Buatlah essay perbandingan antara pemilu tahun 1955 dengan pemilu yang dilaksanakan sekarang

Apabila dicermati pilihan penunjukan langsung jabatan Presiden dan Wakil Presiden oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada saat itu merupakan pilihan yang tepat, mengingat salah satu syarat berdirinya sebuah negara mensyaratkan adanya pemerintahan yang berdaulat yang dipimpin oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara yang mana berdasarkan penalaran yang wajar dalam suasana kemerdekaan tentunya tidak dapat dilaksanakan melalui mekanisme pemilu baik dilihat dari segi finansial, dari segi penyelenggara maupun dari segi tingkat pendidikan politik masyarakat.

Berkenaan dengan Badan Legislatif kendati secara institusional pada masa itu belum terbentuk, akan tetapi secara fungsional kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) melalui Maklumat Wakil Presiden Nomor X guna memerintahkan sebelum dibentuknya Badan Legislatif yang terdiri dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maka kewenangan Badan Legislatif tersebut diserahkan kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai cikal-bakal kelahiran Badan Legisltaif di Indonesia.

Apabila ditelisik dalam konteks sejarah ketatanegaraan, asbabun nuzul dari lahirnya Maklumat Wakil Presiden Nomor X tidak terlepas dari upaya untuk mencegah pemusatan kekuasaan ditangan seorang Presiden yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana yang dikatakan Lord Action seorang ahli sejarah dan moral dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton melalui kalimat yang terkenal “Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely” (Miriam Budiardjo, 2008).

Lebih jauh dalam sejarah kepemiluan, tonggak awal mulai dibukanya kran demokrasi secara besar-besaran didahului dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor 3 yang memerintahkan dan mendorong untuk pembentukan partai-partai politik guna melaksanakan pemilu pada tahun 1946 sebagai konsekwensi logis dianutnya paham demokrasi sebagai identitas negara bangsa pos-kolonial Indonesia.

Kendatipun pasca keluarnya Maklumat Wakil Presiden Nomor 3 tersebut kontestasi pemilu pada tahun 1946 tidak dapat terlaksana mengingat stabilitas politik yang belum terwujud kala itu disertai upaya pendudukan kembali Kolonial Belanda melalui politik pecah belah. Sehingga terfokus pada mempertahankan kemerdakaan yang telah dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, mengingat begitu genjarnya upaya kolonial Belanda untuk menduduki wilayah Indonesia kembali.

Keberhasilan politik pecah belah yang digenjarkan oleh Kolonial Belanda dapat terlihat dari keberhasilan mereka mempengaruhi terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 yang menjadikan Indonesia sebagai negara federal dengan beberapa negara bagian kendati tidak bertahan genap satu tahun. Adanya ikatan yang kuat senasib sepenanggungan selama kurang lebih 3,5 abad dibawah penderitaan jajahan kolonial membawa negara-negara bagian kembali dibawah payung persatuan Indonesia yang dibingkai oleh Pancasila sebagai falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kembalinya dibawah persatuan Indonesia disertai berakhirnya Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan ditandai pembentukan Undang-Undang Dasar sementara (UUDS) sebagai dasar konstitusional negara kesatuan pada tahun 1950 merupakan tonggak awal pelaksanaan demokrasi melalui mekanisme pemilu sebagaimana amanat dari Maklumat Wakil Presiden Nomor 3 yang dilaksanakan pada tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan anggota Konstituante, yang terakhir secara khusus ditugaskan untuk membentuk Undang-Undang Dasar guna mengganti Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS). Pemilu tahun 1955 yang disebut sebagai pemilu yang paling demokratis kendati dilaksanakan pada saat stabilitas politik yang jauh dari kata stabil dengan ditandainya beberapa kali pergantian Perdana Menteri, dimana pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia menganut paham demokrasi liberal dengan sistem pemerintahan parlementer.

Dalam perjalannya anggota konstituante yang ditugaskan membentuk Undang-Undang Dasar hampir rampung menyelesaikan tugasnya akan tetapi terjadi kemandekkan yang berujung pada kebuntuan dalam berdebatan tarik-menarik pasal dalam ketentuan dasar negara, yang terpecah menjadi dua kelompok besar yang menginginkan dasar negara berdasarkan Pancasila dan kelompok kedua yang menginginkan dasar negara berdasarkan Islam.

Terlepas dari perdebatan panjang yang terjadi di Konstituante. Tak sampai 5 tahun masa jabatan anggota Konstituante hasil pemilu 1955, pada tahun 1959 lahirnya Dekrit 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno disatu sisi sebagai bentuk keputusan politik untuk menghentikan krisis stabilitas politik dengan membubarkan DPR dan Konstituante hasil pemilu 1955 disertai dengan pembentukan DPR-GR dan MPRS yang anggotanya diangkat langsung oleh Presiden Soekarno serta menyatakan kembalinya kepada UUD 1945. Disisi lain berdasarkan penalaran yang wajar lahirnya dekrit tersebut merupakan bentuk delegitimasi hasil pemilu 1955 yang lahir dari proses demokrasi yang berujung pada pemilu-pilu 1955.

Lahirnya Dekrit 5 juli 1959 disisi lain juga haruslah dimaknai sebagai bentuk langgam awal rezim orde lama dibawah demokrasi terpimpin Presiden Soekarno dimana sebelum lahirnya dekrit tersebut Presiden Soekarno sebagai kepala negara tidak memiliki kekuasaan yang signifikan. Mengingat dalam sistem pemerintahan parlementer sebelumnya kekuasaan penuh terletak pada Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan. Lebih dari itu, pengangkatan langsung anggota DPR-GR dan MPRS yang dilakukan Presiden Soekarno melalui Dekrit 5 juli 1959 merupakan langgam awal menegasikan hasil pemilu 1955 sebagai anak kandung dari demokrasi yang dihasilkan dari proses pemilu yang demokratis. Mengingat pada prinsipnya dalam kajian demokrasi, jabatan politik selalu lahir dari proses pemilu baik yang dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun tidak langsung melalui badan perwakilan.

Jika hasil pemilu 1955 yang semestinya masa jabatan anggota DPR dan anggota Konstituante berakhir pada tahun 1960 berujung pilu dengan lahirnya Dekrit 5 juli 1959, maka lain halnya dengan pemilu 2019 yang dilaksanakan secara serentak pertama di dunia. Kendati pada tahun yang sama India juga melaksanakan pemilu serentak akan tetapi tidak dilaksanakan dalam satu hari sebagaimana pemilu serentak di Indonesia.

Proses dan pelaksanaan pemilu 2019 kini sudah usai, dengan segala dinamika didalamanya. Dinamika yang paling menarik untuk diketengahkan adalah data Kemenkes yang merilis meninggalnya 527 petugas KPPS dan 11.239 mengalami sakit (Kompas 16/5/2019) serta data dari Bawaslu yang merilis meninggalnya 55 anggota Panwaslu dan 480 mengalami sakit (CNN Indonesia 27/4/2019). Berdasarkan penalaran yang wajar meninggalnya dengan jumlah begitu banyak tentu tidak dapat dinalar atau setidak-tidaknya diterima oleh akal sehat. Sehingga tragedi tersebut haruslah kita akui bersama sebagai pemilu-pilu 2019 yang akan dicatat oleh pena sejarah dalam catatan demokrasi kita.

Terlepas dari ada tidaknya hubungan kausalitas meninggalnya dalam jumlah begitu banyak para petugas pemilu tersebut dengan pelaksanaan pemilu serentak haruslah menjadi refleksi oleh para Presiden dan Wakil Presiden serta para anggota Legislatif baik dari tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi sampai Nasional yang terpilih untuk periode 2019-2024 sebagai refleksi bahwa mereka yang terhormat tersebut dipilih dalam proses pemilu yang duka-cita agar menjadikan amanat sebagai pelayan rakyat tersebut dapat terlaksana sebagai pelayan yang benar-benar melayani rakyat.

Lebih dari itu, munculya wacana untuk melaksanakan e-voting dalam pemilu yang akan datang merupakan diskursus wajib untuk didiskusikan sebagai bentuk evaluasi dini pelaksanaan pemilu serentak yang telah usai dan meninggalkan duka. Setidak-tidaknya wacana e-voting tersebut dapat dilakukan kajian mendalam dengan diterapkannya secara bertahap untuk pemilihan Ketua Osis, pemilihan Ketua Bem baik tingkat Fakultas dan tingkat Universitas serta pemilihan Kepala Desa sebagai wujud dari miniatur pemilu dalam negara yang menisbatkan diri sebagai negara demokrasi.

Sidang Mahkamah Konstitusi

Beberapa hari yang lalu layaknya laga el clasico kita dipertontonkan sidang sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) calon Presiden-Wakil Presiden 02 Prabowo-Sandi sebagai pihak pemohon yang tidak terima dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak termohon, dimana dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi tersebut kita dipertontonkan dengan perdebatan-perdebatan intelektual yang kita harapkan dapat membangun legal culture masyarakat Indonesia dalam berhukum serta minat masyarakat di dalam pendidikan hukum. Dimana selambat-lambatnya pada tanggal 28 mendatang Hakim Konstitusi sudah harus memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ini yang selanjutnya akan disusul sidang-sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) calon Legislatif yang kita harapkan juga yang muncul adalah pertarungan bukti-bukti dan perdebatan intelektual tidak hanya perdebatan yang berkutat pada perang argumentasi yang kering substansi. Apabila dicermati terdapat tiga hal yang menarik dari fundamentum petendi yang diajukan oleh pemohon 02 melalui kuasa hukumnya. Pertama; terkait hukum acara Mahkamah Konstitusi dalam hal perbaikan permohonan yang menambah objek permohonan, Kedua; terkait permohonan menyatakan bahwa anak perusahan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ketiga; terkait penyelesaian perselisihan proses yang merupakan kompetensi absolut Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang coba dibawa kuasa hukum 02 ke Mahkamah Konstitusi. Tanpa bermaksud mendahului Hakim Konstitusi, apabila tiga hal tersebut dikabulkan oleh Hakim Konstitusi maka menarik ditunggu rasio decidendi apa yang akan dijadikan dasar argumentasi oleh Hakim Konstitusi dalam putusannya sehingga memilih pendekatan judicial activism yang lajimnya lebih sering menahan diri dengan pendekatan judicial restraint dalam putusan-putusan sebelumnya. Kendati dalam sejarah berdirinya Mahkamah Konstitusi itu sendiri pada tahun 2003-2014 tidak pernah mengabulkan satu pun sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) calon Presiden dan Wakil Presiden, mengingat begitu rumitnya pembuktian permasalahan klasik seperti C1, DPT, DPTb dan TSM dengan perbandingan wilayah dan jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar. Apapun putusan Mahkamah Konstitusi nantinya, sebagai negara yang mendaku diri negara hukum putusan final dan mengikat Mahkamah Konstitusi haruslah dihormati tanpa kecuali sebagai mahkota Mahkamah Konstitusi.

Menutup tulisan ini terlepas dari refleksi demokrasi pemilu-pilu 1955 dan 2019, kita patut berbangga untuk pertama kalinya melaksanakan pemilu serentak dengan aman dan damai tanpa ada keributan yang signifikan kendati pada saat hari pencoblosan harus diakui bersama masih banyak terdapat masyarakat yang kebingunan terkait mekanisme mencoblos dengan begitu banyaknya lembaran kertas yang harus dicoblos dan banyaknya kekurangan lembaran surat suara untuk pencoblosan calon Presiden dan Wakil Presiden sehingga dalam batas wajar merupakan hal yang pasti mengurangi kadar kualitas demokrasi pada perhelatan pemilu itu sendiri. Begitu banyak pekerjaan rumah yang menjadi catatan kita bersama dalam merefleksikan pemilu 2019 sebagai wujud dari demokrasi, e-voting adalah diskursus yang harus didiskusikan baik dari teknis pelaksanaan sampai pada proses pelaksanaannya nanti sehingga dapat setidak-tidaknya meminimalisir meninggalnya petugas pemilu dalam perhelatan pemilu yang akan datang.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA