jumlah rawi pada setiap tingkatan tidak boleh kurang dari jumlah minimal, seperti yang ditetapkan padaa syarat kedua.

Bila suatu hadits telah memenuhi syarat ketetapan diatas, maka hadits tersebut dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir dan pasti (qath’i) bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.

c.  Pembagian Hadits Mutawatir

Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :

1)         Hadits Mutawatir Lafzhi

Yaitu hadits mutawatir dengan sama persis susunan redaksinya dan demikian juga pada hukum dan maknanya. Juga dipandang sebagai hadits mutawatir lafdzi, hadits mutawatir dengan susunan redaksi yang sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradlifnya (kata-kata yang berbeda, tetapi jelas sama makna atau maksudnya) sehingga garis besar dan perincian makna hadits itu tetap sama.[2]

Jumlah hadits-hadits yang termasuk mutawatir lafdzi sangat sedikit. Diantara contoh yang diberikan jumhur ulama adalah: Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ                    

“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”[3]

Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.[4]

2)                 Hadits Mutawatir Ma’nawi

Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang berlainan bunyi lafazh dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.

“Hadits yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz.”[5] Jadi hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadits tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.

Jumlah hadits yang termasuk hadits mutawatir maknawi jauh lebih banyak dari hadits-hadits mutawatir lafdzi. Diantara contoh hadits mutawatir maknawi adalah “Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istisqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Hadits yang semakna dengan hadits tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadits-hadits yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi : “Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”

وَعَنْ أَنَسٍ { أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ الْمَسْجِدَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَخْطُبُ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ الْأَمْوَالُ وَانْقَطَعَتْ السُّبُلُ فَادْعُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُغِيثُنَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ : اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا } فَذَكَرَ الْحَدِيثَ .وَفِيهِ الدُّعَاءُ بِإِمْسَاكِهَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari Anas RA berkata: Bahwasanya seorang laki-laki telah masuk masjid di hari Jum’at sedangkan Nabi Muhammad SAW sedang berkhutbah. Ia berkata: “Hai Rasulullah, harta-harta telah binasa dan jalan-jalan telah terputus karenanya berdo’alah kepada Allah agar memberi hujan kepada kita”. Lantas Rasulullah SAW mengangkat dua tangannya, kemudian berdo’a: “Allahumma aghitsna. Allahumma aghitsna (Ya Allah berilah kami hujan, ya Allah berilah kami hujan)”. Dan ia menyebutkan hadits itu seterusnya dan diakhirnya ada do’a supaya Tuhan menahan mega”. (Mutafaqun ‘Alaih)[6]

Ketiga hadits diatas kendati berbeda redaksi dan perincian maknanya, jelas mengandung pengertian yang sama, yaitu Rasulullah mengangkat kedua tangannya pada waktu berdo’a memohon hujan.

3)          Hadits Mutawatir ‘Amali

Adalah hadits mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah SAW yang disaksikan dan ditiru oleh banyak orang tanpa perbedaan untuk kemudian dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh banyak orang dan tanpa perbedaan pada generasi-generasi berikutnya.

Segala macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau disepakati oleh para ulama termasuk kelompok hadits mutawatir ‘amali. Diantara contohnya adalah hadits-hadits yang berkenaan dengan waktu shalat fardlu, jumlah rakaatnya, shalat jenazah, shalat ‘ied dan kadar zakat harta.

Kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber hukum atau sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Karena itu menolak hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama dengan menolak kedudukan nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Dan kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dibanding dengan hadits ahad.[7]

2. Hadits Ahad

a. Pengertian Hadits Ahad

            Menurut bahasa, ahad (dibaca aahaad) adalah kata jamak dari waahid atau ahad. Bila ahad atau waahid berarti satu maka aahaad sebagai jamaknya berarti satu-satu.

Menurut Istilah hadits ahad adalah Hadits (khabar) yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah perawinya hadits mutawatir, baik perawinya itu seorang, dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir. Ada juga yang memberikan ta’rif yaitu hadits yang padanya tidak terkumpul syarat-syarat mutawatir.

b. Pembagian Hadits Ahad

1) Hadits Masyhur         

Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah popular. Sedangkan menurut istilah Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih dan belum mencapai derajat hadits mutawatir.

Contoh hadits masyhur: Rasulullah SAW bersabda:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

                  “Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin tidak terganggu oleh lidah dan tangannya.” (HR. Bukhari, Muslim dan at-Turmudzi)[8]

Hadits tersebut diatas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat nabi) sampai ketingkat imam-imam yang membukukan hadits (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim dan at-Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan. Bila suatu hadits pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh tiga orang rawi kemudian pada tingkatan-tingkatan selanjutnya diriwayatkan oleh lebih dari tiga rawi maka hadits tersebut tetap dipandang sebagai hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi dan karenanya dimasukkan ke dalam kelompok hadits masyhur.

2) Hadits Aziz

Aziz menurut bahasa adalah mulia atau yang kuat dan juga dapat berarti yang jarang. Sedangkan menurut istilah ahli hadits menyebutkan Hadits Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi.

Berdasarkan pengertian diatas dapat dipahami bahwa bila suatu hadits pada tingkatan pertama diriwayatkan dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, maka hadits itu tetap saja dipandang sebgai hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi dan karena itu termasuk hadits aziz.

Contoh hadits ‘Aziz:

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ح وَحَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ » .

“Tidak sesungguhnya beriman salah seorang dari kamu, sehingga adalah aku (Nabi) lebih cinta kepadanya daripada ia (mencintai) bapaknya dan anaknya.”[9]       

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dengan sanad-sanad yang tidak sama dari jalan Anas dan Abi Hurairah. Ini berarti hadits tersebut mempunyai dua sanad. Karena kedua-duanya berlainan maka dinamakan hadits Aziz

Penamaan hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi sebagai hadits Aziz (yang secara harfiah berarti hadits yang kuat atau mulia), boleh jadi didasarkan pada anggapan pokok bahwa hadits yang diriwayatkan oleh dua orang adalah kuat, dibanding dengan hadits yang diriwayatkan oleh hanya satu orang rawi.

3)Hadits Gharib

Gharib menurut bahasa berarti jauh, terpisah atau menyendiri dari yang lain. Hadits gharib menurut bahasa berarti hadits yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. Para ulama memberi pengertian hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan manapun dalam sanad.

Berdasarkan pengertian tersebut maka bila suatu hadits hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak orang perawi, hadits tersebut tetap dipandang sebagai hadits Gharib.

Contoh hadits Gharib:

Dari Umar bin Khattab, beliau berkata aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

قال أبو بكر : خبر عمر بن الخطاب : عن النبي صلى الله عليه و سلم إنما الأعمال بالنية و إنما لكل امرئ ما نوى.

“Amal perbuatan itu hanya (dinilai) menurut niat dan setiap orang hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya.”(HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain).[10]

Kendati hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak imam hadits tetapi pada tingkatan sahabat hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khattab RA. Dan begitupula pada tingkatan selanjutnya yaitu tabi’in hanya Alqomah. Maka hadits tersebut dipandang sebagai hadits yang diriwayatkan oleh satu orang dan termasuk hadits gharib.

Bila hadits mutawatir dapat dipastikan dari Rasulullah SAW, maka tidak demikian dengan hadits ahad. Hadits ahad tidak pasti dari Rasulullah SAW tetapi diduga (dzanni) berasal dari beliau. Karena hadits ahad tersebut tidak pasti (ghairu qath’i), tetapi diduga berasal dari Rasulullah maka kedudukan hadits ahad sebagai sumber hukum ajaran agama Islam berada dibawah hadits mutawatir. Ini berarti bila suatu hadits yang termasuk hadits ahad bertentangan isinya dengan hadits mutawatir maka hadits tersebut harus ditolak.[11]

B.       Pembagian Hadits dari segi kualitas

Hadits ditinjau dari segi kualitas perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits shahih, hadits hasan dan hadits dlaif.

1.    Hadits Shahih

Hadits Shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, dinukilkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, tidak cacat dan tidak tercela.

“Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.”[12]

Syarat-syarat hadits Shahih:

a.      Rawinya bersifat adil

Seorang perawi dikatakan adil apabila memenuhi 4 syarat:

1)        Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat

2)        Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun

3)        Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman kepada qadar dan mengakibatkan penyesalan.

4)        Tidak mengikuti salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.

b.      Sempurna/kuat ingatan (dhabit)

Dhabit adalah orang yang kuat ingatannya, artinya bahwa ingatannya lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya.

Jika seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak dari menerima sampai dengan menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki, disebut oaring dhabithush-shadri. Kemudian, jika apa yang disampaikan itu berdasar pada buku catatannya maka disebut orang yang dhabitul-kitab.

Para muhadditsin mensyaratkan dalam mengambil suatu hadits, hendaklah diambil dari hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit. Rawi yang mempunyai dua sifat tersebut disebut Tsiqah.

c.       Sanadnya tidak putus/bersambung

Sanad yang bersambung-sambung adalah sanad yang selamat dari keguguran. Dengan kata lain tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya.

d.      Hadits itu tidak ber’illat

Illat hadits ialah suatu penyakit yang samar-samar, yang dapat menodai keshahihan suatu hadits. Misal terdapat sisipan pada matan Hadits.

e.       Tiada janggal

Kejanggalan suatu hadits terletak pada adanya pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajah (kuat) daripadanya. Atau janggal karena berlawanan matannya dengan Al-Qur’an.[13]

Pembagian hadits shahih

                 Hadits shahih ini diklasifikasikan dalam 2 bagian:

a.      Hadits Shahih li-Dzatihi

Yang dimaksud dengan hadits Shahih li-dzatihi, ialah hadits shahih dengan sendirinya. Artinya, ialah hadits shahih yang memiliki lima syarat atau kriteria, sebagaimana disebutkan pada persyaratan diatas. Penyebutan hadits shahih li-dzatih dalam pemakaiannya sehari-hari, pada dasarnya cukup dengan memakai sebutan hadits shahih, tanpa harus ada tambahan li-dzatih.

b.      Hadits Shahih li-Ghairihi

Yaitu hadits yang keshahihannya dibantu oleh adanya keterangan lain. Hadits ini pada mulanya, memiliki kelemahan pada aspek kedhabitan perawinya. Diantara perawinya ada yang kurang sempurna kedhabitannya, sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadits shahih. Pada awalnya hanya sampai derajat atau kategori hadits hasan li-dzatih.

Dengan ditemukannya keterangan lain, baik berupa syahid maupun mutabi’ (matan atau sanad lain) yang bisa menguatkan keterangan atau kandungan matannya, ahdits ini derajatnya naik setingkat lebih tinggi menjadi shahih li-ghairih.[14]

2.    Hadits hasan

Kata hasan berasal dari kata hasuna, yahsunu yang menurut bahasa berarti:

“Sesuatu yang diinginkan dan menjadi kecenderungan jiwa atau nafsu.”

Secara bahasa dapat dikatakan hadits hasan berarti hadits yang baik, atau yang sesuai dengan keinginan jiwa.

كل حديث يروى لا يكون في إسناده من يهتم بالكذب، ولا يكون حديثاً شاذاً، ويروى من غير وجه نحو ذلك.

Menurut at-Turmudzi hadits hasan adalah “Tiap-tiap hadits yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta. (pada matannya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan hadits tersebut diriwayatkan pula melalui jalan lain.”[15]

Menurut definisi At-Turmudzi di atas menunjukkan bahwa ia tidak secara tegas menyebutkan terjadinya persambungan sanad, atau keadilan dan kedhabithannya. Dengan ini dapat melahirkan pengertian bahwa hadits tersebut bisa jadi tidak memiliki kedhabithan yang sempurna, sebagaimana yang disyaratkan pada hadits shahih. Akan tetapi selanjutnya disebutkan adanya sanad atau rawi lain yang meriwayatkan hadits ini. Kelemahan yang dimiliki sanad tersebut dapat dibantu oleh adanya sanad lain yang juga meriwayatkan hadits yang sama. Oleh karena itu ia menyebutnya hadits hasan.

Ibnu Hajar al-Asqalani memberikan definisi yang berbeda,

“Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat dan tidak syadz.”[16]

Berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh at-Turmudzi, al-Asqalani tidak memperlihatkan adanya kelemahan dalam sanad-sanadnya, kecuali pada kekurangsempurnaan hafalannya. Dilihat dari sudut ini, definisi al-Asqalani terlihat lebih ketat atau lebih tinggi dalam memberikan batasan tentang hadits hasan. Hanya saja, ia tidak mengemukakan tambahan definisi tentang adanya sanad lain terhadap hadits yang diriwayatkannya. Ini artinya, untuk memasukkan hadits menjadi hadits hasan tidak mengharuskan adanya syahid atau mutabi’.

Pembagian hadits hasan

a.    Hasan Li-dzatih

Yang dimaksud hadits hasan li-dzatih ialah hadits hasan dengan sendirinya. Menurut Ibn ash-Shalah, pada hadits hasan li-dzatih para perawinya terkenal kebaikannya, akan tetapi daya ingatan atau kekuatan hafalan mereka belum sampai derajat hafalan para perawi yang shahih. Hadits hasan li-dzatih ini bisa naik kualitasnya menjadi shahih li-ghairih, apabila ditemukan adanya hadits lain yang menguatkan kandungan matannya atau adanya sanad lain yang juga meriwayatkan hadits yang sama (mutabi’ atau syahid).

b.    Hasan li-ghairih

Yaitu hadits hasan bukan dengan sendirinya, artinya hadits yang menduduki kualitas hasan karena dibantu oleh keterangan lain, baik karena adanya syahid atau mutabi’. Dengan pengertian ini jelas, bahwa hadits hasan li-ghairih kualitas awalnya dibawah hadits hasan, yakni hadits dhaif.

Menurut Ibn ash-shalah, bahwa hadits hasan li-ghairih ialah hadits yang dalam sandaran atau sanadnya ada seseorang yang mastur (tak nyata keahliannya, yang belum diketahui), bukan pelupa yang banyak kesalahannya, tidak terlihat adanya sebab-sebab yang menjadikannya fasiq dan matan haditsnya diketahui baik berdasarkan hadits lain yang semakna.[17]

Adapun kedudukan hadits shahih dan Hasan dalam berhujjah adalah sebagai berikut:

Menurut kesepakatan ulama ahli ilmu dan fuqaha, sepakat bahwa hadits shahih dan hasan dapat dijadikan hujjah. Meskipun ada ulama-ulama lain yang mensyaratkan bahwa hadits hasan dapat digunakan hujjah apabila memenuhi sifat-sifat yang diterima. Hadits secara umum telah memiliki sifat-sifat yang diterima, walaupun rawinya kurang dhabith, tetapi masih terkenal sebagai orang yang jujur dan bersih dari melakukan dosa.

Hadits yang mempunyai sifat-sifat yang diterima sebagai hujjah, disebut hadits maqbul dan hadits yang tidak mempunyai sifat-sifat yang diterimma disebut hadits mardud. Yang termasuk hadits maqbul adalah hadits shahih (baik shahih li-dzatih maupun li-ghairih) dan hadits hasan (baik hasan li-dzatih maupun hasan li-ghairih).[18]

3.    Hadits dlaif

Menurut bahasa dlaif  berarti yang lemah, sebagai lawan kata dari qawi yang kuat. Sebagai lawan kata dari shahih, kata dha’if juga berarti saqim (yang sakit). Maka hadits dha’if secara bahasa berarti Hadits yang lemah, yang sakit atau yang tidak kuat.

Secara istilah menurut Ibnu Katsir definisinya sebagai berikut:

وهو ما لم يجتمع فيه صفات الصحيح، ولا صفات الحسن.

“Hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan hasan.”

Menurut Nur ad-Din ‘Atar, bahwa definisinya adalah:

“Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat Hadits Maqbul.”[19]

Lebih tegas lagi dikatakan hadits dhaif karena:

a.       Rendahnya kredibilitas dan kapasitas rawi, yang disebabkan:

1)   Faktor rawi yang nyata-nyata berbohong (maudhu’), tertuduh dusta (matruk), berlaku fasik, banyak lengah dan salah dalam periwayatannya (mu’allal), terindikasi menyalahi riwayat yang lebih tsiqoh (mudroj, maqlub, mudharib), tidak jelas identitasnya (mubham), berlaku bid’ah (mardud), lemah daya intelektualnya.

2)   Faktor sanad yang terputus pada mata rantainya, baik keterputusannya itu pada sanad pertama (mu’allaq), terakhir (mursal), satu sanad (munqathi’)  atau pada dua sanad berturut-turut (mu’dlal).

b.      Faktor matan yang tidak identik dengan nabi, seperti bersumber dari sahabat (mauquf), atau bersumber dari tabi’in (maqthu’).

Para ulama sepakat menolak atau melarang meriwayatkan hadits dhaif yang maudhu’. Adapun kalau hadits dhaif itu bukan maudhu’, mereka berselisih pendapat:

1)   Melarang secara mutlak, meriwayatkan segala macam hadits dhaif. Baik untuk mendapatkan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama.

2)   Membolehkan, kendatipun dengan melepas sanadnya dan tanpa menerangkan kelemahannya untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ dan bukan untuk menetapkan aqidah (keimanan).[20]

[1] Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits, (Al-Ikhlas : Surabaya, 1981), 16.

[2] Tim Al-Fath, Lembar Kerja Siswa Al-Fath Al-Qur’an Hadits, (Gresik: CV. Putra Kembar Jaya, 2008), 42.

[3] Imam Muslim, Shahih Muslim Juz 1, (Beirut: Dar al Kutb, 1997), 7.

[4] Drs. Moh. Anwar Bc. Hk, Ilmu Musthalah Hadits, 19.

[6] Ibnu Hajar Asqalany, Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung: Al-Ma’arif, 1995), 189.

[7] Tim Al-Fath, Lembar Kerja Siswa Al-Fath Al-Qur’an Hadits, 43.

[8] Imam Muslim, Shahih Muslim Juz 1, 48.

[9] Maktabah Syamilah, Shahih Bukhari Juz I, 32.

[10] Maktabah Syamilah, Shahih Ibnu Khuzaimah Juz 7, 202.

[11] Tim Al-Fath, Lembar Kerja Siswa Al-Fath Al-Qur’an Hadits, 46.

[12] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), 164.

[13] Tim Al-Fath, Lembar Kerja Siswa Al-Fath Al-Qur’an Hadits, 48.

[14] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, 166.

[18] Tim Al-Fath, Lembar Kerja Siswa Al-Fath Al-Qur’an Hadits, 50.

[19] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, 177.

[20] Tim Al-Fath, Lembar Kerja Siswa Al-Fath Al-Qur’an Hadits, 51.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA