Hukum puasa bagi perempuan yang keluar darah haid dan nifas adalah

Dalam Islam terdapat batasan-batasan ibadah untuk perempuan dewasa (baligh). Indikator baligh bagi perempuan adalah mengeluarkan darah menstruasi atau haid. Sejak haid pertama, perempuan dianggap mukalaf dan hukum Islam berlaku kepadanya. Salah satu ketentuan yang berlaku adalah periode haid dianggap dalam keadaan berhadas sehingga ia dilarang melakukan ibadah-ibadah tertentu seperti salat dan puasa.

Menurut Wahbah Zuhaili, bahasan soal ini telah menjadi konsensus ulama (ijma’), di mana wanita haid dan nifas tidak sah puasanya. Bukan saja tidak sah, tetapi juga haram dilaksanakan. Dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan bahwa perempuan yang sedang haid maka wajib mengganti puasa di luar bulan Ramadan. Karenanya, pengecualian perempuan haid dari kewajiban puasa bukan opsional melainkan obligasional.

Namun beberapa waktu belakangan muncul wacana perempuan haid boleh menjalankan ibadah puasa. Alasannya tidak ada larangan syariat yang secara zahir melarang puasa bagi perempuan haid. Sependek pembacaan, pendapat ini bukan saja tidak masyhur, tapi memang tidak pernah ada yang berpendapat seperti ini sebelumnya. Sehingga kesan yang kita dapatkan bukan argumentasi syari, melainkan opini yang memaksa.

Perempuan Haid dalam Pandangan Islam

Dalam tradisi Yahudi, perempuan haid dianggap sebagai perempuan kotor yang bisa mendatangkan bencana. Sehingga mereka harus diangsing dari masyarakat, diisolasi ke tempat karantina, dan tidak diajak makan bersama. Bagi orang Yahudi, adanya bawaan biologis alamiah dalam diri perempuan seperti haid ini dianggap memiliki hubungan kausalitas dengan alam makrokosmos. Padahal secara fisiologis, haid menandakan telah terbuangnya sel telur yang sudah matang. Tidak ada hubungannya dengan kesialan hidup seseorang.

Pandangan Yahudi di atas menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adhim menjadi sebab turunnya QS. Al Baqarah ayat 222 yang isinya agar menjauhi tempat keluarnya darah haid. Kemudian Nabi Saw menambahkan dengan bersabda, “berbuatlah apa saja kecuali berhubungan seks.” Perempuan haid tetap bisa berkumpul, makan bersama keluarga, tidur satu selimut bersama suaminya. Karenanya, dalam Islam yang dianggap kotor adalah darahnya, dan bukan si perempuan itu sendiri. Hal tersebut sejalan dengan kaedah umum kedokteran yang menempatkan darah haid sebagai zat kotor yang harus dibuang.

Ulama-ulama fikih juga memberikan perhatian luarbiasa tentang persoalan haid ini. Di antara kitab yang mampu menghasilkan satu jilid besar tentang masalah haid (bersama dengan nifas dan istihadhah) adalah Imam Haramain dan Abu al-Faraj ad-Darimi. Secara umum dapat dikatakan bahwa paradigma dasar fikih tentang perempuan haid tidak memposisikan mereka sebagai kelompok manusia yang perlu diisolasi dari masyarakat. Fikih memandang status mereka sama dengan orang yang sedang mengalami hadas.

Dalam fikih, haid dipandang sebagai hadas besar sehingga menuntut seseorang untuk mandi wajib sebelum melakukan ibadah tertentu. Sedangkan orang yang telah buang air kecil tergolong hadas kecil sehingga hanya dengan wudhu untuk membuatnya suci kembali. Apabila dalam kondisi darurat air maka diperbolehkan menggunakan debu untuk tayamum. Dalam Islam, hadas merupakan sesuatu kondisi alamiah, temporer, dan aksidental yang dialami oleh setiap manusia. Hadas sama sekali bukan hal yang dipandang negatif, termasuk dengan haid.

Larangan Puasa Bagi Perempuan Haid

Dalam QS. Al Baqarah ayat 184-185 disebutkan orang-orang diperkenankan tidak menjalani ibadah puasa yaitu orang sakit (marid) atau dalam perjalanan (musafir) dan wajib menggantinya di hari yang lain, sedangkan orang-orang yang wajib membayar fidyah (memberi makan fakir miskin) diperuntukkan bagi mereka yang dalam kondisi sangat berat (yutiqunahu), misalnya, lanjut usia, wanita hamil atau menyusui.

Dalam QS Al Baqarah 184-185 memang tidak disebutkan secara eksplisit larangan puasa bagi perempuan haid. Namun pembacaan terhadap suatu dalil harus dengan cara istiqra’ ma’nawi (integralistik). Dalam kitab Sahih Muslim dan Bukhari terdapat sebuah hadis yang isinya dialog antara Rasulullah Saw dengan seorang perempuan yang bertanya, “Ya Rasulullah, apa maksudnya wanita kurang agamanya?” Kemudian Rasul menjawab, “Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa?”

Respon Rasulullah kepada perempuan di atas merupakan kalimat tanya yang tidak membutuhkan jawaban. Jenis kalimat ini biasanya disebut dengan kalimat retoris, sehingga sekalipun bersifat tanya namun maksudnya pernyataan yang mengandung penegasan. Karenanya, sepenggal hadis tersebut sejatinya telah menunjukkan bahwa perempuan haid tidak diperkenankan puasa dan wajib qadha’ di luar bulan Ramadan.

Ada pun maksud perempuan kurang agamanya karena mereka diperbolehkan meninggalkan puasa dan salat saat sedang haid. Namun kekurangan ini tidak lantas membuat mereka berdosa dan tercela, karena memang aturan ini murni datang dari agama. Justru apabila memaksa melaksanakan salat dan menunaikan puasa padahal dalam keadaan haid, maka akan mendapat dosa lantaran tidak taat dengan aturan Allah Swt. Islam tidak mengajarkan ketaatan yang keras kepala dan berlebih-lebihan.

Selain hadis di atas, ada pula hadis maukuf yang datang dari Aisyah Ra menyatakan bahwa “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk qadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk qadha’ salat’.” Hadis maukuf ini dapat ditemui dalam Sahih Muslim dan Sunan Abu Dawud.

Pertanyaan yang mungkin bisa diajukan adalah apakah hadis maukuf dapat dijadikan hujjah? Dalam kaidah hadis disebutkan bahwa hadis maukuf murni (ucapan sahabat yang tidak memiliki hubungannya dengan ketetapan Rasulullah), maka tidak dapat dijadikan hujjah. Misalnya salat tarawih 23 rakaat yang dikerjakan Sahabat Nabi, maka tidak dapat dijadikan hujjah. Syarat hadis maukuf dapat dijadikan hujjah apabila termasuk ke dalam kategori marfu‘. Dengan kata lain, apabila hadis maukuf tersebut terdapat karinah-karinah yang dapat dipahami kemarfu‘annya kepada Rasulullah saw, maka boleh berhujjah dengan hadis tersebut.

Contohnya pernyataan Aisyah di atas merupakan hadis maukuf atau qaul sahabat, namun dapat dijadikan hujjah sebab terdapat karinah yang ditunjukkan dari kata pasif “diperintahkan”. Meskipun frasa ‘diperintahkan’ tidak langsung menyebut Rasulullah, namun kita semua paham bahwa maksud ‘Aisyah adalah perintah Rasulullah Saw. Karenanya, sejak zaman kenabian hingga sahabat, perempuan haid tidak diperkenankan puasa dan diwajibkan menggantinya di luar bulan Ramadan.

Dengan demikian, hukum dalam Islam ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi perempuan. Artinya, sejak kedatangan Nabi Saw, Islam telah melakukan koreksi besar-besaran terhadap situasi haid yang awalnya menghina perempuan menjadi memanusiakan perempuan. Diperbolehkannya tidak menjalankan puasa saat haid merupakan bentuk rahmat dari Allah kepada manusia (QS. Al Anbiya: 107) dan berusaha tidak mempersulit orang beriman (QS. Al Hajj: 78). (Ilham Ibrahim)

Editor: Fauzan AS

OLEH IMAS DAMAYANTI

Bagi Muslimah yang haid, haram hukumnya menjalankan puasa, terlebih puasa Ramadhan. Namun bagaimana menentukan sikap apabila darah haid hanya tinggal bercaknya saja atau flek, wajibkah menjalankan puasa?

Pada dasarnya, penentuan batas haid sendiri memiliki batasan waktu yang berbeda-beda menurut pandangan ulama mazhab. Batasan waktu tersebut menjadi penting untuk diketahui sebab itulah salah satu faktor pengacu bagi seorang Muslimah dalam menentukan dia haid atau tidak sekalipun ia mengeluarkan darah.

Sebab, darah yang keluar dari vagina tidak selalu disebut darah haid. Bisa jadi dia disebut darah istihadhah dan juga darah nifas. Maka, mengidentifikasi darah yang keluar dari vagina perempuan sangatlah penting, termasuk identifikasi dengan melihat ciri darah yang keluar.

Syekh Muhammad Al-Ghazi dalam kitab Fathul Qorib menjelaskan, darah yang tersisa setetes atau pun hanya meninggalkan bercaknya saja tetap dikategorikan haid selama masa atau waktu haid tak melebihi batasan normal. Artinya jika masih dikategorikan sebagai darah haid, maka tidak diwajibkan bagi Muslimah tersebut untuk menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

Jika masih dikategorikan sebagai darah haid, maka tidak diwajibkan bagi Muslimah tersebut untuk menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

Imam Nawawi juga berpendapat bahwa Muslimah yang masih mengeluarkan darah haid, betapapun ciri darahnya sedikit atau bercaknya saja, asalkan tidak melebihi atau kurang dari batasan masa haid sebagaimana yang dianut mazhab Syafii, hal itu tergolong haid. Maka karena statusnya haid, tidaklah wajib bagi Muslimah yang bersangkutan untuk melaksanakan puasa Ramadhan.

Disebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah. Sejumlah wanita kala itu mendatangi Sayyidah Aisyah untuk menanyakan status haid mereka yang hanya tinggal bercaknya saja.

Sayyidah Aisyah berkata: “Janganlah terburu-buru (menganggap) suci (haid) hingga engkau melihat cairan putih (keputihan/bukan bercak kuning darah),”.

Dijelaskan bahwa para ulama menyimpulkan, jika cairan bercak darah itu keluar pada masa haid atau bersambung dengan haid, maka ia dihukumi sebagai haid. Namun jika keluar di luar masa itu, maka hal tersebut bukanlah haid. Namun demikian, perlu diperhatikan juga perihal kebiasaan haid dari masing-masing Muslimahnya.

Para Muslimah memiliki ciri-ciri berbeda dalam menentukan ciri suci haidnya.

Sebab, para Muslimah memiliki ciri-ciri berbeda dalam menentukan ciri suci haidnya. Ada Muslimah yang suci haidnya itu dengan mengeluarkan cairan putih (keputihan) yang menandakan bahwa darah haidnya benar-benar bersih, habis. Namun demikian, ada pula Muslimah yang memiliki kebiasaan haid yang berbeda.

Yaitu dengan adanya tanda kering (jufuf) yang tidak bercampur dengan cairan berwarna kuning ataupun bercak darah haid. Artinya jika benar-benar kering, ia berarti sudah mendapati waktu suci, sehingga wajib baginya untuk menjalankan puasa Ramadhan yang dimulai pada waktu imsak.

Tips menentukan masa suci

Untuk mengetahui masa suci haid yang tepat, ada baiknya seorang Muslimah menghitung hari hingga jam masa haidnya. Sebab masa haid tak hanya digolongkan dari jumlah harinya saja, namun juga dari jumlah jam serta perhitungan tersendat-sendatnya darah haid keluar yang patut diantisipasi.

Untuk itu, mencatat masa haid menjadi penting untuk dapat memperhitungkan masa suci yang tepat. Mencatat masa haid juga bisa menjadi ajang untuk mengidentifikasi jenis darah yang keluar dari vaginanya.

Selain mencatat, perlu juga ditelisik mengenai ciri-ciri darah menjelang haid yang menjadi kebiasaan seorang Muslimah dengan menggunakan kapas. Ciri-ciri tersebut biasanya berbeda antara satu dengan Muslimah lainnya, maka menyimak dan memperhatikan ciri darah menjelang akhir-akhir masa haid menjadi hal krusial juga untuk menentukan waktu bersuci. Baca Selengkapnya';