Berikan contoh kaidah nahi tentang kebalikan dari suatu larangan dalam kehidupan sehari-hari


PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam atau ilmu fiqih. Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali ditela’ah karena sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan bahasa arab yang mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya. Hukum-hukum yang ada dalam syari’at islam diambil dari perintah dan larangan Allah atau Utusan-Nya. Dalam ushul fiqih banyak sekali pembahasan tentang kaidah-kaidah yang perintah dan larangan, hukum-hukum perintah dan larangan. Oleh karenanya kami akan sedikit menerangkan tentan kaidah usul fiqh yaitu الامر و النهي

2. RUMUSAN MASALAH

Dari diskripsi diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut

  1. Apakah yang dinamakan الامر و النهي
  2. Apasaja kaidah-kaidah usul fiqih tentang الامر و النهي

3. TUJUAN

Tujuan mempelajari makalah ini yaitu memberi sedikit gambaran dan pandangan terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan yang terdapad dalam ajaran Syariat Islam.

PEMBAHASAN

1. PERINTAH (الامر)

الامر secara terminologi berarti perintah. secara etimologi Imam Syarifuddin Yahya Al Umrithi mengatakan dalam kitab al-Waroqot:

وحده استدعاء فعل واجب * بالقول من من كان دون الطالب[1]

Bahwasanya larangan yaitu permintaan untuk melakukan suatu pekerjaan yang wajib menggunakan ucapan kepada orang yang drajatnya lebih rendah dari orang yang meminta. Bisa disimpulkan bahwa perintah yaitu permintaan untuk melakukan suatu perkara dari orang yang lebih tinggi drajatnya. Berbeda halnya permintaan melakukan sebuah pekerjaan dari orang yang sama drajatnya, yang mana ini dimakan iltimas. Ataupun dari yang lebih rendah drajatnya maka dinamakan do’a.[2]

Dalam pembahasan perintah terdapat kaidah-kaidah dasar sebagai berikut:

  1. Hukum asal dalam perintah adalah wajib, kecuali ada dalil (pertanda) yang mengatakan selainya[3].

الاصل في الامر للوجوب الا ان دل دليل على خلافه

            Jadi hukum dasar perintah yang ada dalam sariat islam itu hukumnya wajib dilaksanakan. Kecuali ada dalil lain yang mengatakan selainya, baik sunah ataupun mubah. Dari kaidah ini bisa disimpulkan perintah bisa mengandung tiga hukum[4]:

  1. Contoh perintah sholat. اقيموا الصلاة [5]
  2. Contoh perintah memberi saksi dalam jual beli

 واشهدوا اذا تبايعتم  dijelaskan kembali dalam hadis ان النبي باع ولم يشهد  hadis ini menunjukan bahwa hal ini tidak wajib, akan tetapi sunah.

  1. Contoh perintah berburu dalam ayat واذا حللتم فصطادوا[6] dalam ayat ini ada perintah untuk beburu, akan tetapi ada qorinah bahwa perintah berburu ini hukumnya mubah dikarenakan ayat ini menjelaskan oran yang ihroh tidak boleh berburu akan tetapi jika sudah tahalul maka hukumnya sudah diperbolehkan.

2. Hukum asal dalam perintah tidak harus langsung dikerjakan, kecuali ada dalil yang mengatakan hal lain[7].

الاصل في الامر لا يقتضي الفور الا ان دل دليل على خلافه

Maksudnya tidak wajib dilakukan seketika itu. Akan tetapi bisa dilakukan pada waktu lain. Akantetapi jika ada dalil tertentu yang menunjukan waktu pelaksanaanya maka harus dilakukan pada waktu tersebut.

Contohnya hukum ibadah haji tidak wajib dilakukan segera karena  ada qorinah yaitu bagi yang sudah mampu. Contoh yang wajib dilakukan segera yaitu beriman kepada Allah hal ini dikarenakan manusia wajib menjaga keimanan secara terus-menerus[8].

3. Hukum asal perintah tidak dilakukan berkali-kali.

الاصل في الامر لا يقتضي التكرار الا ان دل دليل على خلافه

Suatu perintah cukup dilaksanakan sekali saja. Pada intinya wajib dilakukan walaupun hanya sekali dalam seumur hidup, kecuali jika ada dalal lain yang menunjukan pelaksanaanya berulang-ulang, sepertihalnya sholat lima waktu.[9]

4. Perintah berarti juga larangan untuk melakukan kebalikanya[10].

الامر بشيء نهي عن ضده

Secara tidak langsung Perintah juga menunjukan ada suatu larangan tentang kebalikan perintah tersebut.Contoh: perintah untuk beriman juga berarti larangan untuk kufur.

5 Perintah untuk melakukan sesuatu berarti perintah untuk melakukan perkara yang menjadi lantaran terlaksananya perkara tersebut.[11]

الامر بشيء امر بما يتوصل اليه

Sudah selayaknya bahwa sebuah perkara pasti ada perantaranya. Demikian pula dalam perintah, perintah untuk melakukan sesuatu juga menunjukan perintah melakukan perantara perkara tersebut. Perintah solat juga berarti perintah untuk melakukan hal-hal yang menjadi syarat sholat[12].

Demikian kaidah-kaidah singkat beserta penjelasan ringkas yang masuk dalam permasalahan perintah.

2. LARANGAN (النهي)

النهي secara bahasa bermakna larangan. sedangkan menurut etimologi yaitu permintaan meninggalkan sesuatu menggunakan kucapan dari orang yang derajatnya lebih tinggi kepada orang yang derajatnya lebih rendah

وحده استدعاء تركل قد وجب * بالقول من من كان دون الطالب[13].

Larangan juga bisa diartikan sebagai perintah untuk tidak melakukan sesuatu (cegahan). Dalam larangan terdapat kaidah-kaidah sebagai berikut:

1. Hukum asal larangan adalah karena haram.[14]

الاصل في النهي للتحريم

Tujuan adanya larangan pada dasarnya karena perkara tersebut tidak boleh dilakukan atau haram. Jadi hukum asal larangan itu untuk mengharamkan. Kecuali ada qorinah atau dalil-dalil lain yang menunjukan bahwa isi dari larangan tersebut bukanlah harom, baik makruh, mubah, atau selainya. Contoh larangan untuk minum arak menunjukakan bahwa minum arak hukumnya haram.

2. Larangan juga berarti perintah untuk melakukan kebalikanya. [15]

النهي عن شيء الامر بالضده

Sama halnya dengan perintah, larangan juga mengandung hukum perintah untuk melakukan kebalikanya.Larangan syirik menunjukan wajib beriman.

3. Larangan menunjukan bahwa perkara yang dilarang itu rusak.

النهي يدل على فساد المنهي عنه

Alasan kenapa ada larangan dikarenakan dalam perkara yang dilarang ada kerusakan. Baik secara hukum maupun secara dzohir. Contoh larangan jual beli barang najis menunjukan bahwa jual belinya rusak dan tidak sah

PENUTUP

1. KESIMPULAN

  • Perintah adalah permintaan untuk melakukan sesuatu. Larangan adalah permintaan untuk meninggalkan sesuatu.
  • Hukum asal perintah adalah wajib. Hukum asal larangan adalah haram.
  • Perintah terhadap sesuatu larangan melakukan kebalikanya, begitu juga sebaliknya.
  • Perintah tidak harus segera dilakukan dan berulang-ulang.
  • Perintah melakukan sesuatu juga perintah melakukan perantara perkara tersebut.
  • Larangan terhadab suatu perkara menunjukan kerusakan perkara tersebut.

2. PESAN

Kita sebagai umat islam hendaknya faham tentang konsep hukum islam dan syariat islam. Juga memahami kandungan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, tidak hanya menjadi pengikut buta yang tidah mengetahui sumbernya.

DAFTAR PUSTAKA

Yahya ,Syarifuddiin Al Umrithi. Tashilut turuqot. Darul kutub islamiyah.

—————–Jakarta. 2011

Abdurrohman, al ahdzori.  Sulamul munawaroq. API Tegalrejo. Magelang.

Khitob ,Muhammad. Qurotul ain sarh al waroqot. Darul kutub islamiyah.

—————-Jakarta. 2011

Khudamail ma’had tegalrejo. Terjemah Tashilut Turuqot. API Tegalrejo

————-Magelang. 2005.

Al Quran

Muhammad , hamid , Abdul.  Lathoiful isyarot. Darul kutub islamiyah

—————-Jakarta. 2011

[1] Syarifuddiin Yahya Al Umrithi. Tashilut turuqot. Darul kutub islamiyah. Jakarta. 2011 hal 46.

[2] Abdurrohman al ahdzori.  Sulamul munawaroq. API Tegalrejo. Magelang. Hal 18-19.

[3] Muhammad Khitob. Qurotul ain sarh al waroqot. Darul kutub islamiyah. Jakarta. 2011 hal 47.

[4] Khudamail ma’had tegalrejo. Terjemah Tashilut Turuqot. API Tegalrejo. Magelang. 2005. Hal 20.

[5] Q.S. al an’am ayat 72.

[6] Q.S. al maidah ayat 2.

[7] Abdul hamid Muhammad.  Lathoiful isyarot. Darul kutub islamiyah. Jakarta. 2011 hal 49.

[8] Khudamail ma’had tegalrejo. Terjemah Tashilut Turuqot. API Tegalrejo. Magelang. 2005. Hal 21.

[9] ibid

[10] Muhammad Khitob. Qurotul ain sarh al waroqot. Darul kutub islamiyah. Jakarta. 2011 hal 51.

[11] ibid

[12] Abdul hamid Muhammad.  Lathoiful isyarot. Darul kutub islamiyah. Jakarta. 2011 hal 51.

[13] Syarifuddiin Yahya Al Umrithi. Tashilut turuqot. Darul kutub islamiyah. Jakarta. 2011 hal 52.

[14] Khudamail ma’had tegalrejo. Terjemah Tashilut Turuqot. API Tegalrejo. Magelang. 2005. Hal 24.

[15] Muhammad Khitob. Qurotul ain sarh al waroqot. Darul kutub islamiyah. Jakarta. 2011 hal 51.

pengembara dunia Lihat semua pos dari mas_ayul21

​Larangan ( NAHI ) dalam Islam

ﺍ ﻟــﻨـﻬـﻲ ﻫـﻮ ﻃــﻠـﺐ ﺍ ﻟــﻜــﻒّ ﻋـﻦ ﻓــﻌــﻞ ﻣـﻦ ﺍ ﻷ ﻋــﻠﻰ ﺍ ﻟﻰ ﺍ ﻷ ﺩ ﻧﻰ

Laranga adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada yang rendah.

Bentuk – Bentuk nahi

1. Fiil nahi 17 : 32

2. Fiil mudori 56 : 79

3. lafal-lafal larangan

 ﺣـﺮﻡ – ﺍ ﺣــﺬ ﺭ – ﺍ ﺗــﺮ ﻙ – ﺧـﻄـﺮ – ﻧـﻬـﻰ – ﺩ ﻉ – ﺫ ﺭ

Kaidah-kaidah NAHI

ﺍ ﻷ ﺻــﻞ ﻓـﻰ ﺍ ﻟــﻨــﻬـﻰ ﻟـﻠــﺘــﺤــﺮ ﻳــﻢ

Asal pada larangan menunjukan arti haram

ﺍ ﻟــﻨــﻬــﻰ ﻋـﻦ ﺍ ﻟــﺸــﻴـﺊ ﺃ ﻣــﺮ ﺑــﻀــﺪ ﻩ

Larangan terhadap sesuatu berarti perintah kebalikannya.

ﺍ ﻷ ﺻــﻞ ﻓـﻰ ﺍ ﻟــﻨــﻬــﻰ ﻳــﻘــﺘــﻀـﻰ ﺍ ﻟــﻔــﺴــﺎ ﺩ ﻣــﻄــﻠــﻘـﺎ

Asal larangan akan mengakibatkan kerusakan secara mutlak

ﺍ ﻷ ﺻــﻞ ﻓـﻰ ﺍ ﻟــﻨــﻬـﻰ ﻳــﻘــﺘــﻀـﻰ ﺍ ﻟــــﺘـﻜــﺮ ﺍ ﺭ ﻣـﻄــــﻠــﻘــﺎ

Asal dalam larangan menghendaki adanya pengulangan seanjang masa.

Perkara-perkara yang dilarang adalah seluruh perkara yang telah turun larangan atasnya. Larangan adalah lawan dari perintah, yakni tuntutan untuk menahan diri dari satu perbuatan.

1. Bentuk dan makna lain dalam larangan adalah :

1. Laa naahiyah (la yang menunjukan larangan),

2. Peringatan dengan menggunakan kata iyyaaka,

3. Ultimatum dan ancaman atas satu perbuatan,

4. Celaan atas pelakunya dan keharusan membayar kaffarah akibat melakukannya,

5. Perkataan laa yanbaghi (tidak sepatutnya),

6. Perkataan tersebut dalam bahasa al-Qur’an dan bahasa Rasul adalah untuk larangan secara syar’i maupun logika,

7. Lafazh maa kaana lahum kadza (tidak sepatutnya mereka melakukan ini) atau lam yakun lahum (seharusnya mereka tidak boleh melakukan ini),

8. Ancaman hukuman hadd atas pelakunya,

9. Lafazh : laa yahillu (tidak halal) atau laa yashluhu (tidak baik),

10. Pemberian sifat rusak dan bathil atas suatu perbuatan, misalnya perbuatan itu adalah tipu daya syaitan, perbuatan syaitan, Allah tidak menyukai dan idak meridhainya, tidak merestui pelakunya, tidak berbicara dan tidak melihatnya.

2. Pada asalnya, statemen syari’at yang berisi larangan terhadap suatu perkara hukumnya adalah perkara itu harus ditinggalkan secara mutlak. Berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang artinya : “Jika aku melarang kalian dari suatu perkara maka tinggalkanlah” (Muttafaq ‘alaih).

3. Boleh jadi larangan itu bukanlah karena perbutan itu sendiri, namun karena faktor mafsadah (kerusakan) yang diakibatnya. Ini merupakan konsekuensi kaidah Saddudz Dzaraa’i atau dalam kata lain : ‘Tidakan pencegahan terhadap penyebab timbulnya mafsadah’. Kaidah ini termasuk kaidah yang sangat agung dalam syariat. Akan tetapi, perkara yang dilarang berdasarkan kaidah ini adakalanya dibolehkan untuk sebuah maslahat yang lebih besar. Sebagai contoh : Dibolehkan melihat calon istri untuk tujuan meminang dan sejenisnya. Melihat wanita bukan mahram diharamkan karena dapat menyeret kepada mafsadah (kerusakan). Dan apabila maslahat yang lebih besar lagi daripadanya, maka itu artinya perkara tersebut tidak menyeret kepada kerusakan.

4. Konsekuensi sebuah perkara terlarang (haram) adalah larangan terhadap seluruh perkara yang mengarah kepadanya. Termasuk di dalamnya adalah pengharaman terhadap al hiil (tipu daya atau pengicuhan) yang bermuara pada perkara yang diharamkan.

5. Larangan terhadap sesuatu juga berarti larangan terhadap perkara yang tidak bisa dilaksanakan (larangan tersebut) kecuali dengan menjauhinya. Jika bercampur antara daging bangkai dengan daging yang disembelih secara syar’i, maka seluruhnya menjadi haram. Daging bangkai haram dimakan karena ia adalah bangkai, dan daging yang disembelih secara syar’i menjadi haram karena terdapat kesamaran padanya. Sebenarnya yang wajib dijauhi hanyalah daging bangkai saja, namun dalam kondisi seperti itu, hal tersebut tidak bisa terlaksana kecuali dengan menjauhi kedua daging itu sekaligus karena adanya kesamaran.

6. Pengharaman sesuatu secara mutlak berarti larangan terhadap setiap bagian-bagiannya. Kaidah menyebutkan bahwa larangan terhadap sesuatu juga berarti larangan terhadap bagiannya selama tidak ada pengecualian yang shahih dan jelas.

7. Larangan itu menunjukan (bahwa) mafsadah yang terdapat pada perkara yang dilarang lebih besar daripada maslahatnya. Asas dasarnya adalah, setiap hamba harus meyakini bahwa apa saja yang Allah perintahkan pasti membawa maslahat dan apa saja yang dilarang oleh-Nya pasti menimbulkan mafsadah dan bencana. Oleh sebab itu, Allah memuji amal shahih dan memerintahkan supaya berlaku baik dan mengadakan perbaikan. Dan Allah melarang berbuat kerusakan, Allah tidak menyukai dan tidak meridhainya.

8. Jika larangan itu tertuju kusus pada sebuah perbuatan, berarti perbuatan itu rusak.

9. Perkara-perkara yang dilarang terdiri atas beberapa tingkatan. Ada yang jelas-jelas haram, ada yang makruh tahrim (makruh bermakna haram) dan ada yang makruh tanzih.

10. Lafazh-lafazh pengharaman terdiri atas beberapa tingkatan, yang paling tinggi adalah perintah untuk meninggalkan sesuatu, kemudian teguran dan celaan terhadap sesuatu, kemudian pengharaman terhadap sesuatu, kemudian makruhnya (dibencinya) sesuatu perbuatan.

11. Pada dasarnya, sebuah larangan dalam statemen syari’at konotasi hukumnya adalah haram. Konotasi hukum ini tidak boleh digeser melainkan dengan adanya pengecualian atau indikasi pengalihan hukum yang kuat.

12. Kata makruh dalam perkataan Allah dan Rasul-Nya dan dalam istilah ulama salaf (dahulu) biasanya digunakan untuk perkara haram, dalilnya adalah firman Allah Subhaanahu wa ta’ala yang artinya : “Semua itu kejahatannya amat dibenci disisi Rabbmu.” (QS al-Israa’ 38).

13. Ulama-ulama mutaakhirin banyak yang keliru, mereka membawakan perkataan-perkataan para ulama yang menyebutkan kata ‘makruh’ kepada pengertian makruh dalam ilmu ushul fiqh yang baru dikenal kemudian. Mereka menafikan hukum haram terhadap perkara-perkara yang dikatakan makruh oleh ulama terdahulu. Kemudian mereka terlalu longgar dalam penggunaan istilah ini, mereka bawakan kepada makruh tanzih! Hal ini menyebabkan banyaknya terjadi kerancuan, kekeliruan yang fatal dan kerusakan yang parah.

14. Makruh, menurut para ulama Ushul Fiqh Kontemporer adalah termasuk di antara lima macam hukum takfili, yaitu sesuatu yang dituntut untuk meninggalkan apa yang terkandung di dalamnya, bukan merupakan suatu kewajiban karena pelakunya tidak dicela. Oleh sebab itu, orang yang meninggalkannya tidaklah dicela.

15. Terus-menerus mengerjakan perkara makruh dapat merusak ‘adaalah (keshalihan) dan mengeluarkan pelakunya dari golongan orang yang berhak mendapat kesaksian baik.

Makna Nahi selain larangan

1. makruh, contohnya hadits larangan solat dikandang onta

2. harapan, doa 2 : 286

3. petunjuk 5 : 101

4. menghibur ( I’tinas ) 9: 40

5. angan-angan 32: 12

6. biasa ( iltimas ) co jangan main kesana

7. menjelaskan suatu akibat. Co menganggap mati orang jihad fisabililah 3 : 169

8. menjelaskan ( tanbih ) contoh jangan melarang jika engkau mengerjakan
SUMBER :

kitab Mausuu’ah : al Manaahiyyisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah yang ditulis oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilali dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Ensiklopedi Larangan : Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah.

Drs. Safiudin Shidiq M. Ag. Fikih.Menggali Hukum Islam. Pustaka madani.

Abdul Wahah Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh. Gema Risalah Press. Bandung

Drs. HM. Suparta, MA, Fiqih Mdrasal Aliyah. Karya Toha Putra. Bandung

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA