Saudara mahasiswa, untuk memahami dengan baik tema “Umat Katolik dalam Masyarakat Pancasila” akan dibahas berturut-turut tentang Kehadiran umat Katolik di dalam kehidupan bangsa Indonesia dan Umat Katolik mengembangkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila.
Menurut catatan sejarah pada abad VII sudah ada umat Katolik di kawasan Sumatra Barat. Bagaimanapun dapat dikatakan bahwa secara berkesinambungan Gereja Katolik hadir di Nusantara sebagai satu kesatuan selama 450 tahun lebih. (Tahun 1984 umat Katolik Indonesia merayakan ulang tahun ke-450 kehadirannya yang berkesinambungan di Nusantara). Iman Katolik tidak memisahkan umat dari kebersamaan hidup kemasyarakatan dengan warga-warga lain sebangsa dan setanah air. Oleh karena itu:
Gereja tidak menuntut umatnya meninggalkan nilai-nilai luhur adat istiadat dan kebudayaan bangsa. Sebaliknya, Gereja mengajarkan bahwa apa saja yang baik dan luhur harus dipelihara dan dikembangkan. Malah harta dan penemuan berbagai kebudayaan sebaiknya digunakan “untuk menyebarkan dan menjelaskan berita Kristus dalam pewartaannya” (JR hal. 543). Iman dapat diungkapkan dengan pola budaya bangsa yang bersangkutan. Bangsa Indonesia memiliki Pancasila bukan saja sebagai dasar negara melainkan sebagai warisan budaya dan pandangan hidup bangsa. Apabila dikaji dengan baik, nampak bahwa kelima sila mengandung makna kemanusiaan yang sejalan dengan cita-cita luhur umat Katolik berdasarkan imannya. Pengembangan kelima sila di dalam dokumen-dokumen resmi yang menjadi konsensus nasional pun mengandung banyak paham dan nilai yang sepenuhnya sejalan dengan aspirasi iman Katolik mengenai manusia dan kehidupan bersama di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, pimpinan umat Katolik dan seluruh jajaran umat Katolik bersyukur karena negara didasarkan atas Pancasila sebagai landasan dalam satu tatanan yang kukuh untuk mengusahakan satu negara yang adil dan makmur. Kebudayaan dan pandangan hidup Pancasila ingin didukung dan dikembangkan di dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan oleh seluruh pimpinan dan umat Katolik Indonesia (Pedoman Kerja Umat Katolik tahun 1970 No. 1) maupun di dalam Kesepakatan Pertemuan Nasional Umat Katolik Indonesia (1984 No. 43). Hal ini secara jelas ditegaskan, penegasan dilakukan terutama karena kesamaan aspirasi yang terungkap dalam Pancasila dan dalam pemahaman mengenai manusia dan masyarakat yang dianut umat Katolik. Persamaan terutama terdapat dalam hal-hal berikut.
Materi ini diperkaya dengan pengayaan video yang bisa anda di akses pada link berikut. V.8.2 Perkembangan bangsa dan negara. Source : https://www.antaranews.com/video/12665/umat-katolik-diimbau-memilih-berdasarkan-nurani
Dalam rangka membantu kaum miskin dan tertindas dapat dilakukan pelbagai hal berikut ini.
Untuk melihat dan meyakini keterlibatan umat Katolik dalam pembangunan bangsa, secara berturut-turut akan dibicarakan di sini tentang dasar dan motivasi keterlibatan kita di bidang politik, ekonomi, dan budaya. Umat Katolik Indonesia hidup di tengah dan bersama bangsa Indonesia yang sedang membangun di segala bidang. Pembangunan ini dilihat sebagai langkah-langkah konkret menuju cita-cita: negara adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan baik di bidang ideologi maupun di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan hankam harus merupakan realisasi cita-cita yang terkandung di dalam Pancasila. Berdasarkan cinta kasih dan solidaritas terhadap sesama bangsa, berdasarkan paham bahwa kita memang menuju ”ke kota abadi, tetapi toh harus melaksanakan tugas-tugas kita di kota dunia ini “(bdk. kegembiraan dan harapan: GS No. 43) maka kita wajib turut membangun di segala bidang hidup, masing-masing menurut kemampuan dan posisinya. Adapun dasar dan motivasi keterlibatan kita dalam pembangunan ini adalah perutusan Kristus. Dengan permandian kita dijadikan umat Kristen dan sekaligus diutus ke tengah-tengah dunia. Kerasulan dalam tata dunia adalah kerasulan gereja, yang secara khusus dipercayakan kepada kaum awam. Dalam keterlibatan ini kaum awam menjawabi panggilan Allah dan menemukan penghayatan spiritualitasnya. Agar kita terlibat dalam pembangunan dengan tepat dan baik sebagai warga negara maupun sebagai orang beriman Katolik, perlu diusahakan:
Menyangkut keterlibatan kita umat Katolik di bidang politik ekonomi, ada baiknya secara berturut-turut dibicarakan beberapa hal penting sebagai berikut a. Masalah di lapangan Bersama seluruh bangsa, umat Katolik bersyukur kepada Allah karena tanah air kita memberi kemudahan berlimpah untuk mencari nafkah. Bagi sejumlah orang Indonesia tersedia semakin banyak bahan makanan, pakaian, perumahan, persekolahan, dan hiburan. Beberapa daerah telah menikmati lebih banyak listrik, jalan, sarana komunikasi sosial, serta sarana angkutan darat, laut, dan udara. Di lain pihak hati kita sedih apabila mengamati bahwa ada sekelompok kecil orang yang tinggal di kota besar atau pusat industri menguasai harta berlimpah ruah, sementara tidak sedikit rakyat harus bergulat mati-matian untuk sesuap nasi tiap hari. Terutama masyarakat pedesaan dan orang kebanyakan di kota, yaitu mayoritas penduduk kita, belum cukup mendapat peluang untuk maju sepesat penduduk di kota, di pusat produksi, dan di sekitar pusat pengambilan keputusan. Kawasan Timur Indonesia juga merupakan bagian Ibu Pertiwi yang masih amat jauh dari kemajuan rekan-rekannya di Kawasan Barat. b. Visi kita tentang pembangunan ekonomi Memang negara kita sedang berusaha menapaki masa peralihan, dari negara yang lebih bercorak agraris ke negara yang lebih bercorak industri. Kita memang perlu membawa negara kita beralih menjadi negara maju, namun kemajuan tidak hanya memerlukan uang dan teknologi, tetapi terutama membutuhkan mental pembangunan yang sehat yang betul-betul menghargai alam dan menjunjung tinggi nilai-nilai, seperti kejujuran, sifat objektif, kerja sama, kesetiakawanan dan kesediaan berpikir panjang. Maka dari itu, kita perlu mengajak seluruh lapisan bangsa untuk menyadari, bahwa tolok ukur kemajuan kita tidak hanya pada ditambahnya jumlah uang dan perusahaan atau pabrik. Negara kita dapat disebut maju apabila rakyatnya semakin dapat menghargai sesama, waktu, bumi, laut, seisinya serta mengenali hukum-hukum alam sebagai rekan manusia menggapai hidup yang harmonis dan berkelanjutan. Dengan demikian, kita ingin saling mengingatkan bahwa kemajuan ekonomi, bertambahnya penghasilan per kepala atau meningkatnya ekspor, tidak dengan sendirinya selalu menguntungkan seluruh bangsa dan manusia seutuhnya. Ternyata kemajuan semacam itu bersifat mendua. Gairah kemajuan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dengan memancing hasrat manusia untuk bekerja demi menambah kesejahteraan, dengan mengumpulkan uang dan milik. Namun, kehausan akan harta dan milik dapat mengecoh dan membahayakan persaudaraan. Oleh sebab itu, kita perlu menyebarluaskan kebijaksanaan yang pandai membeda-bedakan manakah kemajuan semu dan mana kemajuan sejati, lalu juga dengan cermat menimbang-nimbang langkah ekonomi yang paling mengena. Pembangunan ekonomi yang sejati adalah pembangunan ekonomi yang:
c. Pembangunan yang terencana Perlu diusahakan perencanaan pembangunan yang matang. Hal tersebut berkaitan dengan peningkatan industri pertanian dan pembangunan pedesaan serta pembangunan daerah terpencil. Apabila upaya itu tidak dilakukan, orang akan tetap mengalir ke perkotaan dan pusat-pusat industri. Pemerataan pembangunan itu dapat mencegah menumpuknya modal dan kemakmuran di satu daerah. Kita juga perlu secara aktif ikut serta mengusahakan desentralisasi industri. Dalam kota-kota seyogianya kita ikut menyediakan pelayanan bagi para pendatang, tidak hanya dari sudut penyediaan pekerjaan, tetapi juga dalam hal budayanya. Di antara pelbagai kemudahan hidup perlulah kita lebih menciptakan kebijakan perumahan yang tepat guna dan layak dihuni. Dalam rangka ini, kebijakan transmigrasi dapat merupakan pemerataan kegiatan ekonomi asal didukung oleh upaya kebudayaan yang serasi. Prinsipnya, dalam pembangunan yang sehat, manusia mendapat tempat sentral, bukan hanya sekadar didudukkan sebagai sumber daya belaka. d. Hal-hal yang mendesak
3. Keterlibatan Kita di Bidang Politik Menyangkut keterlibatan kita umat katolik di bidang politik, ada baiknya secara berturut-turut kita bicarakan beberapa hal berikut ini. a. Masalah di lapangan Di tahun-tahun sekitar pergantian abad ini, umat Katolik bersama seluruh rakyat merasakan adanya beberapa produk undang-undang yang menunjukkan perubahan sarana hidup politik. Ada tradisi politik yang baru, ada undang-undang yang mencoba menyederhanakan hidup politis. Bertahun-tahun negara kita cukup tenang walaupun akhir-akhir ini mulai muncul gejolak di sana sini. Nota Pastoral KWI 2003 tentang ”Keadilan Sosial bagi Semua” menegaskan bahwa ”hancurnya keadaban di Indonesia, lebih khusus lagi hancurnya keadaban politik. Berbagai masalah yang timbul di bidang ekonomi, agama, hukum, kebudayaan, pendidikan, lingkungan hidup alami dan manusiawi dilihat sebagai akibat dari keburaman dunia politik bangsa. Hal yang diharapkan pada awal Orde Reformasi ternyata tidak terpenuhi, meskipun harus diakui bahwa ada beberapa perubahan. Ada kebebasan pers, kebebasan mengungkapkan pendapat dan kebebasan berserikat. Akan tetapi, banyak masalah justru menjadi semakin parah. Salah satu yang amat mencolok adalah hilangnya cita rasa dan perilaku politik yang benar dan baik (NP.KWI. 2003 No. 5). Politik merupakan tugas luhur untuk mengupayakan dan mewujudkan kesejahteraan bersama. Tugas dan tanggung jawab itu dijalankan dengan berpegang pada prinsip-prinsip hormat terhadap martabat manusia, kebebasan, keadilan, solidaritas, subsidiaritas, fairness, demokrasi, kesetaraan dan cita rasa tanggung jawab dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akan tetapi, dalam banyak bidang prinsip-prinsip itu makin diabaikan bahkan ditinggalkan oleh banyak orang, termasuk oleh para politisi, pelaku bisnis, dan pihak-pihak yang punya sumber daya serta berpengaruh di negeri ini. Berlangsung sekarang, politik hanya dipahami sebagai sarana untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan, atau menjadi ajang pertarungan kekuatan dan perjuangan untuk memenangkan kepentingan kelompok. Kepentingan ekonomi atau keuntungan finansial bagi pribadi dan kelompok menjadi tujuan utama. Rakyat sering kali hanya digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dan mempertahankan kepentingan dan kekuasaan tersebut. Terkesan tidak ada upaya serius untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Bukan kepentingan bangsa yang diutamakan, melainkan kepentingan kelompok, dengan mengabaikan cita-cita dan kehendak kelompok lain. Dalam konteks ini, agama menjadi rentan terhadap kekerasan. Simbol-simbol agama pun dijadikan alat untuk mencapai kepentingan politik. Kecenderungan membangun sekat-sekat menjadi semakin nyata. Dengan demikian, pertimbangan kebijakan politik tidak terarah pada warga negara sebagai subjek hukum. Bangsa hanya dianggap sebagai kelompok-kelompok kepentingan itu. Politik terasa semakin menyengsarakan rakyat, membuat banyak orang tidak percaya lagi terhadap mereka yang memegang kendali pemerintahan serta sumber daya ekonomi dan mengikis rasa saling percaya di antara warga terhadap sesamanya. Hasilnya adalah sikap masa bodoh pada banyak orang terutama kaum muda dan kelompok terpelajar (NP. KWI. 2003 No. 6). Politik kekuasaan semacam itu dengan sendirinya akan mengorbankan tujuan utama, yakni kesejahteraan bersama yang mengandaikan kebenaran dan keadilan. Penegakan hukum juga terabaikan. Akibatnya, kasus-kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) tidak ditangani secara serius, bahkan makin merajalela di berbagai wilayah, lebih-lebih sejak pelaksanaan program otonomi daerah. Otonomi daerah yang dimaksudkan sebagai desentralisasi kekuasaan, kekayaan, fasilitas, dan pelayanan ternyata menjadi desentralisasi KKN, antara lain karena kurang tepat saat, laju dan cakupannya. Politik kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari politik uang. Politik uang yang sebetulnya merupakan bentuk kejahatan, dijadikan alat utama untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Dengan politik uang itu rakyat ditipu, kepercayaan rakyat dikhianati, justru oleh orang-orang yang mempunyai otoritas politik dan ekonomi untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Bukankah dengan demikian martabat bangsa tidak dihormati dan kedaulatan rakyat dirampas untuk menjamin kepentingan pribadi atau kelompok? Bukankah dengan demikian kedaulatan rakyat diganti dengan kekuasaan uang? Uang menentukan segala-galanya dan mem-busukkan politik. Peraturan perundang-undangan dan aparat penegak hukum dengan mudah ditaklukkan oleh mereka yang menguasai uang. Akibatnya, upaya untuk menegakkan tatanan hukum yang adil dan pemerintah yang bersih tak terwujud. Ketidakadilan semakin dirasakan oleh kelompok-kelompok yang secara struktural sudah dalam posisi lemah, seperti perempuan, anak-anak, orang lanjut usia, orang cacat, kaum miskin. Sebagai contoh, pelanggaran terhadap martabat perempuan dalam bentuk diskriminasi, kekerasan, pelecehan terus berlangsung di banyak tempat, dan terus terjadi tanpa sanksi hukum. Selain itu, penipuan terhadap rakyat kecil banyak sekali dilakukan justru oleh orang-orang yang memahami hukum dan bertanggung jawab untuk menegakkannya (NP-KWI 2003 No. 7). Dengan demikian, suasana persaingan antarkelompok dan antarpribadi menjadi semakin tajam. Suasana itu menumbuhkan perasaan tidak adil, terutama ketika berhadapan dengan perpecahan masyarakat dalam pengelompokan kelas ekonomi. Perasaan diperlakukan tidak adil itu menyuburkan sikap tertutup dan perasaan tidak aman bagi setiap orang. Orang lain atau kelompok lain akan dianggap sebagai ancaman yang akan mencelakakan dirinya atau kelompoknya. Perasaan terancam ini diperparah dengan sistem ekonomi yang tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru. Kinerja ekonomi selalu menuntut pembaharuan. Pembaharuan terus-menerus menuntut orang menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan baru yang tidak selalu mengungkapkan nilai-nilai keadilan. Mereka yang tidak memenuhi tuntutan struktur ekonomi baru akan terlempar dari pekerjaan karena tidak mampu memenuhi standar baru tersebut. Angka pengangguran semakin tinggi karena rendahnya investasi di sektor ekonomi riil yang mengakibatkan tidak terciptanya lapangan kerja. Pengangguran tidak hanya mengakibatkan tak terpenuhinya kebutuhan ekonomi, melainkan juga memukul harga diri dan dengan mudah membuat orang yang bersangkutan kehilangan harga diri (NP-KWI 2003 No. 8). Tatanan ekonomi yang berjalan di Indonesia mendorong terjadinya kolusi kepentingan antara para pemilik modal dan pejabat untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Kesempatan ini juga bisa dimanfaatkan oleh mereka yang hanya mencari keuntungan sesaat bersama dengan para politisi yang mempunyai kepentingan untuk mendapatkan uang dengan mudah. Akibatnya antara lain pengurasan dan perusakan lingkungan hidup yang menyebabkan malapetaka. Penggusuran yang tidak manusiawi dan menimbulkan banyak penderitaan juga tidak lepas dari bertemunya kedua kepentingan tersebut (NP-KWI. 2003 No. 9). Akar yang terdalam ialah bahwa iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan nyata. Penghayatan iman lebih berkisar pada hal-hal lahiriah, simbol-simbol dan upacara keagamaan. Dengan demikian, kehidupan politik di Indonesia kurang tersentuh oleh iman itu. Salah satu akibatnya ialah lemahnya pelaksanaan etika politik, yang hanya diucapkan di bibir, tetapi tidak dilaksanakan secara konkret. Politik tidak lagi dilihat sebagai upaya mencari makna dan nilai atau jalan bagi pencapaian kesejahteraan bersama. Maka diperlukan pertobatan, yaitu perubahan dan pembaharuan hati serta budi, seperti diserukan para Nabi dan Yesus sendiri. (NP-KWI. 2003 No. 11). Kerakusan akan kekuasaan dan kekayaan ini menjadi daya pendorong politik kepentingan yang amat mempersempit ruang publik, yakni ruang kebebasan politik dan ruang peran serta warga negara sebagai subjek. Ruang publik disamakan dengan pasar. Hal yang dianggap paling penting adalah kekuatan uang dan hasil ekonomi. Manusia hanya diperalat sehingga cenderung diterapkan diskriminasi dan kemajemukan pun diabaikan. Dengan kata lain, manusia hanya dihargai dari manfaatnya, terutama sejauh manfaat ekonomisnya. Maka dengan mudah mereka yang lemah, yang miskin, yang kumuh dianggap tidak berguna dan tidak mendapat tempat. Tekanan pada nilai kegunaan ini tidak hanya bertentangan dengan martabat manusia, melainkan juga mengikis solidaritas. Hal yang berbeda – entah berbeda agama, suku atau perbedaan yang lain – dianggap menjadi halangan bagi tujuan kelompok. Penyelenggaraan negara dimiskinkan hanya menjadi manajemen kepentingan kelompok-kelompok. Politik dagang sapi menjadi bagian manajemen itu dengan akibat melemahnya kehendak politik dalam penegakan hukum. (NP-KWI. 2003 No. 12). Nafsu untuk mengejar kepentingan sendiri/kelompok bahkan dengan mengabaikan kebenaran. Meluasnya praktek korupsi tidak lepas dari upaya memenangkan kepentingan diri dan kelompok. Ini mendorong terjadinya pemusatan kekuasaan dan lemahnya daya tawar politik berhadapan dengan kepentingan-kepentingan pihak yang menguasai sumber daya keuangan, terutama sektor bisnis. Akibatnya, bukan proses politik bagi kebaikan bersama dan mengelola cita-cita hidup bersama yang berkembang. Sebaliknya, kekuatan finansial yang mendikte proses politik. Lembaga pengawas yang diharapkan menjadi penengah dalam perbedaan kepentingan ini, justru merupakan bagian dari sistem yang juga korup ini. Akibatnya politik pun menjadi tidak mandiri lagi. Politik ada di bawah tekanan kepentingan mereka yang menguasai dan mengendalikan operasi-operasi pasar. Apalagi partai-partai politik membutuhkan dana besar untuk memenangkan Pemilihan Umum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para politisi partai banyak yang berpaling kepada para pengusaha untuk meraih dukungan keuangan. Akibatnya, hukum pasar, sekali lagi menjadi penentunya. Etika politik seperti tidak berdaya, dicekik oleh nilai-nilai pasar, persaingan yang tidak terkendali dan janji keuntungan ekonomi. (NP-KWI. 2003 No. 13). Cara bertindak berdasarkan dalil tujuan menghalalkan segala cara. Ketika tujuan menghalalkan cara, terjadilah kerancuan besar karena apa yang merupakan cara diperlakukan sebagai tujuan. Dalam logika ini, ukuran adalah hasil. Intimidasi, kekerasan, politik uang, politik pengerahan massa, teror dan cara-cara imoral lainnya dihalalkan karena memberi hasil yang diharapkan. Kriminalisasi politik menghasilkan politisasi kriminalitas. Akibatnya tidak sedikit pelaku kejahatan politik, provokator dan koruptor menikmati tiadanya sanksi hukum. Lemahnya penegakan hukum mengaburkan pemahaman nilai baik dan buruk yang pada gilirannya menumpulkan kesadaran moral dan perasaan bersalah. Kalau hal-hal itu tidak disadari, orang menjadi tidak peka dan menganggap semua itu wajar saja. Kerusakan hidup bersama juga disebabkan dan sekaligus menghasilkan penumpulan hati nurani. Bertitik tolak pada keprihatinan-keprihatinan tersebut maka kita perlu mempertahankan sejumlah sarana formil politik, sejauh sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan 1945. Namun, peletakan landasan formal dan retorika politis itu belum menjamin pelaksanaannya. Mungkin oleh kebijaksanaan dan pola laku sejumlah penguasa negara kita masih terkesan sebagai negara kekuasaan dan bukan negara kedaulatan rakyat dan negara hukum. Suasana represif kadang-kadang sangat dirasakan. Pada masa mendatang akan semakin meningkat tuntutan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dengan setia. Setiap Undang-undang harus mendukung penghayatan dan pencerminan pengamalan Pancasila. Masih diharapkan adanya strategi yang tepat, agar aneka perundangan sungguh berkaitan secara padu. Kita memandang para pelaku politik sebagai warga negara yang mengemban kedaulatan rakyat. Orientasi pengabdian mereka seyogianya sungguh-sungguh keselamatan seluruh rakyat. Para warga negara yang bertanggung jawab perlu bersikap proaktif dalam mewujudkan nilai-nilai luhur bangsa kita dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. b. Visi pembangunan politik Politik pada dasarnya berarti dan bertujuan mengabdi kepentingan umum. Kita mendambakan pembangunan politik melalui:
c. Hal-hal yang mendesak
a. Keadaan di lapangan Kebudayaan kita beraneka ragam. Hal ini kita nilai sebagai kekayaan dan rahmat Allah. Kekayaan masing-masing lingkup budaya dan suku seharusnya semakin dihargai, bukannya dihancurkan identitasnya. Walaupun serba bhinneka, terdapat arus-arus yang sampai hari ini bertahan mengalir di bawah permukaan gejala-gejala yang mencari kebudayaan yang bersifat Indonesia. Sementara ini, kebudayaan kita sedang dilanda arus budaya global. Memang kebudayaan bangsa lain dapat memperjaya kita, tetapi juga dapat menciptakan guncangan dan krisis kebudayaan. Mungkin kini sedang terjadi benturan-benturan budaya di tengah kita. Di dunia Barat proses peralihan budaya, dari budaya tradisional ke budaya modern lalu ke budaya postmodern, terjadi dalam jangka waktu yang lama dan secara normal. Akan tetapi, di wilayah-wilayah kita budaya tradisional, modern dan postmodern saling bertumpang-tindih. Tidaklah mengherankan kalau terjadi bentrokan dan krisis budaya. Kita perlu saling membantu untuk bersikap kritis dan menciptakan sikap hidup yang mencerminkan kebebasan batin guna menolak hal-hal yang tak layak bagi kemanusiaan kita. Untuk itu, kita dapat memajukan kebudayaan setempat dan mempertahankan keunggulan kebudayaan suku-suku kita. Jangan sampai ada kebudayaan yang dihancurkan dengan dalih kemajuan. b. Visi pembangunan politik-kebudayaan Indonesia Kita memandang kebudayaan secara menyeluruh. Hal itu menyangkut perasaan, cita rasa, selera, simbol-simbol, cara pikir, bahasa, cara menangani dan menyelesaikan masalah besar ataupun kecil, serta lembaga-lembaganya. Oleh sebab itu, bangsa dan negara terpadukan secara batiniah dalam jati dirinya. Gereja mengajarkan bahwa kebudayaan sangat menyangkut kodrat manusia. Kebudayaan adalah pratanda khas dari kemampuan “adanya” dan hakikat manusia (Bdk.GS. 10:23 s/d 27). Sebagai bangsa Indonesia kita mau supaya kebudayaan Indonesia sebagai “jiwa” bangsa bertumbuh dan berkembang. Kita merindukan suatu pengembangan kebudayaan:
c. Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk pengembangan kebudayaan Indonesia 1) Pendidikan sebagai sarana pengembangan kebudayaan. Untuk itu diusahakan pendidikan yang:
2) Ilmu pengetahuan dan teknologi pencipta peradaban/kebudayaan baru
PENDALAMAN/PERESAPAN Dalam Dekrit tentang Karya Misioner Gereja No. 15, kita baca: “Umat Kristen, yang dihimpun dari pelbagai bangsa di dalam Gereja, “tidak dibedakan dari manusia-manusia lain, baik oleh bentuk pemerintahan, maupun oleh bahasa, dan oleh tatanan kehidupan politik”. Sebab itu hendaknya mereka hidup untuk Allah dan Kristus dalam kebiasaan terhormat kehidupan bangsanya sendiri. Sebagai warga negara yang baik haruslah mereka memupuk cinta tanah air dengan sungguh-sungguh dan berdaya guna” Para peserta Pertemuan Nasional Umat Katolik Indonesia (PNUKI) pada tanggal 12 Juli 1984 membuat satu kesepakatan bersama yang menunjukkan sikap umat Katolik terhadap Pancasila: “Pancasila mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, yang juga dijunjung tinggi dalam Ajaran-ajaran Gereja. Karena itu Gereja menerima Pancasila bukan karena pertimbangan-pertimbangan taktis, melainkan karena nilai-nilai luhur Pancasila itu sendiri. Kita ikut memperkaya pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila itu dan dengan demikian ikut sungguh-sungguh membangun masyarakat Pancasila. Pengamalan di dalam kehidupan warga yang Katolik dapat dihayati sebagai suatu bentuk perwujudan iman kristiani dalam konteks masyarakat Indonesia” (Lihat Kesepakatan Bersama Para Peserta Pertemuan Nasional Umat Katolik Indonesia 1948 No. 43, a.l di dalam Spektrum No. 2 & 3 Tahun XII, 1984 (edisi PNUKI) hal. 89). Saksi Iman yang terlibat Umat Katolik menyadari bahwa bersama semua orang dari segala lapisan masyarakat menjadi sesama musafir. Dalam segala pergulatan itu umat Katolik dipanggil untuk menjadi saksi Kristus, mewartakan datanganya Kerajaan Allah. Kerajaan yang berpedomankan kebenaran, keadilan, kerajaan yang memancarkan kesucian dan rahmat, kerajaan yang berlimpahkan keadilan dan cinta kasih serta perdamaian. Perubahan dan peluang Umat Katolik akan semakin ditantang oleh perubahan yang amat cepat di dalam bidang politik, ekonomi, budaya, komunikasi sosial, ilmu pengetahuan, teknologi dan pelbagai segi kehidupan manusia. Dalam gelombang itu banyak ditemukan masalah yang sangat mendesak untuk ditangani. Setiap peluang untuk bersama seluruh rakyat membangun masa depan yang sejahtera perlu disambut atas dasar iman yang mendunia. Perlu diusahakan agar proses itu terus-menerus disemangati oleh kesediaan mencari kehendak Allah dalam segala liku-liku pergulatan bangsa. (Pedoman Gereja Katolik Indonesia 1996)Peran serta kita Patut dipuji bahwa di dalam masyarakat demokratis masa kini, di dalam suatu iklim kebebasan yang benar, setiap orang dijadikan peserta di dalam mengarahkan kelompok politik. Masyarakat yang demikian memerlukan bentuk-bentuk peran serta baru dan lebih penuh di dalam kehidupan umum baik oleh warga negara Kristen maupun non-Kristen. Sesungguhnya semua dapat membantu, dengan memberikan suara di dalam pemilihan-pemilihan untuk para pembuat hukum dan pejabat pemerintahan, dan juga dengan cara lain, pada perkembangan pemecahan masalah-masalah politik dan pilihan-pilihan legislatif yang menurut pendapat mereka, akan menguntungkan kesejahteraan umum. Kehidupan demokrasi tidak dapat produktif tanpa keterlibatan setiap orang secara aktif, bertanggung jawab dan murah hati, “meskipun dalam bentuk, tingkat, tugas dan tanggung jawab yang berbeda-beda dan saling melengkapi”.Dengan memenuhi kewajiban-kewajiban kewarganegaraan mereka, “yang dibimbing oleh suara hati Kristiani”, sesuai dengan nilai-nilainya, kaum awam beriman melaksanakan tugas yang tepat memasuki tatanan duniawi dengan nilai-nilai Kristiani, sementara sekaligus menghormati hakikat dan otonomi sepenuhnya dari tatanan itu, dan bekerja sama dengan warga negara lain menurut kompetensi dan tanggung jawab khusus mereka. Konsekuensi dari ajaran dasar dari Konsili Vatikan II ini adalah bahwa “kaum awam beriman tidak pernah boleh melepaskan peran serta mereka di dalam ‘kehidupan umum’, artinya di dalam banyak bidang ekonomi, sosial, legislatif, administratif dan kebudayaan yang beraneka ragam, yang dimaksudkan guna memajukan secara organik dan institusional kesejahteraan umum”. Usaha ini antara lain peningkatan dan pertahanan kebaikan-kebaikan misalnya tatanan umum dan perdamaian, kebebasan dan kesamaan, hormat terhadap hidup manusia dan lingkungan, keadilan dan solidaritas. (Paus Yohanes Paulus II dalam surat “Peran Serta Umat Katolik dalam Politik). |