Hubungan semangat kebangkitan Nasional tahun 1908 dengan globalisasi di era digital

Jakarta -

Ketika sejumlah pemuda mendirikan Budi Utomo di tahun 1908, apa sebenarnya yang mereka pikirkan? Mereka sebenarnya boleh dibilang kaum elit pada masa itu. Mereka adalah pelajar di Sekolah Kedokteran Sovia. Sangat sedikit penduduk negeri ini yang bisa bersekolah di masa itu. Anak-anak muda yang tercerahkan ini menyadari satu hal, yaitu mereka harus berkontribusi untuk bangsa mereka sendiri. Pada masa itu agenda terpenting adalah membangun kesadaran sebagai bangsa. Kita selama berabad-abad terbiasa dengan identitas sebagai warga kerajaan-kerajaan Nusantara. Orang Sumatera tidak terlalu merasakan ikatan dengan orang Jawa. Demikian pula, orang Jawa tak merasa satu kelompok dengan orang Sulawesi. Suka atau tidak ada fakta penting yang dibuat oleh kolonialisme, yaitu VOC "menyatukan" wilayah-wilayah Nusantara ke dalam suatu kendali administrasi. Fakta ini memberi kita identitas baru, yaitu sesama orang Nusantara, yang berada di bawah kendali orang Eropa.Orang-orang yang tadinya berinteraksi dengan identitas yang berbeda, kini merasakan adanya kesamaan. Kesamaan itu bisa menjadi kekuatan, untuk dipakai dalam mencapai sebuah tujuan. Tujuan saat itu adalah membebaskan diri dari penjajahan VOC. Kekuatan itu harus diperbesar, dengan memperluas kesadaran soal identitas tadi. Maka mereka berpikir untuk mencari cara memperluas kesadaran itu, lalu mereka mendirikan Budi Utomo.Tantangan seperti ini sebenarnya ada sepanjang zaman. Pada abad XII, lebih dari seabad setelah itu, kita masih harus memperbarui kesadaran soal identitas kita. Secara formal kita sudah berada di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tapi faktanya, ada saja orang dari daerah tertentu yang ingin memisahkan diri. Ada pula yang menginginkan negara dalam bentuk lain, berbasis pada agama yang mereka anut. Kebutuhan untuk menyatukan kesadaran bahwa kita satu bangsa, terdiri dari berbagai suku dan agama, memilih untuk berbagi ruang hidup di bawah naungan NKRI selalu relevan dan penting.Tentu saja kesadaran saja tak cukup. Kita punya identitas yang sama. Tapi yang lebih penting lagi, kita punya tujuan yang sama. Tujuan itu akan kita capai bersama, setiap orang, setiap komponen bangsa berkontribusi untuk mencapainya. Kita membentuk sebuah tim, setiap komponen menjalankan peran yang berbeda. Kita bersama menuju ke suatu titik.Saat ini apa titik tujuan kita? Jelas sekali bahwa kita harus membebaskan bangsa ini dari ancaman Covid-19. Ini bukan sekadar ancaman penyakit. Ini adalah ancaman terhadap keselamatan kita sebagai individu, juga ancaman terhadap keselamatan kita sebagai bangsa. Yang sudah segera terlihat, selain kerugian medis, adalah kerugian ekonomi. Efek ekonomi ini tidak hanya harus kita tanggung selama wabah ini berlangsung, tapi beberapa tahun setelahnya. Efek ekonomi ini bisa saja merambat ke hal lain seperti politik, dan pertahanan.Seperti pada tahun 1908, kita harus berdiri tegak bersama mengatasi masalah ini. Perjuangan ini tak bisa dilakukan hanya dengan sebagian orang saja yang terlibat. Bila ada sebagian kecil saja orang tak mau terlibat, maka perjuangan sebagian besar orang bisa menjadi sia-sia. Bersatu dan bersama adalah hal yang sangat penting saat ini. Kebutuhan kita untuk bersatu bahkan jauh lebih besar dibanding pada tahun 1908.Sayangnya seperti yang kita saksikan, ada saja orang yang mengabaikan kebersamaan itu. Ada saja orang yang ingin dikecualikan. Orang-orang ini hanya berpikir pendek, sekadar ingin memenuhi kebutuhan jangka pendek mereka. Padahal tindakan mereka itu dapat mengancam keselamatan bersama.Jangankan pada rakyat, bahkan pada level kepemimpinan nasional pun hal itu terjadi. Para pejabat negara, baik di pusat maupun daerah bekerja sendiri-sendiri. Bahkan mereka saling cela. Alih-alih bekerja bersama, mereka seakan sedang bersaing. Ada yang mencoba memamerkan diri sebagai orang yang paling pandai bekerja. Ingatlah bahwa satu perselisihan kecil saja akan melemahkan kita. Apalagi bila terjadi perselisihan besar. Para pemimpin, fokuslah bekerja untuk rakyat, selesaikan masalah rakyat.Setelah semua ini berlalu, tantangan yang jauh lebih besar menanti kita. Apa peran ekonomi kita di tengah ekonomi global pasca pandemi Covid19 ini? Situasi ini telah mengubah cara pandang penduduk dunia, termasuk para pengambil kebijakan negara, juga para pelaku bisnis. Peran kita sejauh ini, dalam hal industrialisasi, adalah menjadi tuan rumah bagi investasi multinational corporation. Sebagai tuan rumah kita mendapat sedikit imbalan berupa lapangan kerja, pajak, dan sebagainya.Bagaimana posisi kita setelah ini? Hal terpenting untuk kita sadari adalah bahwa kita sebenarnya sangat tidak mandiri. Kita menyediakan diri untuk jadi pelaksana agenda bisnis negara lain. Kita tak membuat produk untuk kita jual sendiri. Bahkan produk-produk yang kita butuhkan pun dibuatkan orang lain.Pasca pandemi ini boleh jadi situasi akan berubah. Tidak tertutup kemungkinan kita tak lagi menarik sebagai tuan rumah bagi investasi global. Tapi bisa juga sebaliknya, posisi kita jadi lebih menarik. Apapun situasinya, kebutuhan kita untuk lebih mandiri tidak berubah. Apa yang akan kita dapatkan sangat tergantung pada apa yang kita usahakan. Nah, apa yang akan kita usahakan pasca pandemi ini? Itu nanti akan kita putuskan bersama. Lalu akan kita ikhtiarkan bersama. Itulah yang dilakukan oleh anak-anak muda di Stovia. Mereka berpikir, bersatu merumuskan gagasan, lalu bergerak bersama. Saat ini, ikhtiar mendesak kita adalah melawan Covid-19. Ayo, berikhtiar bersama sebagai sesama warga negara Indonesia!

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

(mmu/mmu)

Ditulis oleh : Sabda M Holil, Mahasiswa Sosiologi Agama UIN SUKA Jogja

TRIBUNNERS - Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap 20 Mei 1908 menjadi momentum berserjarah titik balik perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.

Sejak saat itu, para pemuda berkomitmen bersatu untuk melakukan pergerakan dan perlawanan, melalui perserikat perseriktan, kaum pelajar-pelajar  punya kesadaran nasionalisme semangat persatuan dan keinginan kuat untuk merdeka.

Atas dasar kesama nasib, saat itu dengan keyakinannya menyatakan bahwa hanya kaum terpelajarlah yang dapat membawa bangsa ini keluar dari kungkungan penjajahan dan penghisapan kolonial.

Kaum terpelajar sebagai kelompok yang tercerahkan, diyakini mampu melihat setiap bentuk ketidakadilan yang dialami sesama bangsanya, dan selanjutnya dapat mengorganisir masyarakat dan bersama berjalan menuju kedaulatan.

Di era globalisasi tentunya tidak lepas dari interaksi terhadap negara adi daya, dan indonesia sebgai negara ketiga personalan ketimpangan sosial, dan kemiskinan, penggerusan sumber daya alam (SDA) dan konfik horizontal, dan kekerasan seksual, dan masuknya investasi asing yang besar besar, ini menjadi tantangan bagi bangsa kita khususnya bagi generasi pemuda.

Bangsa kita menghadapi ancaman yang sangat serius terorisme dan narkoba, ini akan berdampak serius dan merusak nilai nilai kebangsaan dan keindonesia kita, semangat gotong royong untk memerangin dan membertas bersama, rasa satu kesatuan dan persatuan untk NKRI semua elemen yang ada di republik ini.

Jati diri bangsa dan nilai nilai kebangsaan kita, harus di pertahakan dan harus menjadi karakter dan perilaku kita di tengah tengah arus globalisasi ini.

Meneguhkan kembali momentum kebangkitan nasional ini menjadi ajang refleksi terhadap pemuda dan gerakan mahasiswa, kesadaran nasional sangat tinggi, dan cita-cita persatuan.

Menjadi penting dengan maraknya ideologi transnasional yang anti-Pancasila, karna akan menggerogoti NKRI, penting kiranya bagi pemuda untk berwawasan nusantara untuk meneguhkan komitmen kebangsaan kita.

Cita-cita para mendahulu kita sampai mengantar negeri berdualat dan rasa aman, sejahtera, dan membangun ikatan kebersamaan yang luhur, senantiasa untk menjaga keutuhan dan persatuan, kesadaran bersama, gerakan kolektif penting untk meneguhkan kebanggaan dan keindonesiaan kita untk merawat NKRI dari ancaman gerakan gerakan sparatis.

Lihat Foto

KOMPAS.COM/Anggita Muslimah

Kota Bekasi peringati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) dan tabliq akbar menyambut bulan suci Ramadhan 1438 H di Stadion Patriot Candrabhaga Kota Bekasi, Rabu (24/5/2017).

KOMPAS.com - Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) merupakan salah satu hari penting dalam sejarah Indonesia. Harkitnas yang diperingati setiap tanggal 20 Mei ini menjadi pengingat akan tumbuhnya semangat bangsa Indonesia.

Pada tanggal 20 Mei tahun 1908, organisasi pemuda yang bernama Budi Oetomo lahir dan menjadi titik awal dari semakin bangkitnya rasa nasionalisme dan cinta akan Indonesia pada para pemuda Indonesia.

Dilansir dari Dinas Sosial Provinsi Riau, ada lima tahapan nasionalisme di Indonesia, yaitu masa perintis yang terjadi sebelum tahun 1908, tahun penegas yang terjadi pada tahun 1928, tahun pecoba yang terjadi pada tahun 1938, tahun pendobrak yang terjadi pada tahun 1945, dan tahun pelaksana yang terjadi sejak tahun 1945 hingga saat ini.

Untuk melaksanakan makna dari Harkitnas, berikut adalah hal-hal yang dapat kita lakukan:

  • Membangkitkan semangat dalam budaya toleransi

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak suku bangsa, agama, dan budaya yang menjadikan Indonesia kaya akan keragaman. Keragaman yang dimiliki oleh Indonesia hendaknya menjadi penguat bangsa Indonesia bukan malah sebaliknya.

Baca juga: Arti Penting Melaksanakan Sikap Toleransi

  • Membangkitkan semangat dalam beretika di sosial media

Berdasarkan survey dari Digital Civility Index yang dilakukan sepanjang tahun 2020, warganet Indonesia adalah warganet paling tidak sopan se-Asia Tenggara.

Banyaknya kasus sesama warganet Indonesia saling serang di sosial media juga mencederai nilai persatuan yang melatarbelakangi lahirnya Hari Kebangkitan Nasional.

  • Membangkitkan semangat dalam berkarya

Indonesia tidak pernah kekurangan orang hebat, hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya warga Indonesia yang memiliki prestasi di kancah Internasional dalam berbagai bidang.

  • Membangkitkan semangat membaca dan literasi

Menurut UNESCO, Indonesia berada di peringkat kedua dari bawah mengenai literasi dunia. Artinya minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Dilansir dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, minat baca warga Indonesia hanya sebesar 0,001 persen.

Artinya, dari 1.000 orang Indonesia hanya ada 1 orang yang rajin membaca. Selain hanya membaca, pemahaman literasi Indonesia juga masih sangat rendah. Pemahaman literasi yang dimaksud adalah memahami konteks suatu bacaan secara keseluruhan.

Baca juga: Peran Pancasila dalam Keberagaman Bangsa

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA