Cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar berdasarkan perbandingan antara nama dengan objek

Upamana Pramana cara memperoleh pengetahuanmelalui perbandingan;dan4.Sabda Pramana/Agama Pramana cara memperoleh pengetahuan kebenaranmelalui kitab suci dan penyaksian dari orang suci yang layak dipercayakebenarannya.3Pelajaran

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Oleh: Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA.

Abstrak

Setiap ilmu harus memiliki epistimologi, karena kekuatan struktur bangunan sebuah ilmu serta fungsi dan peranannya dalam memecahkan masalah yang dihadapi sangat ditentukan oleh kekuatan struktur bangunan epistimologinya. Tidak hanya itu, epistimologi ilmu juga memiliki dampak sosiologis dan budaya yang amat luas, dan hal itu amat bergantung pada sumber, metode dan nilai yang digunakan dalam bangunan epistimologi ilmu tersebut. Di antara sumber yang umumnya diterima dan digunakan para ilmuwan Muslim maupun non Muslim untuk membangun epistimologi imu adalah fenomena alam jagat raya dan fenomena sosial yang dikaji melalui observasi dan ekperimen dengan menggunakan pancaindera dan akal pikiran. Sedangkan sumber yang berasal langsung dari Tuhan berupa  intuisi  atau ilmu al-hudluri (Ilmu yang datang dari Tuhan) melalui mukasyafah (terbuka tabir yang menghalangi manusia dengan Tuhan) melalui metode taziyah al-nafs (pembersihan diri) atau al-isti’dadiyah (penyiapan diri menunggu limpahan ilmu dari Tuhan) masih menimbulkan pro kontra, baik di kalangan ilmuwan Muslim maupun non-Muslim.

Penelitian literatur dengan analisis deskriptif dan  pendekatan dan filosofis normatif, sebagaimana disajikan dalam makalah ini membahas lebih lanjut tentang penggunaan intuisi dalam epistimologi ilmu baik di kalangan ilmuwan Muslim maupun non Muslim. Selain itu, dibahas pula sebab-sebab dan argumentasi mengapa mereka menerima intuisi itu atau menolaknya, serta implikasinya bagi kehidupan sosial kemasyarakatan dan budaya. Kajian ini dinilai penting, karena selama ini  pendapat umum mengatakan, bahwa semua ilmuwan muslim  menerima intuisi sebagai bagian dari epistimologi keilmuan, sedangkan ilmuwan Barat menolaknya. Tulisan ini  dimulai dengan menjelaskan pengertian epistimologi ilmu dan intuisi.

A.Epistimologi Ilmu

Epistimologi adalah teori pengetahuan yang membahas tentang cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang dipikirkan.[1] Selain itu ada pula yang mengartikan epistimologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan dan pangandai-pengandaiannya.[2] Mujamil Qomar  mengatakan, bahwa epistimologi ilmu  meliputi pembahasan yang berkaitan dengan seluk beluk ilmu pengetahuan; mulai dari hakikat, asal usul, sumber, metode, unsur, sasaran, dan macam-macam ilmu serta lainnya.  Epistimologi ilmu bukan hanya membahas metode dan pendekatan untuk memperoleh pengetahuan tentang ilmu, melaikan mencakup banyak aspek.[3] Sedangkan  Ilmu adalah pengetahuan yang telah tersusun secara sistematik dan logis serta telah melalui sebuah pengujian atau validasi sesuai persyaratan ilmiah, dan diterima sebagai kebenaran ilmiah. Dengan demikian, epistimologi ilmu adalah kajian filsafat yang membahas tentang sumber ilmu, metode dan pendekatan dalam menggunakan dan mengolah sumber tersebut, serta nilai atau manfaat dari ilmu  tersebut.

Sejalan dengan definisi tersebut, maka objek epistimologi ilmu sebagaimana dikemukakan Jujun S. Suriasumantri adalah segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan, dan sekaligus mengantarkan pada tercapainya tujuan, yaitu bukan untuk menjawab pertanyaan apakah yang saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu. Tujuan epistimologi bukan untuk memperoleh pengetahuan, kendatipun hal ini tidak dapat dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dan tujuan epistimologi adalah ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan, yakni potensi untuk memperoleh pengetahuan tentang pendidikan Islam.[4] 

Melalui epistimologi, selain seseorang dapat mengetahui proses tersusunnya suatu ilmu, juga memiliki kemampuan untuk menemukan dan menyusun ilmu tersebut. Dengan epistimologi diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran bahwa jangan sampai seseorang puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Dengan cara demikian, seseorang bukan hanya menjadi konsumen ilmu yang bersifat pasif, melainkan menjadi produsen ilmu yang aktif, kreatif dan dinamis, serta tidak  hanya  menjadi seorang pengikut, melainkan juga menjadi seorang penemu.[5]

                Sejalan dengan itu, maka epistimologi ilmu memiliki fungsi sebagai pengkritik, pemberi solusi, penemu dan pengembang.[6] Dengan epistimologi diharapkan dapat menyadarkan seseorang, terutama peserta didik atau mahasiswa, bahwa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diperlukan cara atau metode tertentu, sebab epistimologi menyajikan proses pengetahuan di hadapan seseorang dibandingkan dengan hasilnya. Epistimologi dapat memberikan pemahaman dan keterampilan yang utuh dan tuntas. Seseorang yang mengetahui proses sesuatu kegiatan, pasti akan mengetahui hasilnya. Sebalik orang yang tidak menguasai epistimologi, akan banyak mengetahui sesuatu, tetapi tidak mengetahui prosesnya. Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam misalnya, epistimologi memiliki peran, pengaruh dan fungsi yang begitu besar,yaitu sebagai penentu atau penyebab timbulnya akibat-akibat dalam pendidikan Islam. Oleh sebab itu, jika terjadi berbagai kelemahan dan kemunduran dalam ilmu dan praktek pendidikan Islam misalnya, maka yang terlebih dahulu harus diperkuat adalah epistomologinya. Kekohon bangunan epistimologi melahirkan ketahanan dan kekokohan sebuah ilmu dalam menghadapi pengaruh apapun. Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa masa depan sebuah ilmu apapun, sebetulnya dapat dipertaruhkan dengan kondisi epistimologinya.

B.Intuisi

                Secara harfiah intuisi dapat diartikan perasaan batin atau getaran jiwa yang dapat merasakan sesuatu, yang selanjutnya menimbulkan pengaruh ke dalam sikap, ucapan dan perbuatan. Intuisi yang tertinggi dapat mengambil bentuk wahyu sebagaimana dialami para Nabi. Sedangkan yang  lainnya dapat mengambil bentuk inspirasi (ilham), lintasan pikiran (flashes).[7] Hasil intuisi terkadang juga dapat mengambil bentuk bermacam-macam. Ibn Sina menyebutnya al-faidl (ilumination),[8] Zunnun al-Msri (w.860 M.) dan Imam al-Ghazali (w.1111 M.) menyebutnya al-ma’rifah[9] (w.1111 M.)  Syuhrawardi (                    ) menyebutnya al-isyraqiyah, Ahmad Asy-Syirbashi menyebutnya ilmu al-Mauhubah,[10] H.M.Quraish Shihab,  ulama lainnya menybutnya ilmu laduni,[11] orang  pesantren menyebutnya futuh, dan dalam tradisi masyarakat keraton di Jawa dikenal dengan nama wangsit.[12] Tentang bukti-bukti yang menguatkan adanya orang yang memperoleh pengetahuan intuisi ini dapat dijumpai di kalangan sufi. Benar seperti halnya mimpi, pengalaman mistik hanya dialami oleh orang perorang atau individual. Tetapi, tidak berarti oleh satu orang saja. Setiap diri manusia berpotensi untuk mengalami pengalaman mistik ini. Dari sejarah mistisisme, kita mengenal bukan hanya seorang mistikus, melainkan berpuluh-puluh  bahkan ratusan mistikus yang tersebar dalam ruang geografis yang berbeda dalam rentangan temporal yang berlainan mengalami pengalaman mistikus. Jalal al-Din Rumi, sebagaimana diceritakan oleh Mulyadhi Kartanegara, pernah mengatakan, bahwa kesadaran manusia mempunyai rentang terbatas untuk menerima limpahan ilmu, tetapi “ketidaksadaran” bisa menjadi pintu yang sangat lebar untuk iluminasi Ilahi.[13] Pernyataan itu bukan hanya omong belaka, tetapi dibuktikan sendiri oleh karya umatanya, Matsnawi al-Ma’nawi. Yaitu sebuah karya puisi yang mengandung 36 ribu bait puisi ini, dan  ternyata hanya bait-bait pertamanya yang merupakan goresan tangan pengarangnya. Sedangkan selebihnya diungkapkan sang Maulana secara spontan ketika beliau mengalami trance, yakni saat kesadaran intelektualnya terhenti, dan “kesadaran” intuitif terbuka lebar. Bagai aliran sungai yang besar, puisi-puisi sang Maulana mengalir deras dari mulutya dalam bentuk puisi-puisi kuplet yang sangat indah dan melodis, yang disebut Matsnawi. Beribu-ribu bait meluncur deras dengan cara puisi-puisi itu mengalir lewat proses nalar, karena tentunya akan terlalu lambat untuk menghasilkan puisi yang seperti itu. Tetapi bagaimanakah Matsnawi bisa tersusun  seperti yang kita saksikan sekarang terdiri dari enam buku. Itu tidak lain, seperti telah disinggung, terjadi karena “khilafah” Rumi, Husyam al-Din Chelebi, yang dengan setia dan cekatan menggoreskan setiap kata yang meluncur dai mulut Sang Maulana.[14]

                Selain contoh di atas, salah satu karya Ibn ‘Arabi, Sang Saikh Akbar, yang berjudul Risalah Al-Anwar fi Ma Yumnah Shahib al-Halwa min Asrar, bisa menjadi bukti atau saksi atas kekuatan pengalaman mistik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dalam buku yang tidak terlalu besar itu, Ibn ‘Arabi menceritakan pengalaman mistiknya yang luar biasa, ketika dalam sebuah zikirnya, dia bisa menembus berbagai dunia, (ada sekitar 23 tingkat pengalaman batinnya) baik yang bersifat fisik, seperti dunia mineral dan tumbuh-tumbuhan, maupun dunia-dunia ghaib termasuk melihat surga, neraka dan Arasy.[15]

                Memperhatikan dua contoh di atas, Mulyadhi Kartanegara mengatakan:  “Tentu kita bisa menyadari betapa dahsyatnya daya atau kehebatan pengalaman mistik intuitif dibandingkan dengan pengalaman indriawi ataupun intelektual, kecuali kalau Anda mencurigai kejujuran dari kedua sufi Muslim agung yang sangat dihormati tersebut, Rumi dan Ibn ‘Arabi. Dengan menyebutkan ilmu yang disampaikan seperti gambaran atau mitsal, atau dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan cahaya, maka sesungguhnya cahaya tersebut dapat diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki. Hal ini misalnya dapat dipahami dari firman Allah SWT: “Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki. (Q.S. al-Nuur, 24:35). Bukti empirik memperlihatkan bahwa para ulama yang tinggi tingkat ilmunya dan luhur kepribadiannya, serta senantiasa memelihara kesucian diri, adalah orang-orang yang tergolong memiliki pengalaman memperoleh ilmu secara intuitif. Mereka mampu menulis kitab yang terkadang dalam satu judul berpuluh-puluh jilid tanpa melakukan penelitian yang mengandalkan pancaindera dan akal pikiran melalui observasi dan eksperimen.  Mereka setelah memiliki persyaratan akademik, berupa penguasaan bahasa Arab dengan berbagai cabang ilmunya, seperi ilmu nahwu, sharaf,  balaghah, ilmu al-Qur’an, ilmu hadis, qawaid fiqhiyah, ushul fiqh, sejarah, dan lainnya.  Mereka melakukan pendekatan dengan Allah melalui penyucian diri (tazkiyah al-nafs), dzikir, shalat sunah, memelihara wudlu, dan sebagainya. Dengan cara itu mereka segera dapat menghasilkan pemahaman yang demikian luas dan mendalam tentang suatu ayat atau hadis, lalu mereka menarik hikmah, ajaran, nilai-nilai, dan pemahaman yang mendalam dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis yang mereka ingin pahami itu. Ibn Sina, seorang ilmuwan ensiklopedik, integrated, holistik dan multi talented misalnya mengatakan, bahwa pada saat ia menulis pada hakikatnya ia sedang bertasybih, yang melalui tangannya memacar pengetahuan dari Tuhan. Dalam kaitan ini, Athiyah al-Abrasyi menceritakan tentant Ibn Sina dengan mengatakan: “Dan di antara kebiaasaan Ibn Sina adalah, jika ia menemui masalah (ilmiah), maka ia pergi ke masjid, kemudian ia berwudlu, shalat sunnah, dan berdo’a, sehingga selubung yang menutupi akalnya terbuka.[16] Demikian pula Imam Syafi’I ketika mengalami kesulitan dalam memahami perkara  ilmiah, maka ia dinasehati oleh gurunya bernama Waqi’, agar menjauhkan dosa. Lengkapnya Imam Syafi’i berkata: Aku mengadu kepada guruku bernama Waqi’, karena aku sulit menyerap dan memahami perkara ilmiah. Maka guruku menasihatiku agar menjauhi perbuatan maksiat, dan ia mengajarkan bahwa ilmu itu cahaya, dan cahaya itu tidak akan diberikan kepada orang yang berdosa.[17] Pengalaman yang serupa juga terjadi pada Sayyid Quthb. Pada bagian awal kitab Tafsirnya, Fi Dzilal al-Qur’an sebanyak 8 jilid, ia menceritakan: Bahwa pada suatu saat aku sulit memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Kemudian aku pergi ke mesjid dan melakukan shalat hajat dan berdo’a, maka tiba-tiba pikiran dan hati sangat terang dan jernih, kemudian dalam pikiranku terlihat dengan terang maksud dari suatu ayat, dan kemudian aku ambil pena, dan aku terus menulis tanpa henti, dan dari pikiranku mengalir ilmu tanpa hentinya.[18]

Tidak hanya dari kalangan sufi dan  ulama saja yang bisa memperoleh pengetahuan langsung dari Tuhan. Semua orang bisa memperoleh pengetahuan melalui intuisi sesuai dengan tingkatan, kesungguhan dan metode yang ditempuhnya sebaimana akan dijelaskan pada bagian berikutnya. Pengetahuan intuitif bisa datang kepada mufassir, yaitu berupa bimbingan, pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang ayat-ayat tersebut pada saat mufassir  itu  sedang berupaya memahami dan menangkap makna di balik ayat (simbol). Pengetahuan intuitif bisa datang kepada para penyair, yaitu ketika  mereka sedang menggubah atau menyusun suatu syair, tib-tiba mereka  memperoleh pencerahan secara batin dari Tuhan yang selanjutnya mereka dapat melahirkan karya-karya puisi, syair, taushih, kata-kata hikmah dan sebagainya  yang original. Para penyair, sastrawan, pujangga, penulis novel, penulis lagu, penulis cerita, pembuat disain, arsitektur dan rancang bangun, ornamen, assesoris dalam bentuk karya seni yang indah, disain kendaraan, pesawat, alat-alat komunikasi, kesehatan, teknik pengobatan,  dan lainnya adalah orang-orang yang sesungguhnya memperoleh pengetahuan dari Tuhan, melalui intuisi, bukan dari bangku kuliah.Kita seringkali secara tiba-tiba mendapatkan pengetahuan dengan pencerahan batin kita. Pengalaman ini adalah pengalaman intuisi, dan mungkin setiap orang pernah mengalaminya, hanya frekwensinya yang membedakan masing-masing orang dalam mendapatkan intuisi itu. Ada orang yang kerap kali mendapatkan intuisi, tetapi sebaliknya, ada juga yang jarang sekali. Perbedaan perolehan intuisi ini sebenarnya juga menarik ditelusuri dari sudut penyebabnya.  Dalam kadar, tingkat dan keragamannya, seseorang bisa mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuhan melalui intuisi saat dia sedang buang air besar, berjalan-jalan, menjelang tidur, dan kedaan-kedaan lainnya yang tidak dipersiapkan untuk memikirkan secara serius terhadap pengetahuan. Sebaliknya terkadang seseorang sedang serius memikirkan sesuatu untuk mendapatkan pengetahuan, justeru intuisi itu tidak kunjung datang. Dengan pengertian lain, bahwa intuisi itu bisa datang kepada semua orang, termasuk kepada orang yang tidak percaya dan tidak mengakui intuisi itu sendiri. Intuisi datangnya sewaktu-watu tanpa memandang waktu, kesibukan maupun orang yang menerimanya.[19]

C. Intuisi sebagai Metode Ilmiah

                Kajian tentang intuisi sebagai metode llmiah dapat dijumpai pada pemikiran para pakar yang menyujui eksistensi dan peran intuisi tersebut. Sebaliknya bagi para pakar yang menolak intuisi  sebagai metode ilmiah baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim menganggap bahwa intuisi itu secara metodologis mengandung kelemahan, karena mengalami kesulitan dalam mengujinya. John Stuart Mill sebagaimana dikutip Mujamil Qomar misalnya mengatakan, bahwa persepsi yang didasarkan pada intuisi langsung tidaklah dapat diuji. Di sinilah salah satu letak problem intuisi ketika dijadikan sebagai metode atau pendekatan untuk menemukan pengetahuan. Belum jelas, alat apa yang dapat dipakai untuk menguji kebenaran atau keabsahan pengetahuan yang dihasikkan dari intuisi. Padahal menurut tradisi keilmuan, pengetahuan yang didapatkan melalui metode apapun harus dapat diuji kebenarannya.  Sedangkan dalam menguji kebenaran pengetahuan itu harus ada alat uji yang andal dan jelas. Jika terdapat pengetahuan yang ditemukan atau diperoleh tetapi kebenarannya tidak dapat diuji, maka tidak diakui sebagai pengetahuan ilmiah.[20]

                Di samping itu, kelemahan lain dari intusi itu adalah bahwa manusia menjadi pasif sama sekali. Mestinya manusia harus dinamis atau progresif. Dalam berfikir intuitif ini memang manusia berada pada posisi yang lemah. Padahal yang dikehendaki oleh ilmu pengetahuan adalah hasil pemikiran berupa kesimpulan sebagai produk dari usaha aktif manusia dalam menemukan kebenaran, bukan pengetahuan yang dianugerahkan. Persepsi umum di kalangan ilmuwan terhadap intuisi umumnya demikian. Intuisi dikesankan tidak dapat diuji kebenarannya, dan menempatkan manusia sebagai makhluk yang pasif, menunggu perolehan atau anugerah dari Tuhan. Manusia tidak bisa secara aktif mempercepat datangnya anugerah itu, dan tidak pula dapat dipastikan, apakah pengetahuan yang diperolehnya benar-benar berasal dari Tuhan atau dari sumber lain. Anggapan ini bisa dimaklumi karena akibat dari keterbatasan sumber, alat dan metode yang mereka gunakan yang tidak sepenuhnya dapat memecahkan masalah, serta akibat dari kesalahan dalam menggunakan alat dan metode tersebut. Mereka yang menolak intuisi sebagai metode ilmiah, karena mereka memandang, bahwa sumber ilmu hanya  alam jagat raya dengan segala isinya serta fenomena sosial. Mereka tidak mengakui adanya sumber ilmu lainnya, yaitu berupa wahyu (hadis) dan yang sejenis, namun tingkatannya berbeda-beda yang berasal dari Tuhan, yaitu taufik, hidayah, ilham, dan pencerahan batin lainnya yang mengambil bentuk nama yang berbeda-beda, yaitu  al-faid (ilmunation), al-irfan, ma’rifat, al-mauhubah, al-isyraqiyah, al-laduni,  al-futuh, atau wangsit. Ketidak-percayaan atau penolakan terhadap intusi ini terjadi, karena mereka tidak percaya kepada Tuhan. Mereka tidak mengakui bahwa adanya hukum kausalitas, hukum-hukum alam (natural of law), dan berbagai keistimewaan yang ada di  alam sebagai sunnatullah atau ayat-ayat Allah, melainkan sebagai gejala atau fenomena alam yang terjadi secara alami, natural, atau tabi’at dari alam itu sendiri, tanpa ada hubungannya dengan Tuhan. Hal ini terjadi pula pada fenomena alam yang ada pada manusia secara total. Dengan demikian, ketika alam jagat raya dan segenap makhluk termasuk manusia binasa, maka hal itu dianggap sebagai siklus alam saja. Manusia mati, sama dengan makhluk lainnya, hancur jadi tanah, tanpa ada pertanggung jawaban hidup di akhirat. Sebab lainnya mereka bersikap demikian, adalah karena alat yang mereka gunakan untuk menjelaskan semua permasalahan, termasuk masalah yang ghaib, seperti kehidupan alam kubur, syurga neraka, bahagia dan celaka, akhlak dan moral serta nilai-nilai universal lainnya hanyalah pancaindera dan akal melalui observasi dan eksperimen, sedangkan pancaindera dan akal itu sendiri kemampuannya terbatas. Jangankan untuk mengetahui yang gaib atau metafisik dan eskatologis, sedangkan untuk memahami yang nampak, fisik dan duniawi saja, pancaindera dan akal sebagaimana dikemukakan al-Ghazali adalah terbatas. Penggunaan pancaindera atau akal, atau dengan kata lain menggunakan pancaindera dan akal untuk memahami dan menjangkau hal-hal yang ghaib adalah salah penggunaan. Alat untuk memahami hal-hal yang ghaib adalah hati nurani yang telah diisi dengan keimanan dan disucikan sehingga dapat limpahan pengetahuan dari Tuhan. Hati nurani yang jangkauan dan kekuatan serta tingkat akurasinya lebih kuat daripada pancaindera dan akal, sebagaimana dikemukakan al-Ghazali inilah yang tidak mereka akui, dan tidak mereka gunakan. Ilmu dari Tuhan ibarat lautan, dan pasti benar. Sedangkan pancaindera dan akal ibarat cangkir atau ember, maka tidak mungkin keduanya dapat menjangkau pengetahuan dari Tuhan; yang dapat menerima pengetahuan langsung dari Tuhan yang juga dalam kadar yang terbatas, namun lebih meyakinkan, dan pasti benar, adalah hati nurani. Dengan demikian, jika pengetahuan yang diperoleh pancaindera dan akal mungkin salah dan jangkauannya sangat terbatas, maka pengetahuan dari Tuhan melalui intusi pasti benar, namun penggunaannya oleh manusia bisa salah, serta jangkauan atau kadar yang diterima manusia juga melalui hatinya juga terbatas. Jadi, pancaindera, akal dan hati nurani manusia terbatas juga. Demikian pula penggunaanya juga sama. Hasil pancaindera, akal pikiran dan hati nurani manusia juga terbatas. Demikian pula penggunaanya oleh manusia bisa salah atau bisa benar, tergantung manusia yang menggunakannya. Sedangkan dari tingkat meyakinkannya hasil dari hati nurani lebih meyakinkan. Kembali kepada metode atau langkah-langkah untuk memperoleh imu yang langsung dari Tuhan (intuisi) telah banyak dibicarakan para ahli. Mulyadhi Kartanegara misalnya mengatakan sebagai berikut.

                Kalau dalam penelitian objek-objek indrawi metode observasi, atau eksperimen harus dibantu dengan sistem pengukuran (measurement) dan juga alat bantu, dan pengenalan rasional harus dicapai dengan pengenalan dan penerapan kaidah-kaidah logika begitu ketat, maka cara orang untuk memperoleh ilmu hudlhuri adalah dengan isti’dad, yaitu mempersiapkan diri untuk menyongsong iluminasi (pencahayaan) langsung dari Tuhan. Bukan dengan mempertajam indera atau olah nalar, melainkan dengan membersihkan diri (hati) kita dari segala kotoran atau dosa dan noda. Untuk bisa menangkap objek-objek pengenalan intuitif dengan lebih sempurna, maka lensa hati kita harus tetap dijaga kebersihan dan kehalusannya. Itulah sebabnya berdzikir yang intinya adalah menghapus setiap debu syirik dari hati ita dan tazkiyah al-nafs (pembersihan diri terutama dari egosentrisme) menjadi sangat penting dalam upaya kita mengenal lebih baik objek-objek yang hadir dalam diri ita tersebut. Dengan demikian, bukan pengolahan indra atau nalar yang dipentingkan di sini, melainkan olah batin atau spiritual, seperti yang dilakukan oleh orang-orang saleh, termasuk nabi dan para wali, atau seperti yang kita lihat dalam latihan-latihan spiritual (riyadhah al-nafs) yang diselenggarakan dalam tarekat-tarekat.[21]

Al-Ghazali sebagai seorang sufi yang  sudah sampai pada tahap mencapai ilmu melalui intuisi, atau dzauq menawarkan sebuah metode yang dinilai efektif. Dalam bukunya Ihya’ Ulum al-Din ia menawarkan tahapan sebagai berikut. Pertama, taubat; Kedua, sabar dan syukur; Ketiga, al-khauf wa al-raja’;  Keempat,  al-faqr wa al-zuhd; Kelima,  al-tauhid dan tawakkal; Keenam, al-mahabbah wa al-syau;, Ketujuh, al-niyyat, al-ikhlash dan al-shidqu; Kedelapan, al-tafakkur, dan Kesembilan dzikr al-maut wa maa ba’dahu. Dari sembilan tahapan ini sesungguhnya ada 16 kegiatan yang harus dilakukan. Yaitu Taubat adalah kegiatan yang terdiri dari tiga tingkatan, yakni aspek pengetahuan tentang taubat, keadan dan praktek taubat, antara satu dan lainnya saling berkaitan. Sabar adalah tingkatan dalam agama dan tempat orang-orang yang sedang menuju Allah yang juga terdiri dari pengetahuan keadaan dan praktek;   Sabar dalam menjalankan perintah agama, sabar dalam mengendalikan syahwat. Sedangkan syukur pengetahuan bahwa semua ni’mat dari Allah yang memberikannya, disertai pengetahuan tentang sesuatu yang dicintai Allah dan dibenci-Nya. Ni’mat terdiri dari kebaikan, kelezatan dan kebahagiaan yang masing-masing memiliki pengaruh, dan kebahagiaan di akhirat adalh ni’mat yang hakiki. Selanjutnya tentang tauhid terdiri dari tiga tingkatan. Yang pertama, seseorang dengan lisannya mengucapkan lailaaha illa Allah (Tiada Tuhan selain Allah, namun hatinya masih lupa pada Allah atau mengingkarinya, dan inilah yang disebut tauhid munafiq. Kedua, membenarkan dengan hati apa yang diucapkan dengan lisan. Ketiga, menyaksikan keagungan Tuhan dengan jalan kasyaf dengan perantaraan cahanya Ilahi dan inilah posisi kaum muqarrabin, dan Keempat, tidak melihat hal lainnya dalam wujud jecuali hanya Allah, dan itulah kesaksian seorang ang shadiq,  dan di dalam tasawuf disebut al-fana fi al-tauhid, karena hal itu terjadi dengan cara tidak melihat yang lain kecuali yang Esa, Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya tawakkal adalah gambaran tentang keterikatan yang kokoh dari hati sanubari terhadap al-Wakil (Yang Maha Mewakili, Allah SWT) saja. Dengan tawakkal ini maka tercapailah hidayah (petunjuk ilahiyah), kekuatan spiritual, keterang benderangan, dan ketenggelaman batin pada nur ilahi. Selanjutnya mahabbah yang sesungguhnya tidak akan tercapai kecuali setelah ma’rifah, karena mahabbah sulit digambarkan kecuali setelah adanya pengetahuan yang mendalam pada Tuhan, dan manusia tidak akan mencintai seseorang kecuali sebelumnya sudah diketahuinya, ungkapan umum mengatakan, karena tak kenal maka tak cinta. Sedangkan niyat, kehendak dan maksud merupakan ungkapan atau kosakata yang sudah maklum dan mengandung kesatuan makna, yaitu suatu keadaan atau sifat hati yang mencakup dua hal, yaitu ilmu dan amal. Adapun ikhlas adalah bahwa sesuatu terkadang ingin ditiru orang lain, dan jika perbuatan tersebut bersih dari ingin ditiru atau dipuji orang lain, maka perbuatan tersebut dinamakan ikhlas, dan orang yang melakukannya disebut mukhlish. Terkait dengan ikhlas ini, maka dilanjutkan dengan muhasabah, yaitu setiap orang hendaknya membiasakan diri untuk melakukan introspeksi dan evaluasi pada semua usianya, hari demi hari, jam demi jam, terhadap anggota badannya, dzahir dan batinnya. Selanjutnya yang disebut al-fikr atau tafakkur adalah menghadirkan pengetahuan yang hakiki di dalam hati agar dengan demikian terjadi keberlangsungan ma’arifah. Puncak dari semua itu adalah ma’rifah dan memandang wajah Allah yang merupakan kelezatan yang paling tinggi.[22] Al-Ghazali sebagaimana dikutip Harun Nasution berkata, bahwa: “ma’rifat adalah nampak terang dan jelas rahasia keagungan Allah dan ilmu yang berkaitan dengan urusan ketuhanan yang meliputi atas segala yang maujud.”[23]

Itulah antara lain metode atau langkah-langkah yang ditempuh untuk mencapai pengetahuan intuitif dari Tuhan. Metode tersebut pada intinya adalah membersihkan hati, karena hati yang sudah bersih inilah yang dapat menerima ilmu dari Tuhan. Melalui metode ini, seseorang yang ingin mendapatkan ilmu tidak pergi ke sekolah, perguruan tinggi atau diskusi ilmiah, tetapi dia pergi kepada Allah dengan melakukan serangkaian kegiatan tersebut. Orang tersebut langsung pergi kepada Allah sebagai sumber ilmu; ibarat radio atau televisi, ia menggunakan antene varabola, yang dalam hal ini hati yang sudah dibersihkan yang dapat menangkap ilmu dari Tuhan. Mereka percaya, bahwa di samping banyak orang yang Alim (sarjana atau guru) ada yang Maha Guru, dan kepada-Nyalah orang mengharapkan. Dalam kaitan ini, terdapat ayat al-Qur’an yang artinya:  “Kami angkat derajat orang yang Kami kehendaki, dan di atas setiap orang yang berpengetahuan ada yang lebih mengetahui.” (Q.S. Yusuf, 12:76). Agar hati manusia selalu tercantol dengan Ilmu Tuhan, maka ia harus terus membersihkannya, dan jangan sekali-kali lupa. Yaitu orang yang memiliki hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah)m dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (Q.S. al-A’raf, 7:179).  Kelengahan ini terjadi, karena hati mereka lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat duniawi, bujukan syahwat, syaithan dan hawa nafsu. Dengan demikian kuncinya adalah memelihara kesucian dan kebersihan diri. Jadi pangkalnya adalah hati yang sehat, baik hati secara fisik, maupun hati secara spiritual. Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan:  “Ingatlah bahwa pada dirimu terdapat segumpal darah, jika ia sehat, maka sehatlah seluruh badan, dan jika segumpal darah itu rusak (sakit), maka rusaklah seluruh badan seluruhnya. Ingatlah, bahwa segumpal darah (mudghah) itu adalah hati.”(H.R. Bukhari). Terkait hadis ini, Zaghlul An-Najjar berkata:

Hadis ini memuat secercah kemukjizatan ilmiah, karena penyakit  apapun apabila telah menyerang hati atau jantung, maka ia akan merusaknya dan akhirnya akan merusak seluruh tubuh. Hal itu dikarenakan jantung befungsi memompa darah yang tidak bersih (belum teroksidasi) dari bilik jantung bagian kanan ke paru-paru yang langsung melakukan proses oksidasi darah, lalu mengembalikan darah yang sudah bersih (teroksidasi) dari paru-paru ke bilik jantung bagian kiri yang kemudian memompanya ke seluruh tubuh. Jantung dalam arti fisik ini, mensuplai triliunan sel-sel pembentuk tubuh manusia dengan gas oksigen dan sari-sari makanan.[24] 

Bersamaan dengan itu, hati juga memiliki makna batin sebagai tempat di mana Allah dapat melimpahkan ilmu-Nya, jika hati tersebut sudah bersih. Hati yang bersih itulah hati yang selalu dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Sebaliknya jika hati kotor, banyak mengikuti bujukan syaithan, hawa nafsu syahwat dan ghadlab, serta mencintai duniawi, maka hatinya akan kotor dan ia tidak dapat menggunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah SWT. Hati orang yang demikian adalah hati orang yang celaka. Mushtafa al-Maraghiy dalam Tafsir al-Maragy menyimpulkan ayat 179 surat al-A’raf sebagaimana disebut di atas sebagai berikut.

Sesungguhnya ahli neraka itu adalah mereka yang kaya raya, yang bodoh, yang lalai, yang tidak dapat mempergunakan akalnya dalam memahami hakikat segala perkara, tidak mempergunakan penglihatan dan pendengarannya di dalam menetapkan ma’rifat dan mengambil faidah ilmu pengetahuan, dan tidak pula menggunakannya dalam memahami ayat-ayat Alah yang bersifat kauniyah, dan ayat-ayat yang bersift tanziliyah, yang keduanya menjadi sebab sempurnanya iman, dan mendorong jiwa untuk menyempurnakan Islam.[25]

Sementara itu, Mujamil Qomar mengemukakan tentang metode hadirnya intusi sebagai berikut.

Kita tidak hanya secara pasif menunggu datangnya intuisi, tetapi justru yang perlu dipikirkan bagaimana cara mendatangkan intuisi itu.  Salah satu tawaran untuk menghadirkan intuisi adalah dengan bantuan musik untuk merangsang otak kanan. Ada teori yang mengatakan, bahwa dalam situasi otak kiri sedang bekerja, seperti mempepalajari materi baru, musik akan membangkitkan reaksi otak kanan yang intuitif dan kreatif, sehingga masukannya dapat dipadukan dengan keseluruhan proses. Hal ini disebabkan, “cara berfikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, ituitif dan holistik.” Bila dilihat dari waktu kemunculannya, ada intuisi yang datangnya mengalami tenggang waktu dari proses berfikir (terkadang cukup lama), ada intuisi yang datangnya relatif langsung dari proses berpikir, dan ada pula intuisi yang datangnya bersamaan dengan proses berfikir. Ketiganya memiliki substansi yang sama, hanya waktu merespon yang berbeda. Intuisi yang makin cepat hadir semaki baik untuk mewujudkan dinamika pengetahuan. Seandainya masih dapat disiasati, maka intuisi yang datangnya bersamaan dengan proses berpikir itulah yang paling kita upayakan.[26]

Sejalan dengan peran hati dalam memperoleh intuisi, Murthadha Muthahhari mengatakan:

Islam tergolong kelompok yang mengakui hati sebagai suatu sumber pengetahuan yang alatnya adalah menyucian jiwa (taziyah al-nafs). Dalam proses mendapatkan irfani atau intuisi itu, al-Qur’an tidak menganjurkan manusia agar mengucilkan diri dari masyarakatnya, pergi ke bukit-bukit, selama empat puluh hari duduk bersila, tidak berurusan dengan berbagai aktivitas.[27]

Berkenaan dengan  penyucian jiwa, di situ terdapat dua fungsi. Fungsi pertama, jika manusia melakukan penyucian jiwa, maka pandangan rasionya akan menjadi lebih terang. Sebagai contoh jika Anda berada dalam ruangan yang dipenuhi asap yang berterbangan, maka Anda tidak dapat melihat sesuatu yang ada beberapa meter dari kaki anda. Jika Anda ingin melihatnya, maka Anda memerlukan cahaya dan oksigen. Salah satu pengaruh dari penyucian jiwa itu ialah membersihkan ruangan yang ada dalam rasio. Tetapi fungsi penyucian jiwa tidak hanya ini saja. Hati manusia itu sendiri memberikan ilham kepada manusia. Mengenai  tahapan-tahapannya tidak dijelaskan oleh Muthahhari secara detail,  karena efektifitas metode tersebut pada setiap orang bisa bersamaan, sedangkan pada yang lain bisa berbeda lagi. Bisa sepuluh tahap, seratus tahap, atau seribu tahap, dan bisa satu tahap, karena semua itu berasal dari satu sumber, yaitu “hati” dan tidak memiliki sumber.

Selain itu dapat pula ditempuh dengan berkontemplasi yang peranannya sebagai alat bagi intuisi, inspirasi dan mimpi. Kontemplasi adalah usaha mengerahkan kemampuan akal dalam bentuk perenungan-perenungan guna menangkap pengetahuan baru sebagai temuan. Dalam bahasa Arab biasanya kontemplasi diartikan tafakkur, tahannust, tirakat, bertapa, atau mengheningkan cipta. Perenungan-perenungan tersebut akan menembus batas yang akal tidak sanggup mencapainya. Pada saat demikian ini biasanya intuisi muncul. Jadi, kontemplasi menjadi pemancing timbulnya intuisi.[28]

Dari penjelasan tentang datangnya ilmu dari Tuhan dalam bentuk intuisi ternyata secara keseluruhan membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh, bukan menunggu secara pasif. Para sufi yang memperoleh pengetahuan langsung dari Tuhan ternyata harus bekerja keras melalui mujahadah dan riyadhah, yakni bekerja keras mengendalikan hati dari berbagai pengaruh negatif dan menghiasnya dengan taubat, zuhud, sabar, ikhlas, tawakal, syukur, khauf, raja’ (berharap), dan sebagainya. Dengan demikian, anggapan bahwa intuisi  datang dengan sendirinya tanpa usaha dan pasif dengan sendirinya terbantahkan.

Penjelasan tersebut juga memberikan informasi tentang adanya bentuk intuisi  yang memiliki hubungan dan kerjasama yang baik dengan pancaindra dan akal. Intuisi mengungkapkan sesuatu yang baru sama sekali, karena berada di luar jangkauan indera dan juga akal. Penggunaan akal dan intuisi seara integral dapat memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pengembangan metode-metode yang dipakai menggali pengetahuan. Metode interpretasi misalnya diyakini akan tumbuh dan berkembang melalui pemanfaatan metode yang menggunakan akal dan intuisi. Akal berpotensi mempertajam penafsiran-penafsiran terhadap suatu konsep, sedangkan intuisi berpotensi menyempurnakan penafsiran tersebut terutama yang tidak terjangkau oleh potensi akal. Melalui akal dan intuisi, penafsiran tersebut bisa bernuansa rasional dan mungkin juga supra rasional atau spiritual.[29]

D.Dampak Sosial Kemasyarakatan dan Lainnya

                Kehadiran ilmu pengetahuan yang dibangun oleh epistimologi yang berbasis pada perpaduan pancaindera,  akal dan hati (intuisi) dengan ilmu yang hanya dibangun oleh epistimologi yang hanya berbasis pancaindera dan akal sangat berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat pada umumnya, dan kegiatan pendidikan pada umumnya. Harian Kompas, Sabtu, 25 Februari, 2017 pada halaman 7 memuat tulisan Saudara Ahmad Zainuddin, berjudul Komidifikasi Dunia Pendidikan. Menurutnya dunia pendidikan di era sekarang menghadapi tantangan besar dengan adanya liberalisasi dan perdagangan global sehingga berdampak pada komodifikasi pendidikan. Artinya, pendidikan tak lagi jadi alat transformasi sosial. Pendidikan telah menjadi komoditas yang menguntungkan demi kepentingan ideologi penguasa dan pihak-pihak tertentu.  Lebih lanjut ia mengatakan[30] bahwa pendidikan di Indonesia sedang mengalami distorsi baik dari segi proses, mutu, maupun pencapaian kualitas. Dari segi proses, pelaksanaan pendidikan tidak relevan dengan evaluasi kemajuan yang dicapai. Dari segi mutu, terjadi kelemahan perencanaan pendidikan dan kesenjangan lulusan dengan kebutuhan masyarakat. Sementara dari segi kualitas, terjadi distorsi karena kurangnya analisis menyeluruh dalam menerapkan sebuah kebijakan pendidikan. Kasus proyek buku sekolah, perubahan kurikulum,dinas pendidikan di Indonesia yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam menerapkan doktrin-doktrin tertentu adalah bagian dari masalah pendidikan yang belum terpecahkan. Contoh-contoh ini memperlihatkan adanya hal yang hilang dari dunia pendidikan, yakni pandangan yang holistik tentang fungsi pendidikan, serta dasar-dasar yang digunakannya. Untuk itu tulisan tersebut menyarankan agar pendidikan dilihat sebagai investasi sumber daya insani dan berada di gais paling depan dalam upaya memajukan sebuah bangsa. Proses pendidikan mencakup semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum dan sebagainya. Oleh karena itu, penanganannya harus mempertimbangkan seluruh aspek tersebut supaya tercapai tujuan pendidikan yang diharapkan.[31] Hal ini mengisyaratkan perlunya merancang konsep pendidikan yang dibangun berdasarkan epistimologi yang komprehensif dan holistik, yang tidak hanya didasarkan pada ekonomi liberal kapitalistik, dan kepentingan politik penguasa, tetapi dibangun dengan melibatkan peran transformasi sosial pendidikan, memusiakan manusia, dan memadukan pendekatan yang holistik, antara dimensi pancaindera (hand), dimensi akal (head) dan dimensi hati nurani atau intuisi (heart).

                Sejalan dengan watak pendidikan yang tidak berwawasan intuisi dan moral sebagaimana tersebut di atas, berdampak pada dihasilkannya sains modern yang berwatak korup dan membahayakan kehidupan manusia. Menurut kesaksian Arnold (1992) sebagaimana dikutip Moeflich Hasbullah, tentang adanya watak sains modern yang korup yang disebabkan karena kepalsuan teori dan kerancuan praktiknya. Dalam bukunya Challenging the Myths of Modern Sciences (1992), Arnold, sebagai dikutip Mujamil Qomar,  mengatakan:

                Modern science and technologies are corrupt not because they are evil in themselves…. But because many perceptions in, and methodes of science are wrong in theory and in practice, and because many scientists refuse to face the consequences of their work or make value judgements about its possible applications. Such an attitude make technicians out of those who profess to practice science.[32]

                Kutipan tersebut menginformasikan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan saat ini adalah ilmu dan teknologi yang basis epistimologi dan teori yang dihasilkannya salah, sesat, dan keliru, antara lain tidak melibatkan peran intuisi yang berasal dari Tuhan Yang Maha Benar, dan berimplikasi pada wilayah aksiologi ilmu yang membawa rahmat bagi seluruh alam, dan bukan sains dan technologi yang membawa bencana kebudayaan, peradaban dan kemanusiaan seperti yang terjadi sejak sains dan teknologi tersebut dilahirkan.

                Akibat kesalahan pada tataran epistimologinya, maka pada tataran aksiologinya sains dan teknologi tersebut salah dan berbahaya. Sains modern mengeksplorasi manusia dan alam bukan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Sains dikembangkan dengan orientasi atau pengukuhan “pusat kuasa”. Akibatnya menimbulkan dislokasi, disorientasi, malaise spiritual, dan split personality manusia modern. Manusia modern sebagaimana disebutkan sebagian  peneliti, menjadi sepenuhnya teralienasi dari dirinya sendiri sebagai eksistensi. Hal ini menurut Havel, sebagaimana dikutip Moeflich Hasbullah adalah  karena sains modern hanya mengungkap permukaan-permukaannya dari sesuatu, hanya satu dimensi realitas. Semakin dogmatis sains memperlakukan realitas sebagai satu-satunya dimensi, sebagai esensi dari realitas, semakin menyesatkan dia. Karena itu, manusia Barat modern menemukan dirinya dalam dunia yang penuh paradoks. Kita menikmati capaian-capaian peradaban modern yag telah membuat hidup kita di atas bumi begitu mudah dalam urusan apapun, tetapi kita belum juga tahu apa sesungguhnya yang harus kita lakukan terhadap diri kita sendiri, ke mana kita harus pergi. Dunia pengalaman kita tampak kacau, linglung dan bingung, karena hidup tidak juga menentu. Peledakan bom atom di Hirosima dan Nagasaki, 6 Agustus 1945 oleh Amerika yang memusnahkan jutaan manusia; Holocaust-nya Hitler tahun 1942 menyebabkan enam juta orang Yahudi meregang nyawa dalam pengapnya embusan gas beracun; senjata-senjata modern supercanggih, seperti rudal, bom nuklir dan sejenisnya diproduksi untuk menghancurkan kehidupan manusia. Belakangan, bayi tabung, bank sperma, kloning telah mengacaukan struktur keturunan, sistem kekeluargaan, dan pranata-pranata sosial masyarakat.[33] Modernitas telah membuat the end of family. Demikian pula media cetak dengan sangat sewenang-wenang memperlakukan khalayak tidak lebih dari sekedar pasar untuk kolonialisasi nilai, dominasi makna, anarkisme kultur, reproduksi sadisme, pornografi, kekerasan seksual, budaya ekstase lewat obat bius, dan ekspos teknologi kejahatan. Ini semua hanyalah sebagian dari deskripsi eksploitasi dan disfungsionalisasi sains dan teknologi yang terlepas dari kontrol-kontrol moral-etika agama. Dalam kaitan ini, Sardar, sebagaimana dikutip Moeflih Hasbullah, mengatakan:

                Teknologi modern adalah produk sejarah dan kebudayaan yang khas dari peradaban Barat,dan senantiasa membawa benih-benih asli dari kebudayaannya ke manapun ia disebarkan… Ketika benih-benih itu telah tumbuh sempurna dan matang.. masyarakat yang mengadaptasikan teknologi itu berubah menjadi perpanjangan kebudayaan Eropa dan peradaban Barat. Oleh karena itu, bukan hanya merupakan instrumen dari dominasi dan ketergantugan fisik, ia juga merupakan alat imprialisme kebudayaan.[34]

                Penggunaan epistimologi ilmu yang bukan hanya didasarkan pada hasil observasi dan eksperimen yang menggunakan pancaindera dan akal pikiran, melainkan didampingi oleh metode intusi yang menggunakan hati nurani adalah merupakan salah satu solusi yang ditawarkan. Namun sayang, baik dari kalangan sarjana Muslim, apalagi kalangan sarjana non-Muslim tidak semuanya setuju terhadap penggunaan intusi tersebut, sebagaimana diuraikan di bawah ini.

E.Sikap Sarjana Muslim dan Non Muslim terhadap Penggunaan Intuisi dalam Epistimologi Ilmu

                Semula orang menduga, bahwa seluruh sarjana Muslim menerima penggunaan intuisi dalam epistimologi ilmu, dan seluruh sarjana Barat  menolaknya. Fakta menunjukan dugaan tersebut keliru. Di kalangan sarjana Muslim sebagian besar menerima intuisi, dan sebagian kecil menolak. Sebaliknya, di kalangan sarjana Barat, sebagian besar menolak intuisi, dan sebagian kecil menerimanya. Dalam aplikasinya, maka jumlah kelompok yang besar, baik dari kalangan sarjana Muslim maupun sarjana non-Muslim, itulah yang akan mendominasi. Akibatnya, epistimologi ilmu di kalangan sarjana Muslim didominasi oleh pendekatan bayani dan irfani; sedangkan di kalangan sarjana non-Muslim didominasi oleh pendekatan ijbari, burhani dan jadali, yakni observasi, ekperimen dan kebebasan penggunaan akal (rasionalisme, liberalisme, pragmatisme dan turunannya).

                Ibn Sina, al-Ghazali, Imam Syafi’I, Jalaluddin Rumi,  Syuhrawardi, Mulla Shadra, Sayyid Quthb, Muhammad Naquib al-Attas, Ziauddin Sardar dan Ismail Faruki, kalangan ulama pesantren,  adalah contoh dari sarjana Muslim yang menerima dan telah menggunakan intuisi dalam bangunan epistimologinya. Hal ini didasarkan pada tiga alasan sebagai berikut: Pertama,  metode intuisi adalah metode yang banyak digunakan manusia, dan dikenal sangat berhasil dan efektif di kalangan orang-orang yng bergelut dalam dunia spiritual. Kedua, metode intuisi dapat diuji kemampuannya dalam memahami realitas secara objektif. Objektivitas merupakan sesuatu yang diharapkan setelah diberlakukan suatu metode dapat dicapai oleh metode intuisi. Ketiga, metode intuisi dapat dipelajari dan dikuasai oleh siapa pun dengan usaha-usaha yang intents dan terbimbing.[35] Selain itu, dapat ditambahkan, bahwa metode intuisi yang menggunakan hati (al-qalb) sebagai alatnya, ternyata diakui keberadaannya oleh orang yang tidak mengakui intuisi sebagai metode ilmiah,  walaupun hanya  sebagai fakta psikologis. Selanjutnya, metode intuisi terbukti telah melahirkan berbagai produk atau temuan ilmiah, bukan hanya mengenai hal-hal yang bersifat moral spiritual, melainkan hingga pada hal-hal yang bersifat fisikal dan metafisikal, sebagaimana hal ini biasanya dicapai oleh metode observasi dan eksperimen. Dengan kata lain, bahwa temuan yang dihasilkan melalui metode intuisi ternyata meliputi, bahkan melampaui temuan yang dihasilkan melalui metode observasi dan eksperimen. Selain itu, bahwa proses untuk efektifnya kerja hati dalam rangka mendapatkan pengetahuan yang efektif langsung dari Tuhan ternyata sangat canggih dan mendapat perhatian yang luar biasa dari para sufi dan pemimpin thariqat yang hingga kini terus diamalkan.[36]

                Sementara itu, mereka yang menolak intuisi sebagai metode ilmiah adalah al-Razi. Keberatan al-Razi bukan hanya disebabkan ia menentang intuisi, melaikan lebih dari itu, al-Razi, bahkan terang-terangan menentang kenabian dan wahyu. Pandangan al-Razi ini pada masa hidupnya telah mendapatkan perlawanan yang keras dari al-Farabi, sehingga dia mengungkapkan falsafat kenabian.[37] Sikap al-Razi ini mirip dengan sarjana Barat, bernama Ayer dalam hal menyangkal semua peranan yang bisa disebut sebagai intuisi intelektual. Mereka hanya meneima akal logislah yang merupakan kriteria tunggal pengetahuan dan perilaku. Tak ada kekuatan irasional dapat dikerahkan. Bedanya adalah, jika Ayer menyebutnya intuisi intelektual, sedangkan al-Razi menyebutnya intuisi mistis. Kedua istilah ini memiliki konsekwensi pemaknaan yang berbeda.Namun hingga saat ini al-Razi ini tidak ada pengikutnya di kalangan masyarakat Muslim.

                Pengikut al-Razi dalam hal menentang intuisi justru sebagian besar ada di Barat, yang jumlahnya lebih banyak daripada yang menerimanya. Di antara mereka yang menolak intuisi di Barat adalah John Stuart Mill. Penentangannya terhadap intuisi ini memiliki pengaruh besar, bukan hanya di kalangan Barat, melainkan di kalangan non Barat yang telah terpengaruh oleh pola pikir, tradisi dan kultur pemikiran Barat. Menurut mereka intuisi tidak empiris, tidak rasional, dan akhirnya tidak ilmiah. Implikasiya intuisi itu tidak memenuhi syarat sebagai suatu metode keilmuan.[38] Selain itu ada pula nama Maslow, dan Nietzsche. Kedua tokoh ini walaupun menolak intuisi sebagai metode keilmuan, namun ia mengakui intuisi sebagai intelegensi yang paling tinggi, dan sebagai fakta psikologis, karena mereka pernah mengalami mendapatkan intuisi dalam kehidupannya sehari-hari sehingga mereka tidak bisa mengingkarinya. Bahkan lebih dari sekedar pengalaman, intuisi telah memberikan kesan mendalam bagi mereka sebagai kejadian yang menakjubkan, intuisi dapat mengungguli pengalaman-pengalaman lainnya, dan memberikan pencerahan intelektual yang luar biasa.[39]

                Sarjana Muslim yang menolak intuisi sebagai metodologi keilmuan selanjutnya adalah SI Poeradistra. Ia mengatakan:

                Bagi ilmu tak cukup perenungan dan pencaman (pendalaman berpikir) saja, melainkan mesti berkembang melalui pencerapan indria dan pengindraan, pengumpulan data dan perbandingan data, penilaian jumlah berupa perhitungan, penimbangan, pengukuran dan penakaran, meningkat dari data tentang hal-hal khusus kepada suatu kesimpulan yang umum (induksi), dan sebaliknya dari yang umum kepada yang khas (deduksi), menarik qias (analogi) antara peristiwa-peristiwa yang ada perserupaannya serta berakhir dengan menarik suatu kesimpulan yang logikal, yang dapat dipertanggungjawaban ol3eh logika. Ilham (inspirasion) dan firasat (intuition) adalah penting, tapi tak boleh dijadikan sendi atau sandaran, bahkan mesti dicurigai berdasarkan pengujian berupa pengalaman-pengalaman positif, yakni ujian (verification) yang berulang-ulang pada waktu dan tempat yang berbeda serta oleh orang yang berlainan, yakni secara empirik (berdasarkan pengalaman).[40]

                Masih juga yang menolak intuisi adalah  A.B.Shah. Ia misalnya mengatakan:

                Kebenaran intuitif pada umumnya tidak dapat  dirumuskan dengan premis dan konklusi. Intuisi penyair mengenai kesatuan kehidupan, persepsi pelukis mengenai bentuk, pengalaman mistikus yang merasa dirinya melebur dalam samudera alam semesta, penemuan seorang ilmuwan mengenai sebuah hukum yang akan dapat mempersatukan fakta-fakta yang nampak berlainan-itu semua merupakan contoh dari suatu pemahaman intuitif mengenai aspek tertentu dari realitas. Pemahan seperti itu diperoleh melalui suatu kilatan cahaya, sehingga memberikan kepadanya sifat suatu visi yang secara tiba-tiba tersingkap bagi pengamatannya. Pemahaman seperti itu keliru-sesungguhnya, istilah “benar” dan “salah” seringkali tak dapat diterapkan kepada pemahaman seperti itu.[41]

Semenyara itu, dari kalangan Sarjana Barat yang menerima intuisi sebagai metode keilmuan adalah Karel R. Popper. Menurutnya, sebagaimana dikutip Mujamil Qomar, bahwa intuisi senantiasa mengiringi penemuan-penemuan ilmiah. Dia menegaskan, bahwa epistimologi tak berpretensi untuk mereka-reka resep. Epistimologi hanya dapat memberikan kerangka logis dari prosedur pengujiannya. Tak ada metode logis untuk menelorkan ide-ide baru. Setiap penemuan memuat :suatu elemen rasional” atau suatu :institusi kreatif.  Penegasan ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan, bahwa teori-teori pengetahuan bisa terbentuk ternyata seringkali, karena sumbangan intuisi yang disebut “intuisi kreatif. Penamaan ini “intuisi kreatif” ini agaknya menunjukan bahwa sesungguhnya intuisi itu tidak seperti dipersepsikan banyak orang sebagai sesuatu yang pasif, tetapi bisa digerakan secara kreatif untuk menemukan sesuatu pengetahuan.[42]

                Sarjana Barat lainnya yang menerima intuisi sebagai metode keilmuan adalah Marcel. Menurutnya, sebagaimana dikutip Mujamil Qomar, adalah  bahwa manusia mempunyai intuisi kreatif mengenai ada; bukan sebagai obek penglihatan tetapi sinar tersembunyi yang mencerahi pengalaman dan kemudian terbaca kembali sebagai sesuatu yang muncul dari pengalaman. Pernyataan Marcel ini menunjukan, bahwa pada mulanya intuisi muncul sebagai suatu apriori, tetapi kemudian muncul dalam kapasitasnya sebagai aposteriori, yaitu pengetahuan yang timbul sebagai hasil dari pengalaman, atau pengetahuan setelah pengalaman. Hal ini berbeda dengan istilah apriori, sebagaimana terdapat dalam filsafat, yaitu sebagai adanya pengetahuan yang diperoleh sebelum didahului oleh pengalaman. Jika metode intuitif biasa disebut metode apriori itu, karena pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan intuitif itu adalah pengetahuan yang tiba-tiba secara teranugerahkan dan tidak melalui pengalaman sama sekali.[43] Namun jika uraian tersebut di atas dipahami dengan cermat, nampak bahwa pendekatan intuitif itu dalam prakteknya amat bervariasi, yaitu sebagian ada yang bercorak apriori, yakni datang secara tiba-tiba, tanpa ada pengalaman atau usaha sama sekali, namun sebagian yang lainnya ada yang bersifat aposteriori, yakni datang setelah ada usaha keras secara bathiniah, melalui mujahadah, riyadhah, meniti maqamat, mencapai hal yang memakan energi yang besar, dengan hasil yang bervariasi pula, seperti yang dialami Ibn ‘Arabi, Jalaluddin Rumi, Muhammad Iqbal, Ayatullah Murthadla Muthahhari, dan masih banyak lagi.

                Sarjana Barat lainnya yang menyetujui intuisi sebagai salah satu metode keilmuan adalah   Bergson, Bobbi DePorter dan Mike Hernacki. Mereka menyatakan, “Mungkin kecerdasan tertinggi-dan bentuk terbaik  dari pikiran yang kreatif, adalah intuisi. Intuisi adalah kemampuan untuk menerima atau menyadari informasi yang tidak dapat diterima oleh indera kita. Intuisi mampu melengkapi kelemahan budi maupun indera sebagai pendekatan ilmiah. Intuisi memiliki kemampuan yang besar, terutama terhadap persoalan-persoalan yang tidak terjangkau oleh akal maupun indera. Dengan hanya mengandalkan akal dan indera kita membiarkan hal-hal yang tidak bisa dijangkau. Sedangkan dengan menggunakan intuisi kita berusaha secara nyata, paling tidak untuk mempersempit hal-hal yang tidak terjangkau. Pada dasarnya intuisi justeru menjadi “penyelamat metodologis”. Bukti paling meyakinkan tentang masalah ini adalah ketika kita mengalami jalan buntu dalam memikirkan sesuatu berdasarkan indera dan akal, kemudian kita tiba-tiba mendapatkan pengetahuan dengan pencerahan batin/pikiran yang disebut intuisi.[44] Dengan demikian, intuisi telah memainkan tiga peran sekaligus, yakni sebagai dasar pengetahuan, sumber pengetahuan, dan sebagai cara atau metode mendapatkan pengetahuan. Sebagai dasar dan sumber pengetahuan, intuisi bersifat pasif, akan tetapi sebagai metode mendapatkan pengetahuan, ia bersifat aktif. Dalam kaitan intuisi terkadang disebut al-hadas, yakni kemampuan mencapai kesimpulan secara tepat, al-wijdan, yakni pengalaman mencerahkan.[45] Intuisi dapat membantu akal, sedang akal bisa dimanfaatkan oleh intuisi. Dalam menyatukan kesenangan dan kebenaran dapat ditempuh dengan menggunakan imajinasi dan intuisi untuk membantu akal.

F.Kesimpulan

                Dari paparan, uraian dan analisa sebagaimana tersebut di atas, dapat dikemukakan catatan penutup sebagai kesimpulan sebagai berikut.

                Pertama, intuisi adalah merupakan salah satu potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia yang melengkapi potensi pancaindera dan akal pikiran. Ketiga potensi ini sebagai anugerah yang harus dimanfaatkan terutama dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan yang selanjutnya menjadi modal bagi pembangunan kebudayaan dan peradaban yang dapat membawa kepada kesejahteraan hidup manusia. Hal ini antara lain diisyaratkan Allah SWT dalam surat al-A’raf, (7) ayat 179 dan surat  al-Nahl, (16) ayat 78.

                Kedua, penggunaan pancaindera dan akal secara metodologis dikenal dengan metode pengamatan (observasi) dan percobaan (ekperimen) yang kemudian dianalisa, dikategorisasi, dan disimpulkan dengan bantuan akal melalui proses abstraksi dengan menggunakan metode analogi, kritik, debat, perbandingan, dan sebagainya. Sedangkan intuisi dimanfaatkan dengan menggunakan metode irfani yang dalam kerjanya terkait dengan penyucian diri (tazkiyah al-nafs) dengan menempuh sejumlah latihan batin (spiritual) yang cukup panjang dan intents, mulai dari bersikap zuhud, taubat, wara’, tawakal, sabar, ikhlas, takwa, syukur, al-khauf, raja dan sebagainya, dan dapat pula dilakukan dengan melakukan kontemplasi, mendengarkan musik, berjalan-jalan di pantai, melihat fanorama alam, dan lain sebagainya. Dengan demikian dalam mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuahan dengan pendekatan intuitif , di samping ada yang pasif, terdapat pula yang aktif

                Ketiga, bahwa hasil yang diperoleh melalui pendekatan intuitif dengan menempuh berbagai cara itu diberi nama yang beragam, sesuai dengan yang diberikan oleh penemunya. Yang diperoleh melalui pendekatan intuisi adalah ilmu yang langsung diberikan Tuhan kepada orang yang dikehendaki-Nya (Q.S. al-Nuur, (25) ayat 35, mengambil bentuk al-faid (ilumination), al-ma’rifah atau al-Irfan, al-Isyraqiyah, al-Mauhubah, al-Laduni, al-Futuh, atau wangsit.

                Keempat, bahwa keberadaan intuisi sebagai salah satu metode keilmuan telah menimbulkan sikap menerima dan menolak baik dari kalangan sarjana Muslim maupun non Muslim. Sebagian besar sarjana Muslim menerima intuisi sebagai salah satu metode keilmuan, sedangkan sebagian besar sarjana Barat menolaknya. Alasan yang menerima intuisi sebagai metode keilmuan antara lain:banyak digunakan orang sejak berabad-abad, dapat diusahakan, tidak hanya menjangkau hal-hal yang bersifat mental dan spiritual, melainkan juga yang bersifat fisik dan non fisik, dan dapat disandingkan dengan pancaindera dan akal ketika mengalami kebuntuan. Sedangkan bagi yang menolak beralasan, karena metode ini subjektif, pasif, tidak dapat diuji kebenarannya secara  empirik.

                Kelima, epistimologi Islam, selain menggunakan pendekatan intuitif, juga menggunakan pendekatan pancaindera dan akal, sebagaimana dikemukakan di atas, sehingga semua masalah dapat dipecahkan, dan tidak menemui jalan buntu. Sedangkan dalam epistimologi Barat, tidak semua masalah dapat dipecahkan. Dalam prakteknya Sarjana Muslim lebih banyak menggunakan pendekatan intuitif dibandingkan pendekatan panindera dan akal, melalui observasi, eksperimen, penjelasan logika, analisa, komapaarasi, dan sebagainya. Sebaliknya para sarjana Barat atau yang berlatar belakang pendidikan umum, lebih banyak menggunakan pendekatan observasi dan eksperimen serta rasional. Ke depan sebaiknya dikhotomi tersebut dihapuskan dan mengupayakan adanya integrasi dan kolaborasi. Hal ini penting dilakukan, karena dampak dari dikhotomi sangat berbahaya dalam kehidupan kebudayaan dan peradaban ummat manusia. Dikhotomi tersebut telah menelan korban jutaan nyawa manusia, diskriminasi, dehumanisasi, dislokasi, kesunyian hidup, tidak punya arah dan makna hidup yang jelas, dekadensi moral, kriminalisasi, prostitusi, pragmatisme, transaksional, liberal, sekuler dan sebagainya. Semua ini pangkalnya karena keangkuhan, dan kesombongan manusia, ingin memecahkan semua masalah hanya dengan pancaindera dan akal yang serta terbatas, mereka menolak wahyu dan intuisi yang dapat mengatasi kebuntuan. Ini semua penyebabnya adalah karena mereka tidak beriman kepada Tuhan.

Daftar Pustaka

Bagus, Lorens, Metafisika, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1991), cet. I.

Habullah, Moeflich, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia,  (Bandung:Pustaka Setia, 2012), cet. I.

Faizuddin, Ahmad,”Komodifikasi Dunia Pendidikan” dalam Harian Umum Kompas, Sabtu, 25 Februari, 2017.

Haryono, Ari Dwi, Pendidikan Dasar Islam, Kajian Filosofi, Konsep dan Aplikasi, (Malang:Bani Hasyim Press, 2010).

Al-Ghazali, Imam, Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Beirut-Libanon:Dar al-Fikr, tp. th.)

O’neil, William F., Ideologi-ideologi Pendidikan,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), cet. II.

Palmer, Joy A. 50 Pemikir Pendidikan dari Piaget sampai Masa Sekarang, (Yogyakarta:Jendela, 2003), cet. I.

Poeradisastra, SI, Sumbangan Islam kepada Ilmu & Peradaban Modern, (Jakarta:LP3M, 1986), cet. II.

Kartanegara, Mulyadgi, Integrasi Ilmu sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung:Arazy Mizan dan Jakarta:UIN Jakarta Press, 1426 H./2005), cet. I.

Al-Maraghy, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghy, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr,  1394 H./1974 M.) cet. III.

Muthahhari, Ayatullah Murtadha, Pengantar Epistimologi Islam, (Jakarta:Shadra Press, 2010),

An-Najjar, Zaghlul, Pembuktian Sains dalam Sunnah, (Jakarta:AMZAH, 2006), cet. I.

Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,  1978), cet. II.

Noer, Deliar, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Bandung:Mizan, 1996), cet. II.

Rorty, Amelie Oksenberg, Philosophers on Education New Historical Perspektives, (London and New York: Routledge 1998), First Published.

Shah, A.B. Metodologi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1986), cet. I.

Shihab, M. Quraish, “Membumikan” al-Qur’an, (Bandung:Mizan, 1416 H./1996 .), cet. XII

Al-Syirbashi, Ahmad, Sejarah Tafsir Qur’an,  (terj.) Pustaka Firdaus, dari judul alsi, Tarikh al-Tafsir al-Qur’an, (Jakarta:Pustak Firdaus, 1985), cet. I.

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:Sinar Harapan, 1988), cet. I.

Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1989), cet. IV.

Qomar, Mujamil, Epistimologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta:Erlangga, 2003)

Qusyairiy, Abi al-Qaasim, Abd al-Karimm al-Risaalah al-Qusyairiyah fi Imi al-Tashawwuf, (Mesir: Dar al-Khair, tp. th.).

Trueblood, David, Philosophy of Religion (Filsafat Agama), (terj.) H,M.Rasyidi, (Jakarta:Bulan Bintang, 1986), cet. VI.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   Jakarta, 28 Februari, 2017

                                                                                                                Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA.


[1] Syamsul Afandi, S.S., “Rekonstruksi Epistimologi Pendidikan Islam,” dalam  Ari Dwi Haryono dan Qurroti A’yuni, Pendidikan Dasar Islam,  (Malang;Bani Hasyim Press, 2010), hal. 70; lihat pula Mujamil Qomari, hal.

[2] Syamsul Afandi, S.S., Rekonstruksi Epistimologi Pendidikan Islam, dalam  Ari Dwi Haryono dan Qurroti A’yuni, Pendidikan Dasar Islam, (Malang;Bani Hasyim Press, 2010), hal. 65-69.

[3] Mujamil Qomari, op, cit, hal. 251.

[4] Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:Sinar  Harapan,  1988), hal. 104. Syamsul Afandi, S.S., “Rekonstruksi Epistimologi Pendidikan Islam,” dalam  Ari Dwi Haryono dan Qurroti A’yuni, Pendidikan Dasar Islam, (Malang;Bani Hasyim Press, 2010), 70-71.

[5] Syamsul Afandi, S.S., “Rekonstruksi Epistimologi Pendidikan Islam,” dalam  Ari Dwi Haryono dan Qurroti A’yuni, Pendidikan Dasar Islam,     (Malang;Bani Hasyim Press, 2010), 70-71.

[6] Syamsul Afandi, S.S., “Rekonstruksi Epistimologi Pendidikan Islam,”  dalam Ari Dwi Haryono dan Qurroti  A’yun, (ed), Pendidikan Dasar Islam, (Malang:Bani Hasyim, 2010), hal. 5.

[7] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung:Arasy Mizan dan Jakarta:UIN Jakarta Press, 2005 /1426 H.), cet. I, hal. 39.

[8] Dalam teorinya tentang jiwa Ibn Sina berpendapat, bahwa manusia memiliki akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya, akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini; akal serupa inilah yang sanggup menerim limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif, (al-‘aql al-Fa’aal).  Lihat Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1978), cet. II, hal. 37

[9] Ma’rifah hanya terdapat pada kaum Sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Pengetahuan serupa ini hanya diberikan Tuhan kepada kaum sufi. Ma’rifag dimasukan Tuhan ke dalam hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Lihat Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1978), cet. II, hal. 76.

[10] Ilmu mauhubah (penamaan diberikan oleh As-Sayuthi), yaitu pengetahuan yang dikaruniakan Allah SWT, langsung kepada orang yang mengamalkan ilmunya. Sehubungan dengan itu, sebuah hadis menyebutkan: “Barangsiapa mengamalkan ilmunya, Allah akan mengaruniakan kepadanya pengetahuan tentang suatu yang belum diketahuinya. Lihat  Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur’an, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1985), cet. I.  hal. 29

[11] Adanya ilmu laduni dapat dipahami dari firman  Allah SWT: Sungguh, Allah tidak akan menzalimi seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan (sekecil zarrah), niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya. (Q.S. An-Nisa, 4:4)); dan ayat:  Lalu mereka berdua bertemu (Nabi Musa dan Hidir AS) dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, dan yang telah Kami  ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami.M.Quraish Shihab, “Membumikan” al-Qur’an, (Bandung:Mizan,  1996), cet. XII, hal. 51 (?)

[12] Dalam tradisi masyarakat Jawa terdapat keyakinan, bahwa para raja adalah orang-orang pilihan dan istimewa yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan alam ghaib melalui proses penyucian diri melalui tirakat, pertapaan, bersemedi selama beberapa hari yang ditentukan. Ucapan raja, mirip dengan firman yang mengandung hikmah, pelajaran mendalam dan bimbingan mental spiritual, karena datang melalui alam ghaib.

[13] Lihat Mulayadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, op, cit, hal. 125.

[14] Lihat Mulayadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, op, cit, hal. 125126.

[15] Diceritakan, bahwa pada tahap awal dzikirnya itu, dia seakan dibawa masuk ke alam mineral dan di sana dia diperkenalkan dengan berbagai batuan dan logam-logaman, sekaligus dengan berbagai  manfaat medisnya dan bahaya-bahaya yang mungkin terkandung di dalamnya. Demikian juga pada tahap berikutnya, dia diperkenalkan pada berbagai jenis tumbuhan. “Semua yang hijau-hijau berdatangan kepadaku”, katanya, “serta memperkenalkan segala keistimewaan, dan manfaat medis maupun nutritifnya. Demikian juga  ketika dia terus melakukan zikir, diperlihatkan kepada surga-bahkan lengkap dengan tingkat keutamaan dan anak tangganya masing-masing; dan neraka dengan tingkatan-tingkatannya. Bahkan menurut pengakuannya, dia juga telah diperlihatkan Arasy” dan alam-alam gaib lainnya. Lihat Mulayadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, op, cit, hal. 126-127.

[16] Lihat Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Fulasifatuha, (?)

[17] Lihat Riwayat Hidup Imam Syafi’I (?)

[18] Lihat Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif.

[19] Mujamil Qomar, op, cit, hal. 324.

[20] Mujamil Qomar, op, cit, hal. 302-303

[21] Mulyadhi Kartanegara, op, cit, hal. 144.

[22] Lihat, Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, tp. tahun, hal.2 sd 472.

[23] Lihat Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, op, cit, hal. 78.

[24] Lihat Zaghlul An-Najjar, Pembuktian Sains dalam Sunnah, (Jakarta: AMZAH, 2006), cet. I. 60

[25] Lihat Mustafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, Juz IX, Jilid III,  (Beirut: Dar al-Fikr,  1394 H./1984 M.), hal. 115-116.

[26] Mujamil Qomar, op. cit, hal. 326-327.

[27] Lihat Ayatullah Murthadha Muthahhari, Pengantar Epistimologi Islam,  (Jakarta:Shadra Pressm 2010), cet. I,  hal. 85 dan 95

[28] Mujamil Qomar, op, cit, hal. 316q

[29] Mujamil Qomar, op, cit, hal. 316-317.

[30] Lihat Ahmad Faizuddin, Komodifikasi Dunia Pendidikan, Kompas, Sabtu, 25 Februari, 2017, hal. VIII.

[31] Lihat Ahmad Faizuddin, Komodifikasi Dunia Pendidikan, Kompas, Sabtu, 25 Februari, 2017, hal. VIII.

[32] Lihat Moeflich Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Bandung:Pustaka Setia,  2012), cet. I. al. 357

[33] Lihat Moeflich Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Bandung:Pustaka Setia,  2012), cet. I. al. 361-362.

[34] Lihat Moeflich Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Bandung:Pustaka Setia,  2012), cet. I. al. 361-362.

[35] Mujamil Qomar, op. cit, hal. 307

[36] Terdapat sejumlah amalan yang berisi tahapan yang harus dilalui oleh seseorang yang ingin mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuhan. Tahapan tersebut dalam tasawuf atau thariqat disebut maqam (station) dan kondisi psikologis yang dirasakan pada setiap tahap tersebut dinamakan hal, atau keadaan. Harun Nasution misalnya menyebutkan adanya tahapan al-zuhud, taubat, wara’ (meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat syubhat atau keragu-raguan, kefakiran (tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban, sabar, tawakal dan ridla. Sementara itu, al-Qusyairi, menyebutkan tahapan tersebut sebanyak 49: al-taubah, al-mujahadah, al-khalwat wa al-uzlah, al-taqwa, al-wara’, al-zuhud, al-shumtu, al-khauf, al-raja, al-hazn, al-ju’u wa tark al-syahwat, al-khusyu wa al-tawadlu, mukhalafatu al-nafs, al-hasad, al-ghiibah, al-qona’ah, al-tawakal, al-syuru, al-yaqin, al-shabar, al-muraqabah, al-ridla, al-ubudiyah, al-iraadah, al-istiqoomah, al-ikhlash, al-shidqu, al-haya, al-huriyah, al-dzikr, al-fatwah, al-firaasah, al-khalqu, al-juud wa al-sakha, al-ghiirah, al-wilaayah, al-dua, al-faqr, al-tashawwuf, al-adabm ahkaam al-safar, al-shuhbah, al-tauhid, al-khuruj min al-dun-ya, al-ma’rifatu billahi, al-mahabbah, al-syuuq, hifdz  qulub al-masyayikh, dan al-sima’. Banyaknya tangga yang harus dilalui ini selain menunjukkan keseriusan para ahli tasawuf, juga menunjukkan bahwa metode intuisi ini lebih canggih dan terbukti efektif dalam rangka memperoleh pengetahuan dari Tuhan. Lihat Abi al-Qaasim Abd al-Karim Hawazin al-Qusyairi al-Naisabury, al-Risaalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi al-Tashawwuf, (Mesir: Dar al-Khair, hal. 89-351; Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1978), cet. II, hal. 64-69.

[37] Lihat Mujamil Qomari, hal. 304.

[38] Lihat Mujamil Qomari, hal. 304

[39] Lihat Mujamil Qomari, hal. 304

[40] SI Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu & Peradaban Modern, (Jakarta:LP3M, 1986), cet. II,  hal. 2

[41] Lihat A.B. Shah, Metodologi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1986), cet. I,  hal. 26

[42] Lihat Mujamil Qomari, hal. 300

[43] Lihat Mujamil Qomari, hal. 297.

[44] Lihat Mujamil Qomari, hal. 297.

[45] Lihat Mujamil Qomari, hal. 313.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA