Berikut merupakan beberapa senjata pada saat berburu dan meramu kecuali

KOMPAS.com - Zaman Mesolitikum merupakan zaman batu yang berlangsung antara periode Paleolitikum dan Neolitikum.

Zaman Mesolitikum dikenal juga sebagai Zaman Batu Tengah atau Batu Madya.

Periode Mesolitikum memiliki rentang waktu yang berbeda di berbagai belahan dunia. Begitu pula dengan hasil kebudayaan, yang dapat bervariasi di berbagai wilayah.

Di Indonesia, peninggalan dari Zaman Mesolitikum dapat ditemukan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores.

Salah satu ciri Zaman Mesolitikum adalah ditemukan kjokkenmoddinger di pesisir pantai timur pulau Sumatera yang diteliti oleh Dr. P. V. van Stein Callenfels.

Dari peninggalan itu, dapat diketahui tentang kepercayaan, kebiasaan sehari-hari, dan cara manusia purba bertahan hidup.

Ciri-ciri Zaman Mesolitikum

  • Ditemukannya Kjokkenmoddinger dan abris sous roche
  • Masyarakatnya mencari makan dengan berburu, meramu, dan bercocok tanam
  • Hidup semi nomaden, di tempat-tempat seperti goa atau tepi pantai
  • Alat-alat yang digunakan didominasi dari tulang dan bebatuan kasar
  • Sudah mengenal seni melukis
  • Sudah mengenal kepercayaan

Baca juga: Zaman Batu: Pembagian, Peninggalan, dan Kehidupan Manusia

Kehidupan manusia Zaman Mesolitikum

Pada periode ini, kondisi alam sudah jauh lebih stabil, sehingga manusianya dapat mengembangkan beberapa aspek kehidupannya.

Ciri utama peradaban pada periode ini adalah kehidupan semi nomaden, di mana sebagian manusianya telah hidup menetap di goa-goa dan yang lainnya masih berpindah-pindah.

Goa-goa tempat tinggal manusia purba pada Zaman Mesolitikum disebut abris sous roche.

Permukiman yang lebih permanen cenderung dekat dengan pantai.

Oleh karena itu, banyak ditemukan peninggalan Zaman Mesolitikum di sekitar tempat-tempat tersebut, salah satunya Kjokkenmoddinger atau tumpukan sampah dapur berupa kulit siput dan kerang.

Manusia yang hidup pada periode ini mencari makan dengan cara berburu dan meramu atau food gathering.

Selain itu, sebagian masyarakatnya mulai mengenal tradisi bercocok tanam.

Peralatan dan senjata yang digunakan pada periode ini masih berbentuk kasar dan belum dihaluskan, seperti contohnya kapak genggam (pebble) dan kapak pendek berbentuk setengah lingkaran (hachecourt).

Masyarakatnya juga telah mengenal sistem organisasi sosial, pembagian kerja, dan kepercayaan terhadap roh nenek moyang.

Baca juga: Zaman Neozoikum atau Kainozoikum: Pembagian dan Ciri-ciri

Manusia pendukung Zaman Mesolitikum

Mnusia pendukung pada periode ini berasal dari campuran bangsa-bangsa pendatang dari Asia.

Seperti contohnya Suku Irian, Suku Sakai, Suku Atca, Suku Aborigin, dan Suku Semang.

Muséum de Toulouse Ilustrasi kapak genggam

Peninggalan Zaman Mesolitikum

Kjokkenmoddinger

Salah satu ciri kehidupan yang menonjol pada masyarakat zaman mesolithikum atau zaman batu madya di Indonesia hidup dari berburu dan meramu. Kebanyakan dari mereka hidup di gua-gua di tepi pantai. Hal ini terbukti dengan banyak ditemukannya Kjokkenmoddinger.

Kjokkenmoddinger berasal dari bahasa Denmark, kjokken berarti dapur dan modding yang artinya sampah.

Kjokkenmoddinger adalah tumpukan sampah dapur berupa kulit siput dan kerang yang menggunung dan tingginya bisa mencapai 7 meter.

Peninggalan ini ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatera, antara Langsa di Aceh hingga Medan.

Diduga, Kjokkenmoddinger telah menumpuk dari generasi ke generasi karena masyarakatnya mulai menetap di sekitar pantai.

Baca juga: Zaman Megalitikum: Peninggalan, Sejarah, Ciri, dan Kepercayaan

Abris sous roche

Zaman Mesolitikum juga dikenal karena kebudayaan abris sous roche, atau hasil kebudayaan yang ditemukan di goa-goa.

Penemuan ini mengindikasikan bahwa manusia purba yang mendukung kebudayaan ini tinggal di goa-goa.

Abris sous roche pertama kali dilakukan penelitian oleh Von Stein Callenfels di Goa Lawa dekat Sampung, Ponorogo, pada 1928-1931.

Kebudayaan abris sous roche juga ditemukan di Besuki (Bojonegoro) dan di daerah Sulawesi Selatan seperti Lamoncong.

Kapak genggam

Pada 1925, Von Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang yang berada di sepanjang pantai timur Sumatera.

Dari lokasi tersebut, ditemukan kapak genggam yang berbeda dari chopper di periode Paleolitikum.

Kapak genggam tersebut kemudian diberi nama pebble, atau dikenal sebagai kapak Sumatera.

Pebble terbuat dari batu kali yang pecah dan sisi luarnya dibiarkan kasar, sementara bagian dalamnya dikerjakan sesuai kebutuhan pemakainya.

Baca juga: Zaman Mesozoikum: Pembagian, Ciri-ciri, dan Peninggalan

Kapak pendek juga ditemukan oleh Von Stein Callenfels ketika sedang meneliti Kjokkenmoddinger.

Bentuknya lebih pendek di banding kapak Sumatera, sehingga dinamai kapak pendek.

Batu pipisan

Batu pipisan yang ditemukan di Jawa menjadi tanda bahwa manusia Zaman Mesolitikum telah menumbuk makanan mereka.

Peninggalan ini berupa sejenis alat penggiling yang memiliki landasan.

Selain itu, batu pipisan juga dipakai untuk menghaluskan cat-cat merah yang berasal dari tanah.

Lukisan

Peninggalan dari Zaman Mesolitikum yang dianggap sebagai hasil kebudayaan tertinggi mereka adalah berupa lukisan gambar berwarna dari seekor babi hutan yang sedang berlari.

Sementara di beberapa goa lainnya, ditemukan gambar-gambar cap tangan berwarna merah.

Hasil kebudayaan ini ditemukan di Goa Leang-Leang di Sulawesi Selatan.

Baca juga: Zaman Paleozoikum: Pembagian dan Ciri-ciri

Referensi:

  • Sugiarti, Etty. (2010). Ensiklopedia Zaman Prasejarah. Semarang: ALPRIN.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

KOMPAS.com - Pada masa berburu tingkat lanjut atau Mesolitikum Akhir, corak hidup yang berasal dari periode sebelumnya masih berpengaruh.

Corak kehidupan pada Zaman Mesolitikum Akhir adalah mengumpulkan makanan dan menetap.

Hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan masih dilanjutkan, hal ini terbukti dari bentuk alat-alat yang digunakan, yakni dari batu, tulang, dan kulit kerang.

Ciri utama kehidupan sosial manusia purba pada masa berburu dan mengumpulkan makanan adalah berpindah-pindah.

Namun berbeda dengan masa sebelumnya, pola hidup masyarakat berburu dan meramu tingkat lanjut mulai timbul usaha untuk menetap di gua-gua alam.

Akan tetapi, tempat tersebut suatu saat akan ditinggalkan apabila sekiranya tidak dapat mencukupi kehidupan sehari-harinya lagi.

Salah satu contoh kehidupan budaya masyarakat pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut yaitu gambar tangan pada dinding gua.

Berikut ini ciri-ciri kehidupan masa berburu dan meramu tingkat lanjut.

Kehidupan sosial-ekonomi

Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, masyarakatnya masih bergantung pada alam sekitar.

Cara memperoleh makanan masih bersifat food gathering, yakni dengan mengumpulkan umbi-umbian, buah-buahan, keladi, daun-daunan, siput, kerang, serta berburu binatang di dalam hutan dan menangkap ikan.

Selain itu, awal kegiatan pertanian diduga juga berlangsung pada periode ini. Akan tetapi kehidupan bercocok tanam masih dikerjakan dengan amat sederhana dan berpindah-pindah.

Baca juga: Apa itu Food Producing dan Food Gathering?

Masyarakatnya hanya bisa menanam umbi-umbian, karena belum mengenal cara menanam biji-bijian.

Manusia purba pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut telah menunjukkan keinginan untuk bertempat tinggal menetap di dalam gua-gua.

Mereka biasanya memilih gua yang tidak jauh dari sumber air, yakni di dekat sungai dan di pinggir pantai.

Contoh peninggalan yang khas dari masyarakat berburu dan meramu tingkat lanjut adalah abris sous roche, yaitu gua menyerupai ceruk batu karang yang digunakan sebagai tempat tinggal.

Selain itu, bukti bahwa masyarakatnya juga hidup di pinggir pantai dan sering mengonsumsi kerang dan siput adalah ditemukannya kjokkenmoddinger (sampah bukit kerang).

Di gua-gua tersebut, manusia purba hidup dalam kelompok kecil yang terdiri atas dua atau tiga keluarga.

Akan tetapi, situs-situs tersebut belum ditempati secara permanen. Pasalnya, manusia purba akan berpindah ke tempat lain apabila bahan makanan di wilayah tersebut sudah habis.

Baca juga: Kjokkenmoddinger: Pengertian, Fungsi, dan Lokasi Penemuan

Kehidupan sosial-budaya

Corak kehidupan manusia praaksara pada periode ini setingkat lebih tinggi daripada masyarakat berburu dan meramu tingkat awal.

Hal ini terlihat dari teknik pembuatan alat ataupun hasil kebudayaannya. Peralatan sehari-hari yang dihasilkan berupa alat-alat batu seperti kapak genggam dan kapak pendek, kemudian peralatan dari tulang, tanduk, dan kulit kerang.

Di samping itu, pada masa ini mungkin sekali dibuat peralatan berbahan bambu.

Diduga bambu memiliki peran penting, karena dapat dengan mudah diolah menjadi berbagai macam peralatan sehari-hari.

Misalnya, bambu dapat dijadikan sudip untuk mencungkil atau membersihkan umbi-umbian, dijadikan keranjang, dan bahan bakar.

Selama bertempat tinggal di gua, manusia purba tidak hanya membuat peralatan yang diperlukan, tetapi juga melukiskan sesuatu di dinding.

Lukisan itu dibuat dengan cara menggores pada dinding gua atau menggunakan cat dari bahan alami berwarna merah, hitam, atau putih.

Lukisan yang dibuat biasanya menggambarkan pengalaman sehari-hari, sebuah perjuangan, harapan, atau kepercayaan.

Contoh lukisan yang dibuat adalah berupa cap-cap tangan, orang naik perahu, dan lukisan binatang buruan.

Baca juga: Abris Sous Roche: Pengertian, Fungsi, dan Lokasi Penemuan

Kehidupan spiritual

Kehidupan spiritual masyarakat berburu dan meramu tingkat lanjut tergambar pada lukisan-lukisan yang ada di dinding gua.

Cap tangan mungkin mengandung arti kekuatan atau lambang kekuatan pelindung untuk mencegah roh jahat.

Di samping itu, lukisan juga bertalian dengan upacara-upacara penghormatan nenek moyang, upacara penguburan, dan keperluan meminta hujan atau kesuburan.

Selain lukisan pada dinding gua, kepercayaan masyarakat saat itu terlihat pada tradisi penguburan.

Hal ini terlihat pada masyarakat si Gua Lawa, Sampung, bukit kerang di Sumatera Utara, dan Gua Sodong, Jawa Timur, di mana mayatnya ditaburi dengan pewarna alami oker merah.

Diduga, pemberian oker merah dimaksudkan untuk memberikan kehidupan baru di alam baka.

Referensi:

  • Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Eds). (2008). Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA