Carilah contoh hasil akulturasi kebudayaan Nusantara dan jelaskan

Masuk serta berkembangnya agama Hindu dan Buddha memunculkan sebuah akulturasi kebudayaan antara kebudayaan Hindu-Buddha dan kebudayaan Indonesia. Akulturasi adalah percampuran dua kebudayaan namun tidak menghilangkan kebudayaan asli. Beberapa hasil akulturasi kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia di berbagai bidang adalah sebagai berikut.

  • Bidang Pemerintahan. Sebelum masuknya agama Hindu-Buddha, sistem pemerintahan di Indonesia didasarkan pada rakyat yang mengangkat seorang pemimpin berdasarkan umur, kearifannya, memiliki kelebihan-kelebihan tertentu, bahkan hingga memiliki kekuatan gaib. Setelah pengaruh agama Hindu-Buddha memasuki Indonesia, para pemimpin ini menjadi raja dan daerahnya menjadi kerajaan.
  • Bidang Kepercayaan. Kepercayaan yang dianut oleh para nenek moyang sebelum masuknya agama Hindu-Buddha ke Indonesia adalah kepercayaan terhadap roh halus. Sesudah masuknya agama Hindu-Buddha, kepercayaan terhadap roh halus tidak hilang. Adanya candi di Indonesia digunakan untuk tempat pemujaan dan sebagai makam raja atau untuk menyimpan abu jenazah. 
  • Bidang Kebudayaan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan berbagai seni rupa dan seni ukir dari India yang masuk ke Indonesia seperti relief dan arca. Selain itu, terjadi pula akulturasi seni pertunjukkan seperti pertunjukan wayang kulit yang berasal dari Indonesia dan dipadukan dengan cerita yang berasal dari budaya Hindu-Budha seperti Ramayana sehingga memunculkan sebuah kebudayaan baru. 
  • Bidang Arsitektur. Salah satu dari hasil akulturasi kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia ialah stupa borobudur. Stupa borobudur dari tingkatan bangunan yang menyerupai punden berundak ini tentu menggunakan sistem atau teknologi bangunan kebudayaan Indonesia, meskipun dari bangunan arca dan relief-relief yang dituliskan dalam dinding stupa candi borobudur bernuansa Buddhisme. 

Jadi, beberapa hasil akulturasi kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia adalah adanya kerajaan Hindu-Buddha, candi, relief, arca, pertunjukkan wayang kulit, dan stupa Borobudur.

tirto.id - Dalam konten edukasi sejarah kali ini, kita akan mempelajari contoh akulturasi budaya masyarakat nusantara dengan ajaran Islam.Sejarah perkembangan masuknya agama Islam di Indonesia tidak terlepas dari akulturasi dengan budaya lokal. Ajaran Islam disambut dengan ragam budaya di Nusantara, atau Jawa, yang sudah berakulturasi dengan budaya Hindu, Buddha, juga tradisi nenek moyang. Definisi atau pengertian akulturasi menjadi penting untuk dipahami dalam konteks ini, berlanjut dengan proses awal masuknya ajaran Islam di Nusantara yang pada akhirnya menjadi agama terbesar yang dianut oleh penduduk Indonesia.
Hasil akulturasi Islam dengan budaya lokal di Nusantara yang telah ada sebelumnya kemudian menghasilkan sesuatu yang baru dan merupakan perpaduan dari ragam budaya yang berbeda tersebut.

Perkembangan Akulturasi Islam di Indonesia

Akulturasi dimaknai sebagai fenomena yang terjadi ketika kelompok kelompok individu dengan budaya berbeda terlibat dalam kontak yang terjadi secara langsung. Proses ini disertai perubahan terus-menerus, sejalan dengan pola-pola budaya asal atau dari kedua kelompok itu.

Penelitian Berry Jhon W. bertajuk "Acculturation: Living Successfully in Two Cultures" dalam International Journal of Intercultural Relations (2005) mendefinisikan akulturasi sebagai proses belajar dari sosok individu yang memasuki budaya baru yang berbeda dari budaya sebelumnya.

Akulturasi sering pula dideskripsikan sebagai perubahan dan adaptasi. Perubahan akulturasi bisa jadi merupakan konsekuensi dari transmisi/persinggungan budaya yang terjadi secara langsung.Penyebab perubahan ini bisa saja berkembang dari faktor nonkultural, seperti modifikasi lingkungan dan demografi yang dibawa melalui pergeseran budaya. Proses perubahannya berbeda-beda, tergantung dari masa penyesuaian terhadap masuknya budaya asing, yang bisa saja merupakan adaptasi reaktif atas kecenderungan cara hidup tradisional yang sudah terbiasa dilakukan sebelumnya.Di Nusantara, ajaran Islam mampu berkembang dan menyebar dengan cukup pesat yang kini merupakan agama dengan pemeluk terbesar di Indonesia. Kehadiran Islam di Nusantara relatif bisa diterima oleh masyarakat berkat gaya syiar yang tetap menghargai budaya atau tradisi sebelumnya. Gaya dakwah seperti ini dirintis oleh para Walisongo sejak abad ke-15 Masehi.

Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab bahwa pada abad ke-17 M, ajaran Islam sudah menyebar ke berbagai wilayah di Nusantara, tulis Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo (2012).


Contoh Akulturasi Budaya Masyarakat di Nusantara dengan Ajaran Islam di Indonesia

Beberapa contoh tradisi yang merupakan bentuk akulturasi Islam dengan budaya lokal di Nusantara, khususnya di Jawa antara lain tradisi kenduri atau kenduren untuk mendoakan arwah orang yang sudah meninggal dunia. Kenduri ini sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha di Jawa. Sunan Ampel menyesuaikan tradisi ini agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.Berikutnya ada beduk, peralatan untuk memberikan penanda waktu salat bagi umat Islam. Sebelumnya, beduk dipakai sebagai penanda waktu dalam peribadatan umat Buddha. Wayang juga merupakan salah satu bentuk akulturasi Islam dengan budaya lokal di Jawa. Wayang yang sudah dikenal sejak zaman pra-Islam di Jawa digunakan oleh para Walisongo untuk berdakwah agar mudah diterima oleh masyarakat.Walisongo juga memanfaatkan gamelan untuk menarik minat warga agar menghadiri pengajian sebagai salah satu bentuk syiar Islam.Beberapa contoh akulturasi lainnya adalah tradisi Sekaten di Yogyakarta dan Surakarta, arsitektur sejumlah masjid di Jawa yang merupakan perpaduan corak Hindu/Buddha dan Islam, tembang-tembang Jawa yang sedikit diubah untuk dakwah, dan lain sebagainya.

Infografik SC Arsitektur Masjid. tirto.id/Fuad

Bentuk-Bentuk Akulturasi Kebudayaan Islam di Indonesia

Indonesia banyak memiliki akulturasi kebudayaan Islam yang terjadi di masyarakat. Hal tersebut terjadi karena sebelum Islam masuk sudah banyak terdapat kebudayaan suku asli, agama Hindu-Budha, dan lainnya.

Dikutip dari Jurnal Fikrah: Akulturasi Islam dan Budaya Jawa oleh Donny Khoirul Aziz (2013:266-273), Beberapa akulturasi kebudayaan Islam yang berkembang di Indonesia sebagai berikut:

1. Tradisi Bentuk Makam

Pada masa Hindu, masyarakat tidak memiliki tradisi memakamkan mayat. Masyarakat melakukan tradisi Hindu membakar mayar dan melarung abunya ke laut. Abu dari orang kaya akan disimpan dalam guci dan abu raja akan disimpan dalam sebuah candi.

2. Bentuk Nisan

Akulturasi budaya juga dapat dilihat dalam bentuk nisan. Bentuk nisan yang berkembang pada awalnya hanya berbentuk kapal terbalik (lurus) dari Persia. Kemudian, berkembang bentuk lain seperti teratai, keris, dan gunungan wayang yang dipengaruhi kebudayaan Jawa.

3. Arsitektur Bangunan Masjid

Banyak terdapat bangunan masjid di Indonesia seperti Masjid Agung Demak, Masjid Gede Mataram, Masjid Soko Tunggal Kebumen, dan lainnya. Beberapa arsitektur masjid yang dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha dan Barat sebagai berikut:


  • Bentuk atap masjid berbentuk kubah Ottoman style dan India style. Tedapat atas bersusun yang bentuknya semakin kecil ke atas serta bagian atas seperti mahkota. Atapnya berjumlah ganjil bilangan tiga atau lima.
  • Terdapat bedug sebagai penanda tibanya waktu salat.
  • Beberapa masjid seperti Masjid Agung Kudus memiliki atap tumpeng. Sedangkan, Masjid Agung Banten memiliki Menara berbentuk mercusuar.
  • Letak masjid bersifat strategis, yaitu terletak berdekatan dengan kraton, pasar, dan alun-alun.
4. Kesusasteraaan

Berkembang kesusastraan seperti hikayat dan syair. Di daerah Melayu karya sastra banyak ditulis menggunakan bahasa Arab. Sedangkan di Jawa menggunakan bahasa Jawa, walaupun beberapa kesusastraan menggunakan bahasa Arab terutama tentang soal keagamaan.

5. Seni Wayang

Berkembang seni kebudayaan berupa wayang yang digunakan untuk menyebarkan agama Islam oleh para Walisongo. Wayang merupakan bentuk samaran gambaran manusia supaya tidak melanggar aturan dalam Islam.

Berikut ini akan dijelaskan tentang akulturasi budaya, pengertian akulturasi, pengertian akulturasi kebudayaan, pengertian akulturasi budaya, arti akulturasi, definisi akulturasi, akulturasi hindu budha, akulturasi kebudayaan nusantara dan hindu buddha, akulturasi kebudayaan, akulturasi kebudayaan hindu budha, akulturasi budaya hindu budha, akulturasi kebudayaan nusantara hindu budha, akulturasi kebudayaan nusantara dengan kebudayaan hindu budha, wujud akulturasi budaya hindu budha, kebudayaan hindu, contoh akulturasi kebudayaan, contoh akulturasi budaya.


Akulturasi kebudayaan yaitu suatu proses percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, sehingga membentuk kebudayaan baru. Kebudayaan baru yang merupakan hasil percampuran itu masing-masing tidak kehilangan kepribadian/ciri khasnya.

Oleh karena itu, untuk dapat berakulturasi, masing-masing kebudayaan harus seimbang. Begitu juga untuk kebudayaan Hindu-Buddha dari India dengan kebudayaan Indonesia asli.

Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia asli sebagai berikut.

Bentuk-bentuk bangunan candi di Indonesia pada umumnya merupakan bentuk akulturasi antara unsur-unsur budaya Hindu- Buddha dengan unsur budaya Indonesia asli. 

Bangunan yang megah, patung-patung perwujudan dewa atau Buddha, serta bagian-bagian candi dan stupa adalah unsur-unsur dari India. 

Bentuk candi-candi di Indonesia pada hakikatnya adalah punden berundak yang merupakan unsur Indonesia asli. Candi Borobudur merupakan salah satu contoh dari bentuk akulturasi tersebut.

Sketsa perpaduan aturan vastusastra dan kemahiran lokal
Salah satu stupa di candi borobudur (kiri)
Salah satu bentuk batas kota (kanan)

Masuknya pengaruh India juga membawa perkembangan dalam bidang seni rupa, seni pahat, dan seni ukir. Hal ini dapat dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan pada bagian dinding-dinding candi. 

Misalnya, relief yang dipahatkan pada dinding-dinding pagar langkan di Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat Sang Buddha. 

Di sekitar Sang Buddha terdapat lingkungan alam Indonesia seperti rumah panggung dan burung merpati. Pada relief kala makara pada candi dibuat sangat indah. 

Hiasan relief kala makara, dasarnya adalah motif binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal semacam ini sudah dikenal sejak masa sebelum Hindu. Binatang-binatang itu dipandang suci, maka sering diabadikan dengan cara di lukis.

Relief binatang pada Candi Borobudur

Menurut J.L.A Brandes, gamelan merupakan satu diantara seni pertunjukan asli yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebelum masuknya unsur-unsur budaya India. 

Selama waktu berabad-abad gamelan juga mengalami perkembangan dengan masuknya unsur-unsur budaya baru baik dalam bentuk maupun kualitasnya. 

Gambaran mengenai bentuk gamelan Jawa kuno masa Majapahit dapat dilihat pada beberapa sumber, antara lain prasasti dan kitab kesusastraan. 

Macam-macam gamelan dapat dikelompokkan dalam chordaphones, aerophones, membranophones, tidophones, dan xylophones.

Kiri: Alat musik Celempung dan semacam kecapi (Candi Jago Malang)
Kanan: Alat musik Reyong (Candi Penataran, Blitar)

Pengaruh India membawa perkembangan seni sastra di Indonesia. Seni sastra waktu itu ada yang berbentuk prosa dan ada yang berbentuk tembang (puisi). 

Berdasarkan isinya, kesusastraan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tutur (pitutur kitab keagamaan), kitab hukum, dan wiracarita (kepahlawanan). 

Bentuk wiracarita ternyata sangat terkenal di Indonesia, terutama kitab Ramayana dan Mahabarata. Kemudian timbul wiracarita hasil gubahan dari para pujangga Indonesia. 

Misalnya, Baratayuda yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Juga munculnya cerita-cerita Carangan. Berkembangnya karya sastra terutama yang bersumber dari Mahabarata dan Ramayana, melahirkan seni pertunjukan wayang kulit (wayang purwa). 

Pertunjukan wayang kulit di Indonesia, khususnya di Jawa sudah begitu mendarah daging. Isi dan cerita pertunjukan wayang banyak mengandung nilai-nilai yang bersifat edukatif (pendidikan). 

Cerita dalam pertunjukan wayang berasal dari India, tetapi wayangnya asli dari Indonesia. Seni pahat dan ragam luas yang ada pada wayang disesuaikan dengan seni di Indonesia. 

Di samping bentuk dan ragam hias wayang, muncul pula tokoh-tokoh pewayangan yang khas Indonesia. Misalnya tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, dan Petruk. 

Tokoh-tokoh ini tidak ditemukan di India. Perkembangan seni sastra yang sangat cepat didukung oleh penggunaan huruf pallawa, misalnya dalam karya-karya sastra Jawa Kuno. 

Pada prasasti-prasasti yang ditemukan terdapat unsur India dengan unsur budaya Indonesia. Misalnya, ada prasasti dengan huruf Nagari (India) dan huruf Bali Kuno (Indonesia).

Gambar salah satu tokoh wayang

Sejak masa praaksara, orang-orang di Kepulauan Indonesia sudah mengenal simbol-simbol yang bermakna filosofis. Sebagai contoh, kalau ada orang meninggal, di dalam kuburnya disertakan benda-benda. 

Di antara benda-benda itu ada lukisan orang naik perahu, ini memberikan makna bahwa orang yang sudah meninggal tersebut rohnya akan melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan yang membahagiakan yaitu alam baka. 

Masyarakat waktu itu sudah percaya adanya kehidupan sesudah mati, yakni sebagai roh halus. Oleh karena itu, roh nenek moyang dipuja oleh orang yang masih hidup (animisme). 

Setelah masuknya pengaruh India kepercayaan terhadap roh halus tidak punah. Misalnya dapat dilihat pada fungsi candi. Fungsi candi atau kuil di India adalah sebagai tempat pemujaan. 

Di Indonesia, di samping sebagai tempat pemujaan, candi juga sebagai makam raja atau untuk menyimpan abu jenazah raja yang telah meninggal. 

Itulah sebabnya peripih tempat penyimpanan abu jenazah raja didirikan patung raja dalam bentuk mirip dewa yang dipujanya. 

Ini jelas merupakan perpaduan antara fungsi candi di India dengan tradisi pemakaman dan pemujaan roh nenek moyang di Indonesia. 

Bentuk bangunan lingga dan yoni juga merupakan tempat pemujaan terutama bagi orang-orang Hindu penganut Syiwaisme. Lingga adalah lambang Dewa Syiwa. 

Secara filosofis lingga dan yoni adalah lambang kesuburan dan lambang kemakmuran. Lingga lambang laki-laki dan yoni lambang perempuan.

Setelah datangnya pengaruh India di Kepulauan Indonesia, dikenal adanya sistem pemerintahan secara sederhana. 

Pemerintahan yang dimaksud adalah semacam pemerintah di suatu desa atau daerah tertentu. Rakyat mengangkat seorang pemimpin atau semacam kepala suku. 

Orang yang dipilih sebagai pemimpin biasanya orang yang sudah tua (senior), arif, dapat membimbing, memiliki kelebihan-kelebihan tertentu termasuk dalam bidang ekonomi, berwibawa, serta memiliki semacam kekuatan gaib (kesaktian). 

Setelah pengaruh India masuk, maka pemimpin tadi diubah menjadi raja dan wilayahnya disebut kerajaan. Hal ini secara jelas terjadi di Kutai. 

Salah satu bukti akulturasi dalam bidang pemerintahan, misalnya seorang raja harus berwibawa dan dipandang memiliki kekuatan gaib seperti pada pemimpin masa sebelum Hindu- Buddha. 

Karena raja memiliki kekuatan gaib, maka oleh rakyat raja dipandang dekat dengan dewa. Raja kemudian disembah, dan kalau sudah meninggal, rohnya dipuja-puja.

Bentuk alkulturasi budaya lain yang dapat dilihat hingga saat ini adalah arsitektur pada bangunan-bangunan keagamanan. 

Bangunan keagamaan berupa candi atau arca sangat dikenal pada masa Hindu-Buddha. Hal ini terlihat pada sosok bangunan sakral peninggalan Hindu seperti Candi Sewu, Candi Gedungsongo, dan masih banyak lagi. 

Juga bangunan pertapaan – wihara merupakan bangunan berundak. Bangunan ini dapat dilihat pada beberapa Candi Plaosan, Candi Jalatunda, Candi Tikus, dan masih banyak lagi. 

Bentuk lain berupa stupa berundak yang dapat dilihat pada bangunan Borobudur. Di samping itu juga terdapat bangunan Gua, seperti Gua Selomangkleng Kediri, dan Gua Gajah. 

Bangunan lainnya dapat berupa gapura paduraksa seperti Candi Bajangratu, Candi Jedong, dan Candi Plumbangan. Untuk memahami lebih lanjut baca buku Agus A. Munandar, Sejarah Kebudayaan Indonesia. 

Bangunan suci berundak itu sebenarnya sudah berkembang subur dalam zaman praaksara, sebagai penggambaran dari alam semesta yang bertingkat-tingkat. 

Tingkat paling atas adalah tempat persemayaman roh nenek moyang. Punden berundak itu menjadi sarana khusus untuk persembahyangan dalam rangka pemujaan terhadap roh nenek moyang. 

Pemikiran dasar dan filsafat yang melandasi kepercayaan ini terus hidup di dalam alam kehidupan, meskipun tidak begitu tampil di permukaan. 

Sebagai lokal genius yang menentukan arah perkembangan kebudayaan Indonesia dalam mengolah pengaruh Hindu-Buddha maka unsur-unsur praaksara itu makin nampak pengaruhnya. 

Ungkapan-ungkapan seperti candi, misalnya dipahami maknanya hanya sebagai pemujaan roh nenek moyang. Alas atau kaki candi berbentuk persegi/bujursangkar, berketinggian menyerupai batur dan dicapai melalui tangga yang langsung dapat menuju bilik candi. 

Di tengah kaki candi terdapat perigi tempat menanam peripih. Bagian kaki candi disimbolkan sebagai Bhurloka dalam ajaran Hindu atau Kamaloka dalam ajaran Buddha. 

Denah bagian tubuh candi pada umumnya berdimensi lebih kecil dari alasnya, sehingga membentuk serambi. Bagian tubuh ini dapat berbentuk kubus atau silinder yang berisi satu atau empat bilik. 

Pada candi Hindu lubang perigi yang ditutup yoni terdapat di tengah bilik utama, dinding luar terdapat relung-relung yang isi arca. 

Pada bagian atas setiap pintu masuk candi dihiasi kepala kala yang dikenal sebagai banaspati, yaitu lambang penjaga. 

Bagian atap candi selalu terdiri dari susunan tingkatan yang mengkecil ke atas, dan diakhiri dengan mahkota. Mahkota ini dapat berupa stupa, lingga, ratna, atau berbentuk kubus. 

Bagian atap candi disimbolkan sebagai tempat persemayaman dewa. Khusus untuk candi-candi Buddha menggunakan stupa sebagai elemennya. 

Secara keseluruhan candi menggambarkan hubungan makrokosmos atau alam semesta yang dibagi menjadi tiga, 

yaitu alam bawah tempat manusia yang masih mempunyai nafsu, alam antara tempat manusia telah meninggalkan keduniawian dan dalam keadaan suci menemui Tuhannya, dan alam atas tempat dewa- dewa.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA