Berapa lama wabah flu spanyol berlangsung

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa foto yang diklaim menggambarkan suasana saat pandemi flu spanyol 1918 beredar di media sosial. Foto-foto tersebut satu di antaranya diunggah akun Facebook Politik sosial sejarah konflik agama dan perkembangan jaman pada 6 Juni 2020 lalu.

Beberapa foto tersebut tampak menggambarkan kehidupan orang-orang saat pandemi flu spanyol. Ada foto yang memperlihatkan sepasang wanita mengenakan masker saat berjalan di trotoar. Tampak juga foto lainnya yakni sepasang wanita menggunakan plastik untuk menutupi kepala hingga badannya.

Akun Facebook Politik sosial sejarah konflik agama dan perkembangan jaman menambahkan narasi dalam konten yang diunggahnya.

"Pandemi Flu Spanyol

Jauh sebelum pandemi virus corona covid-19 melanda, telah terjadi pandemi flu Spanyol di tahun 1918. Setidaknya 50 juta orang di seluruh dunia meninggal akibat flu Spanyol.

Shankhadeep Das, seorang fisioterapis yang bekerja di Birbhum Vivekananda Homoeopathic Medical College & Hospital, Sainthia, Bengal Barat, India membagikan foto-foto pandemi flu Spanyol.

Dalam unggahannya, Rabu (3/6/2020), Shankhadeep menunjukkan beberapa foto unik yang terjadi selama pandemi itu. Foto-foto itu mirip dengan situasi saat ini.

Pada saat itu, pemerintah dari berbagai negara juga belum tahu bagaimana mengobati flu Spanyol. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mencegah penyebaran virus di antaranya dengan mengenakan masker, menghirup udara segar dan menyantap bubur hangat.Menariknya, beberapa orang dalam foto yang diunggah Shankhadeep terlihat memakai masker, penutup wajah atau badan dengan benda-benda yang unik.

Flu Spanyol yang melanda dunia pada 1918 cenderung menyerang orang yang berusia antara 20 dan 30 tahun. Justru, mereka yang usia produktif dan sistem kekebalan tubuh kuat menjadi korban. Pria juga lebih banyak yang menjadi korbannya.Pandemi flu Spanyol berlangsung selama dua tahun. Diperkirakan 40 sampai 50 juta orang meninggal antara tahun 1918 dan 1920 karena penyakit itu.

Dalam riset jurnalis BBC World Service Fernando Duarte, flu Spanyol tercatat menewaskan lebih banyak orang daripada Perang Dunia I.

Karantina wilayah menjadi hal yang efektif untuk mencegah penyebaran flu Spanyol saat itu.

Contohnya, pada bulan September 1918, kota-kota di AS mengorganisir pawai untuk mempromosikan obligasi perang. Dana hasil penjualannya dipakai untuk membantu perang yang sedang berlangsung.

Philadelphia tetap mengadakan pawai, padahal saat itu flu Spanyol sedang mewabah. Sementara kota St Louis memutuskan untuk membatalkan pawai.

Sebulan kemudian, lebih dari 10.000 orang meninggal dunia di Philadelphia. Tapi di kota St Louis warga yang meninggal di bawah angka 700 orang.

Perbedaan ini menjadi bahan studi kasus yang menyatakan langkah menjaga jarak sosial adalah sebuah strategi dalam mengatasi wabah.

Analisa pada beberapa kota AS di tahun 1918 memperlihatkan tingkat kematian yang lebih rendah pada tempat-tempat yang sejak dini melarang pertemuan umum, teater tertutup, sekolah dan gereja.Amerika sendiri, kehilangan hampir 700.000 warganya gara-gara pandemi ini.

Vaksin flu ini baru pertama kali beredar untuk umum di tahun 1940-an," tulis akun Facebook Politik sosial sejarah konflik agama dan perkembangan jaman.

Konten yang disebarkan akun Facebook Politik sosial sejarah konflik agama dan perkembangan jaman telah 8 kali dibagikan warganet.

Scroll down untuk melanjutkan membaca

Bagi sebagian besar orang, kata “pandemi” mungkin baru pertama kali didengar pada tahun ini akibat terjadinya pandemi Covid-19. Pandemi merujuk kepada kejadian penyebaran penyakit infeksius yang tersebar hingga beberapa benua. Pada 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) mendeklarasikan Covid-19 sebagai pandemi karena kasusnya sudah ditemukan di berbagai benua. Per Oktober 2020, kasus Covid-19 sudah mencapai 350 ribu kasus di Indonesia dan 38 juta kasus di dunia. 

Covid-19 bukanlah kasus pandemi pertama yang pernah terjadi di dunia. Kasus pandemi lain di masa lalu yang cukup terkenal adalah pandemi flu Spanyol pada tahun 1918 yang menginfeksi hingga 500 juta jiwa atau sekitar ⅓ populasi di dunia pada saat itu. Lebih dekat dari itu, ternyata satu dekade yang lalu juga sempat terjadi pandemi, yaitu pandemi flu babi pada tahun 2009. 

Flu Spanyol 1918

Flu Spanyol mulai menjadi sebuah pandemi pada tahun 1918 dan terus berlanjut hingga musim dingin tahun 1919. Nama flu ini sebenarnya menyesatkan karena flu ini tidak berasal dari Spanyol, tetapi Spanyol merupakan negara pertama yang memberitakan wabah flu ini secara terbuka di pers. Flu Spanyol disebabkan oleh virus influenza A H1N1 yang pertama kali muncul di Amerika Serikat pada akhir Perang Dunia I. Setelah melalui tiga gelombang dan berakhir pada akhir 1919, flu Spanyol berhasil merenggut 50 juta jiwa di seluruh dunia. 

Berbeda dengan virus influenza lainnya dan SARS-CoV-2, kasus kematian Flu Spanyol sebagian besar tersebar pada orang sehat dan muda berumur 20 – 40 tahun. Hal ini mungkin disebabkan masih terbatasnya ilmu kedokteran, alat diagnostik, fasilitas kesehatan, dan tenaga kesehatan pada saat itu. Perkembangan ilmu kedokteran dan pembelajaran dari pandemi flu Spanyol berkontribusi terhadap penanganan pandemi Covid-19 kali ini. 

Flu Babi 2009

Sebagai pandemi terakhir sebelum Covid-19, kasus flu babi memang tak begitu mendapat sorotan. Namun, flu babi berhasil menginfeksi sekitar 490 ribu jiwa dan tercatat merenggut sekitar 18 ribu jiwa di dunia. Angka tersebut adalah kasus yang berhasil terkonfirmasi. Nyatanya, estimasi jumlah kasus yang sebenarnya diperkirakan mencapai 700 ribu hingga 1,4 juta kasus di dunia. 

Meskipun memiliki agen virus yang sama (virus influenza H1N1), virus penyebab flu babi merupakan virus golongan baru. Akibatnya, vaksin yang sudah beredar pada saat itu tidak berhasil mencegah penyebaran kasus flu babi. Berbeda dengan kebanyakan virus influenza, sebagian besar kasus flu Babi ditemukan pada anak-anak dan dewasa usia paruh baya. Bahkan, sekitar 80% kasus kematian dilaporkan terjadi pada orang dewasa berusia di bawah 65 tahun. 

Selain flu Spanyol dan flu babi, dunia juga pernah menghadapi beberapa epidemi yang berpotensi menjadi pandemi. Penyakit epidemi tersebut disebabkan oleh virus corona, sama seperti Covid-19, tetapi merupakan golongan yang berbeda. Penyakit epidemi tersebut adalah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) 2002 dan Middle-East Respiratory Syndrome (MERS) 2012. Untuk membaca lebih lanjut mengenai kedua penyakit yang sempat mengguncang dunia, silahkan mengunjungi //beranisehat.com/mengulas-riwayat-pandemi-dunia/ 

Temukan infografis menarik  di:  //www.instagram.com/p/B-W0xJjHTTF/?utm_source=ig_web_copy_link 

Oleh: Gerald Aldian Wijaya

Reviewer: Billy Pramatirta

Jakarta, CNBC Indonesia - Fakta menunjukkan ternyata bukan pertama kalinya para pemimpin dunia berjuang dengan keputusan berat: apakah tetap membuka sekolah saat pandemi atau meliburkannya guna mencegah penularan lebih luas.

Hal itu pun terjadi selama pandemi influenza tahun 1918. Meskipun saat ini kondisi pandemi dan situasi global berbeda dengan 102 tahun yang lalu, tapi persoalan ini sama saja, tetap memanas.

CNN menulis satu artikel berkaitan dengan persoalan tersebut. Pandemi yang dikenal dengan flu Spanyol tersebut menewaskan sekitar 5 juta orang di seluruh dunia, termasuk 675.000 orang Amerika, sebelum pandemi tersebut berakhir.


Namun ada yang menuliskan wabah flu Spanyol menewaskan 40-50 juta orang dalam 2 tahun, antara tahun 1918 dan 1920. Para peneliti dan sejarawan juga meyakini sepertiga penduduk dunia, yang saat itu berjumlah sekitar 1,8 miliar orang, terkena penyakit tersebut.

Bahkan hal ini diperkuat dengan riset jurnalis BBC World Service Fernando Duarte, yang menyebutkan flu Spanyol tercatat menewaskan lebih banyak orang dari pada Perang Dunia I. Perang Dunia I yakni perang global yang terpusat di Eropa, dimulai pada 28 Juli 1914 sampai 11 November 1918. Saat itu sejarah menyebutkan lebih dari 9 juta prajurit gugur.

Di AS, menurut sejarawan yang dikutip CNN, saat pandemi flu Spanyol, sebagian besar kota memang menutup operasional sekolah mereka, sementara, tiga wilayah lainnya memilih untuk tetap membuka yakni New York, Chicago dan New Haven.

Keputusan pejabat kesehatan di kota-kota tersebut sebagian besar didasarkan pada hipotesis dari para pejabat kesehatan masyarakat yang menyatakan bahwa siswa lebih aman dan lebih baik di sekolah ketimbang di rumah.

Bagaimanapun, saat itu memang bertepatan dengan terjadinya puncak Era Progresif, sehingga ada penekanan soal kebersihan di sekolah dan lebih banyak perawat untuk setiap siswa.

Era Progresif terjadi di AS pada periode 1890-1920-an, periode di mana aktivisme sosial dan reformasi politik meluas di seluruh AS.

New York memiliki hampir 1 juta anak sekolah pada tahun 1918 dan sekitar 75% dari mereka tinggal di rumah petak, dalam kondisi yang padat, dan seringkali tidak sehat. Hal ini terungkap dari sebuah artikel di tahun 2010 di Public Health Reports, jurnal resmi US Surgeon General dan US Public Health Service.

"Untuk siswa yang berasal dari distrik rumah petak, sekolah [lebih baik], karena di sekolah bisa menawarkan lingkungan yang bersih dan berventilasi baik di mana guru, perawat, dan dokter sudah berlatih - dan mendokumentasikan - pemeriksaan medis rutin yang menyeluruh," sebut artikel tersebut.

"Kota itu [tanpa menyebutkan nama kotanya] adalah salah satu yang paling parah dan paling awal terkena flu," kata Dr. Howard Markel, seorang sejarawan medis dan direktur Pusat Sejarah Kedokteran di Universitas Michigan. Dia adalah rekan dari penulis di artikel Public Health Reports, di tahun 2010 itu.

"[Anak-anak] meninggalkan rumah mereka yang seringkali tidak sehat menuju gedung sekolah yang besar, bersih, dan lapang, di mana selalu ada sistem pemeriksaan dan pemeriksaan yang diberlakukan," kata komisaris kesehatan New York pada saat itu, Dr. Royal S. Copeland, kepada New York Times, saat-saat setelah pandemi memuncak di sana.

"Siswa tidak diizinkan berkumpul di luar sekolah dan harus segera melapor kepada guru mereka", kata Copeland. Guru memeriksa siswa apakah ada tanda-tanda flu, dan siswa yang memiliki gejala pun langsung diisolasi.

Hal ini berbeda jika mereka, para siswa itu tetap berada di rumah tanpa pemeriksaan yang jelas.

Jika pelajar mengalami demam, seseorang dari departemen kesehatan akan membawa mereka pulang ke rumah, dan petugas kesehatan akan menilai apakah kondisinya sesuai untuk "isolasi dan perawatan," menurut laporan tersebut. Jika tidak, mereka akan dikirim langsung ke rumah sakit.

"Departemen kesehatan mewajibkan keluarga dari anak-anak yang pulih di rumah untuk memiliki dokter keluarga atau menggunakan layanan dokter kesehatan masyarakat tanpa biaya," kata artikel tersebut.

Alasan pemerintah di wilayah Chicago, kota terbesar di negara bagian AS, Illinois, untuk tetap membuka sekolah bagi 500.000 siswanya juga sama: sekolah tetap buka akan menjauhkan anak-anak dari jalanan dan jauh dari orang dewasa yang terinfeksi flu Spanyol.

Jika jarak sosial pun nanti membantu, itu akan menjadi lebih mudah. Tapi menurut pejabat kesehatan masyarakat, adanya fakta bahwa ketidakhadiran di sekolah melonjak selama pandemi tahun 1918, mungkin karena ada kekhawatiran adanya "fluphobia" yang membuat para orang tua melarang anaknya ke sekolah saat itu.

"Tingkat ketidakhadiran sangat tinggi, tidak masalah, karena sekolah buka," kata Markel.

Menurut sebuah makalah tahun 1918 yang ditulis Departemen Kesehatan Chicago, salah satu bagian dari strategi Chicago adalah memastikan sirkulasi udara segar. Kamar sekolah menjadi terlalu panas selama musim dingin sehingga jendela dapat tetap terbuka sepanjang waktu.

Makalah tersebut menyimpulkan bahwa analisis data menunjukkan bahwa "keputusan untuk tetap membuka sekolah-sekolah di kota ini selama epidemi influenza baru-baru ini dapat dibenarkan."

Di New York, Komisaris Kesehatan Copeland mengatakan kepada New York Times, bahwa "betapa jauh lebih baik jika anak-anak selalu di bawah pengawasan orang-orang yang memenuhi syarat daripada menutup sekolah."

Markel, yang bersama peneliti lain meneliti data dan catatan sejarah dalam melihat tanggapan 43 kota terhadap pandemi 1918, tidak begitu yakin.

New York "tidak melakukan yang terburuk, tetapi juga tidak melakukan yang terbaik," kata Markel, menambahkan bahwa strategi Chicago saat itu dalam mengatasi pandemi sedikit lebih baik.

Dia mengatakan dalam penelitian menunjukkan bahwa kota-kota yang menerapkan strategi karantina wilayah dan isolasi, penutupan sekolah dan larangan pertemuan umum mendapatkan hasil terbaik dalam mencegah pandemi.

"Kota-kota yang melakukan lebih dari satu" tindakan ini "memiliki hasil yang lebih baik. Penutupan sekolah adalah bagian dari kontribusi itu," kata Markel.

Pakar kesehatan masyarakat, termasuk Markel, dengan cepat menunjukkan bahwa Covid-19 memang bukan influenza, yang merupakan penyakit terkenal pada tahun 1918.

Masih banyak yang harus dipelajari tentang novel coronavirus dan penyakit yang ditimbulkannya, yakni Covid-19 yang berasal dari Wuhan, China ini.

Menurut Markel, keputusan yang tepat hari ini, adalah penutupan sekolah.

"Lebih baik," katanya, "lebih aman daripada menyesal."


[Gambas:Video CNBC]

(tas/tas)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA