Contoh kasus benturan kepentingan dalam PENGADAAN barang dan jasa

Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pejabat di Kementerian Sosial (Kemensos) RI pada Sabtu (5/12/2020) dan berlanjut penetapan tersangka Menteri Sosial Juliari P. Batubara merupakan momentum pemerintah memperbaiki Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) penanganan Covid-19.

Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak awal program bansos dan penanganan Covid-19 lainnya, seperti belanja alat keselamatan kesehatan, telah memetakan potensi masalah dan menyampaikan rekomendasi kepada kementerian terkait, termasuk Kementerian Sosial. Masalah tersebut setidaknya sehubungan dengan PBJ yang dilakukan dengan metode penunjukan langsung dan distribusinya. Mengenai bansos, masalah distribusi misalnya adanya pemotongan, pungutan liar, inclusion dan exclusion error akibat pendataan yang tidak update, hingga politisasi.

Salah satu dorongan kami adalah dengan membuat PBJ direncanakan serta dikelola secara transparan, misalnya mempublikasikan perencanaan pengadaan di Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP) dan realisasi pengadaan. Dengan begitu, publik dapat mengawasi apakah pengadaan telah dilakukan dengan mematuhi ketentuan pengadaan. Kondisi darurat pada dasarnya bukan pembenar untuk kemudian menutup informasi dan melakukan pengadaan di ruang gelap, mengingat pengadaan darurat mempunyai potensi terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang cukup tinggi.

Terdapat setidaknya empat masalah utama PBJ untuk penanganan dampak Covid-19. Pertama, pemetaaan atau identifikasi kebutuhan yang tidak berdasarkan kebutuhan lapangan. Kedua, terjadi jual beli penunjukan penyedia dan Surat Perintah Kerja (SPK) dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Hal ini mengakibatkan penunjukan penyedia tidak sesuai dengan ketentuan penunjukan penyedia dalam keadaan darurat, yaitu penyedia yang telah berpengalaman menyediakan barang sejenis di instansi pemerintah atau penyedia dalam e-katalog. Penunjukan penyedia kemudian didasarkan suap atau adanya konflik kepentingan yang membawa keuntungan baik untuk PPK maupun pejabat terkait.

Dalam kasus yang tengah menjerat pejabat-pejabat Kemensos saat ini bahkan KPK menyebut bahwa  salah satu penyedia dimiliki atau berafiliasi dengan PPK. Dari penelusuran ICW terhadap akte perusahaan, perusahaan tersebut baru didirikan atau disahkan pada 4 Agustus 2020. Selain tak berpengalaman, penunjukan perusahaan ini bertentangan dengan Pasal 12 huruf I UU No. 20 tahun 2001. Dalam ketentuan tersebut diatur larangan benturan kepentingan dalam pengadaan. Benturan kepentingan sebagaimana dimaksud yaitu situasi di mana seorang pejabat dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan tersebut yang bersangkutan bertugas untuk mengurus atau mengawasinya.

Ketiga, potensi penyedia yang ditunjuk oleh PPK hanya penyedia yang mempunyai modal dan kemudian melakukan sub con pekerjaan utama kepada pihak atau perusahaan lain. Hal ini umumnya menimbulkan pemahalan harga tak wajar atau mark up. Fenomena ini tak hanya potensial terjadi dalam pengadaan darurat, melainkan telah umum terjadi dalam PBJ kondisi normal. Keempat, melakukan pelunasan pembayaran padahal penyedia belum menyelesaikan pekerjaan atau belum dilakukan pemeriksaan yang memadai terhadap hasil pekerjaan.

Program bansos, baik tunai maupun sembako, adalah program yang sangat dibutuhkan warga saat ini. Banyak warga tak hanya berkurang pendapatannya, tetapi juga kehilangan pekerjaan. Fakta bahwa ternyata bantuan yang diberikan oleh pemerintah dikorupsi oleh pejabat Kementerian Sosial, garda utama pemerintah dalam pelaksanaan program pemberian bansos, sangat mengecewakan dan melukai warga. Bahkan suap atau pemberian hadiah sedikitnya Rp 17 miliar dari penyedia disebut KPK diterima oleh Menteri Sosial yang belum lama menjabat dan kerap mencitrakan dirinya sebagai menteri mempunyai komitmen antikorupsi dan peduli atas kesulitan warga di tengah pandemi Covid-19.

ICW menduga praktek penerimaan suap ini bukan pertama kali terjadi pada pengadaan bansos sembako Covid-19 saat ini. KPK perlu menelusuri dugaan terjadinya praktek serupa dalam pengadaan bansos sembako sebelum-sebelumnya. Bahkan, praktek penerimaan suap dari penyedia PBJ juga terjadi tak hanya dalam pengadaan bansos, melainkankan juga pengadaan penanganan Covid-19 lainnya di kementerian/ lembaga lain dan pemerintah daerah.

Penanganan korupsi terkait pandemi Covid-19 ini patut dijadikan sebagai prioritas mengingat dampaknya yang sangat besar bagi warga dan juga keuangan negara. Anggaran TA 2020, baik di tingkat pusat dan daerah, telah banyak direalokasikan untuk penanganan Covid-19. Total anggaran untuk bansos saja mencapai Rp 203,5 triliun, dengan realisasi per Oktober 2020 mencapai 89,41%. Jika nyatanya anggaran tersebut juga dikorupsi, penanganan Covid-19 juga tidak akan maksimal.

Atas catatan di atas, ICW mendorong agar:

  1. KPK menelusuri pihak lain yang berpotensi terlibat atau menerima aliran dana hasil suap atau penerimaan hadiah;
  2. KPK menelusuri kemungkinan PPK, Menteri Sosial, dan pejabat lain di  Kemensos juga menerima suap pada pengadaan lainnya, khususnya untuk kegiatan atau program penanganan dampak Covid-19;
  3. KPK menelusuri terjadinya praktek korupsi PBJ serupa di kementerian/ lembaga lain yang juga menangani PBJ penanganan Covid-19;
  4. Kemensos dan kementerian/ lembaga lain serta pemerintah daerah terbuka dalam PBJ penanganan Covid 19, khususnya terkait rencana, realisasi, dan distribusi pengadaan; dan

Jakarta, 7 Desember 2020

Indonesia Corruption Watch

Dalam rangka menyediakan pelayanan publik yang berkualitas kepada masyarakat, pegawai negeri sipil sebagai penyelenggara pelayanan publik setidaknya perlu memegang prinsip antara lain bertindak secara profesional, tidak diskriminasi, berintegritas, dan menerapkan praktik bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Korupsi adalah  perbuatan  melawan hukum dengan menyalahgunakan  kewenangan untuk memperkaya diri orang/badan  lain yang merugikan keuangan/perekonomian negara. Salah satu faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi adalah adanya benturan kepentingan (Conflict of Interest) yang merupakan suatu kondisi dimana pertimbangan pribadi mempengaruhi dan/atau dapat menyingkirkan profesionalitas seorang pejabat dalam mengemban tugas. Hal ini dapat meyebabkan pelayanan publik yang memburuk, kebijakan yang tidak efisien dan tidak efektif, keputusan dan tindakan yang berpotensi menguntungkan pribadi atau orang lain, serta kerugian  yang ditimbukan bagi orang lain atau negara, yang tentunya tindakan ini mempertanyakan integritas dari seorang pelayan publik. 

Untuk itu, pemerintah perlu mereformasi diri dalam menata birokrasi menuju ke arah pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan menciptakan lingkungan positif yang bebas dari adanya benturan kepentingan (Conflict of Interest).

Benturan kepentingan adalah situasi dimana terdapat konflik kepentingan seseorang yang memanfaatkan kedudukan dan wewenang yang dimilikinya (baik dengan sengaja maupun tidak sengaja) untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau golongannya sehingga tugas yang diamanatkan tidak dapat dilaksanakan dengan obyektif dan berpotensi menimbulkan kerugian  kepada pihak tertentu.

Benturan kepentingan dapat dilatarbelakangi oleh hubungan dengan kerabat dan keluarga, kepentingan pribadi dan/atau bisnis, hubungan dengan wakil pihak yang terlibat, hubungan dengan pihak-pihak lain yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, hubungan dengan pihak yang bekerja dan mendapat gaji dari pihak yang  terlibat, hubungan dengan pihak yang   memberikan rekomendasi terhadap pihak yang terlibat.


Jenis benturan kepentingan yang sering terjadi adalah:

  • Kebijakan yang berpihak akibat pengaruh/hubungan dekat/ ketergantungan/pemberian gratifikasi;
  • Pemberian izin yang diskriminatif;
  • Pengangkatan pegawai berdasarkan hubungan dekat/balas jasa/rekomendasi/pengaruh dari pejabat pemerintah;
  • Pemilihan partner/ rekanan kerja berdasarkan keputusan yang tidak profesional;
  • Melakukan komersialisasi pelayanan publik;
  • Penggunaan asset dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi/ golongan;
  • Pengawas ikut menjadi bagian dari pihak yang diawasi;
  • Melakukan pengawasan atau penilaian atas pengaruh pihak lain dan tidak sesuai norma, standar, dan prosedur;
  • Menjadi bagian dari pihak yang memiliki kepentingan atas sesuatu yang dinilai; dan
  • Putusan/ Penetapan Pengadilan yang berpihak akibat pengaruh/ hubungan dekat/ ketergantungan/ pemberian gratifikasi.

Sumber penyebab terjadinya benturan kepentingan:

1.    Penyalahgunaan wewenang, yaitu dengan membuat keputusan atau tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan atau melampaui batas-batas pemberian wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan;

2.    Perangkapan jabatan, yaitu pegawai menduduki dua atau lebih jabatan publik sehingga tidak bisa menjalankan jabatannya secara profesional, independen dan akuntabel selain yang telah diatur dalam Peraturan Perundang undangan;

3.    Hubungan afiliasi, yaitu hubungan yang dimiliki oleh pegawai dengan pihak tertentu baik karena hubungan darah, hubungan perkawinan maupun hubungan pertemanan yang dapat mempengaruhi keputusannya;

4.    Gratifikasi, yaitu pemberian dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya;

5.    Kelemahan sistem organisasi, yaitu keadaan yang menjadi kendala bagi pencapaian tujuan pelaksanaan kewenangan pegawai yang disebabkan karena struktur dan budaya organisasi yang ada;

6.    Kepentingan pribadi, yaitu keinginan/kebutuhan pegawai mengenai suatu hal yang bersifat pribadi.

Penanganan  benturan  kepentingan  

Dalam hal terdapat konflik kepentingan, maka pejabat pemerintahan yang bersangkutan wajib memberitahukan kepada atasannya dan dalam hal pejabat pemerintahan memiliki konflik kepentingan, maka keputusan dan/atau tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan oleh atasan pejabat atau pejabat lain. Jika terdapat laporan  dari masyarakat, maka atasan  pejabat wajib memeriksa, meneliti, dan menetapkan keputusan terhadap laporan atau keterangan warga masyarakat paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan sesuai dengan UU no. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Penanganan  benturan  kepentingan  pada  dasarnya  dilakukan  melalui perbaikan nilai, sistem, pribadi, dan budaya, diantaranya:

1.   Mengutamakan kepentingan publik

2.   Menciptakan keterbukaan penanganan dan pengawasan benturan kepentingan

3.   Mendorong tanggung jawab pribadi dan sikap keteladanan

4.   Menciptakan dan membina budaya organisasi yang tidak toleran terhadap benturan kepentingan.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA