Dalam aqidah ahlussunnah waljama'ah sumber hukum islam yang digunakan adalah

Aswaja ialah Kelompok yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat, baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun aqidah dan tasawuf. Ajaran Aswaja ialah salah satu dari banyaknya aliran yang bermunculan pada tubuh Islam. Di antara semua aliran tersebut, sangkanya aswajalah yang memiliki banyak penganut, bahkan malah terbanyak di antara semua aliran. Sampai bisa disebutkan, Aswaja menggenggam peranan utama dalam kemajuan pemikiran ke Islaman. Oleh karenanya, kiranya tulisan ini dapat membantu kita untuk lebih mengenal lagi mengenai ajaran Aswaja. Dalam tulisan ini, kita akan mengulas tentang ajaran Aswaja dalam bidang aqidah dan ajaran Aswaja dalam bidang ibadah. Untuk lebih lengkapnya sebagai berikut.

SUMBER AJARAN ASWAJA

Pokok keyakinan yang memiliki keterkaitan dengan tauhid dan sebagainya menurut Aswaja haruslah didasari oleh dalil-dalil serta argumentasi yang pasti dari Al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Spesifikasi dari masing-masing sebagaimana berikut ini.

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukmi) tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan. Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.

2. As-Sunnah

As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Sahabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukmi tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau di pakai sebagai komplemen dari apa yang sudah dinyatakan dalam Al-Qur’an.

3. Ijma’

Menurut Imam Abu Hasan Ali bin Ali bin Muhammad Al-Amidi, Ijma’ ialah konsensus ahlulhalli wal'aqdi dan umat Muhammad SAW pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf dari umat Nabi Muhammad SAW pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam Q.S. an-Nisa’, 4: dan Q.S. al-Baqarah, 2: 143.

4. Qiyas

Qiyas menjadi sumber hukum Islam, adalah satu diantara hasil ijtihad para Ulama. Qiyas yakni menghadapkan suatu hal yang tidak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya lantaran ada kesamaan ‘illat hukum. Qiyas benar-benar disarankan untuk dipakai oleh Imam Syafi'i.

AJARAN ASWAJA DALAM BIDANG AQIDAH

‘Aqidah (العقيدة) menurut Bahasa Arab (Etimologi) berawal dari kata al-‘aqdu (العقد) yang bermakna ikatan, at-tautsiqu (التوثق) yang bermakna keyakinan atau kepercayaan yang kuat, al-ihkaamu (الإحكام) yang maknanya mengokohkan (menentukan), dan ar-rabthu biquwwah (الربط بقوة) yang bermakna mengikat dengan kuat.

Sedang menurut istilah (terminologi), ‘aqidah ialah iman yang kuat dan pasti, yang tidak ada kebimbangan sedikit pun untuk orang yang meyakini. Ahlulsunnah wal Jama'ah sendiri lebih mengutamakan jika:

  • Pilar pokok ke-imanan manusia ialah Tauhid, sebuah kepercayaan yang kuat dan murni yang ada pada hati tiap Muslim jika Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan alam semesta. Dia Esa, tidak terbilang serta tidak mempunyai sekutu.
  • Pilar yang ke dua ialah Nubuwwat, yakni dengan meyakini jika Allah sudah menurunkan wahyu ke para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Suatu wahyu yang dijadikan sebagai panduan dan referensi ummat manusia dalam menjalani kehidupan ke arah jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, dan jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus mempercayai dengan seutuhnya jika Muhammad SAW ialah utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Beliau ialah Rasul paling akhir, yang wajib diikuti oleh tiap manusia.
  • Pilar yang ke-3 ialah Al-Ma'ad, sebuah keyakinan jika nanti manusia bakal dibangkitkan dari kubur, di hari kiamat dan tiap manusia akan mendapatkan imbalan sesuai amal dan tindakannya (yaumul jaza'). Dan mereka akan dihitung (hisab) semua amal tindakan mereka sepanjang hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal jelek akan masuk neraka.

Dibidang aqidah atau tauhid dalam memurnikan iman kaum muslim supaya sesuai ajaran Rosul dan para sahabat, kita mesti mengikuti rumusan dari 2 Ulama Salaf yakni:

  1. Al-Asy'ari (Abu Hasan Ali Bin Isma'il Al-Asy'ari) terlahir di Basrah 260H/ 874M dan Meninggal dunia 324H/936M, Beliau masih dzuriah sahabat Rosul, Abu Musa Al-Asy'ari
  2. Al-Maturidi (Abu Mansur Muhammad Bin Muhammad Bin Mahmud Al- Maturidi) Terlahir di Maturid dan meninggal dunia di Samarkand 333H/944M.

1. Aqidah Asy'ariyah

Sikap tawasuth diperlihatkan oleh Asy'ariyah dengan prinsip al-kasb (usaha). Menurut Asy'ari, tindakan manusia dibuat oleh Allah, tetapi manusia mempunyai peran dalam tindakannya. Kasb mempunyai arti kebersamaan kekuasaan manusia dengan tindakan Tuhan. Kasb juga mempunyai arti keaktifan dan kalau manusia bertanggungjawab atas tindakannya.

Dengan prinsip kasb itu, aqidah Asy'ariyah membuat manusia selalu usaha secara inovatif dalam hidupnya, namun tidak melupakan bahwa Tuhan lah yang memastikan segalanya. Dalam kondisi kehidupan saat ini, aqidah Asy'ariyah paling memungkinkan dijadikan dasar dalam memajukan bangsa. Sikap tasamuh (toleransi) diperlihatkan oleh Asy'ariyah, diantaranya dalam prinsip kekuasaan Mutlak Tuhan. Tak ada yang dapat membatasi kehendak serta kekuasaan Tuhan. Walau dalam Al-Qur'an Allah berjanji bakal memasukkan orang baik ke surga dan orang yang jahat ke neraka, tetapi tak bermakna kekuasaan Allah terbatasi, semua ketentuan tetap ada di kekuasaan Allah SWT.

Asy'ariyah memiliki pendapat wahyu di atas akal, dia memiliki pendapat jika walau wahyu di atas akal, tetapi akal masih dibutuhkan dalam memahami wahyu. Bila akal tak sanggup memahami wahyu, karena itu akal mesti tunduk dan mengikuti wahyu. Karena kapabilitas akal terbatas, jadi tidak semuanya yang ada dalam wahyu bisa dimengerti oleh akal dan didesak sama dengan opini akal. Dengan begitu, bagi Asy'ariyah rasionalitas diterima. Kerja-kerja logis disegani sebagai penerjemah dan pengartian wahyu dalam rangka untuk memastikan beberapa langkah ke dalam penerapan segi kehidupan manusia.

Asy'ariyah memiliki pendapat jika Allah mempunyai sifat. Meskipun sifat berbeda dengan dzat-Nya, tapi sifat ialah qadim dan azali. Allah Maha Mengetahui, misalkan, tidak dengan pengetahuan-Nya, namun dengan sifat ilmu-Nya. Dalam memahami sifat Allah yang qadim ini, Asy'ariyah memiliki pendapat jika kalam, satu missal, ialah sifat Allah yang qadim dan azali, Karenanya Al-Quran sebagai kalam Allah ialah qadim, al- Quran bukan makhluk. Jadi dia tidak diciptakan.

2. Aqidah Maturidiyah

Dalam konsepnya, aqidah Maturidiyah mempunyai kesesuaian dengan aqidah Asy'ariyah. Hal ini diperlihatkan oleh langkah dalam memahami agama yang tak secara berlebihan seperti golongan Mu'tazilah. Yang sedikit membedakan ke duanya, kalau Asy'ariyah fiqihnya memakai mazhab Imam Syafi'i dan Imam Maliki, sedang Maturidiyah memakai madzhab Imam Hanafi.

Sikap tawasuth yang diperlihatkan oleh Maturudiyah ialah usaha perdamaian di antara an-naqli dan al-‘aqli (nash dan akal). Maturidiyah memiliki pendapat jika satu kekeliruan seandainya kita stop melakukan perbuatan di saat tidak ada nash (naql), sama pula salah jika kita tidak teratasi dalam memakai rasio (‘aql).

Memakai ‘aql sama utamanya dengan memakai naql. Karena akal yang dipunyai oleh manusia juga berawal dari Allah, karenanya dalam al-Quran Allah memerintah umat islam untuk memakai akal dalam mendalami tanda-tanda (al-ayat) kekuasaan Allah yang ada di alam raya.

Dalam al-Quran misalkan ada kalimat liqaumin yatafak-karun, liqaumin ya'qilun, dan lain-lain. Maknanya jika pemakaian akal itu, semua ditujukan supaya manusia memperteguh iman dan takwanya terhadap Allah SWT.

Pendapat Maturudiyah mengenai status akal pada wahyu, menurutnya wahyu mesti diterima penuh. Tetapi bila terjadi ketidaksamaan di antara wahyu dan akal, karena itu akal harus berperanan mentakwilnya. Pada ayat-ayat tajsim (Allah memiliki tubuh) atau tasybih (Allah serupa makhluk) mesti didefinisikan dengan makna majazi (perumpamaan). Contoh seperti lafal "yadullah" yang makna aslinya "tangan Allah" ditakwil jadi "kekuasaan Allah"

Mengenai sifat Allah, Maturidiyah dan Asy'ariyah sama menerimanya. Tetapi, sifat-sifat itu bukan suatu hal yang ada di luar dzat -Nya. Sifat berbeda dengan dzat, tapi tidak dari selain Allah. Misalkan Tuhan Maha Mengetahui bukan dengan dzat-Nya, tapi dengan pengetahuan (‘ilmu)-Nya (ya'lamu bi'ilmihi).

Maturidiyah memiliki pendapat jika kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh Tuhan sendiri, jadi tidak mutlak. Meski begitu, Tuhan tidak bisa diminta atau terpaksa melakukan perbuatan apa yang dikehendaki- Nya. Misalkan Allah menjanjikan orang baik masuk surga, orang jahat masuk neraka, maka Allah akan memenuhi janji-janji itu. Tetapi dalam masalah ini, manusia diberi kebebasan oleh Allah memakai daya untuk memutuskan di antara yang bagus dan yang jelek.

Itulah keadilan Tuhan, lantaran manusia dikasih kebebasan untuk memutuskan dalam melakukan perbuatan, jadi menurut Maturidiyah tindakan itu masih diciptakan oleh Tuhan. Sehingga tindakan manusia sebagai tindakan bersama di antara manusia dan Tuhan.

AJARAN ASWAJA DALAM BIDANG IBADAH

Dilihat dari segi bahasa, ibadah bermakna: taat, tunduk, mengikuti, atau do'a. Juga bisa diartikan menyembah, seperti disebutkan dalam Q.S. al-Zariyat: 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

"Aku tidak menciptakan jin dan manusia terkecuali untuk menyembah-Ku." (Q.S. al-Zariyat: 56).

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ

"Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan" (Q.S. al-Fatihah: 5).

Ibadah berawal dari kata 'Abada-ya'budu-'ibadatan dengan bermakna mengerjakan ibadah/menyembah. Beribadah ialah menyembah Allah atau tunduk kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, apabila tidak bisa seakan-akan kamu dilihat-Nya.

Pada umumnya bisa ditekankan jika melaksanakan ibadah ialah rutinitas yang dijalankan dalam semua aspek cakupan kehidupan manusia yang dilandasi niat yang ikhlas karena Allah SWT. Tetapi secara detail beberapa ulama' membaginya ke dalam 2 bagian, yaitu:

1. Ibadah Mahdhah

Ibadah mahdhah ialah beribadah yang perintah serta larangannya jelas sudah secara dhahir dan tidak membutuhkan tambahan / pengurangan. Ibadah mahdhah ditentukan oleh dalil2 yang kukuh (qath'iah-dilalah), ketentuan2 hukum yang terkait dengan bidang 'ubudiyah, dan 'ibadah khusus (khas). Ibadah mahdhah dalam makna pokoknya yakni ibadah yang terkait dengan arkanul Islam, seperti syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji, bersuci dari hadas kecil / besar, wajib ‘ain & wajib kifayah.

2. Ibadah Ghairu Mahdhah

Sedang ibadah ghairu mahdhah ialah beribadah yang langkah realisasinya bisa direkayasa manusia, maknanya mempunyai bentuk beraneka serta mengikuti kondisi, tapi intisari ibadahnya selalu terlindungi. Misalkan perintah melakukan perdagangan melalui cara halal & bersih, larangan mengerjakan perdagangan yang haram, memiliki elemen penipuan, dll.

Dalam melaksanakan ibadah Aswaja membaginya jadi (dua) dimensi, yakni: Dimensi Fiqhiyyah dan Dimensi Tasawwuf.

a. Dimensi Fiqhiyyah

Dalam dimensi fiqhiyyah ini, umat islam mengikuti diantara satu dari 4 mazhab yang mu'tamad / bisa dipercayai keilmuan serta kepiawaiannya dalam bidang Fiqih, yakni Imam Hanafi, Syafi'i, Maliki, dan Imam Hambali. Masing-masing dari ke empat Imam tersebut memiliki landasan tertentu yang sumber intinya masih bersumber pada Al-Qur'an & as-Sunnah.

1. Madzab Hanafi

Pertimbangan fiqh dari mazhab ini dimulai oleh Imam Abu Hanifah. Beliau dikenali sebagai imam Ahlurra'yi & faqih dari Irak yang sering didatangi bermacam ulama' di jamannya. Mazhab Hanafi dikenali memakai ra'yu, qiyas, serta istihsan. Dalam mendapatkan suatu hukum yang tak ada dalam nash, Sumber pertama dan utama yang dipakai ialah Al-Qur'an & as-sunnah, sedang yang lain adalah dalil & model dalam mengistinbatkan hukum Islam dari ke-dua sumber itu.

2. Mazhab Maliki

Pertimbangan fiqh mazhab ini dimulai oleh Imam Malik. Imam Malik terkenal oleh ulama sejamannya sebagai seseorang yang ahli dalam bidang hadits & fiqh serta figur Ahlul hadits. Konsep dasar Mazhab ini dicatat beberapa murid Imam Malik berdasar pada bermacam isyarat yang mereka dapatkan dalam al- Muwaththa' ialah Al-Qur'an, as-sunnah, ijma', dan akal.

3. Madzhab Syafi'i

Pertimbangan fiqh mazhab ini dimulai oleh Imam asy-Syafi'i. Keunggulan Imam asy-Syafi'i sebagai ulama' yang ahli dalam bidang fiqh, usul fiqh, & hadits di jamannya telah diakui oleh ulama sejamannya. Dalam memutuskan hukum Islam, Imam asy-Syafi'i pertama mencari argumennya dalam Al-Qur'an. Bila tidak diketemukan maka beliau mengarah kepada as-sunnah. Jikalau dalam ke-2 sumber hukum Islam itu tidak diketemukan jawabnya, Beliau akan melakukan riset pada ijma' sahabat. Jika pada ijma' tak diketemukan hukumnya, maka Beliau memakai qiyas, yang dalam ar- Risalah dikatakannya sebagai ijtihad.

4. Mazhab Hambali

Pertimbangan Mazhab Hanbali dimulai oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, konsep dasar Mazhab Hanbali yakni:

  • An-Nusus (jamak dari nash).
  • Fatwa Sahabat
  • Bila ada ketidaksamaan pendapat para sahabat dalam memutuskan hukum yang diulas, maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur'an & as-sunnah.
  • Hadits mursal / hadits dlaif yang disokong oleh qiyas dan tidak berlawanan dengan ijma'.
  • Jika dalam ke 4 dalil di atas tak ditemui, maka akan memakai qiyas.

b. Dimensi Tasawuf

Dalam bidang tasawuf Aswaja mengikuti pertimbangan 2 imam, yakni Imam Abu Qasim Al-Junaidi dan Imam Ghazali.

1) Imam Abu Qasim Al-Junaidi

Menurut beliau ada 3 jenjang menyucikan lahir dan batin yaitu; 1) Takhalli, yakni mengosongkan diri dan sifat-sifat yang nista baik lahir ataupun batin, seperti hasut, tamak, tinggi hati, bakhil, khianat, dusta, riya', dll. 2) Tahalli, yakni mengisi dan melatih diri dengan sifat-sifat terpuji, seperti takwa, tulus hati, tawakkal, sabar, amanah, dsb. 3) Tajjali, yakni mempraktikkan suatu hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah seperti shalat sunnah, dzikir, puasa sunnah, khalwat (menyendiri untuk beribadah kepada Allah) dll.

2) Imam Ghazali

Beliau menerangkan, "Tasawuf ialah menyucikan hati dari apa saja selain Allah, golongan sufi ialah para pencari di Jalan Allah, dan sikap mereka ialah sikap yang terbaik, jalan mereka ialah jalan yang terbaik, dan gaya hidup mereka ialah gaya hidup yang paling tersucikan. Mereka sudah membersihkan hati mereka dari bermacam hal selain Allah dan menjadikannya menjadi saluran tempat mengucurnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah". Kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi ialah mereka yang sanggup membersihkan hatinya dari ketergantungan dengan selain kepada-Nya.

KESIMPULAN

Itulah ajaran Aswaja dalam bidang aqidah dan ibadah. Dari keterangan tersebut dapat kita tarik beberapa kesimpulan bahwa Ahlussunnah Wal Jama'ah ialah kelompok yang menganut sunnah Nabi Muhammad SAW dan sebagian besar sahabat, baik dalam syariat (hukum Islam) / akidah dan tasawuf. Akidah Ahlussunnah wal-Jama'ah lebih mengutamakan jika pilar pokok ke-imanan manusia ialah Tauhid, yakni kepercayaan yang kuat dan murni yang ada pada hati tiap Muslim jika Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan alam semesta. Dia Esa, tidak terbilang dan tidak mempunyai sekutu. Pilar yang ke-2 ialah Nubuwwat, dengan mempercayai jika Allah sudah menurunkan wahyu ke para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Pilar yang ke-3 ialah Al-Ma'ad, sebuah kepercayaan jika nanti manusia akan dibangkitkan dari alam kubur di hari kiamat dan tiap manusia akan mendapatkan imbalan sesuai amal dan tindakannya.

Dalam bidang aqidah mengikuti pertimbangan dari Iman Abu Hasan al- Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dasar Ajarannya yakni: Allah memiliki takdir atas manusia tapi manusia mempunyai sisi untuk usaha (ikhtiar) atau kasb. Ahlusunnah WalJamaah tidak gampang mengkafirkan manusia. Dengan mengikuti pola kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya. Ahlusunnah WalJama'ah berkeyakinan jika Al-Qur'an itu firman Allah dan bukan makhluk. Ahlussunah WalJama'ah yakin Allah mempunyai 20 sifat wajib 20 sifat mustahil dan 1 sifat jaiz. Ahlussunah WalJama'ah memiliki pendapat jika orang yang beriman nantinya akan masuk surga dan bisa menyaksikan Allah, bila Allah mengizinkan.

Dalam bidang ibadah/syari'at, paham ahlussunnah waljama'ah mengakui kebenaran empat madzhab dan harus bertaklid (mengikuti) satu diantara keempat madzhab itu dan tidak boleh mengikuti madzhab dengan cara mengacak dari tuntunan/ajaran keempat madzhab yakni: Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali.

Baca juga:

Ciri Khas Ahlussunnah wal-Jama'ah (Aswaja)
Tantangan dalam Melestarikan Ajaran Aswaja

Sumber:

Munawir. "Aswaja NU Center dan Peranannya sebagai Benteng Aqidah". Jurnal shahih Vol.1, No.1.

Siradj, Said Agiel. (1998). "Ahlulsunnah walJama’ah dalam lintasan Sejarah". Yogyakarta: LKPSM.

Masyhudi, Muchtar. dkk. (2007). "Aswaja An- Nahdliyah Ajaran Ahlussunah waal-Jama'ah yang berlaku di Lingkungan Nahdlatul ulama". Surabaya: Khalista.

Gazalba, Sidi. (1975). "Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam". Jakarta: Pustaka Antara.

Raya, Ahmad Thib. (2003). "Menyelami Seluk-Beluk Ibadah dalam Islam". Jakarta: Prenada Media.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA