Bank apa saja yang didirikan pemerintah Hindia Belanda sebutkan?

Merdeka.com - Menjamurnya perbankan di Tanah Air tak terlepas dari peran para kompeni. Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu membutuhkan sebuah bank untuk mendukung aktivitas perdagangan hasil bumi Indonesia.

Bank pertama yang dibangun ialah De javasche Bank, NV. Bank ini didirikan di Batavia pada 24 Januari 1828. Setelah itu, kembali dibangun Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij, NV pada 1918.

Direktur Penelitian Kenta Institute Eric Sugandi mengatakan, berdirinya perbankan di Indonesia bertujuan untuk memfasilitasi kegiatan ekonomi warga negara asing atau lokal yang berdagang di Tanah Air. Selain Belanda, awal mula industri perbankan Indonesia juga disesaki bankdariChina, Jepang, hingga Eropa.

"Jadi lahirnya bank di Indonesia itu untuk memfasilitasi kegiatan ekonomi pemerintahannya. Di dalam negeri, tujuan orang pribumi mendirikan perbankan sendiri itu tergantung gagasan awalnya. Ada yang untuk komersial, ada juga yang untuk saling tolong menolong," kata Eric kepada merdeka.com di Jakarta, akhir pekan ini.

Dia menambahkan, bank-bank tersebut memberikan peran tersendiri untuk perekonomian Indonesia. Di mana aktivitas simpan pinjam dari perseorangan maupun perusahaan bertumpu pada bank.

Penerapan sistem simpan pinjam ini juga merupakan adaptasi dari aktivitas ekonomi asal Hindia Belanda tersebut. "Bank itu fungsinya sebagai perantara bagi orang yang ingin menyimpan uang, maupun bagi perusahaan yang butuh dana suntikan untuk usahanya. Untuk itu ini sangat penting bagi masyarakat agar aktivitas ekonominya bisa terus berjalan," imbuhnya.

Kini, lanjut Eric, bank-bank lokal maupun asing memiliki peran penting untuk pembangunan tanah air, baik infrastruktur maupun badan usaha. Meski sudah banyak bank-bank asing di Indonesia, namun bank asal Indonesia mampu mempertahankan posisinya mengingat perjalanan sejarah yang telah dialami.

Akhir pekan kali ini, kami ingin menyuguhkan pembaca merdeka.com sekelumit kisah sejarah perbankan tersebut yang sebagian masih berdiri hingga saat ini. Selamat menikmati.


BNI turunkan suku bunga kredit di bawah 10 persen bulan depan
Tiga bank pelat merah layani transaksi kurs kontraktor migas
Bank BJB gelar RUPST, ini hasilnya
Laba bersih 2015 Rp 7,6 Triliun, BRI tetapkan dividen 30 persen
Bank BJB tambah jajaran komisaris
Bank BJB sebar dividen Rp 828 miliar, harga per saham Rp 84,8
2016, OJK target program Laku Pandai raup dana Rp 2,6 triliun

Jakarta -

De Javasche Bank (DJB) merupakan bank swasta masa Hindia Belanda yang memiliki fungsi sangat penting dalam perekonomian negara. DJB yang kini menjadi Bank Indonesia, ditetapkan menjadi bank sirkulasi yang artinya bank ini menerbitkan mata uang untuk Hindia Belanda.

De Javasche Bank berdiri pada 24 Januari 1828 atas perintah Raja Williem I. Tujuan De Javasche Bank didirikan adalah untuk membantu permasalahan keuangan dan perekonomian kolonial Hindia Belanda yang memburuk setelah bangkrutnya VOC.

Berikut yang perlu diketahui tentang DeJavasche Bank hingga menjadi Bank Indonesia (BI)

Mata uang Hindia Belanda yang diterbitkan DJB masih digunakan untuk transaksi masyarakat pasca kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 1945. Sebagai sebuah negara yang merdeka, Indonesia menginginkan pemerintahan yang dikelola sendiri oleh negara dan meninggalkan jejak-jejak kolonialisme. Maka dari itu, pemerintah menugaskan bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Republik Indonesia (BRI) untuk menjadi bank sirkulasi yang menerbitkan dan mengedarkan mata uang Indonesia yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI).

Dengan demikian, ORI menggantikan peran mata uang Hindia Belanda sebagai alat pembayaran resmi di Indonesia. Namun, sesuai Pasal 23 UUD 1945 Indonesia perlu mendirikan bank sentral untuk mengeluarkan dan mengatur uang kertas. Sementara itu juga, timbulnya desakan-desakan dari massa, yaitu kalangan pengusaha dan elit di Batavia untuk menasionalisasikan DJB. Hal ini ditujukan untuk kepentingan bisnis mereka.

Berdasarkan buku Pengantar Kebanksentralan: Teori dan Kebijakan oleh Solikin M. Juhro, nasionalisasi adalah proses pemindahan hak kepemilikan asing untuk dijadikan milik negara. Nasionalisasi lahir dari ide Indonesiasi yang berkembang karena adanya keinginan membentuk suatu negara yang bebas penjajahan dan merdeka tanpa campur tangan orang luar Indonesia.

Tujuan dari nasionalisasi De Javasche Bank adalah untuk memajukan pengusaha pribumi, agar bekerja sama untuk memajukan ekonomi nasional, mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional dan adanya bentuk kerja sama antara pengusaha pribumi dengan pengusaha asing. Tokoh yang pertama kali menyampaikan gagasan nasionalisasi DJB adalah Mr. Jusuf Wibisono, menteri Keuangan Kabinet Sukiman. Pernyataan ini dibuat tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan pihak DJB, hal ini menyebabkan Presiden DJB, Dr A. Houwink, memutuskan untuk mengundurkan diri.

B. Proses Nasionalisasi

Setelah adanya keputusan untuk menasionalisasikan bank DJB milik Hindia Belanda, kemudian pemerintah membentuk panitia nasionalisasi DJB pada tanggal 19 Juni 1951. Hal ini dilaksanakan berdasarkan surat keputusan presiden nomor 118 tanggal 2 Juli 1951. Kepanitiaan ini diketuai oleh Mohamad Sediono yang dibantu oleh empat orang anggota, yaitu Mr. Soetikno Slamet, Dr. R.M. Soemitro Djojohadikoesoemo, T.R.B Sabarudin, serta Drs. Khouw Bian Tie.

Dalam prosesnya, panitia nasionalisasi DJB dengan cara membeli saham-saham DJB kepada para pemiliknya di bursa efek Amsterdam pada tanggal 15 Desember 1951. Nasionalisasi dilaksanakan dengan pembelian 99,4% saham DJB senilai 8,9 juta Gulden. Keberhasilan membeli saham-saham DJB dibantu oleh dua delegasi Indonesia yaitu M. Saubari dan Khouw Bian yang berdiplomasi dengan Vereeniging voor de Effectenhandel (perkumpulan pedagang efek) di Amsterdam.

C. Menjadi Bank Indonesia

Proses Nasionalisasi dari DJB berakhir seiring dengan pergantian nama menjadi Bank Indonesia. Tepatnya tanggal 29 Mei 1953, Presiden Soekarno mengesahkan RUU Pokok Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (UU).

Pada 1 Juli 1953, diberlakukannya UU Pokok Bank Indonesia sehingga sejak 1 Juli 1953 bangsa Indonesia memiliki bank sentral dengan nama Bank Indonesia. Pemerintah pun menunjuk Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi di Indonesia.

Masyarakat Indonesia sangat antusias dengan lahirnya Bank Indonesia. Dalam beberapa surat kabar nasional disebutkan bahwa lahirnya Bank Indonesia sebagai pembuka zaman baru di bidang keuangan.

Nah, itulah sejarah nasionalisasi DJB menjadi BI, semoga menambah pengetahuan ya detikers.

Simak Video "Jangan Termakan Gengsi Saat Mudik"



(row/row)

KOMPAS.com — Beberapa nama bank dari masa Batavia boleh jadi sudah sering disebut-sebut. Nama-nama bank seperti De Javasche Bank (kini Museum Bank Indonesia); Nederlandsche Handles Maatschappij-NHM (kini Museum Bank Mandiri); Chartered Bank of  India, Australia, and China (eks Bank Bumi Daya);  Hongkong & Shanghai Banking Corporation - Kantor Pajak Tambora; dan Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij – eks Bank Dagang Negara. Lantas bagaimana dengan De Post Paar Bank, De Algemene Volkscrediet Bank, atau Nationale Handle Bank?

De Post Paar Bank menjadi Bank Tabungan Pos tahun 1950 kemudian menjadi Bank Negara Indonesia (BNI) Unit V dan terakhir menjadi Bank Tabungan Negara (BTN) pada 1968. De Algemene Volkscrediet Bank tak lain adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Ekspor Impor (Bank Eksim) kemudian menjadi BNI Unit II untuk kemudian pada 1968 berdiri sendiri sendiri menjadi dua bank, BRI dan Bank Eksim. Nationale Handle Bank semula bernama Nederlandsche Indische Handels Bank (NIHB) kemudian menjadi BNI Unit IV dan pada 1968 menjadi Bank Bumi Daya (BBD) bersama dengan Chartered Bank of  India, Australia, dan China.

Dilihat dari sejarah perbankan di atas, lembaga perbankan yang kita kenal saat ini merupakan warisan sistem perbankan masa kolonial. Meski kini beberapa bank menjadi satu menggunakan nama yang lain, warisan itu tetap saja melekat.

Pada awalnya perbankan hanya berfungsi sebagai lembaga yang membantu pemerintah dalam penyaluran keuangan, terutama dalam sektor perdagangan. Selain mempunyai sistem kerja yang rapi, bangunan sebuah bank juga menentukan nasabah yang akan menitipkan uang dan atau barang berharga yang disimpan.

Bank tak hanya mempunyai gedung yang megah dan arsitektur yang indah, tetapi juga mempunyai sebuah ruang kluis (safe deposit) dengan dinding yang tebal, pintu berukuran sangat besar, kuat, dan kokoh dengan sistem kunci kombinasi. Bahkan, ruangan ini bersifat sangat rahasia sehingga tidak dicantumkan dalam denah bangunan. Jauh sebelum ada kluis, kasir bank merantai kotak uang pada kakinya pada saat tidur agar uang tak dicuri.

“Kalau ada pencuri masuk bank, sulit keluar karena bangunan bank masa lalu penuh ruang dan lorong. Bisa tersesat, apalagi orang yang baru pertama kali masuk. Jadi memang, Belanda sudah memerhatikan keamanan dan kenyamanan bangunan bank, itu semua supaya nasabah merasa aman,” tutur Kartum Setiawan, Ketua Komunitas Jelajah Budaya, dalam perbincangan di kawasan Kota Tua Jakarta beberapa waktu lalu.

Kini sisa bangunan perbankan masih bisa dilihat di kawasan bersejarah Kota Tua, baik yang masih aktif digunakan untuk kantor bank hasil nasionalisasi, maupun digunakan sebagai museum yang memamerkan rangkaian sejarah bank-bank pendahulunya.

Sekadar gambaran, gedung eks De Escompto Bank berarsitektur Indische terletak di pojok pertemuan Jalan Pintu Besar Utara dan Jalan Bank. Menempati lahan seluas 3.010 meter persegi, aset ini mlik Bank Mandiri. Bangunan cagar budaya ini awal mulanya merupakan Kantor Pusat De Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij di Batavia, yang dibeli tahun 1902.

Gedung kantor bank memiliki luas lantai seluruhnya 6.729 meter persegi. Gedung ini  menghadap ke Jalan Pintu Besar Utara terdiri atas dua lantai dibangun tahun 1904 dan mulai digunakan tahun 1905. Di dinding atas gedung ini terdapat ornamen lambang-lambang kota Hindia Belanda, seperti Surabaya, Batavia, dan Semarang, juga terdapat lambang kerajaan Belanda dan kota Amsterdam. Konstruksi utama bangunan ini beton bertulang dan menggunakan atap genteng tanah liat produksi Tan Liok Tiauw, Batavia dan Tijanting Plered SS Wall.

Sementara itu, di sudut Jalan Kalibesar Barat tak jauh dari De Javasche Bank (Museum Bank Indonesia), berdiri gagah gedung berkubah dari tahun 1920-an. Ini adalah gedung Chartered Bank, kini aset Bank Mandiri. Di bagian dalam gedung yang di zaman Belanda merupakan bank terkemuka ini terdapat lukisan patri menggambarkan orang sedang bekerja. Sebut saja orang menumbuk padi, pergi ke pasar, dan membawa getah karet. Kaca patri ini dibuat oleh J Sabel’s en Co yang pusatnya di Haarlem, Belanda. Di sini, kita juga bisa jumpai prasasti peletakan batu pertama yang di situ tertulis 27 Pebruari 1921.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA