Bagaimanakah kualitas pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia pada periode 1965 sampai 1998

Ilustrasi Pemilu (ANTARANews/ferly)

Ilustrasi Pemilu (ANTARANews/ferly)

Jakarta (ANTARA News) - Pemilu era orde baru diselenggarakan antara lain pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu pada era ini diawali dengan masa-masa transisi kepemimpinan Presiden Soekarno.   Diangkatnya Jenderal Soeharto menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, tidak membuatnya melegitimasi kekuasaannya pada masa transisi.   Bahkan ketetapan MPRS XI Tahun 1966 mengamanatkan agar pemilu baru diselenggarakan dalam tahun 1968, dan kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967 oleh Jenderal Soeharto bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.   Sebagai pejabat presiden, Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-Gotong Royong (DPR-GR) bentukan Bung Karno, hanya saja dia melakukan “pembersihan” lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau orde lama.   Pada praktiknya pemilu kedua baru bisa diselenggarakan 5 Juli 1971, yang berarti setelah empat tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan.   Pada masa tersebut ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan era Soekarno, di mana UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.   Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.   Dalam UU itu pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral, tidak seperti Pemilu 1955 yang memperbolehkan pejabat negara, termasuk perdana menteri dari partai untuk ikut menjadi calon partai secara formal.   Tetapi pada praktiknya Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta pemilu itu.   Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda juga dengan Pemilu 1955.   Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ampuh untuk mengurangi jumlah partai peraih kursi, dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi kelemahannya sistem demikian lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.   Setelah tahun 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Enam tahun berikutnya yakni tahun 1977, pemilu ketiga dilaksanakan. Setelahnya pemilu selalu berlangsung setiap lima tahun sekali.   Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, hanya terdiri atas dua parpol dan satu Golkar. Hal tersebut imbas penyederhanaan jumlah partai yang dilakukan pemerintah bersama DPR, dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar.   Kedua partai adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI dan satu Golongan Karya atau Golkar. UU No. 3 itu diimplementasikan hingga pemilu tahun 1997.   Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI hanya sekedar pelengkap atau ornamen belaka. Ibarat Golkar sudah ditetapkan menjadi pemenang sejak Pemilu 1971.   Keadaan ini secara langsung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar mendapat dukungan birokrasi sipil dan militer.   Puncaknya Soeharto dilengserkan rakyat pada 21 Mei 1998 karena ketidakadilan sistem pemerintahan yang diterapkan Soeharto selama masa orde baru. (*)

Pewarta: -Editor: Imansyah

COPYRIGHT © ANTARA 2014

Terkait

Baca juga

Terpopuler

Demokrasi yang secara resmi tercantum di dalam UUD 1945 dan yang saat ini berlaku di Indonesia biasa disebut Demokrasi Pancasila. Dasar-dasar konstitusional bagi demokrasi di Indonesia sebagaimana yang berlaku sekarang ini sudah ada dan berlaku jauh sebelum tahun 1965.

Istilah Demokrasi Pancasila lahir sebagai reaksi terhadap Demokrasi Terpimpin di bawah Pemerintahan Sukarno. Gagasan Demokrasi Terpimpin, seperti diketahui telah dibakukan secara yuridis dalam bentuk Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 tentang: Prinsip-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan.

Ketika Orde Baru lahir, konsep Demokrasi Terpimpin mendapat penolakan keras, sehingga pada tahun 1968, MPRS kembali mengeluarkan Ketetapan No. XXXVII/MPRS/1968, tentang Pencabutan Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 dan tentang Pedoman Pelaksanaan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyaratan/Perwakilan atau sesuai dengan diktum Tap tersebut tentang Demokrasi Pancasila.

Perumusan Demokrasi Pancasila sebagaimana diatur dalam Tap MPRS No. XXXVII/MPRS/1968, kembali dicabut dengan Tap No. V/MPR/1973. Tetapi lebih dari sekedar soal teknis prosedural, sudah banyak dilakukan upaya untuk memberikan pengertian mengenai Demokrasi Pancasila. Presiden Suharto pada pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967, antara lain menyatakan bahwa Demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya. Hal ini berarti bahwa dalam menggunakan hak-hak demokrasi haruslah selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Era baru dalam pemerintahan dimulai setelah melalui masa transisi yang singkat yaitu antara tahun 1966-1968, ketika Jenderal Soeharto dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Era yang kemudian dikenal sebagai Orde Baru dengan konsep Demokrasi Pancasila. Visi utama pemerintahan Orde Baru ini adalah untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia.

Dengan visi tersebut, Orde Baru memberikan secercah harapan bagi rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia mengharapkan adanya perubahan-perubahan politik menjadi lebih demokratis. Harapan tersebut tentu saja ada dasarnya. Orde Baru dipandang mampu mengeluarkan bangsa ini keluar dari keterpurukan.

Harapan Pelaksanaan Demokrasi Pada Orde Baru

Harapan akan tumbuhnya demokrasi di awal Orde Baru dimiliki tidak saja oleh kalangan elit politik yang merasa memperoleh peluang politik baru, namun juga dimiliki oleh berbagai kalangan lain secara luas. Bahkan pada saat itu para mahasiswa di kampus-kampus memiliki harapan besar terhadap tumbuhnya suasana politik baru yang lebih segar dan demokratis

Harapan akan tumbuhnya demokrasi tersebut adalah harapan yang memiliki dasar-dasar argumentasi empirik yang memadai, antara lain menyangkut tiga hal berikut ini.

  1. Pertama, Orde Baru dilahirkan melalui gerakan massa yang mengalirkan arus keinginan dari rakyat. Latar belakang ini menjadi dasar yang kuat bagi terjadinya pembesaran pluralisme dan penumbuhan demokrasi, mengingat sebagai sebuah pemerintahan yang tumbuh dari bawah Orde Baru seyogyanya memberikan tempat bagi aktualisasi politik masyarakat.
  2. Kedua, pada orde baru kebijakan-kebijakan politik tidak lagi diserahkan pada peran politisi dan ideolog, melainkan kepada para teknokrat. Perluasan dan reorientasi dalam rekrutmen politik yang mengintegrasikan kalangan teknokrat ke dalam struktur kekuasaan ini dianggap mengindikasikan akan terjadinya suatu reorientasi politik dikalangan penguasa sejalan dengan komitmen para teknokrat yang waktu itu dikenal egaliter dan demokratis. Terintegrasinya kelompok teknokrat ke dalam struktur kekuasaan diharapkan akan memberikan pengaruh kepada kinerja negara dalam hal ini Orde Baru dan kebijakan-kebijakannya sehingga lebih mementingkan proses politik yang bottom up (dari rakyat ke pemerintah) dan lebih berorientasi kepada publik.
  3. Ketiga, sejalan dengan kedua dasar empirik di atas, masa awal Orde Baru ditandai oleh terjadinya perubahan besar dalam perimbangan politik di dalam negara dan masyarakat. Tiga pusat kekuasaan Orde Lama, yaitu Presiden, militer (khususnya Angkatan Darat) dan PKI, digeser oleh pusat-pusat kekuasaan baru yaitu militer dan teknokrasi serta birokrasi.

Ketiga dasar empirik di atas sekalipun masih bersifat belum pasti, namun dalam masa itu amatlah memadai untuk menjadi alasan tumbuhnya harapan demokratisasi.

Namun, ternyata harapan rakyat tersebut tidak sepenuhnya terwujud. Karena, sebenarnya tidak ada perubahan yang substantif dari kehidupan politik Indonesia. Dalam perjalanan politik pemerintahan Orde Baru, kekuasaan presiden merupakan pusat dari seluruh proses politik di Indonesia.

Lembaga kepresidenan merupakan pengontrol utama lembaga negara lainnya, baik yang bersifat suprastruktur (DPR, MPR, DPA, BPK, dan MA) maupun yang bersifat infrastruktur (LSM, partai politik, dan sebagainya). Selain itu juga, Presiden Soeharto mempunyai sejumlah legalitas yang tidak dimiliki oleh siapa pun seperti Pengemban Supersemar, Mandataris MPR, Bapak Pembangunan, dan Panglima Tertinggi ABRI.

Dalam praktiknya, pemerintahan Orde Baru ternyata menjalankan pemerintahan yang represif. Dalam sistem politik Orde Baru jajaran militer yang tidak ikut memilih langsung diberi jatah wakil di DPR/MPR sebanyak 100 orang (sekitar 20%). Selain itu, mereka juga banyak menduduki jabatan strategis baik di kabinet, birokrasi, maupun kegiatan ekonomi. Pemerintahan Orde Baru yang banyak melibatkan militer berusaha membatasi ruang gerak partai politik maupun organisasi yang pro demokrasi.

Posisi presiden sangat kuat menyebabkan DPR/MPR sering disebut sebagai lembaga stempel. Selain Presiden mendapatkan dukungan dari Wakil ABRI dan Golkar, wakil-wakil dari partai politik biasanya hanya mereka yang dianggap loyal terhadap Orde Baru yang dapat lolos sebagai anggota legislatif. Campur tangan kekuasaan untuk menjamin loyalitas partai juga merambah sampai pada sturuktur pengurus partai. Aktivis partai yang tidak dekat dengan militer, birokrasi, dan ‘keluarga cendana’, biasanya akan dipersulit atau digagalkan untuk menjadi pengurus partai.

Karakteristik Demokrasi Pancasila Orde Baru

Dari uraian di atas, kita dapat menggambarkan bahwa pelaksanaan Demokrasi Pancasila masih jauh dari harapan. Pelaksanaan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen hanya dijadikan alat politik penguasa belaka.

Kenyataan yang terjadi Demokrasi Pancasila sama dengan kediktatoran. Untuk lebih jelasnya, berikut ini dipaparkan karakteristik Demokrasi Pancasila masa Orde Baru yang berdasarkan pada indikator demokrasi yang telah dikemukakan sebelumnya.

  1. Pertama, rotasi kekuasaan eksekutif boleh dikatakan sangat kecil terjadi. Kecuali pada jajaran yang lebih rendah, seperti gubernur, bupati/walikota, camat, dan kepala desa. Kalaupun ada perubahan, selama pemerintahan Orde Baru hanya terjadi pada jabatan wakil presiden, sementara pemerintahan secara esensial masih tetap sama.
  2. Kedua, rekrutmen politik bersifat tertutup. Rekrutmen politik merupakan proses pengisian jabatan politik di dalam penyelenggaraan pemerintah negara, baik untuk lembaga eksekutif (pemerintah pusat maupun daerah), legislatif (MPR, DPR, dan DPRD) maupun lembaga yudikatif (Mahkamah Agung). Dalam negara yang menganut sistem pemerintahan yang demokratis, semua warga negara yang mampu dan memenuhi syarat mempunyai peluang yang sama untuk mengisi jabatan politik tersebut. Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru, sistem rekrutmen politik tersebut bersifat tertutup, kecuali anggota DPR yang berjumlah 400 orang dipilih melalui pemilihan umum. Pengisian jabatan tinggi negara seperti Mahkamah Agung, Dewan Pertimbangan Agung, dan jabatan-jabatan lainnya dalam birokrasi dikontrol sepenuhnya oleh lembaga kepresidenan. Demikian juga dengan anggota badan legislatif. Anggota DPR sejumlah 100 orang dipilih melalui proses pengangkatan dengan surat keputusan presiden. Sementara itu dalam kaitannya dengan rekrutmen politik lokal (seperti gubernur dan bupati/ walikota), masyarakat di daerah tidak mempunyai peluang untuk ikut menentukan pemimpin mereka. Kata akhir tentang siapa yang akan menjabat diputuskan oleh presiden. Jelas, sistem rekrutmen seperti itu sangat bertentangan dengan semangat demokrasi.
  3. Ketiga, Pemilihan Umum. Pada masa pemerintahan Orde Baru, pemilihan umum telah dilangsungkan sebanyak enam kali dengan frekuensi yang teratur setiap lima tahun sekali. Tetapi, kalau kita amati kualitas pelaksanaan pemilihan umum tersebut masih jauh dari semangat demokrasi. Pemilihan umum tidak melahirkan persaingan yang sehat.
  4. Keempat, pelaksanaan hak dasar warga negara. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa dunia internasional sering menyoroti politik Indonesia berkaitan erat dengan perwujudan jaminan hak asasi manusia. Masalah kebebasan pers sering muncul ke permukaan. Persoalan mendasar adalah selalu adanya campur tangan birokrasi yang sangat kuat. Selama pemerintahan Orde Baru, sejarah pengekangan kebebasan pers terulang kembali seperti yang terjadi pada masa Orde Lama. Beberapa media massa seperti Tempo, Detik, dan Editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibreidel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negara.

Selain itu, kebebasan berpendapat menjadi barang langka dan mewah. Pemerintah melalui kepanjangan tangannya (aparat keamanan) memberikan ruang yang terbatas kepada masyarakat untuk berpendapat. Pemberlakuan Undang-Undang Subversif membuat posisi pemerintah semakin kuat karena tidak ada kontrol dari rakyat. Rakyat menjadi takut untuk berpendapat mengenai kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Tidak jarang pemerintah memenjarakan dan mencekal orang-orang yang mengkritisi kebijakannya.

Keempat indikator di atas menjadi catatan hitam perjalanan demokrasi di Indonesia. Akankah masa-masa pahit ini kembali terulang. Jawabannya dikembalikan kepada semua elemen bangsa ini.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA