Carilah contoh invasi yang pernah bangsa Indonesia alami dan jelaskan tentang invasi

Konflik yang saat ini terjadi di Eropa Timur antara Ukraina dan Rusia bukan merupakan konflik baru dan menjadi bagian dari sisa-sisa perang dingin yang masih bertahan hingga saat ini meskipun beberapa pihak menyatakan perang dingin sudah lama selesai sejak runtuhnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet.

Hal tersebut disampaikan Dosen Studi Keamanan Internasional Program Studi Hubungan Internasional (HI) UII, Irawan Jati, S.IP., M.Hum., MSS., Ph.D (Cand.) dalam International Relations In Conversation dengan tema Russia-Ukraine Updates: What Happens Next, Kamis (24/2) petang, melalui Zoom Metting.

Irawan Jati mengatakan bahwa apa yang saat ini dilakukan Rusia bukan merupakan hal yang baru karena pernah terjadi di 2014 saat Rusia mencoba menganeksasi kembali dan mengklaim Ukraina sebagai bagian sah dari Rusia.

Mohamad Rezky Utama, S.IP., M.Si., Dosen Studi Kawasan Eropa Program Studi HI UII yang juga hadir sebagai menjadi narasumber menyampaikan bahwa situasi yang saat ini terjadi di Ukraina tidak terlepas dari ekspansi NATO yang mulai melebarkan pengaruh di Eropa Timur. Rezky Utama menambahkan bahwa ekspansi NATO ke Eropa Timur membahayakan Rusia karena hal ini berpotensi memindahkan rudal balistik yang awalnya ditempatkan di Rumania ke Ukraina dan berpotensi menjadi ancaman terbuka bagi Rusia.

Disampaikan Rezky Utama, sebelum 2014, Ukraina sangat dekat dengan Rusia dan menjadi buffer zone antara Rusia dan Eropa. Namun setelah revolusi 2014, pemerintah Ukraina berpindah haluan, dari sebelumnya dekat dengan Rusia beralih mendekati NATO. Hal ini menyebabkan Belarusia menjadi satu-satunya buffer zone antara Rusia dan negara-negara Eropa.

Menurut Rezky Utama, invasi yang dilakukan oleh Putin menjadi salah satu cara untuk mengembalikan Ukraina sebagai salah satu sekutu Rusia dengan mengganti rezim pemerintah Ukraina melalui dukungan kelompok sepratis di Donetsk, Luhan, dan Krimea.

Lebih lanjut disampaikan Irawan Jati, dukungan yang diberikan Rusia kepada kelompok separatis Ukraina tidak terlepas dari konsep the enemy of my enemy is my friend yang diadopsi Rusia. “Rusia mencoba memaksimalkan potensi kelompok-kelompok sparatis untuk mempertahankan dan memperkuat kedudukan mereka di negara-negara tersebut,” ujar Irawan Jati.

Rezky Utama menambahkan, bahwa hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Rusia dengan mendukung kelompok separatis Georgia setelah negara tersebut mulai memihak kepada Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Terkait indikasi konflik yang mengarah ke perang dunia ketiga, kedua narasumber sepakat bahwa hal ini masih terlalu jauh melihat kondisi yang saat ini terjadi. Salah satu indikatornya adalah bantuan militer yang diberikan oleh negara-negara anggota NATO seperti Turki, Kanada dan Spanyol lebih bersifat bantuan individu alih-alih atas nama organisasi.

“Hal ini ditambah dengan pernyataan Joe Biden (Presiden Amerika Serikat) yang tidak akan mengirimkan bantuan militer ke Ukraina,” ujar Irawan Jati.

Menurut Rezky Utama, faktor penghambat lainnya adalah Uni Eropa dan NATO yang cukup berhati-hati dalam mengambil langkah untuk menghindari perang dunia ketiga karena hal ini bisa menyebabkan Eropa menjadi teater perang dunia lagi.

“Ancaman sanksi ekonomi dan embargo untuk mendorong Rusia menghentikan perang tidak banyak berpengaruh karena Rusia merupakan suatu wilayah yang cukup sustain sehingga mereka masih bisa survive menghadapi embargo tersebut.” Ujar Irawan Jati.

Irawan Jati menambahkan bahwa kondisi yang terjadi di lapangan adalah Rusia yang menjadi pemasok utama gas untuk negara-negara di kawasan eropa sehingga sanksi tersebut bisa berbalik merugikan negara-negara di kawasan Eropa.

Irawan Jati menilai Pendekatan diplomasi dipandang menjadi salah satu solusi meskipun cukup bertele-tele. Hal ini disebabkan legitimasi militer negara-negara di sekitar Rusia belum cukup kuat sehingga apabila memaksakan penyelesaian konflik lewat cara militer malah akan mengarah pada invasi yang lebih besar.

Sementara Rezky Utama menilai bahwa penyelesaian konflik melalui PBB belum bisa dilakukan karena Rusia masih memiliki hak veto di United Nations Security Council (Dewan Keamanan PBB) yang bisa menghambat langkah-langkah penyelesaian konflik. Ia berpendapat bahwa NATO dan EU harus turun tangan dan terlibat dalam perjanjian damai untuk menyelesaikan konflik kedua negara ini. (AP/RS)

BBC News, Indonesia

Langsung ke konten

  • Berita
  • Indonesia
  • Dunia
  • Viral
  • Liputan Mendalam
  • Majalah

Invasi Rusia: Dari garis terdepan pertahanan militer Ukraina

25 Februari 2022

Rusia menginvasi Ukraina pada Kamis (24/02). Ledakan terdengar di beberapa wilayah Ukraina, mulai dari pinggiran Ibu Kota Kiev, hingga wilayah Donbas di timur yang dimasuki Rusia.

Beberapa hari sebelum invasi Rusia ini terjadi, BBC mendapatkan akses wawancara tentara Ukraina yang bertugas di garis depan, di perbatasan timur Ukraina, dekat dengan wilayah yang dikuasai kelompok pemberontak.

Seperti apa keadaannya dalam hari-hari mencekam sebelum invasi? Simak videonya.

  • Rusia
  • Ukraina
  • Konflik Rusia-Ukraina

3 Maret 2022

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

Perempuan Ukraina menangis saat demonstrasi memprotes serangan Rusia ke Ukraina, di Bali, Selasa (01/03).

Ukraina - melalui kedutaan besar di Jakarta - meminta dukungan Indonesia agar bersuara lantang dan berani membela negara Eropa timur itu.

Pengamat hubungan internasional mengatakan kehati-hatian Indonesia terkait antara lain karena banyaknya konsesi investasi Rusia di Indonesia serta kepemimpinan Indonesia di G-20.

Tetapi kementerian luar negeri mengatakan sikap Indonesia sudah tegas tanpa harus menyinggung salah satu pihak.

Sejak serangan Rusia yang diluncurkan pada 24 Februari lalu, Indonesia tidak secara gamblang menyinggung nama Rusia sebagai pihak yang menginvasi Ukraina.

Dalam dua kesempatan, Presiden Joko Widodo tidak menyebut nama Rusia saat membahas perang Ukraina. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga dalam keterangan persnya lebih menekankan pada proses evakuasi WNI, de-eskalasi dan masalah kemanusiaan di Ukraina, dan tidak menggunakan kata serangan militer atau invasi Rusia.

Tidak ada kata 'invasi dan Rusia'

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

Putin mengatakan pasukan nuklir diminta dalam status siaga tertinggi karena "para pejabat tinggi NATO membiarkan pernyataan-pernyataan yang agresif terhadap Rusia".

Tanggapan invasi Rusia ke Ukraina, pertama disinggung Presiden Jokowi melalui Twitter.

Hentikan Twitter pesan, 1

Lompati Twitter pesan, 1

Dalam kesempatan kedua, di rapat pimpinan TNI dan Polri tahun 2022, Selasa lalu (01/03), Jokowi kembali menyinggung perang Ukraina yang disebut menjadi salah satu faktor pemicu ketidakpastian global.

"Tantangan ke depan tidak semakin gampang… penuh dengan ketidakpastian. Dulunya ketidakpastian karena disrupsi teknologi, revolusi industri 4.0, ditambah lagi dengan pandemi, ditambah lagi dengan perang di Ukraina.

"Sehingga apa? ketidakpastian global yang juga merembet kepada ketidakpastian negara-negara di manapun di dunia ini menjadi semakin meningkat," kata Jokowi.

Dalam dua pernyataan tersebut, Jokowi tidak menyinggung nama Rusia sebagai pihak yang melakukan serangan militer atau invasi.

Retno lebih menekankan pada proses evakuasi WNI sebagai prioritas, penghormatan terhadap kedaulatan, de-eskalasi dan masalah kemanusiaan. Pernyataan yang sama juga terlihat dalam cuitan Kemlu di Twitter, dengan menyebut serangan militer di Ukraina.

Hentikan Twitter pesan, 2

Lompati Twitter pesan, 2

Begitu juga saat Indonesia di sesi khusus darurat PBB mengenai Ukraina di Markas Besar PBB, New York Senin lalu (28/02).

Dalam keterangan persnya, tidak ada kata Rusia dan invasi. Wakil Tetap RI untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Duta Besar Arrmanatha Nasir, lebih menekankan pada kepentingan kemanusiaan di krisis Ukraina.

"Aksi militer di Ukraina mempertaruhkan nyawa warga sipil dan mengancam perdamaian serta stabilitas regional dan global," tutur Dubes Tata.

Mengapa Indonesia tidak menyebut invasi dan Rusia?

Sumber gambar, Lukas/Biro Pers Sekretariat Presiden

Keterangan gambar,

Presiden Joko Widodo memberi arahan pada Rapat Pimpinan TNI-Polri Tahun 2022 di Plaza Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa, (01/03).

Guru besar hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan, Aleksius Jemadu, mengatakan sikap Indonesia yang tidak menyebut Rusia dan invasi menunjukkan sikap kehati-hatian, yang bahkan cenderung gamang.

Sikap Indonesia ini berbeda ketika merespon konflik Israel-Palestina, di mana Jakarta dengan tegas mengutuk dan tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

"Indonesia tidak ingin memberi kesan memihak dalam pertarungan sisa-sisa dari Perang Dingin, antara AS dan Uni Soviet, yang sekarang NATO, Ukraina dengan Rusia. Ini pertarungan antara negara besar, dan kita tidak ingin memihak," kata Aleksius.

Faktor lain, dugaan dia yang lebih spesifik adalah, "ada satu kepentingan Indonesia dan tidak mau dikorbankan, yaitu menjaga jarak yang sama dengan semua kekuatan besar, agar kepemimpinan Indonesia dalam G-20 berhasil," kata Jemadu.

Sementara itu, pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Suzie Sudarman, melihat sikap hati-hati itu di antaranya dipengaruhi oleh kebutuhan Indonesia akan Rusia untuk mengimbangi China di Natuna, Laut China Selatan dan juga banyak konsensi investasi Rusia di Indonesia.

Ditambah lagi, kata Suzie, pengaruh politik dan sosial dalam negeri yang tidak memaksa pemerintah untuk tegas atas serangan Rusia ke Ukraina.

"Kalau konflik Israel-Palestina itu menghimpun suara Islam di Indonesia, sedangkan perang Ukraina, membela orang kulit putih yang rambutnya blonde dan mata biru, itu tidak menarik untuk di dalam negeri," katanya.

Ukraina minta suara lantang Indonesia, dan sejarah masa lalu

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

President Ukraina Volodymyr Zelensky melakukan konferensi pers soal operasi militer Rusia pada Jumat.

Pemerintah Ukraina melalui kedutaannya di Jakarta meminta dukungan Indonesia dalam perang melawan Rusia.

Dalam keterangan tertulis, Selasa (01/03), Ukraina menegaskan tidak bertekuk lutut terhadap ancaman kematian, sama seperti Indonesia tidak menyerah 70 tahun yang lalu.

"Kami akan berdiri tegak dan meraih kemenangan. Namun dengan dukungan Anda, maka kemenangan dapat kami raih dengan lebih mudah, lebih pasti dan lebih cepat."

"Rakyat Indonesia, keadaan saat ini sungguh berat dan menyakitkan bagi kami. Oleh karena itu, kami menunggu dukungan Anda. Kami berharap dapat mendengar suara Anda yang lantang dan berani dalam membela kami," tulisnya.

Keterangan gambar,

Tentara Ukraina di tengah kota Kyiv, Ukraina.

Suzie Sudarman menambahkan, Ukraina pernah membantu Indonesia di tahun 1940-an saat berjuang memperoleh kemerdekaannya.

"Diplomatnya (Ukraina) membawa isu Indonesia saat AS belum berpihak pada Indonesia, itu satu hal yang harus kita ingat. Belarus dan Ukraina memperjuangkan isu Indonesia untuk dibahas ke PBB, pada saat AS kurang menarik pada Indonesia karena masih berpihak pada Belanda," ujarnya.

Untuk itu menurutnya, Indonesia perlu mengambil sikap tegas atas yang terjadi di Ukraina dan juga agar pola akusisi seperti ini tidak terulang kembali.

"Kita harus ingat bahwa kita pernah dibantu oleh negara yang teraniaya negara adidaya ini. Sebagai sejarah masa lalu dan juga pola seperti ini tidak bisa diulangi oleh negara-negara lain," ujarnya.

Pengamat hubungan internasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Nanto Sriyanto, juga melihat Indonesia perlu menunjukkan sikap tegas terkait perang di Ukraina.

"Indonesia harus menyatakan dengan tegas bahwa Rusia melakukan invasi. Itu bukan politik naming dan shaming. Tapi sikap dari prinsip Konferensi [Asia-Afrika] Bandung yang menekankan penghormatan pada kedaulatan," kata Nanto.

Jika tidak, sikap Indonesia yang hati-hati berpotensi menjadi bumerang di masa mendatang.

"Ketidaktegasan Indonesia menciptakan institutional memory dalam diplomasi. Dan bisa menjadi bumerang di masa depan. Kedaulatan adalah norma luhur dalam hukum internasional dan ketika itu dilanggar, Indonesia harus berdiri tegak membela itu," ujarnya.

Kemenlu: Sikap Indonesia sudah tegas

Sumber gambar, AFP VIA GETTY IMAGES

Keterangan gambar,

Sebuah mobil hancur lebur setelah pasukan Rusia membombardir Kota Kharkiv, Ukraina, 1 Maret 2022

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah menegaskan, sikap dan posisi Indonesia telah tegas terkait serangan di Ukraina.

"Posisi Indonesia adalah penegakan prinsip Piagam PBB, hukum internasional, dan terpenting lagi penghormatan terhadap integritas wilayah dan kedaulatan suatu negara... Sebenarnya tidak perlu diragukan lagi bagaimana kita melihat permasalahan yang sedang terjadi sekarang.

"Kita betul-betul melihat apa yang sebagai serangan itu sebagai suatu serangan militer yang harus dihentikan," kata Faizasyah saat ditanya terkait permintaan dukungan dari Ukraina.

Sementara terkait tidak adanya penyebutan nama Rusia, Faizasyah mengatakan posisi tegas Indonesia tidak harus menyebutkan satu pihak tertentu.

"Jadi dalam kasus-kasus yang spesifk yang disebutkan tadi, kita berangkat dari posisi yang sangat jelas, berangkat dari hukum internasional, tanpa harus menyebutkan satu pihak tertentu sekalipun. Apa yang disampaikan oleh pemerintah sudah betul-betul dipahami oleh berbagai pihak," ujarnya.

Senada, mantan Duta Besar Indonesia untuk Rusia, M. Wahid Supriyadi, menyebut upaya dan pernyataan yang diungkapkan Indonesia telah cukup tegas, di tengah faktor-faktor yang sangat rumit mempengaruhi dan juga hubungan baik Indonesia dengan kedua negara.

"Bagaimanapun invasi itu tidak dibenarkan secara hukum internasional, tapi di sisi lain memang, kita punya kapasitas yang cukup sulit dalam kondisi seperti ini," ujarnya.

Seperti dengan Rusia, katanya, Indonesia memiliki hubungan perdagangan sebesar US$3 miliar. Indonesia juga memiliki forum bilateral yang erat, dan kini dalam tahap penandatangani strategic partnership dengan Rusia.

"Jadi posisi Rusia penting, dan Indonesia juga dekat dengan Ukraina. Jadi menghadapi dua sahabat memang tidak mudah. Karena menjadi penengah bukan mudah dan harus ada persetujuan dua pihak," ujar Wahid.

Pertempuran sengit masih terus terjadi, dengan kota-kota kunci seperti Kyiv dan Kharkiv yang menjadi sasaran gempuran Rusia.

Menurut PBB, sekitar 900.000 warga Ukraina menyelamatkan diri ke negara-negara tetangga sejauh ini.

Sementara itu, berdasarkan informasi hingga Selasa (01/03), 99 WNI telah dievakuasi dari Ukraina.

Sementara, ada sekitar 13 WNI yang belum dapat dievakuasi dan 24 WNI memilih tetap tinggal di Ukraina.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA