Beragama seharusnya menjadi motivasi untuk membangun hubungan yang semakin mendalam dengan

  1. UMAT KATOLIK DALAM MASYARAKAT PANCASILA

Saudara mahasiswa, untuk memahami dengan baik tema “Umat Katolik dalam Masyarakat Pancasila” akan dibahas berturut-turut tentang Kehadiran umat Katolik di dalam kehidupan bangsa Indonesia dan Umat Katolik mengembangkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila.

  1. Kehadiran Umat Katolik dalam Kehidupan Bangsa

Menurut catatan sejarah pada abad VII sudah ada umat Katolik di kawasan Sumatra Barat. Bagaimanapun dapat dikatakan bahwa secara berkesinambungan Gereja Katolik hadir di Nusantara sebagai satu kesatuan selama 450 tahun lebih. (Tahun 1984 umat Katolik Indonesia merayakan ulang tahun ke-450 kehadirannya yang berkesinambungan di Nusantara). Iman Katolik tidak memisahkan umat dari kebersamaan hidup kemasyarakatan dengan warga-warga lain sebangsa dan setanah air. Oleh karena itu:

  1. Umat membaur dengan masyarakat lingkungan apa pun agamanya. Umat tidak menyendiri sebaliknya ikut serta di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, di RT, desa, kelurahan malah sampai tingkat nasional.
  2. Di dalam gerakan kebangkitan nasional dan dalam perjuangan kemerdekaan, anggota umat turut serta secara aktif dan bersama anggota masyarakat lainnya. Malah dalam barisan pahlawan nasional tercatat nama tokoh-tokoh Katolik.
  3. Di pelbagai bidang usaha demi pembangunan nasional, umat Katolik turut berperan serta dengan memangku suatu kedudukan tertentu dan dengan memberikan sumbangan yang berbeda-beda menurut keadaan dan kemampuan masing-masing.
  1. Mengembangkan Nilai-nilai Pancasila

Gereja tidak menuntut umatnya meninggalkan nilai-nilai luhur adat istiadat dan kebudayaan bangsa. Sebaliknya, Gereja mengajarkan bahwa apa saja yang baik dan luhur harus dipelihara dan dikembangkan. Malah harta dan penemuan berbagai kebudayaan sebaiknya digunakan “untuk menyebarkan dan menjelaskan berita Kristus dalam pewartaannya” (JR     hal. 543). Iman dapat diungkapkan dengan pola budaya bangsa yang bersangkutan.

Bangsa Indonesia memiliki Pancasila bukan saja sebagai dasar negara melainkan sebagai warisan budaya dan pandangan hidup bangsa. Apabila dikaji dengan baik, nampak bahwa kelima sila mengandung makna kemanusiaan yang sejalan dengan cita-cita luhur umat Katolik berdasarkan imannya. Pengembangan kelima sila di dalam dokumen-dokumen resmi yang menjadi konsensus nasional pun mengandung banyak paham dan nilai yang sepenuhnya sejalan dengan aspirasi iman Katolik mengenai manusia dan kehidupan bersama di dalam masyarakat.

Oleh sebab itu, pimpinan umat Katolik dan seluruh jajaran umat Katolik bersyukur karena negara didasarkan atas Pancasila sebagai landasan dalam satu tatanan yang kukuh untuk mengusahakan satu negara yang adil dan makmur.

Kebudayaan dan pandangan hidup Pancasila ingin didukung dan dikembangkan di dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan oleh seluruh pimpinan dan umat Katolik Indonesia (Pedoman Kerja Umat Katolik tahun 1970 No. 1) maupun di dalam Kesepakatan Pertemuan Nasional Umat Katolik Indonesia (1984 No. 43). Hal ini secara jelas ditegaskan, penegasan dilakukan terutama karena kesamaan aspirasi yang terungkap dalam Pancasila dan dalam pemahaman mengenai manusia dan masyarakat yang dianut umat Katolik.

Persamaan terutama terdapat dalam hal-hal berikut.

  1. Sila pertama mencanangkan takwa, toleransi, kerukunan dan kebebasan beragama. Hal ini sejalan dengan hukum Kristen mengenai taat kepada Tuhan dan dengan ajaran Konsili Vatikan II tentang kebebasan beragama, (Dignitatis Humanae No. 6). Peran serta umat Katolik di dalam kehidupan masyarakat bertumpuh pada keyakinan iman dan keyakinan kewarganegaraannya terhadap kedaulatan Tuhan Yang Mahakuasa. Sebagai orang beriman tiap orang Katolik merasa bertanggung jawab terhadap pengamalan kewajiban-kewajiban agamanya. Sebagai warga negara ia sadar bahwa untuk itu negara memberikan kesempatan dan peluang baginya, malah mendorongnya. Namun, ia sadar pula bahwa di dalam masyarakat terdapat sekian banyak pribadi-pribadi dan kelompok yang mau mengamalkan tugas-tugas keagamaannya tanpa hambatan.

    Oleh karena itu, tiap orang Katolik berusaha:

    1. Taat dan mengamalkan ajaran agamanya di dalam masyarakat.
    2. Menjunjung tinggi kebebasan beragama semua warga.
    3. Membina semangat toleransi terhadap orang/kelompok yang beragama lain. Malah memupuk kerukunan, komunikasi dan kerja sama dalam suasana kekeluargaan dan persaudaraan dengan semua golongan di dalam masyarakat.
  2. Sila kedua menghendaki agar manusia “diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban-kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit. Karena itu, dikembangkanlah sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan tepo selira, serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain” (P4 ad Sila II). Anjuran Sila II sangat mendukung aspirasi hukum Kristen tentang cinta kepada sesama (lihat Mt 22:36-39) dan tekad untuk menghilangkan segala bentuk diskriminasi seperti yang terdapat dalam ucapan Kristus (lihat Mt 5:45-47) dan dalam surat Yakobus (Yak 2:1-4). Cinta kasih kepada Tuhan tidak dapat dipisahkan dengan cinta kasih kepada sesama. Penjelasan UUD’45 menegaskan bahwa “Pokok pikiran yang keempat, yang terkandung dalam pembukaan ialah negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Di sini pun nampak seolah-olah sila Ketuhanan tidak dapat dipisahkan dari kemanusiaan yang adil dan beradab.

    Karena itu, sambil menunaikan tugas-tugas kita terhadap Tuhan kita pun wajib menunaikan tugas cinta kasih kita terhadap sesama, bersama dengan siapa saja yang mengusahakan berkembangnya nilai-nilai kemanusiaan di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

    1. Kita berusaha agar martabat pribadi dan hak-hak asasi tiap manusia dan tiap kelompok/golongan manusia dihargai dan dapat terlaksana dengan wajar. Pelanggaran hak dan pelanggaran hukum yang mengganggu hak dan martabat orang kita cegah. Tindakan yang bersifat diskriminatif dan tidak/kurang adil dielakkan.
    2. Kita mencoba membaca dan menanggapi aspirasi-aspirasi masyarakat untuk membangun suatu dunia yang lebih baik, yang lebih layak bagi makhluk hidup yang disebut manusia. Lalu bersama-sama kita berikhtiar mewujudkan aspirasi tersebut.
    3. Kita berkewajiban untuk turut menjamin supaya hasil pembangunan tidak boleh diukur hanya dengan melihat tercapainya sasaran-sasaran lahiriah/materiil. Yang lebih penting ialah sejauh mana manusia dan kelompok masyarakat makin dapat menghayati pengembangan martabat pribadinya, sejauh mana tiap warga mendapat peluang untuk turut berperan serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
    4. Kita mencegah semangat nasionalisme yang picik dan coba membina solidaritas antar bangsa dan antara umat manusia di seluruh dunia.
      (Para warga yang memiliki posisi yang menentukan dan turut mem­pengaruhi kehidupan masyarakat umum hendaknya menjadi pengembang nilai-nilai kemanusiaan yang luhur).
  3. Sila ketiga mengamanatkan semua warga agar menempatkan persatuan,  kesatuan serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Manusia Indonesia diharapkan “sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan Negara dan Bangsa apabila diperlukan”. “Ajakan untuk men­gembangkan cinta kepada Tanah Air dan Bangsa” tanpa lalai “meme­lihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” (P4 ad Sila III).
    Amanat ini senada dengan hukum ke-4 dan senafas dengan paham masyarakat negara yang diulas di dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dalam dunia dewasa ini. (lihat G.S No. 73-76).
  4. Sila keempat menempatkan manusia Indonesia sebagai warga negara dalam “kedudukan, hak dan kewajiban yang sama” (P4 ad Sila IV). Tidak boleh “ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak lain”. Semua dimusyawarahkan dalam semangat kekeluargaan dan persaudaraan. Keputusan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan dilaksanakan dengan penuh perasaan tanggung jawab. Persamaan hak dan kewajiban antara para warga, semangat persaudaraan dalam memusyawarahkan kepentingan bersama, moralitas dalam mengambil keputusan merupakan hal-hal yang diinginkan dalam penataan kehidupan bersama yang benar-benar manusiawi sifatnya.

Beragama seharusnya menjadi motivasi untuk membangun hubungan yang semakin mendalam dengan

Materi ini diperkaya dengan pengayaan video yang bisa anda di akses pada link berikut.

V.8.2 Perkembangan bangsa dan negara.

Source : https://www.antaranews.com/video/12665/umat-katolik-diimbau-memilih-berdasarkan-nurani

  1. Kita turut menciptakan suasana di mana tiap warga dapat menge­luarkan pendapatnya dengan bebas, di mana tiap warga dapat berperan serta secara wajar baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan apa saja yang menyangkut kehidupan bersama dan kepentingan umum.
  2. Kita membantu pengembangan sarana dan wahana dan pranata demokrasi Pancasila. Jalur-jalur penampungan serta penyaluran suara dan aspirasi seluruh lapisan masyarakat di tingkatkan fungsi dan perannya. Lembaga-lembaga perwakilan dibuat menjadi lebih tepat guna dan lebih berdaya guna.
  3. Kita membantu aparat pemerintah dalam menegakkan demokrasi dan menindak penyelewengan-penyelewengan yang terjadi. (Dengan memberikan informasi, dengan gagasan dan saran, dengan penyajian jalan-jalan alternatif).
  4. Kita mengusahakan atau membantu mengusahakan pendidikan kewarganegaraan. Sikap yang tepat terhadap negara dan bangsa, sikap yang tepat terhadap kepentingan umum, persepsi demokrasi mengenai kekuasaan dalam jenjang apapun perlu dikembangkan sedini mungkin.
  5. Hukum yang adil, penerapan dan pelaksanaan hukum yang adil oleh penegak-penegak hukum yang adil di dalam semangat keadilan diikhtiarkan sedapat mungkin.
  6. Ulasan mengenai masyarakat politik di dalam dokumen Konsili Vatikan II mengandung unsur-unsur yang senada (Lihat D.H. No. 11).
    Masyarakat kita bersepakat untuk mengembangkan kehidupan demokrasi Pancasila. Kedaulatan di tangan rakyat. Seluruh rakyat berhak dan bertanggung jawab terhadap hidup dan perkembangan bangsa dan negara. Peran serta seluruh rakyat dibutuhkan untuk mencapai sasaran-sasaran dan cita-cita nasional bangsa, yang ingin dicapai melalui tahap-tahap pembangunan. Oleh sebab itu, perkembangan demokrasi dalam segala aspeknya, demikian pula pelaksanaan keadilan di dalam segala bidang kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan harus menjadi keprihatinan kita semua.
  1. Sila kelima menyadarkan para warga akan “Hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia”.  Untuk itu P4 menganjurkan kita mengembangkan “sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain”. Pemerataan dalam turut merencanakan dan melaksanakan pembangunan demikian pula pemera­taan dalam menikmati  hasil-hasil pembangunan juga dicanangkan oleh sila kelima ini. Keadilan di dalam masyarakat sudah sejak dini diusahakan Gereja. Ajaran-ajaran sosial Gereja yang dikemukakan para Paus belakangan ini dan oleh Vatikan II juga mendorong seluruh umat untuk lebih mengikhtiarkan keadilan sosial, yang merupakan salah satu aspek kehidupan masyarakat yang benar-benar manusiawi. Dalam rangka pemerataan keadilan kita hendaknya mengarahkan pelayanan kita kepada kelompok-kelompok yang sering diperlakukan secara tidak adil. Pelayanan merupakan kesaksian umat Katolik di mana saja. Akan tetapi pelayanan kepada kelompok masyarakat yang miskin, yang tertindas yang tidak mempunyai hak apapun, yang selalu terpojok dan dipojokkan merupakan kesaksian yang lebih menampilkan wajah Kristus yang sejati. Kristus di utus..... untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin... untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tertindas” (Luk. 4:18) Di dalam masyarakat kita cukup banyak terdapat kelompok yang sering disebut “akar rumput” karena selalu diinjak dan dipijak orang.

    Oleh sebab itu untuk meneladani Kristus dan demi memurnikan peru­tusan Gereja perlu kita tingkatkan pelayanan kepada  orang-orang miskin dan lemah serta tertindas. Pelayanan kita tidak boleh membantu sesaat dengan kegiatan amal, akan tetapi dengan turut mengusahakan perbaikan hidup kelompok “akar rumput” dengan meningkatkan kemampuan mereka dan bersama mereka memerangi sebab musabab kemelaratan mereka.

Dalam rangka membantu kaum miskin dan tertindas dapat dilakukan pelbagai hal berikut ini.

  1. Kita mengusahakan proses penyadaran masyarakat luas, khususnya yang memimpin dan yang kecukupan dibuka mata dan hatinya terhadap kepincangan-kepincangan di dalam masyarakat. Ada yang bergelimang di dalam kelimpahan dan ada yang diberi dulu baru makan. Apa sebab dan latar belakang semua ini?
  2. Proses penyadaran dibuat pula dengan kelompok yang miskin dan tertindas. Diperlihatkan bahwa bagaimana pun masih ada peluang bagi mereka, masih ada peluang di dalam lingkungan yang bermakna dan yang dapat menjadi tumpuan hidupnya.
  3. Pelbagai bantuan dalam rangka membina kaum miskin dan tertindas agar mereka sendiri membantu dirinya hendaknya diberikan dengan rasa hormat. Diajarkan keahlian dan keterampilan sesuai dengan peluang yang ada dalam situasi konkret. Khususnya perlu dibina kewiraswastaan, semangat memperhitungkan segala sesuatu dengan cermat, semangat berhemat, berkooperasi, semangat simpan pinjam secara efektif.
  4. Dalam mengulurkan bantuan seyogianya dihindarkan sikap memberi “dari atas”. Sasaran swadaya akan lebih tercapai apabila orang berbuat bukan untuk orang miskin melainkan bersama mereka. Mereka tidak dijadikan objek, melainkan subjek utama perbaikan nasib dan taraf hidup mereka.
  1. KETERLIBATAN UMAT KATOLIK DALAM PELBAGAI BIDANG PEMBANGUNAN BANGSA

Untuk melihat dan meyakini keterlibatan umat Katolik dalam pembangunan bangsa, secara berturut-turut akan dibicarakan di sini tentang dasar dan motivasi keterlibatan kita di bidang politik, ekonomi, dan budaya.

Umat Katolik Indonesia hidup di tengah dan bersama bangsa Indonesia yang sedang membangun di segala bidang. Pembangunan ini dilihat sebagai langkah-langkah konkret menuju cita-cita: negara adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan baik di bidang ideologi maupun di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan hankam harus merupakan realisasi cita-cita yang terkandung di dalam Pancasila. Berdasarkan cinta kasih dan solidaritas terhadap sesama bangsa, berdasarkan paham bahwa kita memang menuju ”ke kota abadi, tetapi toh harus melaksanakan tugas-tugas kita di kota dunia ini “(bdk. kegembiraan dan harapan: GS No. 43) maka kita wajib turut membangun di segala bidang hidup, masing-masing menurut kemampuan dan posisinya.

Adapun dasar dan motivasi keterlibatan kita dalam pembangunan ini adalah perutusan Kristus. Dengan permandian kita dijadikan umat Kristen dan sekaligus diutus ke tengah-tengah dunia. Kerasulan dalam tata dunia adalah kerasulan gereja, yang secara khusus dipercayakan kepada kaum awam. Dalam keterlibatan ini kaum awam menjawabi panggilan Allah dan menemukan penghayatan spirituali­tasnya.

Agar kita terlibat dalam pembangunan dengan tepat dan baik sebagai warga negara maupun sebagai orang beriman Katolik, perlu diusahakan:

  1. Pengetahuan, keahlian dan keterampilan yang dapat diandalkan.
  2. Sikap dan mentalitas yang sesuai dengan tuntutan pembangunan; di samping itu selalu bersikap jujur, adil, dan penuh pengabdian, serta tanggung jawab terhadap kepentingan umum.
  3. Minat dan upaya melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan: takwa, toleransi, kerukunan solidaritas nasional, tenggang rasa, persaudaraan, musyawarah, keadilan sosial sehingga kita tidak hanyut dalam usaha meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan materiil saja.
  1. Keterlibatan Kita di Bidang Politik-Ekonomi

Menyangkut keterlibatan kita umat Katolik di bidang politik ekonomi, ada baiknya secara berturut-turut dibicarakan beberapa hal penting sebagai berikut

a. Masalah di lapangan

Bersama seluruh bangsa, umat Katolik bersyukur kepada Allah karena tanah air kita memberi kemudahan berlimpah untuk mencari nafkah. Bagi sejumlah orang Indonesia tersedia semakin banyak bahan makanan, pakaian, perumahan, persekolahan, dan hiburan. Beberapa daerah telah menikmati lebih banyak listrik, jalan, sarana komunikasi sosial, serta sarana angkutan darat, laut, dan udara.

Di lain pihak hati kita sedih apabila mengamati bahwa ada sekelompok kecil orang yang tinggal di kota besar atau pusat industri menguasai harta berlimpah ruah, sementara tidak sedikit rakyat harus bergulat mati-matian untuk sesuap nasi tiap hari. Terutama masyarakat pedesaan dan orang kebanyakan di kota, yaitu mayoritas penduduk kita, belum cukup mendapat peluang untuk maju sepesat penduduk di kota, di pusat produksi, dan di sekitar pusat pengambilan keputusan. Kawasan Timur Indonesia juga merupakan bagian Ibu Pertiwi yang masih amat jauh dari kemajuan rekan-rekannya di Kawasan Barat.

b. Visi kita tentang pembangunan ekonomi

Memang negara kita sedang berusaha menapaki masa peralihan, dari negara yang lebih bercorak agraris ke negara yang lebih bercorak industri. Kita memang perlu membawa negara kita beralih menjadi negara maju, namun kemajuan tidak hanya memerlukan uang dan teknologi, tetapi terutama membutuhkan mental pembangunan yang sehat yang betul-betul menghargai alam dan menjunjung tinggi nilai-nilai, seperti kejujuran, sifat objektif, kerja sama, kese­tiakawanan dan kesediaan berpikir panjang. Maka dari itu, kita perlu mengajak seluruh lapisan bangsa untuk menyadari, bahwa tolok ukur kemajuan kita tidak hanya pada ditambahnya jumlah uang dan perusahaan atau pabrik. Negara kita dapat disebut maju apabila rakyatnya semakin dapat menghargai sesama, waktu, bumi, laut, seisinya serta mengenali hukum-hukum alam sebagai rekan manusia menggapai hidup yang harmonis dan berkelanjutan.

Dengan demikian, kita ingin saling mengingatkan bahwa kemajuan ekonomi, bertambahnya penghasilan per kepala atau meningkatnya ekspor, tidak dengan sendirinya selalu menguntungkan seluruh bangsa dan manusia seutuhnya. Ternyata kemajuan semacam itu bersifat mendua. Gairah kemajuan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dengan memancing hasrat manusia untuk bekerja demi menambah kesejahteraan, dengan mengumpulkan uang dan milik. Namun, kehausan akan harta dan milik dapat mengecoh dan membahayakan persaudaraan.

Oleh sebab itu, kita perlu menyebarluaskan kebijaksanaan yang pandai membeda-bedakan manakah kemajuan semu dan mana kemajuan sejati, lalu juga dengan cermat menimbang-nimbang langkah ekonomi yang paling mengena. Pembangunan ekonomi yang sejati adalah pembangunan ekonomi yang:

  1. menjunjung tinggi martabat manusia, tidak meremehkan atau mengabaikan hak asasi manusia karena mengejar target atau hasil lahiriah tertentu; dengan demikian manusia tidak sekadar menjadi angka atau sumber daya bagi sistem ekonomi; terutama tenaga kerja wanita dan anak-anak pantas mendapat pembelaan yang lebih tepat guna.
  2. menghargai manusia sebagi pelaku ekonomi yang terpenting karena menjadi asal, isi, tujuan, dan muara segala kegiatan ekonomi sehingga pemberdayaan usaha rakyat kecil merupakan poros segala gerak ekonomi;
  3. menjamin peran serta semua warga negara dalam bidang ekonomi dengan tidak melalaikan kaum marjinal, dengan demikian usaha-usaha ekonomi memang mendukung pelaku-pelaku ekonomi agar cukup dapat berperan secara global, namun terus-menerus mencari jalan agar pemerataan upaya penyejahteraan menjadi kenyataan;
  4. merangsang terbentuknya kemitraan dan jaringan kerja sama antara semua pihak berpegang pada Code of Conduct yang bercirikan keadilan sosial.
  5. secara berdaya guna menciptakan mekanisme untuk mencegah perluasan korupsi.

c. Pembangunan yang terencana

Perlu diusahakan perencanaan pembangunan yang matang. Hal tersebut berkaitan dengan peningkatan industri pertanian dan pembangunan pedesaan serta pembangunan daerah terpencil. Apabila upaya itu tidak dilakukan, orang akan tetap mengalir ke perkotaan dan pusat-pusat industri. Pemerataan pembangunan itu dapat mencegah menumpuknya modal dan kemakmuran di satu daerah. Kita juga perlu secara aktif ikut serta mengusahakan desentralisasi industri. Dalam kota-kota seyogianya kita ikut menyediakan pelayanan bagi para pendatang, tidak hanya dari sudut penyediaan pekerjaan, tetapi juga dalam hal budayanya. Di antara pelbagai kemudahan hidup perlulah kita lebih menciptakan kebijakan perumahan yang tepat guna dan layak dihuni. Dalam rangka ini, kebijakan transmigrasi dapat merupakan pemerataan kegiatan ekonomi asal didukung oleh upaya kebudayaan yang serasi. Prinsipnya, dalam pembangunan yang sehat, manusia mendapat tempat sentral, bukan hanya sekadar didudukkan sebagai sumber daya belaka.

d. Hal-hal yang mendesak

  1. Lapangan kerja
    Pembangunan masyarakat terlaksana apabila semakin banyak rakyat mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Hal itu hanya dapat terjadi, apabila tersedia kesempatan bekerja yang memadai bagi sebanyak mungkin rakyat. Apabila tidak, pengangguran akan membuat bangsa kita tidak produktif, orang terbiasa menyia-nyiakan kesempatan, keluarga rusak, kriminalitas meningkat, dan keamanan terganggu. Oleh sebab itu, keprihatinan dasar pembangunan kita adalah pencintaan lapangan kerja.
  2. Pertanian
    Pembangunan kita patut bertumpu pada kekuatan terbesar masyarakat kita, yaitu petani. Dengan pembangun pertanian secara kokoh, kita meneguhkan daya hidup mayoritas rakyat sehingga upaya itu dapat meninggikan vitalitas seluruh bangsa. Dalam kerangka itu peningkatan produktivitas pertanian perlu dijaga agar mempergunakan jalan yang semakin menjaga keutuhan alam ciptaan. Lebih jauh, pengembangan pertanian juga menghidupkan industri yang menyediakan pekerjaan bagi kebanyakan warga serta menyediakan bahan makanan yang dibutuhkan seluruh bangsa.
  3. Usaha karyawan kecil
    Pantaslah didukung pula segala usaha memajukan nasib buruh, para pekerja dan pedagang kecil. Buruh penting karena mereka itu manusia; maka pada dirinya sendiri harganya lebih tinggi dari pada modal manapun. Oleh sebab itu, kaum buruh dan pekerja kecil, khususnya buruh anak dan wanita, di kota dan daerah industri harus mendapat perhatian khusus dari umat beriman. Para pemilik modal dan manajer patut memperhatikan tata kerja, jaminan sosial, hak berkumpul dan memberi perhatian tulus kepada buruh. Para pejabat dan politisi wajib mengusahakan peraturan perundangan yang adil dan mendesak agar sungguh dilaksanakan. Namun, tugas pelayanan bagi buruh merupakan tugas seluruh umat.

3. Keterlibatan Kita di Bidang Politik

Menyangkut keterlibatan kita umat katolik di bidang politik, ada baiknya secara berturut-turut kita bicarakan beberapa hal berikut ini.

a. Masalah di lapangan

Di tahun-tahun sekitar pergantian abad ini, umat Katolik bersama seluruh rakyat merasakan adanya beberapa produk undang-undang yang menunjukkan perubahan sarana hidup politik. Ada tradisi politik yang baru, ada undang-undang yang mencoba menyederhanakan hidup politis. Bertahun-tahun negara kita cukup tenang walaupun akhir-akhir ini mulai muncul gejolak di sana sini.

Nota Pastoral KWI 2003 tentang ”Keadilan Sosial bagi Semua” menegaskan bahwa ”hancurnya keadaban di Indonesia, lebih khusus lagi hancurnya keadaban politik. Berbagai masalah yang timbul di bidang ekonomi, agama, hukum, kebudayaan, pendidikan, lingkungan hidup alami dan manusiawi dilihat sebagai akibat dari keburaman dunia politik bangsa. Hal yang diharapkan pada awal Orde Reformasi ternyata tidak terpenuhi, meskipun harus diakui bahwa ada beberapa perubahan. Ada kebebasan pers, kebebasan mengungkapkan pendapat dan kebebasan berserikat. Akan tetapi, banyak masalah justru menjadi semakin parah. Salah satu yang amat mencolok adalah hilangnya cita rasa dan perilaku politik yang benar dan baik (NP.KWI. 2003 No. 5).

Politik merupakan tugas luhur untuk mengupayakan dan mewujudkan kesejahteraan bersama. Tugas dan tanggung jawab itu dijalankan dengan berpegang pada prinsip-prinsip hormat terhadap martabat manusia, kebebasan, keadilan, solidaritas, subsidiaritas, fairness, demokrasi, kesetaraan dan cita rasa tanggung jawab dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akan tetapi, dalam banyak bidang prinsip-prinsip itu makin diabaikan bahkan ditinggalkan oleh banyak orang, termasuk oleh para politisi, pelaku bisnis, dan pihak-pihak yang punya sumber daya serta berpengaruh di negeri ini. Berlangsung sekarang, politik hanya dipahami sebagai sarana untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan, atau menjadi ajang pertarungan kekuatan dan perjuangan untuk memenangkan kepentingan kelompok. Kepentingan ekonomi atau keuntungan finansial bagi pribadi dan kelompok menjadi tujuan utama. Rakyat sering kali hanya digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dan mempertahankan kepentingan dan kekuasaan tersebut. Terkesan tidak ada upaya serius untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Bukan kepentingan bangsa yang diutamakan, melainkan kepentingan kelompok, dengan mengabaikan cita-cita dan kehendak kelompok lain. Dalam konteks ini, agama menjadi rentan terhadap kekerasan. Simbol-simbol agama pun dijadikan alat untuk mencapai kepentingan politik. Kecenderungan membangun sekat-sekat menjadi semakin nyata. Dengan demikian, pertimbangan kebijakan politik tidak terarah pada warga negara sebagai subjek hukum. Bangsa hanya dianggap sebagai kelompok-kelompok kepentingan itu. Politik terasa semakin menyengsarakan rakyat, membuat banyak orang tidak percaya lagi terhadap mereka yang memegang kendali pemerintahan serta sumber daya ekonomi dan mengikis rasa saling percaya di antara warga terhadap sesamanya. Hasilnya adalah sikap masa bodoh pada banyak orang terutama kaum muda dan kelompok terpelajar (NP. KWI. 2003 No. 6).

Politik kekuasaan semacam itu dengan sendirinya akan mengorbankan tujuan utama, yakni kesejahteraan bersama yang mengandaikan kebenaran dan keadilan. Penegakan hukum juga terabaikan. Akibatnya, kasus-kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) tidak ditangani secara serius, bahkan makin merajalela di berbagai wilayah, lebih-lebih sejak pelaksanaan program otonomi daerah. Otonomi daerah yang dimaksudkan sebagai desentralisasi kekuasaan, kekayaan, fasilitas, dan pelayanan ternyata menjadi desentralisasi KKN, antara lain karena kurang tepat saat, laju dan cakupannya. Politik kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari politik uang. Politik uang yang sebetulnya merupakan bentuk kejahatan, dijadikan alat utama untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Dengan politik uang itu rakyat ditipu, kepercayaan rakyat dikhianati, justru oleh orang-orang yang mempunyai otoritas politik dan ekonomi untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Bukankah dengan demikian martabat bangsa tidak dihormati dan kedaulatan rakyat dirampas untuk menjamin kepentingan pribadi atau kelompok? Bukankah dengan demikian kedaulatan rakyat diganti dengan kekuasaan uang? Uang menentukan segala-galanya dan mem-busukkan politik. Peraturan perundang-undangan dan aparat penegak hukum dengan mudah ditaklukkan oleh mereka yang menguasai uang. Akibatnya, upaya untuk menegakkan tatanan hukum yang adil dan pemerintah yang bersih tak terwujud. Ketidakadilan semakin dirasakan oleh kelompok-kelompok yang secara struktural sudah dalam posisi lemah, seperti perempuan, anak-anak, orang lanjut usia, orang cacat, kaum miskin. Sebagai contoh, pelanggaran terhadap martabat perempuan dalam bentuk diskriminasi, kekerasan, pelecehan terus berlangsung di banyak tempat, dan terus terjadi tanpa sanksi hukum. Selain itu, penipuan terhadap rakyat kecil banyak sekali dilakukan justru oleh orang-orang yang memahami hukum dan bertanggung jawab untuk menegakkannya (NP-KWI 2003 No. 7).

Dengan demikian, suasana persaingan antarkelompok dan antarpribadi menjadi semakin tajam. Suasana itu menumbuhkan perasaan tidak adil, terutama ketika berhadapan dengan perpecahan masyarakat dalam pengelompokan kelas ekonomi. Perasaan diperlakukan tidak adil itu menyuburkan sikap tertutup dan perasaan tidak aman bagi setiap orang. Orang lain atau kelompok lain akan dianggap sebagai ancaman yang akan mencelakakan dirinya atau kelompoknya. Perasaan terancam ini diperparah dengan sistem ekonomi yang tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru. Kinerja ekonomi selalu menuntut pembaharuan. Pembaharuan terus-menerus menuntut orang menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan baru yang tidak selalu mengungkapkan nilai-nilai keadilan. Mereka yang tidak memenuhi tuntutan struktur ekonomi baru akan terlempar dari pekerjaan karena tidak mampu memenuhi standar baru tersebut. Angka pengangguran semakin tinggi karena rendahnya investasi di sektor ekonomi riil yang mengakibatkan tidak terciptanya lapangan kerja. Pengangguran tidak hanya mengakibatkan tak terpenuhinya kebutuhan ekonomi, melainkan juga memukul harga diri dan dengan mudah membuat orang yang bersangkutan kehilangan harga diri (NP-KWI 2003 No. 8).

Tatanan ekonomi yang berjalan di Indonesia mendorong terjadinya kolusi kepentingan antara para pemilik modal dan pejabat untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Kesempatan ini juga bisa dimanfaatkan oleh mereka yang hanya mencari keuntungan sesaat bersama dengan para politisi yang mempunyai kepentingan untuk mendapatkan uang dengan mudah. Akibatnya antara lain pengurasan dan perusakan lingkungan hidup yang menyebabkan malapetaka. Penggusuran yang tidak manusiawi dan menimbulkan banyak penderitaan juga tidak lepas dari bertemunya kedua kepentingan tersebut (NP-KWI. 2003 No. 9).

Akar yang terdalam ialah bahwa iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan nyata. Penghayatan iman lebih berkisar pada hal-hal lahiriah, simbol-simbol dan upacara keagamaan. Dengan demikian, kehidupan politik di Indonesia kurang tersentuh oleh iman itu. Salah satu akibatnya ialah lemahnya pelaksanaan etika politik, yang hanya diucapkan di bibir, tetapi tidak dilaksanakan secara konkret. Politik tidak lagi dilihat sebagai upaya mencari makna dan nilai atau jalan bagi pencapaian kesejahteraan bersama. Maka diperlukan pertobatan, yaitu perubahan dan pembaharuan hati serta budi, seperti diserukan para Nabi dan Yesus sendiri. (NP-KWI. 2003 No. 11).

Kerakusan akan kekuasaan dan kekayaan ini menjadi daya pendorong politik kepentingan yang amat mempersempit ruang publik, yakni ruang kebebasan politik dan ruang peran serta warga negara sebagai subjek. Ruang publik disamakan dengan pasar. Hal yang dianggap paling penting adalah kekuatan uang dan hasil ekonomi. Manusia hanya diperalat sehingga cenderung diterapkan diskriminasi dan kemajemukan pun diabaikan. Dengan kata lain, manusia hanya dihargai dari manfaatnya, terutama sejauh manfaat ekonomisnya. Maka dengan mudah mereka yang lemah, yang miskin, yang kumuh dianggap tidak berguna dan tidak mendapat tempat. Tekanan pada nilai kegunaan ini tidak hanya bertentangan dengan martabat manusia, melainkan juga mengikis solidaritas. Hal yang berbeda – entah berbeda agama, suku atau perbedaan yang lain – dianggap menjadi halangan bagi tujuan kelompok. Penyelenggaraan negara dimiskinkan hanya menjadi manajemen kepentingan kelompok-kelompok. Politik dagang sapi menjadi bagian manajemen itu dengan akibat melemahnya kehendak politik dalam penegakan hukum. (NP-KWI. 2003 No. 12).

Nafsu untuk mengejar kepentingan sendiri/kelompok bahkan dengan mengabaikan kebenaran. Meluasnya praktek korupsi tidak lepas dari upaya memenangkan kepentingan diri dan kelompok. Ini mendorong terjadinya pemusatan kekuasaan dan lemahnya daya tawar politik berhadapan dengan kepentingan-kepentingan pihak yang menguasai sumber daya keuangan, terutama sektor bisnis. Akibatnya, bukan proses politik bagi kebaikan bersama dan mengelola cita-cita hidup bersama yang berkembang. Sebaliknya, kekuatan finansial yang mendikte proses politik. Lembaga pengawas yang diharapkan menjadi penengah dalam perbedaan kepentingan ini, justru merupakan bagian dari sistem yang juga korup ini. Akibatnya politik pun menjadi tidak mandiri lagi. Politik ada di bawah tekanan kepentingan mereka yang menguasai dan mengendalikan operasi-operasi pasar. Apalagi partai-partai politik membutuhkan dana besar untuk memenangkan Pemilihan Umum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para politisi partai banyak yang berpaling kepada para pengusaha untuk meraih dukungan keuangan. Akibatnya, hukum pasar, sekali lagi menjadi penentunya. Etika politik seperti tidak berdaya, dicekik oleh nilai-nilai pasar, persaingan yang tidak terkendali dan janji keuntungan ekonomi. (NP-KWI. 2003 No. 13).

Cara bertindak berdasarkan dalil tujuan menghalalkan segala cara. Ketika tujuan menghalalkan cara, terjadilah kerancuan besar karena apa yang merupakan cara diperlakukan sebagai tujuan. Dalam logika ini, ukuran adalah hasil. Intimidasi, kekerasan, politik uang, politik pengerahan massa, teror dan cara-cara imoral lainnya dihalalkan karena memberi hasil yang diharapkan. Kriminalisasi politik menghasilkan politisasi kriminalitas. Akibatnya tidak sedikit pelaku kejahatan politik, provokator dan koruptor menikmati tiadanya sanksi hukum. Lemahnya penegakan hukum mengaburkan pemahaman nilai baik dan buruk yang pada gilirannya menumpulkan kesadaran moral dan perasaan bersalah. Kalau hal-hal itu tidak disadari, orang menjadi tidak peka dan menganggap semua itu wajar saja. Kerusakan hidup bersama juga disebabkan dan sekaligus menghasilkan penumpulan hati nurani.

Bertitik tolak pada keprihatinan-keprihatinan tersebut maka kita perlu mempertahankan sejumlah sarana formil politik, sejauh sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan 1945. Namun, peletakan landasan formal dan retorika politis itu belum menjamin pelaksanaannya. Mungkin oleh kebijaksanaan dan pola laku sejumlah penguasa negara kita masih terkesan sebagai negara kekuasaan dan bukan negara kedaulatan rakyat dan negara hukum. Suasana represif kadang-kadang sangat dirasakan.

Pada masa mendatang akan semakin meningkat tuntutan mengaktuali­sasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dengan setia. Setiap Undang-undang harus mendukung penghayatan dan pencerminan pengamalan Pancasila. Masih diharapkan adanya strategi yang tepat, agar aneka perundangan sungguh berkaitan secara padu.

Kita memandang para pelaku politik sebagai warga negara yang mengemban kedaulatan rakyat. Orientasi pengabdian mereka seyogianya sungguh-sungguh keselamatan seluruh rakyat. Para warga negara yang bertanggung jawab perlu bersikap proaktif dalam mewujudkan nilai-nilai luhur bangsa kita dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

b. Visi pembangunan politik

Politik pada dasarnya berarti dan bertujuan mengabdi kepentingan umum. Kita mendambakan pembangunan politik melalui:

  1. pembentukan kehidupan bernegara yang menghormati hak-hak asasi manusia dengan semangat solider sejati;
  2. pengembangan kehidupan kenegaraan dengan sistem demokratis yang memungkinkan pelaksanaan Pancasila sebagai ideologi terbuka dan UUD 1945 secara konsekuen;
  3. pembangunan sistem hukum nasional yang adil secara demokratis sebagai penjabaran cita-cita negara hukum;
  4. pembinaan kehidupan kepartaian yang bebas dan adil ke arah partisipasi rakyat yang merata serta berpedoman “salus populi suprema lex”;
  5. pengembangan sistem perimbangan kekuasaan yang kreatif dan dinamis seraya menghandalkan integritas pribadi pejabat.
  6. penyusunan kehidupan bermasyarakat yang ditandai dengan kemaje­mukan yang bebas, dinamis, dan berwawasan kebangsaan.
  7. pembangunan hidup bersama yang menciptakan rasa aman lahir batin dengan kemampuan bela negara yang serasi;
  8. hidup kemasyarakatan yang berfokus pada proses memberdayakan setiap lapisan masyarakat dengan terus menerus memperluas kalangan yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

c. Hal-hal yang mendesak

  1. Hak asasi manusia Kita bersatu dengan seluruh umat manusia menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. hal itu sudah dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945. Namun, dirasakan masih kurangnya usaha yang lebih konsisten agar segala langkah ekonomi, hukum, politik, dan budaya betul-betul beralas pada pengakuan hak asasi seluruh rakyat, tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan dan jenis kelamin; juga mereka yang memiliki cacat badan ataupun mental. Masalah itu erat berkaitan dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam pembukaan UUD 1945 kita mendasari pernyataan kemerdekaan pada hak asasi setiap manusia dan bangsa; hak yang melekat pada diri manusia sendiri. Kita harus memperjuangkan pengakuan hak asasi manusia di mana pun dan kapan pun serta bagi siapa pun. Manusia yang paling terbelakang secara ekonomis atau sosial, harus diperlakukan sebagai subjek. Sebab, kita percaya bahwa semua manusia diciptakan sama dan ditebus dengan darah Kristus yang sama pula.

    Kita mau melaksanakan Sila Kemanusiaan secara sungguh-sungguh. Untuk itu, kepastian hukum harus betul-betul merata. Di sinilah kita dipanggil supaya ikut serta mengembangkan sistem hukum yang merangsang persatuan nasional.

  2. Kedaulatan rakyat Perkembangan masyarakat kita membutuhkan proses pengambilan keputusan yang mempedulikan aspirasi rakyat. Kita harus ikut menciptakan proses demokrasi secara sehat antara lain dengan membangun kehidupan partai politik yang sehat, menciptakan lembaga perwakilan rakyat yang hidup, mendukung pemerintahan yang bersih dan menjaga lembaga peradilan yang tegar demi keadilan. Dalam usaha itu kita mendapat dukungan dari Bapa Konsili yang mendesak agar rakyat kebanyakan mampu dan mendapat kesempatan berperan serta dalam pengambilan keputusan politik. Perhatian perlu lebih dicurahkan pada upaya menghormati martabat dan harkat sesama warga negara dan bahkan sesama manusia tanpa diskriminasi. Hal itu dapat kita tunjukkan dengan menghargai pendapat, menjunjung tinggi wawasan kebangsaan, dan memperjuangkan secara aktif tuntutan keadilan wajar bagi seluruh masyarakat tanpa pandang bulu. Pola musyawarah di desa-desa tradisional patut kita pelajari untuk lingkup nasional; intinya adalah penghormatan terhadap tiap rakyat. Acuan yang meski diperhatikan adalah nilai-nilai universal, seperti persamaan hak, kewajiban asasi manusia serta nilai setempat, yang berkaitan erat dengan sejarah, kondisi budaya kita. Dalam hal itu, sesungguhnya cita-cita universal yang disebut “hak-hak asasi manusia" bertemu dengan pedoman hidup manusia Timur supaya memandang sesama betul-betul sebagai manusia. Itulah salah satu wujud nyata demokrasi Pancasila. Guna melaksanakan hendaklah kita ikut menyempurnakan konsep dan praktik pemilihan umum, serta mekanisme musyawarah untuk mufakat. Paus Yohanes Paulus II dalam suratnya tentang peran serta umat Katolik dalam politik (24/11/2004) menyatakan: ”Pada tingkat tindakan politis konkret, secara umum dapat ada suatu pluralitas partai-partai politik di mana umat Katolik dapat menggunakan – khususnya melalui lembaga-lembaga legislatif – hak dan kewajiban mereka untuk menyumbang pada kehidupan umum negara mereka. Hal ini muncul karena sifat yang tergantung dari pilihan-pilihan tertentu hubungan dengan pengaturan masyarakat, keragaman strategi yang tersedia untuk menyelesaikan atau menjamin nilai dasar yang sama, kemungkinan interpretasi yang berbeda akan prinsip-prinsip dasar teori politik, dan kompleksitas secara teknis akan banyaknya masalah-masalah politik. Bagaimanapun hendaknya tidak menjadi bingung terhadap pluralisme yang ambigu di dalam pilihan prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai yang hakiki. Keragaman pendapat sementara yang sah merupakan asal mula komitmen umat Katolik pada politik dan secara langsung berhubungan dengan ajaran moral dan sosial Kristiani. Dalam terang ajaran ini umat Katolik harus menilai peran serta mereka di dalam kehidupan politik sehingga menjadi pasti bahwa keterlibatan itu ditandai oleh suatu tanggung jawab yang masuk akal bagi kenyataan duniawi.

    Gereja mengakui bahwa walaupun demokrasi merupakan ungkapan peran serta langsung warga negara yang terbaik di dalam pilihan-pilihan politis, hal itu hanya berhasil pada tingkat yang didasarkan pada suatu pemahaman pribadi manusia yang benar. Keterlibatan umat Katolik di dalam kehidupan politik tidak dapat dikompromikan pada prinsip ini karena sebaliknya kesaksian iman Kristen di dunia, sama seperti kesatuan dan hubungan batin dari umat beriman, akan tidak ada. Struktur-struktur demokratis di atas mana negara modern dibangun akan sungguh rapuh jika fondasinya tidak dipusatkan pada pribadi manusia. Adalah hormat terhadap pribadi manusia yang membuat peran serta demokratis dimungkinkan. Sebagaimana Konsili Vatikan II mengajar, “terjaminnya hak-hak pribadi merupakan syarat mutlak, supaya para warga negara, masing-masing maupun secara kolektif, dapat berperan serta secara aktif dalam kehidupan dan pemerintahan negara” .


    Oleh sebab itu, diperlukan lebih banyak upaya menyalurkan pendapat rakyat, baik melalui organisasi sosial politik maupun media massa.
    1. Kita turut menciptakan suasana di mana tiap warga dapat mengeluarkan pendapatnya dengan bebas, di mana tiap warga dapat berperan serta secara wajar baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaan apa saja yang menyangkut kehidupan bersama dan kepentingan umum.
    2. Kita membantu pengembangan sarana, wahana dan pranata demokrasi Pancasila. Jalur-jalur penampungan serta penyaluran   suara dan aspirasi seluruh lapisan masyarakat ditingkatkan fungsi dan perannya. Lembaga-lembaga perwakilan dibuat menjadi lebih tepat guna dan lebih berdaya guna.
    3. Kita membantu aparatur pemerintah dalam menegakkan demokrasi dan menindak penyelewengan-penyelewengan yang terjadi. (Dengan memberikan informasi, dengan gagasan dan saran, dengan penyajian alternatif).
    4. Kita mengusahakan atau membantu mengusahakan pendidikan kewarganegaraan. Sikap yang tepat terhadap negara dan bangsa, sikap yang tepat terhadap kepentingan umum, persepsi yang demokratis mengenai kekuasaan dalam jenjang apapun perlu dikembangkan sedini mungkin.
    5. Hukum yang adil, penerapan dan pelaksanaan hukum yang adil oleh penegak-penegak hukum yang adil pula di dalam semangat keadilan diikhtiarkan sedapat mungkin.
  3. Kesadaran hukum Negara republik Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Oleh karena itu masyarakat ingin membina satu tata hukum nasional dan implementasinya yang dapat menjamin kesejahteraan tiap dan seluruh warga. Pembangunan hukum dan implementasinya dengan menggunakan aparatur menegak hukum yang adil dan berwibawa, demikian pula peningkatan kesadaran hukum pada seluruh jajaran masyarakat perlu diusahakan. Tekat bangsa ini sejalan dengan keinginan Gereja yang tertuang di dalam GS. no. 75. Di situ kita baca: Perlu ditemukan “struktur yuridis politis yang memberikan kepada semua warga (tanpa diskriminasi apa pun), kesempatan yang berdaya guna untuk berperan serta secara bebas dan aktif, baik di dalam menentukan landasan-landasan hukum bagi masyarakat politik maupun di dalam pemerintahan negara dan di dalam bidang-bidang dari pelbagai pranata dan di dalam menentukan tujuan-tujuan demikian pula di dalam memilih para pemimpin.”

    Dalam bidang dan pengembangan hukum nasional hendaknya:

    1. Hak hidup dan makna negara selalu bertumpu pada kepentingan umum.
    2. Kepentingan umum selalu menjadi tolok ukur bagi tiap perumusan hukum.
    3. (Kepentingan umum menurut Konsili Vatikan II ialah: ”jumlah persyaratan kehidupan sosial, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun masing-masing anggota mencapai kesempurnaan dengan lebih penuh dan lebih baik.”
    4. Diatur secara serasi pembagian tugas pranata dari wewenang negara dan serentak juga perlindungan hak yang tepat guna, yang tidak merugikan siapa pun” (Kegembiraan dan Harapan no. 75).
    5. Diakui, dan dipertahankan dan dimajukan hak serta pelaksanaan hak semua pribadi, keluarga dan kelompok, dan juga tugas-tugas yang mengikat semua warga.
    6. Ada kepastian hukum sehingga tiap pihak tahu hak dan tanggung jawab masing-masing dan merasa dilindungi dalam hal ini.
    7. Hukum itu adil dan diberlakukan secara adil pula, tanpa pandang bulu atau tanpa diskriminasi.
    8. Penegak hukum yang adil didukung oleh setiap warga dan seluruh kelompok masyarakat, termasuk penguasa dan penegak hukum yang lebih tinggi.
  4. Persatuan bangsa Pada awal abad XX, dikuatkan dengan Sumpah Pemuda 1928, dimantapkan oleh Proklamasi Kemerdekaan 1945, rakyat Nusantara memperjuangkan satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa dalam satu negara tercinta. Pada masa itu persatuan betul-betul menjadi tekat bulat yang mewarnai suasana masyarakat. Dalam perjalanan waktu dapat timbul kesan, bahwa persatuan kurang terlaksana secara tuntas karena masalah-masalah dalam hubungan antar agama, antar suku dan antar golongan. Orang sering tergoda lebih berjuang untuk kelompok sendiri. Ada sejumlah peraturan dan kebiasaan yang ternyata menciptakan pengkotak-kotakan antara warga negara. Kadang tampak bahwa warga negara diperlakukan oleh penegak hukum dan aparat pelayanan publik secara tidak sama karena agama, status sosial. aliran politik dan pendidikan.

    Kita sebagai bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia, bertekat membela dan mengisi persatuan ini serta menolak segala pengkotak-kotakan baik dalam bidang hukum, politik, ekonomi maupun budaya. Kita harus menjadi pelopor dalam persatuan mendalam antarkita; jangan sampai persatuan hanya menjadi semboyan yang bagus tetapi kurang terlaksana secara tuntas karena godaan berebut pemeluk-pemeluk agama, pertentangan antarkelompok, antarsuku, antargolongan. Kita harus menjadi “pejuang Bhinneka Tunggal Ika” secara tulus. Dengan demikian, Wawasan Nusantara tidak tinggal sebagai ungkapan hampa, melainkan sebagai pendorong, perjuangan dan tujuan usaha kita.

  5. Etika dan tanggung jawab politik Dalam rangka membangun bangsa dan negara yang sedang terpuruk oleh krisis multidimensi, Konferensi Waligereja Indonesia menekankan perlunya etika politik. KWI dalam Nota Pastoral tahun 3003 menyerukan: “Cita-cita untuk ikut membangun masa depan yang lebih baik perlu ditumbuhkembangkan. Perasaan sebangsa menghidupkan semangat untuk mencapai tujuan bersama itu. Cita-cita proklamasi, kesepakatan nasional dan tujuan negara yang terwujud dalam kehendak untuk merdeka serta perjuangan untuk merebut kemerdekaan itu, perlu terus-menerus disadari kembali. Kesepakatan nasional para pendiri negara adalah Pancasila yang merupakan landasan bersama dalam kehidupan berpolitik. Agar visi etika politik bisa dilaksanakan dalam penyelenggaraan kehidupan bersama, dibutuhkan nilai-nilai dan pemahaman sejarah suatu komunitas. Kesadaran politik yang peduli terhadap etika tidak pernah bisa dipisahkan dari sejarah komunitas. Penerimaan Pancasila sebagai landasan politik bernegara tidak hanya menjadi peristiwa politik, tetapi juga peristiwa moral. Peristiwa itu ditandai dengan usaha setiap kelompok komponen bangsa untuk mengatasi sekat-sekat agama dan kedaerahan masing-masing. Ini adalah bentuk kesadaran moral yang merupakan rasa hormat terhadap hak-hak, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip yang disepakati bersama demi kesejahteraan umum. Pengharapan akan masa depan yang lebih baik juga bertumpu pada warga negara yang masih mempunyai kehendak baik. Meskipun semakin tampak bahwa politik di negeri ini dijalankan dengan mengabaikan etika politik, namun masih ada keinginan besar untuk berubah. Selain itu politik yang tidak beradab serta tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan tanggapan balik protes yang akan mengusik setiap warga negara yang peduli akan penderitaan mereka. Sementara itu, pertarungan kekuatan dan pertentangan kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam itu tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Dengan mempertimbangkan kenyataan sosial-politik di Indonesia, prinsip-prinsip etika berikut ini mendesak untuk dilaksanakan:

    a) Hormat terhadap martabat manusia. Prinsip ini menegaskan bahwa manusia mempunyai nilai dalam dirinya sendiri dan tak pernah boleh diperalat. Bukankah manusia diciptakan menurut citra Allah, diperbaharui oleh Yesus Kristus yang dengan karya penebusan-Nya mengangkat manusia menjadi anak Allah? Istilah Sumber Daya Manusia (SDM) yang sering digunakan tidak boleh mengabaikan kebenaran bahwa nilai manusia tak hanya terletak dalam kegunaannya. Martabat manusia Indonesia harus dihargai sepenuhnya dan tak boleh diperalat untuk tujuan apapun, termasuk tujuan politik.


    b) Kebebasan. Kebebasan adalah hak setiap orang dan kelompok: bebas dari segala bentuk ketidakadilan dan bebas untuk mengembangkan diri secara penuh. Setiap warga amat membutuhkan kebebasan dari ancaman dan tekanan, bebas dari kemiskinan yang membelenggunya, dan juga kebebasan untuk berkembang menjadi manusia seutuhnya. Kekuasaan negara perlu diingatkan akan salah satu tanggung jawab utamanya untuk melindungi warga negara dari ancaman kekerasan, baik yang berasal dari sesama warga maupun, dan terutama dari kekuasaan negara.
    c) Keadilan. Keadilan merupakan keutamaan yang membuat manusia sanggup memberikan kepada setiap orang atau pihak lain apa yang merupakan haknya. Dewasa ini perjuangan untuk memperkecil kesenjangan sosial-ekonomi semakin mendesak untuk dikedepankan, demikian juga perjuangan untuk melaksanakan fungsi sosial modal, bagi kesejahteraan bersama. Mendesak juga penggunaan modal untuk pengembangan sektor ekonomi riil, sambil menemukan cara-cara agar judi ekonomi dalam bentuk spekulasi keuangan dikontrol untuk mendukung bertumbuh dan berkembangnya wirausaha-wirausaha kecil dan menengah, menciptakan lembaga dan hukum-hukum yang adil. Yang tidak kalah mendesak adalah penegakan hukum.
    d) Solidaritas. Dalam tradisi Indonesia sikap solider terungkap dalam semangat gotong royong dan kekeluargaan yang menurut pepatah lama berbunyi ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Nilai solidaritas semakin mendesak untuk diwujudkan dalam konteks dunia modern. Untuk masyarakat di mana banyak orang mengalami perlakuan dan keadaan tidak adil, solider berarti berdiri pada pihak korban ketidakadilan, termasuk ketidakadilan struktural. Selain itu perlu dikembangkan juga solidaritas antardaerah dan usaha untuk mencegah kesempitan egoisme kelompok.
    e) Subsidiaritas. Menjalankan prinsip subsidiaritas berarti menghargai kemampuan setiap manusia, baik pribadi maupun kelompok untuk mengutamakan usahanya sendiri, sementara pihak yang lebih kuat siap membantu seperlunya. Apabila kelompok yang lebih kecil dengan kemampuan dan sarana yang dimiliki bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi, kelompok yang lebih besar atau pemerintah/negara tidak perlu campur tangan. Dalam keadaan kita sekarang hubungan subsidier berarti menciptakan relasi baru antara pusat dan daerah dalam hal pembagian tanggung jawab dan wewenang, hubungan kemitraan dan kesetaraan antara pemerintah, organisasi-organisasi sosial dan warga negara, kerja sama serasi antara pemerintah dan swasta. Kecenderungan etatisme yang menonjol dalam Rencana Undang-undang yang disebarkan di masyarakat dan undang-undang yang disahkan oleh DPR RI akhir-akhir ini berlawanan dengan prinsip subsidiaritas ini.
    f) Fairness. Prinsip fairness atau sikap fair tidak mudah diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Prinsip fairness menjamin terciptanya aturan yang adil dan sikap taat padanya; dihormatinya pribadi dan nama baik lawan politik; dijaganya pembedaan wilayah privat dari wilayah publik; disadari dan dilaksanakannya kewajiban sebagai pemenang suatu kontes politik untuk memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
    g) Demokrasi. Dalam sistem demokrasi kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat. Demokrasi sebagai sistem, tidak hanya menyangkut hidup kenegaraan, melainkan juga hidup ekonomi, sosial dan kultural. Dalam arti itu, demokrasi dimengerti sebagai cara-cara pengorganisasian kehidupan bersama yang paling mencerminkan kehendak umum dengan tekanan pada peran serta, perwakilan dan tanggung jawab. Demokrasi tidak dengan sendirinya menghasilkan apa yang diharapkan. Di Indonesia salah satu badan yang paling terlibat dalam pelaksanaan demokrasi ialah DPR RI dan DPRD. Sesudah Pemilihan Umum 2004, akan muncul lembaga baru, yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Ternyata lembaga-lembaga itu kurang berfungsi dalam mewakili kepentingan masyarakat luas, bahkan dalam banyak hal, justru menghambat tercapainya tujuan demokrasi. Dalam masyarakat kita tampak kecenderungan meminggirkan kelompok-kelompok minoritas dengan alasan-alasan yang kurang terpuji. Keputusan yang menyangkut semua warga negara diambil sekadar atas dasar suara mayoritas, dengan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan yang mendasar, matang dan berjangka panjang.
    h) Tanggung jawab. Bertanggung jawab berarti mempunyai komitmen penuh pengabdian dalam pelaksanaan tugas. Tanggung jawab atas disertai dengan tanggung jawab kepada. Bagi politisi tanggung jawab berarti kinerja yang sebaik-baiknya demi tercapainya tujuan negara dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas itu kepada rakyat. Tanggung jawab hanya bisa dituntut bila kebijakan umum pemerintah terumus jelas dalam hal prioritas, program, metode, dan pendasaran filosofisnya. Atas dasar kebijakan umum ini wakil rakyat dan kelompok-kelompok masyarakat bisa membuat evaluasi pelaksanaan kinerja pemerintah dan menuntut pertanggungjawaban. Bagi warga negara, tanggung jawab berarti berperan serta dalam mewujudkan tujuan negara sesuai dengan kedudukan masing-masing.
  1. Keterlibatan di Bidang Politik-Budaya
    Menyangkut keterlibatan di bidang budaya secara berturut-turut kita akan bicarakan materi berikut ini.

a. Keadaan di lapangan

Kebudayaan kita beraneka ragam. Hal ini kita nilai sebagai kekayaan dan rahmat Allah. Kekayaan masing-masing lingkup budaya dan suku seharusnya semakin dihargai, bukannya dihancurkan identitasnya. Walaupun serba bhinneka, terdapat arus-arus yang sampai hari ini bertahan mengalir di bawah permukaan gejala-gejala yang mencari kebudayaan yang bersifat Indonesia.

Sementara ini, kebudayaan kita sedang dilanda arus budaya global. Memang kebudayaan bangsa lain dapat memperjaya kita, tetapi juga dapat menciptakan guncangan dan krisis kebudayaan. Mungkin kini sedang terjadi benturan-benturan budaya di tengah kita.

Di dunia Barat proses peralihan budaya, dari budaya tradisional ke budaya modern lalu ke budaya postmodern, terjadi dalam jangka waktu yang lama dan secara normal. Akan tetapi, di wilayah-wilayah kita budaya tradisional, modern dan postmodern saling bertumpang-tindih. Tidaklah mengherankan kalau terjadi bentrokan dan krisis budaya. Kita perlu saling membantu untuk bersikap kritis dan menciptakan sikap hidup yang mencerminkan kebebasan batin guna menolak hal-hal yang tak layak bagi kemanusiaan kita. Untuk itu, kita dapat memajukan kebudayaan setempat dan mempertahankan keunggulan kebudayaan suku-suku kita. Jangan sampai ada kebudayaan yang dihancurkan dengan dalih kema­juan.

b. Visi pembangunan politik-kebudayaan Indonesia

Kita memandang kebudayaan secara menyeluruh. Hal itu menyangkut perasaan, cita rasa, selera, simbol-simbol, cara pikir, bahasa, cara menangani dan menyelesaikan masalah besar ataupun kecil, serta lembaga-lembaganya. Oleh sebab itu, bangsa dan negara terpa­dukan secara batiniah dalam jati dirinya. Gereja mengajarkan bahwa kebudayaan sangat menyangkut kodrat manu­sia. Kebudayaan adalah pratanda khas dari kemampuan “adanya” dan hakikat manusia (Bdk.GS. 10:23 s/d 27).

Sebagai bangsa Indonesia kita mau supaya kebudayaan Indonesia sebagai “jiwa” bangsa bertumbuh dan berkembang. Kita merindukan suatu pengembangan kebudayaan:

  1. yang sekuat tenaga mendukung pengembangan kebudayaan setiap daerah secara terbuka. Sebab justru kebudayaan daerah itu dapat menciptakan kebudayaan nasional yang berakar pada situasi dan kondisi masyarakat yang nyata. Kebudayaan nasional seperti itu akan memiliki ketangguhan dan kelenturan yang memadai dalam mengintegrasikan pengaruh proses globalisasi secara terbu­ka;
  2. yang menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, dan menyuburkan wawasan kebangsaan, sehubungan dengan peralihan generasi dari generasi 1945, yang mengalami secara langsung perjuangan memper­satukan bangsa ini, ke generasi penerus, yang tidak mengalami hal tersebut. Pada masa mendatang perlu dicari ungkapan wawasan kebangsaan baru dengan bertumpu pada kejujuran dalam memandang masa silam serta kebesaran hati dalam menyambut masa depan;
  3. yang dengan sekuat tenaga berusaha memupuk dan mengembangkan persatuan bangsa, jangan sampai terjadi pengkotak-kotakan di dalam masyarakat karena suku, ras, kedaerahan, dan agama atau keper­cayaan yang berbeda;
  4. yang menjamin persatuan sejati seluruh bangsa dengan memberi peluang bagi hak dan kewajiban semua orang untuk berperan serta dalam pembangunan kebudayaan nasional yang terbuka dan beradab selaras dengan tuntutan perkembangan dan perubahan zaman; antara lain menghargai kesepadanan peran laki-laki dan perempuan.

c. Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk pengembangan kebudayaan Indonesia

1) Pendidikan sebagai sarana pengembangan kebudayaan. Untuk itu diusahakan pendidikan yang:

  1. memungkinkan manusia muda menemukan dan mengembangkan dirinya dalam kesatuan dengan sesama dan seluruh alam semesta; supaya upaya tersebut pada pokoknya merupakan usaha untuk mewariskan dan mengembangkan nilai-nilai dasar manusiawi;
  2. memberi bekal kepada manusia muda untuk memiliki kepribadian, kepandaian, keterampilan, keahlian, dan kemampuan mengembang­kan diri dan masyarakatnya;
  3. membangun manusia dan masyarakat bermutu yang mampu menciptakan budaya yang bermutu pula dan mengembangkan sikap-sikap yang dapat menghadapi perubahan-perubahan yang sekarang sedang terjadi. Sikap-sikap itu misalnya: sikap kritis, mandiri, bertanggung jawab. Dengan demikian, budaya tetap terpelihara.

2) Ilmu pengetahuan dan teknologi pencipta peradaban/kebudayaan baru

  1. Ilmu pengetahuan dan teknologi modern adalah bagian dari peradaban yang berkembang sebagai buah dari pikiran dan perasaan manusia. Isi dan tujuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah daya-daya manusia yang mulia. Oleh sebab itu, kita harus ikut menjaga, agar ilmu pengetahuan dan teknologi senantiasa mengabdi kesejahteraan manusia sedalam-dalamnya dan tidak dipergunakan untuk merosotkan martabat manusia.
  2. Pembangunan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi memang diperlukan dalam membangun dan memajukan bangsa. Namun, perlu dipikirkan dan dijaga agar kelestarian lingkungan hidup tidak dirusak oleh pembangunan tersebut; kita perlu menciptakan hidup keilmuan dan teknologi yang mengabdi kepada kebutuhan dan kesejahteraan serta tidak tinggal di lapisan dangkal yang terlalu pragmatis dan oportunistis.
  3. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus sungguh-sungguh dihayati sebagai karunia Tuhan untuk memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan alam secara manusiawi; dalam pada itu kita juga sadar bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dapat disalahgunakan.
  4. Generasi muda perlu dididik dan diberi kesempatan agar dapat ikut ambil bagian dalam pembangunan dan penguasaan ilmu pengeta­huan dan teknologi sehingga memiliki jiwa keilmuan yang tangguh dengan dasar etika ilmu yang bertanggung jawab.
  5. Ilmu pengetahuan dan teknologi hendaknya menciptakan suatu pera­daban baru yang menyelamatkan.
  6. Generasi muda juga perlu menyadari bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi selain berguna bagi kehidupan manusia, juga membahayakan kehidupan manusia, termasuk kehidupan imannya. Banyak orang beranggapan bahwa manusia bisa hidup tanpa Tuhan bahkan membebastugaskan Tuhan. Karena itu, kita perlu ingat bahwa norma kegiatan manusia itu adalah kesejahteraan manusia utuh, sedangkan kemajuan ilmu pengetahuan, terutama kemajuan teknologi hanya alat. Sebab alat teknologi itu bersifat netral (tidak baik – tidak buruk), tetapi tidak pernah menghasilkan hubungan pribadi yang baik selain dari manusia itu sendiri, justru karena nilainya yang otonom. Kuncinya terletak di dalam pribadi manusia sendiri, yakni dalam sikap dan kesadaran hubungan pribadi dengan Tuhan.
  7. Banyak orang yang salah mengertikan kata “modern”. Mereka sudah bangga dengan memiliki alat-alat teknik baru dan mode baru. Ini merupakan kesalahan mental pokok yang perlu dihilangkan. Hal yang modern bukan hanya misalnya rumah, mobil, HP, tetapi mental dan sikapnya. Orang yang hidup dalam zaman yang serba cepat, serba efisien ini pun harus menyesuaikan diri dengan cara berpikir cepat dan efisien.
  8. Menyesuaikan diri bukan soal mode, tetapi cara hidup. Bahaya besar di zaman yang cepat berubah ini ialah bahwa orang mulai kehilangan arah karena meninggalkan nilai yang asli dan yang pokok. Orang mengira bahwa kalau bungkus (cassing) dan mereknya berubah, isinya juga berubah. Belum tentu!
  9. Sikap Gereja dalam menanggapi tanda-tanda zaman dengan munculnya penemuan-penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi ini bukan seperti seorang cukong dan manajer yang akan mencari keuntungan dengan menaikkan harga, tetapi justru dengan melihat situasi, mengerti harapan dan keinginan masyarakat. Kita bisa berdialog, berembuk: berbicara mengenai masalah-masalah hidup atau persoalan-persoalan yang gawat dewasa ini. Dengan adaptasi ini, Gereja berharap bisa menyampaikan ajaran dan keyakinannya sebagai landasan untuk pembangunan hidup di zaman modern ini.

PENDALAMAN/PERESAPAN

Dalam Dekrit tentang Karya Misioner Gereja No. 15, kita baca:

“Umat Kristen, yang dihimpun dari pelbagai bangsa di dalam  Gere­ja, “tidak dibedakan dari manusia-manusia lain, baik oleh bentuk pemerintahan, maupun oleh bahasa, dan oleh tatanan kehidupan politik”. Sebab itu hendaknya mereka hidup untuk Allah dan Kristus dalam kebiasaan terhormat kehidupan bangsanya sen­diri. Sebagai warga negara yang baik haruslah mereka memupuk cinta tanah air dengan sungguh-sungguh dan berdaya guna”

Para peserta Pertemuan Nasional Umat Katolik Indonesia (PNUKI) pada tanggal 12 Juli 1984 membuat satu kesepakatan bersama yang menunjukkan sikap umat Katolik terhadap Pancasila:

“Pancasila mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, yang juga dijunjung tinggi dalam Ajaran-ajaran Gereja. Karena itu Gereja menerima Pancasila bukan karena pertimbangan-pertimbangan taktis, melainkan karena nilai-nilai luhur Pancasila itu sen­diri. Kita ikut memperkaya pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila itu dan dengan demikian ikut sungguh-sungguh mem­bangun masyarakat Pancasila. Pengamalan di dalam kehidupan warga yang Katolik dapat dihayati sebagai suatu bentuk perwujudan iman kristiani dalam konteks masyarakat Indonesia” (Lihat Kese­pakatan Bersama Para Peserta Pertemuan Nasional Umat Katolik Indonesia 1948 No. 43, a.l di dalam Spektrum No. 2 & 3 Tahun XII, 1984 (edisi PNUKI) hal. 89).

Saksi Iman yang terlibat

Umat Katolik menyadari bahwa bersama semua orang dari segala lapisan masyarakat menjadi sesama musafir. Dalam segala pergula­tan itu umat Katolik dipanggil untuk menjadi saksi Kristus, mewartakan datanganya Kerajaan Allah. Kerajaan yang berpedomankan kebenaran, keadilan, kerajaan yang memancarkan kesucian dan rahmat, kerajaan yang berlimpahkan keadilan dan cinta kasih serta perdamaian.

Perubahan dan peluang

Umat Katolik akan semakin ditantang oleh perubahan yang amat cepat di dalam bidang politik, ekonomi, budaya, komunikasi so­sial, ilmu pengetahuan, teknologi dan pelbagai segi kehidupan manusia. Dalam gelombang itu banyak ditemukan masalah yang sangat mendesak untuk ditangani. Setiap peluang untuk bersama seluruh rakyat membangun masa depan yang sejahtera perlu disambut atas dasar iman yang mendunia. Perlu diusahakan agar proses itu terus-menerus disemangati oleh kesediaan mencari kehendak Allah dalam segala liku-liku pergulatan bangsa. (Pedoman Gereja Katolik Indonesia 1996)

Peran serta kita

Patut dipuji bahwa di dalam masyarakat demokratis masa kini, di dalam suatu iklim kebebasan yang benar, setiap orang dijadikan peserta di dalam mengarahkan kelompok politik. Masyarakat yang demikian memerlukan bentuk-bentuk peran serta baru dan lebih penuh di dalam kehidupan umum baik oleh warga negara Kristen maupun non-Kristen. Sesungguhnya semua dapat membantu, dengan memberikan suara di dalam pemilihan-pemilihan untuk para pembuat hukum dan pejabat pemerintahan, dan juga dengan cara lain, pada perkembangan pemecahan masalah-masalah politik dan pilihan-pilihan legislatif yang menurut pendapat mereka, akan menguntungkan kesejahteraan umum. Kehidupan demokrasi tidak dapat produktif tanpa keterlibatan setiap orang secara aktif, bertanggung jawab dan murah hati, “meskipun dalam bentuk, tingkat, tugas dan tanggung jawab yang berbeda-beda dan saling melengkapi”.

Dengan memenuhi kewajiban-kewajiban kewarganegaraan mereka, “yang dibimbing oleh suara hati Kristiani”, sesuai dengan nilai-nilainya, kaum awam beriman melaksanakan tugas yang tepat memasuki tatanan duniawi dengan nilai-nilai Kristiani, sementara sekaligus menghormati hakikat dan otonomi sepenuhnya dari tatanan itu, dan bekerja sama dengan warga negara lain menurut kompetensi dan tanggung jawab khusus mereka. Konsekuensi dari ajaran dasar dari Konsili Vatikan II ini adalah bahwa “kaum awam beriman tidak pernah boleh melepaskan peran serta mereka di dalam ‘kehidupan umum’, artinya di dalam banyak bidang ekonomi, sosial, legislatif, administratif dan kebudayaan yang beraneka ragam, yang dimaksudkan guna memajukan secara organik dan institusional kesejahteraan umum”. Usaha ini antara lain peningkatan dan pertahanan kebaikan-kebaikan misalnya tatanan umum dan perdamaian, kebebasan dan kesamaan, hormat terhadap hidup manusia dan lingkungan, keadilan dan solidaritas. (Paus Yohanes Paulus II dalam surat “Peran Serta Umat Katolik dalam Politik).