Bagaimana peranan perempuan pada masa peradaban Islam di Andalusia

Oase.id - Ulama adalah sebutan untuk seseorang yang ahli dalam ilmu agama. Sejak dulu, ulama selalu identik dengan laki-laki. Namun, tahukah kamu bahwa banyak juga ulama perempuan yang memegang peranan penting dalam sejarah Islam.

Sejarah peradaban dunia Islam yang memperlihatkan aktivitas, peran dan posisi perempuan dalam ruang publik, ekonomi, politik dan budaya saat itu terdapat di Damaskus, Baghdad dan Andalusia. Pada masa itu menjadi fenomena dan realitas perempuan Islam di atas panggung sejarah Islam sejak awal.

Realitas sejarah dalam peradaban Islam masa awal ini menunjukkan betapa banyaknya perempuan yang menjadi ulama, cendekia dan intelektual dengan berbagai macam keahlian. Bahkan ada beberapa ulama yang secara kapasitas pengetahuan mengungguli ulama laki-laki.

Ibnu Hajar al-Asqalani, seorang ahli hadits terkemuka dalam buku Al Ishabah fi Tamyiz ajh-Shahabah menyebutkan, bahwa terdapat 500 perempuan ahli hadits. Lalu, dalam Tahzib Al-Asma wa Ar-Rijal karya Imam Abu Zakariya bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyq juga menuliskan jejak langkah dan sejarah hidup mereka. 

Khalid al-Baghdadi, seorang sufi besar, menulis ratusan perempuan ulama dan cendekia di zaman nabi. Lalu, Abu Abdullah Muhammad bin Sa’ad, seorang sejarawan awal terkemuka, menulis dan mencatat nama-nama dan sejarah hidup mereka. 

Demikian juga, Imam as-Sakhawi, seorang sejarawan, ahli hadits tafsir dan sastra menuliskan mereka lewat buku. Seperti buku ad-Dhaw al-Lami’li ahli Al-Qarn at-Tasi’ dan lain sebagainya. 

Halnya Imam ad-Dzahabi dan Abu Abdillah Muhammad, ahli hadits masyhur menyebut 4.000 hadits tentang rijal hadits yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. 

Ia juga mengatakan:
“Aku tidak mengetahui ada perempuan yang cacat dalam periwayatannya dan tidak pula ada yang tidak dipakai haditsnya.”

“Tidak ada kabar dari seorang pun ulama bahwa keterangan seorang perempuan ditolak hanya karena ia perempuan. Berapa banyak sudah hadits yang diterima bulat oleh para ulama berasal dari seorang perempuan sahabat nabi. Hal ini tidak ditolak oleh siapa pun yang mempelajari hadits, meski minimal.”

Maksud dari kutipan di atas, bahwa tidak ada seorang pun ulama menolak hadits yang berasal dari perempuan sahabat nabi, karena dalam periwayatannya tidak cacat.

Umar Ridha Kahalah juga menulis buku tentang ulama-ulama perempuan di dunia Islam dan Arab, yakni A’lam an-Nisa fi ‘Alamay al-‘Arab wal Islam yang terdiri dari 3 jilid sebanyak 500 halaman. Buku tersebut merekam nama-nama perempuan ulama dengan keahliannya, aktivitas dan peran mereka di masyarakat.

Artinya, bahwa peran perempuan ulama tersebut dalam sejarahnya telah mengambil peran-peran penting sebagai tokoh intelektual dan menjadi sumber ilmu pengetahuan serta tokoh politik, dan tokoh politik yang memiliki moralitas terpuji. Aktivitas mereka tidak hanya di ranah domestik, tetapi dalam ruang publik. Mereka bekerja sama dengan ulama laki-laki, yaitu membangun peradaban Islam yang berkeadilan.

Sumber: Buku perempuan ulama di atas panggung sejarah karya KH. Husein Muhammad


(ACF)

Dalam literatur islam terdapat beberapa kisah yang mendunia, masalah-masalah kemanusiaan menjadi otoritas manusia. Menekankan gagasan pada checks and balances. Berdasarkan pada data realitas sosial di kalangan masyarakat pesantren bahwa peran santri pada dunia literasi islam telah ada sejak periode awal kurang lebih pada tahun ke-14 M.

 

Dalam Sejarah Islam, dua dinasti besar berhasil membawa Islam ke puncak kejayaannya. Pada Dinasti Abbasiyyah di Baghdad dan Dinasti Umayyah II di Andalusia.

 

Penjelasan dalam menafsirkan teks-teks atau ajaran agama yang berbasis ilmu kesusastraan, karena mereka (kaum santri) sudah terbiasa berpikir secara "One Track Mind", yang melatari pemahaman mereka tentang khazanah sastra islam di Indonesia.

 

Gejala 'perlawanan' di ranah dunia kesusasteraan yang semakin mendominasi dengan mencuatnya perempuan-perempuan penulis itu menandakan bahwa adanya kebebasan ruang gerak terhadap kaum perempuan untuk menulis apa saja. Banyak sekali jejak-jejak sejarah di dunia kesusastraan di berbagai negara yang tidak merekam jejak karya perempuan pengarang, penyair atau penulis.

 

Bagaimana perempuan harus melawan segala tantangan selera zaman literasi islam di Indonesia. Tentu memang ada kendala-kendala yang bersifat kultural maupun sosial, sehingga aktivitas kesenian kesusastraan perempuan kurang 'terekam' dan tak kebagian sorotan pegiat sastra.

 

Dengan menelusuri jejak karya-karya sastra kaum hawa di Andalusia, misalnya syair-syair yang dikarang oleh Walladah yang masyhur di Andalusia (Spanyol). Karya sastra sebagai cerminan kehidupan, dalam tema dan idenya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyairnya. Baik lingkungan alam, ekonomi dan politik. Begitu juga dengan sya’ir-sya’ir Arab Andalusia.

 

Adapun aspek penunjang yang banyak mempengaruhi kemajuan peradaban sastra di Andalusia. Pertama, tentu Landscape keindahan  pemandangan alam raya Andalusia, serta cuaca dan udaranya yang sejuk, dan hamparan tamannya yang hijau sedap dipandang mata. Kedua, yakni dipengaruhi oleh polemik perkembangan politik beberapa periode pemerintahan di Andalusia.

 

Banyak diantara ulama Andalusia yang pergi ke Timur untuk menimba ilmu dan mencari buku-buku, dan sebaliknya ulama Timur datang ke Andalusia untuk mencari tempat dan penghargaan dari para khalifah (Pemimpin) di masa itu. Dari konsekuensi politik mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat terhadap dunia sastra di Andalusia, sehingga melahirkan multikulturalisme dalam bidang literatur Islam di masa-masa itu. Dalam sejarahnya, Islam hadir memang membawa toleransi.

 

Setidaknya, ada tiga  jejak periode yang melatari sikap pluralisme keagamaan dalam pengembangan Islam dan kesusastraan. Mulai dari periode kemenangan Islam pada tahun 93 H / 712 M dan berakhir dengan berdirinya daulah bani umayyah di Andalusia dibawah kekuasaan Abdurrahman Ad-Dakhil tahun 138 H / 755 M.

 

Pertama, Periode konflik pemerintahan mulai sejak berkuasanya Abdurrahman Ausath dan dan keturunannya berakhir pada tahun 316 H / 929 M. Kemudian berlanjut di masa 'Periode Khilafah' atau Masa keemasan Islam di Andalusia di bawah kekuasaan Khalifah An-Nashir Lidinillah (Abdurrahman III) berakhir pada tahun 366 H / 976 M. Dan Periode kemunduran yang mesti berakhir pada kisaran tahun 399 H / 1009 M.

 

Hal ini tentunya sangat memberikan pengaruh pandangan positif terhadap peradaban daratan Andalusia. Sehingga dapat mempengaruhi pula pada ghirah (semangat) keproduktifan penulis-penulis Andalusia, termasuk, Walladah yang merupakan seorang putri dari Muhammad III Cordoba. Ayahnya merupakan salah satu raja terakhir dari khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada 1024, yang terkenal dengan syair-syair "Ghazal" (Rayuan).

 

Syair ini lebih banyak beredar di andalusia, bahkan pola-pola syairnya lebih umum dan luas, penduduk andalusia lebih terkenal dengan kelembutan dan kecenderungannya sebagai ekspresi terhadap romantisme perasaan seorang insan. Sehingga menjadi basis moralitas keagamaan dan kesusastraan di Andalusia. Dengan kelebihan sedemikian itu, Walladah bintu Al-Mustakfi menjadi perempuan ter-viral di zamannya.

 

Buah karya dari beberapa syair ini mencerminkan kesucian nan indah, dan menggambarkan pencitraan perempuan dan deskripsi dari pesonanya. Syair ini mencerminkan kepribadian penyair. Sehingga terjadi dinamika sastra Islam yang telah mempengaruhi peradaban dunia. Kutipan baris syair yang terpahat dan terpatri dalam sejarah dan dijadikan monumen oleh orang-orang Eropa di Spanyol:

أغار عليك من عيني ومني # ومنك ومن زمانك والمكان

ولو أني خبأتك في عيوني#  إلى يوم القيامة ما كفاني

 

Artinya: Aku terpancing oleh dirimu, zamanmu, dan tempat tinggalmu. Andaikan aku menyembunyikanmu dalam kelopak mataku, hingga hari kiamat pun tak membuatku cukup. (Walladah).

 

Dalam khazanah Arab, setidaknya ada syair yang memiliki ragam macam corak gaya bahasa dan karakteristik. Jika bisa dikelompokkan, ada sejumlah bentuk syair selain Ghazal (rayuan), semisal;  syair Madah (pujian), Hija’ (cacian), Fakhr (kebanggaan), Ritsa' (ratapan), dan 'Itab (celaan).

 

Kendatipun demikian, 'Syair dan Penyair Wanita Andalusia' telah memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan kesusastraan. Sebagaimana buah karyanya, Walladah binti Al-Mustakfi yang hingga akhir hayatnya masih menyikap tabir cerita romansa di jagat sastra keislaman Andalusia dengan pemuda bernama, Ibnu Zaidun yang menyisakan risalah bait-bait tanda tanya namun tetap menebarkan pesona. Sebagaimana pula dengan kisah cinta masyhur antara Qais bin Al-Mulawwih dan Laila Al-'Amiriyyah dan menjadi legenda (Laila Majnun).

 

Belum lagi sejarah tentang Masjid Agung Cordoba yang kini menjadi Katedral. Dampak nyata dengan runtuhnya Islam di Spanyol adalah "pencurian" karya intelektual Muslim. Saat Islam menguasai Andalusia, ilmu pengetahuan begitu maju bahkan bisa dikatakan kemajuan ilmu pengetahuan saat itu tidak kalah pencapaiannya seperti di Baghdad pada era Abbasyiyah. Saat itu, tradisi pengembangan ilmu pengetahuan, baik bersumber dari sisi syariah, dan science juga dunia sastra, itu hampir sama pertumbuhan dan perkembangannya di Andalusia. Para ulama saat itu juga berperan sebagai cendekiawan Islam sehingga mereka menjadi pakar matematika, fisika, geologi, sekaligus memiliki keilmuan agama yang tinggi.

 

Ada pengaruh sastra yang mewarnai perkembangan literasi sebagai bentuk jasa besar Islam Spanyol untuk Eropa. Pada periode Khalifah Abdurrahman al-Nashir, penguasa Andalusia, menghendaki pemerintahannya kokoh dengan ilmu pengetahuan, syair, dan sastra. Sastra adalah salah satu unsur kebudayaan yang paling terkenal dalam Renaisans Andalusia. "Kalau jejak-jejak jurnalisme khasanah sejarah dibungkam, maka sastra yang harus bicara."

 

Hal inilah yang bisa jadi melatarbelakangi budaya dan sastra Arab di Andalusia dalam masa perwalian dan konflik politik di masa-masa itu.

 

Abdul Majid Ramdhani, Penulis merupakan lulusan Pondok Pesantren Al-Hamidiyah dan juga pegiat Lesbumi NU Tangerang Selatan.
 

Editor: Ari Hardi