Bagaimana kondisi bumi pada saat matahari berada di 23,5 derajat lintang selatan

Bagaimana kondisi bumi pada saat matahari berada di 23,5 derajat lintang selatan
Matahari bersinar terik saat fenomena Equinox terlihat dari langit Kota Denpasar, Bali, 21 Maret 2016. Equinox merupakan salah satu fenomena astronomi saat matahari melintasi garis khatulistiwa. ANTARA/Fikri Yusuf

TEMPO.CO, Bandung - Sebagian orang percaya, peredaran atau gerak semu matahari bisa menurunkan suhu di daerah katulistiwa seperti Indonesia. Contohnya pada 21 Juni 2017 saat matahari berada di posisi 23,5 derajat Lintang Utara.

Saat  ini diyakini sebagai hari terdingin, seiring matahari yang seolah-olah menjauhi katulistiwa. Astronom dan peneliti klimatologi tidak sependapat dengan anggapan itu.

Peredaran semu matahari merupakan gerakan seolah-olah sang surya dari garis ekuator atau katulistiwa secara periodik tahunan. Dari posisi 0 derajat di garis katuliswa naik ke garis lintang balik utara 23,5 derajat, prosesnya berlangsung sejak 21 Maret hingga 21 Juni.

Setelah itu posisi matahari seakan turun lagi ke posisi 0 derajat pada 23 September, lalu terus ‘turun’ ke garis lintang balik selatan 23,5 derajat pada 22 Desember. Setelah itu naik lagi ke posisi 0 derajat pada 21 Maret, begitu seterusnya hingga membentuk siklus.

Gerak semu matahari tahunan disebabkan oleh proses perputaran bumi mengelilingi matahari (revolusi). Sejatinya, yang berubah adalah posisi bumi yang berotasi 24 jam sehari dengan garis sumbu miring 23,5 derajat ketika mengelilingi matahari.

Peneliti klimatologi dari Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung, Erma Yulihastin mengatakan, posisi matahari saat naik dari ekuator ke 23 derajat lintang utara hanya menandakan bahwa saat itu seharusnya merupakan puncak musim panas di belahan bumi utara.

“Berlaku di wilayah lintang menengah atau subtropis yang memiliki empat musim,” ujarnya, pada Sabtu 17 Juni 2017.

Sebaliknya di belahan bumi selatan yang secara bersamaan waktunya, mengalami puncak musim dingin. Gerak semu matahari itu menyebabkan ada wilayah yang memilik empat musim.

Meskipun demikian, kata Erma, suhu harian di belahan bumi utara dan selatan tidak hanya dipengaruhi oleh posisi gerak semu matahari tersebut.

“Karena cuaca sangat dinamis dan faktor-faktor lain juga mempengaruhinya seperti distribusi tekanan, sirkulasi angin, tingkat kelembapan,” katanya.

Di wilayah katulistiwa seperti Indonesia, suhu permukaannya tidak dipengaruhi oleh posisi matahari di garis lintang 23,5 derajat di utara maupun selatan. Indonesia di zona tropis yang hanya punya musim hujan dan kemarau, variasi suhunya sangat kecil karena matahari bersinar sepanjang tahun.

Ketika Juni ini udara terasa dingin, penyebabnya bukan karena gerak semu matahari tersebut. “Itu karena faktor kemarau, awan berkurang banyak, dan faktor angin monsun tenggara dari Australia yang bersifat kering dan dingin,” ujarnya.

Pola angin monsun itu juga ada yang menganggapnya terkait atau mengikuti pola gerak semu matahari. “Tidak, karena angin monsun lebih ditentukan oleh perbedaan tekanan yang kontras antara benua Australia dan benua Asia,” kata dia. Selain itu, tidak semua tempat di dunia ini dipengaruhi oleh monsun.

Astronom dari komunitas Langit Selatan di Bandung, Avivah Yamani mengatakan, perubahan jarak matahari dengan gerakan semunya itu tidak signifikan secara langsung mengubah suhu bumi.

Ketika berada pada jarak terdekat, bumi memang menerima lebih banyak cahaya matahari dan sebaliknya, namun jumlahnya hanya sekitar 7 persen. “Justru saat di aphelion (posisi terjauh matahari), temperatur rata-rata di bumi lebih hangat sekitar 2,3 derajat,” kata lulusan Astronomi ITB tersebut.

Avivah meyakini ada faktor cuaca lokal yang membuat suhu terasa lebih dingin dari biasanya atau sebaliknya. Contoh menarik dari fenomena itu, kata dia, musim panas di belahan bumi utara pada  Juli itu rata-rata lebih panas dari musim panas di selatan saat perihelion atau matahari dalam jarak terdekat dengan bumi yang sekitar 147 juta kilometer. Jarak terjauh matahari dengan bumi 152 juta kilometer.

ANWAR SISWADI

“Berlaku di wilayah lintang menengah atau subtropis yang memiliki empat musim,” ujarnya, pada Sabtu 17 Juni 2017.

Sebaliknya di belahan bumi selatan yang secara bersamaan waktunya, mengalami puncak musim dingin. Gerak semu matahari itu menyebabkan ada wilayah yang memilik empat musim.

Meskipun demikian, kata Erma, suhu harian di belahan bumi utara dan selatan tidak hanya dipengaruhi oleh posisi gerak semu matahari tersebut.

“Karena cuaca sangat dinamis dan faktor-faktor lain juga mempengaruhinya seperti distribusi tekanan, sirkulasi angin, tingkat kelembapan,” katanya. Di wilayah katulistiwa seperti Indonesia, suhu permukaannya tidak dipengaruhi oleh posisi matahari di garis lintang 23,5 derajat di utara maupun selatan. Indonesia di zona tropis yang hanya punya musim hujan dan kemarau, variasi suhunya sangat kecil karena matahari bersinar sepanjang tahun. Ketika Juni ini udara terasa dingin, penyebabnya bukan karena gerak semu matahari tersebut. “Itu karena faktor kemarau, awan berkurang banyak, dan faktor angin monsun tenggara dari Australia yang bersifat kering dan dingin,” ujarnya. Pola angin monsun itu juga ada yang menganggapnya terkait atau mengikuti pola gerak semu matahari. “Tidak, karena angin monsun lebih ditentukan oleh perbedaan tekanan yang kontras antara benua Australia dan benua Asia,” kata dia. Selain itu, tidak semua tempat di dunia ini dipengaruhi oleh monsun.

Astronom dari komunitas Langit Selatan di Bandung, Avivah Yamani mengatakan, perubahan jarak matahari dengan gerakan semunya itu tidak signifikan secara langsung mengubah suhu bumi.

Ketika berada pada jarak terdekat, bumi memang menerima lebih banyak cahaya matahari dan sebaliknya, namun jumlahnya hanya sekitar 7 persen. “Justru saat di aphelion (posisi terjauh matahari), temperatur rata-rata di bumi lebih hangat sekitar 2,3 derajat,” kata lulusan Astronomi ITB tersebut. Avivah meyakini ada faktor cuaca lokal yang membuat suhu terasa lebih dingin dari biasanya atau sebaliknya. Contoh menarik dari fenomena itu, kata dia, musim panas di belahan bumi utara pada Juli itu rata-rata lebih panas dari musim panas di selatan saat perihelion atau matahari dalam jarak terdekat dengan bumi yang sekitar 147 juta kilometer. Jarak terjauh matahari dengan bumi 152 juta kilometer.


KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia sudah mengalami fenomena hari tanpa bayangan sejak Minggu (8/9). Peristiwa ini akan berlangsung hingga Oktober mendatang. Nah, hari tanpa bayangan atau kulminasi atau transit atau istiwa' merupakan fenomena ketika Matahari tepat berada di posisi paling tinggi di langit. Saat deklinasi Matahari sama dengan lintang pengamat, fenomenanya disebut sebagai Kulminasi Utama. Pada saat itu, Matahari akan tepat berada di atas kepala pengamat atau di titik zenit. Akibatnya, bayangan benda tegak akan terlihat "menghilang", karena bertumpuk dengan benda itu sendiri. Baca Juga: Hampir seluruh wilayah DKI Jakarta cerah berawan sepanjang Senin (9/9) Penyebab hari tanpa bayangan Dilansir situs resmi BMKG, hari tanpa bayangan muncul karena bidang ekuator bumi atau bidang rotasi bumi tidak tepat berimpit dengan bidang ekliptika atau bidang revolusi bumi. Sehingga posisi Matahari dari Bumi akan terlihat berubah terus sepanjang tahun antara 23,5 LU sampai 23,5 LS, hal ini disebut sebagai gerak semu harian Matahari. "Di tahun ini, Matahari tepat berada di khatulistiwa pada 21Maret 2019 pukul 05.00 WIB dan 23 September 2019 pukul 14.51 WIB," tulis BMKG. Sementara pada 21 Juni 2019 pukul 22.55 WIB, Matahari berada di titik balik Utara (23,5 LU) dan pada 22 Desember 2018 pukul 11.21 WIB, Matahari berada di titik balik Selatan (23,5 LS). Baca Juga: Mulai besok, ini daftar kota di Indonesia yang mengalami hari tanpa bayangan Waktu terjadinya hari tanpa bayangan di daerah Anda Mengingat posisi Indonesia berada di sekitar ekuator, kulminasi utama alias hari tanpa bayangan di wilayah Indonesia akan terjadi dua kali dalam setahun dan waktunya tidak jauh dari saat Matahari berada di khatulistiwa. Sebagai contoh untuk kota Pontianak yang tepat terbelah oleh garis khatulistiwa, kulminasi utamanya terjadi pada 21 Maret 2019 pukul 11:50 WIB dan pada 23 September 2019 pukul 11.35 WIB. Adapun untuk kota Jakarta, fenomena ini sudah terjadi pada 5 Maret 2019 lalu, yang kulminasi utamanya terjadi pada pukul 12.04 WIB, dan akan terjadi kembali pada 9 Oktober 2019, yang kulminasi utamanya terjadi pada pukul 11.40 WIB. Baca Juga: Bingung menghitung dana kuliah anak di masa depan, begini ini caranya Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

Bagaimana kondisi bumi pada saat matahari berada di 23,5 derajat lintang selatan


Identifikasikan kondisi bumi ketika matahari berada di 23,5° lintang utara!

Jawab:

Fenomena yang terjadi ketika matahari berada di 23,5° lintang utara yaitu sebagai berikut.

  a. Kutub utara mendekati matahari, sedangkan kutub selatan menjauhi matahari.

  b. Belahan bumi utara menerima sinar matahari lebih banyak daripada belahan bumi selatan.

  c. Panjang siang di belahan bumi utara lebih lama daripada di belahan bumi selatan.

  d. Beberapa daerah di sekitar kutub utara mengalami siang 24 jam dan beberapa daerah di sekitar kutub selatan mengalami malam 24 jam.

  e. Diamati dari khatulistiwa, matahari tampak bergeser ke utara.

----------------#----------------

Jangan lupa komentar & sarannya

Email:

Kunjungi terus: masdayat.net OK! 😁

Newer Posts Older Posts