Bagaimana kondisi pemerintahan sebelum mendapat pengaruh budaya india dalam memimpin upacara adat

Masuknya agama Hindu-Budha ke Indonesia sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu. Tetapi pengaruh kebudayaan Hindu-Budha ini masih dapat dirasakan hingga sekarang ini oleh masyarakat. Salah satunya adanya perubahan sistem pemerintahan di Indonesia dari kesukuan menjadi monarki dengan hierarki (tingkatan).

Perubahan sistem pemerintahan semasa Hindu-Budha paling jelas tampak pada model kepemimpinan dan struktur pemerintahan. Sebelum masuknya agama Hindu-Budha ke nusantara, masyarakat Indonesia belum mengenal sistem pemerintah. Semula pemimpinnya adalah kepala suku, setelah Hindu-Budha pemimpinnnya adalah raja.

Saat itu, sistem pemerintahan di Indonesia yang tadinya bercorak kesukuan dan kerakyatan menjadi monarki dengan hierarki (tingkatan) yang jelas. Kepemimpinan kepala suku yang bersifat Primus Inter Pares (yang dituakan) berubah signifikan menjadi kepemimpinan Monarki Absolut (titah raja adalah segalanya).

Dasar legitimasi kepala suku adalah kompetensi, pengalaman, dan kewibawaan. Sedangkan dasar legitimasi raja adalah kehendak ilahi karena raja adalah titisan dewa. Disamping itu, Kepala suku dipilih secara bergilir di antara para ketua adat, sedangkah raja dipilih berdasarkan faktor keturunan dari dinasti yang berkuasa.

Selain itu, kedudukan Kepala suku dikukuhkan oleh musyawarah warga, sedangkan kedudukan raja dikukuhkan oleh brahmana (kasta tertinggi dalam masyarakat hindu). Adapun, struktur pemerintahan monarki menempatkan raja sebagai penguasa tertinggi dan mutlak. Struktur ini berlaku umum di semua kerajaan Hindu-Budha yang pernah muncul di Indonesia, mulai dari Kutai sampai Majapahit.

(Baca juga: Teori Masuknya Pengaruh Hindu Budha di Indonesia)

Oleh karena itu, informasi dalam prasasi selalu berfokus pada tindakan raja. Akibatnya, kejayaan dan kejatuhan suatu kerajaan sama sekali bergantung pada mampu tidaknya seorang raja memimpin dan mengelola pemerintahan.

Struktur pemerintahan mengalami penyesuaian dari satu kerajaan ke kerajaan lain, tergantung urgensi masalah yang ditangani dan luasnya wilayah yang harus dikendalikan. Semasa kerajaan Majapahit terdapat dewan penasihat yang disebut Bhatara Sapraprabu, kemudian jabatan Mapatih Amangkubhumi sebagai pelaksana pemerintahan tertinggi yang bertanggung jawab langsung kepada raja.

Perbedaan Sistem Pemerintahan

Terdapat perbedaan sistem pemerintahan antara kerajaan Hindu-Budha yang berlokasi di Jawa Timur, Jawa Tengah bagian utara, dan Jawa Tengah Bagian Selatan. Perbedaan itu dapat diidentifikasi dengan melihat denah bangunan candi di dalam sebuah kompleks.

Sistem pemerintahan kerajaan di Jawa Timur merupakan sistem federal. Tiap kerajaan yang berada di wilayah kekuasaannya masih memiliki otoritas penuh. Kondisi itu ditunjukan oleh denah bangunan candi, dimana candi induk sebagai simbol pemerintah pusat terletak belakang candi-candi perwara yang lebih kecil.

Sistem pemerintahan kerajaan di Jawa Tengah bagian selatan merupakan sistem feudal yang sentralis. Otoritas pemerintahan sepenuhnya berada di pusat, yakni raja. Kondisi itu terlihat dari denah bangunan candi, dimana candi induk ditempatkan di bagian tengah dan dikelilingi candi-candi perwara.

Sistem pemerintahan kerajaan di Jawa Tengah bagian utara merupakan sistem feudal yang desentralisasi. Pemerintah pusat mengatur kerajaan-kerajaan kecil yang sederajat dengan otonomi tertentu. Kondisi tercermin dari daerah bangunan candi; lokasi candi menyebar dalam komplek percandian.

Jakarta -

Masuknya unsur budaya India ke Indonesia menyebabkan kebudayaan Indonesia tidak kehilangan kepribadiannya. Hal ini disampaikan dalam buku Sejarah SMA Kelas 2 oleh Tugiyono KS, dkk.


Dalam perkembangannya, pengaruh masuknya unsur budaya India ke Indonesia menyebabkan munculnya budaya Indonesia baru yang coraknya masih terlihat sampai sekarang.


Beberapa budaya Indonesia yang memiliki unsur budaya India yaitu adanya teori Kasta. Hindu sangat kental dengan sistem kasta. Ketika agama dan kebudayaan Hindu berkembang di Indonesia, sistem kasta tidak berlaku mutlak seperti negara asalnya di India. Sistem kasta dikenal dalam ajaran agama saja, tetapi tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dikutip dari penelitian Amalia Irfani, dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam STAIN Pontianak dalam Jurnal Dakwah Al Hikmah.


Pada bidang seni, budaya Indonesia yang memiliki unsur budaya India dapat dilihat dari bangunan candi. Bangunan candi di Indonesia diadaptasi dari kebudayaan India pada masa Hindu-Budha. Perbedaannya, banguanan candi di India berfungsi sebagai tempat pemakaman, sementara di Indonesia sebagai tempat pemujaan. Dengan begitu, bahasa Indonesia hanya mengambil unsur kebudayaan India namun tetap bernuansa lokal Indonesia.


Pada konsep pemerintahan, unsur budaya India yang masuk ke Indonesia yaitu adanya konsep raja dan kerajaan. Indonesia baru mengenal konsep kesukuan yang dipimpin seorang kepala suku dengan wilayah terbatas. Kepala suku dipilih berdasar kekuatan fisik dan kekuatan magis yang dimiliki. Munculnya kerajaan Kutai di Kalimantan Timur adalah salah satu bukti sejarahnya masuknya unsur budaya India ke Indonesia.


Menurut para ahli sejarah, Kerajaan Kutai pada mulanya hanya setingkat suku yang dipimpin oleh kepala suku yang disebut Kudungga. Kutai mulai terlihat menjadi sebuat kerajaan sejak pemerintahan Raja Aswawarman.


Masuknya unsur budaya India ke Indonesia dan teorinya


Masuknya unsur budaya India ke Indonesia menyebabkan kebudayaan Indonesia tidak kehilangan kepribadiannya. Hubungan India dan Indonesia dirintis melalui perdagangan. Dalam hubungan ini, turut serta pendata yang berkunjung ke Indonesia. Kemudian, orang Indonesia yang belajar dari para pendeta India turut berpengaruh dalam penyebaran budaya India.


Orang Indonesia pergi ke tempat asal gurunya di India untuk berziarah dan menambah ilmu pengetahuan tentang keagamaan. Setelah kembali dengan bekal pengetahuan yang cukup, orang Indonesia lalu menyebarkan yang mereka ketahui dengan bahasanya sendiri. Ini membuat ajaran yang mereka sebarkan lebih cepat dan lebih mudah diterima di Indonesia, seperti dikutip dari buku Sejarah SMA Kelas 2 oleh Tugiyono KS, dkk.


Hubungan dagang antara Indonesia dan India mengakibatkan masuknya unsur budaya India ke Indonesia. Proses sesungguhnya yang terjadi belum dapat diungkapkan sepenuhnya oleh peneliti. Pada intinya, pendapat peneliti terbagi dua. Pertama, bertolak pada anggapan bahwa bangsa Indonesia berlaku pasif pada proses tersebut. Kedua, yang tumbuh lebih akhir memberi peranan aktif pada bangsa Indonesia.


Peneliti yang berpendapat pertama beranggapan bahwa telah terjadi kolonisasi oleh orang-orang India. Koloni-koloni orang India menjadi pusat penyebaran budaya India di Indonesia. Ada juga yang berpendapat kolonisasi ini disertai penaklukan.


Dalam proses masuknya budaya India menurut gambaran di atas, yang berperan utama adalah golongan prajurit atau kasta ksatria. Ilmuwan Indologi dan Indonesia Frederik David Kan Bosch menyebut hal ini sebagai hipotesa ksatria.


Pendapat lain yang masih berpegang pada anggapan adanya kolonisasi bangsa India terhadap bangsa Indonesia adalah hipotesa yang semula diajukan Krom. Ia berpendapat, karena hubungan ini terjadi karena perdagangan, maka orang India di Indonesia terbanyak adalah pedagang dari kasta vaisya (waisya).


Hipotesa vaisya sejarawan Nicolaas Johannes Krom memperkirakan adanya perkawinan antara para pedagang dengan perempuan Indonesia. Perkawinan, menurut Krom, merupakan saluran penyebaran pengaruh yang penting.


Sementara itu, J.C. Van Leur berpendapat, masuknya unsur budaya India ke Indonesia dibawa oleh orang India golongan Brahmana yang datang atas undangan penguasa di Indonesia.


Penguasaan yang luas dan mendalam mengenai kitab-kitab suci menempatkan para brahmana sebagai purohita yang memberi nasihat raja. Sehingga, brahmana bukan hanya memberi pengaruh dalam bidang keagamaan, juga mengenai pemerintahan, peradilan, perundang-undangan, dan lain-lain.


Nah gimana detikers, udah paham ya dampak masuknya unsur budaya India ke Indonesia?

Simak Video "Ritual Tari Sodoran di Hari Raya Karo Suku Tengger Probolinggo"


[Gambas:Video 20detik]
(lus/lus)

Koropak.co.id, 29 August 2022 15:13:33

Eris Kuswara

Koropak.co.id, Sumsel - Sungai Musi dan Pempek sudah sangat melekat dengan Palembang. Keduanya tak bisa dipisahkan dengan ibu kotanya Sumatera Selatan itu. Namun, masih ada hal lain yang tak kalah penting untuk diketahui, yaitu bidar atau biduk lancar.

Bidar merupakan sarana transportasi air yang digunakan untuk patroli di perairan Sungai Musi serta Daerah Aliran Sungai di Palembang. Dulu, biasanya perahu itu wara-wiri pada masa Kesultanan Palembang Darussalam. Kini, bidar kerap ditampilkan dalam perayaan Hari Jadi Kota Palembang yang diperingati setiap 17 Juni. Pemerintah setempat mengadakan lomba perahu bidar di pelataran Benteng Kuto Besak.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bidar memiliki arti perahu perang. Jika dilihat dari bentuknya, bidar merupakan perahu pencalang yang panjang dan tidak memiliki tutup. Dalam Bahasa Melayu, pencalang memiliki arti melaju cepat atau cepat pergi. 

Sejumlah sejarawan memperkirakan, perahu pencalang digunakan oleh para prajurit di masa Kedatuan Sriwijaya atau Kerajaan Palembang untuk kepentingan perang, setelah turun dari kapal utamanya.

Perahu bidar dibuat dengan menggunakan kayu yang umumnya berasal dari pohon rengas. Setidaknya ada 3 jenis perahu bidar yang dikenal oleh masyarakat, di antaranya Bidar Kecik atau mini dengan jumlah pendayungnya 5 sampai 11 orang.

Ada juga Bidak Pecalangan dengan jumlah pendayung sekitar 35 orang, serta Bidar Besak atau besar yang bisa mengangkut hingga 58 pendayung. Perahu Bidar Besak biasanya memiliki panjang sekitar 26 meter, dengan lebar 1,37 sentimeter, dan tinggi 70 sentimeter.

Pada zaman dulu, perahu yang memiliki laju cepat diperlukan untuk menjaga keamanan wilayah. Tak heran, Kesultanan Palembang membentuk patroli sungai dengan menggunakan perahu. Saat itu, perahu berpatroli disebut dengan perahu pancalang yang berasal dari kata pancal dan lang atau ilang. 

Kata pancal sendiri berarti lepas atau landas dan kata lang atau ilang berarti menghilang. Singkatnya, pancalang ini berarti sebuah perahu yang cepat menghilang. Perahu itu biasanya dikayuh oleh 8 sampai 30 orang dan bermuatan sampai 50 orang. 


Baca: Sigajang Laleng Lipa; Tarung dalam Sarung, Pantang Badik Diselip Pinggang

Panjangnya sekitar 10 hingga 20 meter dengan lebar 1,5 s.d. 3 meter. Dikarenakan dapat memuat banyak orang, pancalang juga digunakan sebagai angkutan transportasi sungai. Bahkan, raja-raja dan pangeran juga kerap sekali menggunakan pancalang untuk pelesiran. Selain sebagai perahu penumpang, pancalang juga dijadikan sarana untuk berdagang di sungai. 

Berdasarkan cerita rakyat, lomba Perahu Bidar awalnya dilakukan oleh dua orang pangeran Palembang dengan seorang pemuda dari Uluan. Diketahui, pertandingan bidar kala itu dipicu adanya perebutan seorang gadis bernama Dayang Merindu.

Nahas, di akhir pertandingan, kedua pemuda itu jutsru tewas akibat mengalami kelelahan. Sedangkan sang puteri Dayang Merindu yang diperebutkan kedua pemuda itu dikisahkan bunuh diri, karena tak sanggup menahan kesedihan.

Merujuk pada dokumen sejarah, lomba perahu bidar awalnya diselenggarakan sekitar 1898-an atau pada saat perayaan ulang tahun Ratu Belanda, Wilhelmina. Konon, dahulu para peserta lomba bidar menganggap bahwa Prasasti Kedukan Bukit sebagai batu bertulis yang keramat. 

Oleh karena itu, sebelum perlombaan dimulai, para peserta selalu mengunjungi prasasti Kedukan Bukit tersebut. Mereka meyakini akan bisa mendapatkan kekuatan gaib setelah mengunjungi prasasti yang ditemukan di tepian sungai Kedukan Bukit, sehingga nantinya mereka juga dapat memenangkan perlombaan. 

Pada Pemerintahan Indonesia, lomba perahu bidar dulunya dikenal dengan sebutan kenceran, dan menjadi tradisi untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, lomba perahu bidar ini semakin lama semakin sepi. Itu lantaran para peserta lombanya bukan lagi dari masyarakat, akan tetapi atas nama perusahaan besar yang ada di Kota Palembang.

Selain itu, kurangnya perhatian dan pembinaan dari pemerintah setempat juga menjadi penyebab lain semakin melemahnya kualitas dari perlombaan Bidar. Terlebih lagi perawatan bidar membutuhkan dana besar, bisa sampai ratusan juta rupiah. 

Silakan tonton berbagai video menarik di sini:

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA