Bagaimana kedudukan P3B tax treaty terhadap UU Perpajakan Indonesia?

Dalam perpajakan internasional sering terjadi suatu permasalahan yang memungkinkan menjadi rumit dan complicated karena mencakup hak pemajakan (taxing right) suatu negara. Karena masing-masing negara sangat berkepentingan terhadap kebijakan perpajakan internasional sehingga dibuatlah suatu perjanjian perpajakan dengan motivasi menguntungkan semua pihak.

Perjanjian perpajakan (Tax Treaty) atau lebih dikenal dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah suatu istilah yang dikenal dalam UU Pajak Penghasilan (PPh). Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak suatu implementasi dari pasal 32A UU PPh yang mengatakan pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.

Adapun tujuan P3B adalah memfasilitasi perdagangan internasional dan arus investasi antar negara, antara lain dengan cara :

  1. Menghindarkan pengenaan pajak berganda,
  2. Memberikan pengurangan tarif pajak di negara sumber atas penghasilan tertentu, Pembagian Hak Pemajakan.

Selain itu P3B dapat digunakan untuk lebih dapat menerapkan aturan-aturan domestiknya, tentang: anti tax avoidance (Pengelakan Pajak) , EoI (Exchange Of Information) MAP.

Kedudukan P3B terhadap UU Pajak Domestik diperlakukan sebagai lex specialis terhadap undang-undang domestik yang bersifat lex generalis.

Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure)

Berdasarkan Pasal 32A UU PPh diatur bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak. Salah satu poin pada perjanjian Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara pemerintah Indonesia dengan  pemerintah negara mitra diatur mengenai Prosedur Persetujuan Bersama atau lazim disebut Mutual Agreement Procedure (MAP).

Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) yang selanjutnya disebut MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2011 tentang tata cara pelasanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

Pelaksanaan MAP

Mutual Agreement Procedure (MAP) dilaksanakan apabila terdapat hal-hal sebagai berikut :

  1. Permintaan yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
  2. Permintaan yang diajukan oleh Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B sehubungan dengan ketentuan non diskrimasi (non-discrimination) dalam P3B yang berlaku;
  3. Permintaan yang diajukan oleh Negara Mitra P3B; atau
  4. Hal yang dianggap perlu oleh dan atas inisiatif Direktur Jenderal Pajak.

Referensi :

  1. Gunadi, M.Sc.,Ak.,Ph.D. (2014). Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan. 02. Bee Media Indonesia. Jakarta. ISBN: 9789793122120
  2. Nomor 36 Tahun 2008. Tentang. Perubahan Keempat Atas Undang-Undang. Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan

Image Sources: Google Image

Berdasarkan laman resmi Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty adalah pengenaan pajak lebih dari satu kali oleh dua negara atau lebih atas suatu penghasilan yang sama. P3B ditujukan untuk menentukan alokasi hak pemajakan dari suatu transaksi yang terjadi antara negara sumber (negara tempat sumber penghasilan berasal) dan negara domisili (negara tempat wajib pajak tinggal atau menetap) [1].

Tax treaty merupakan bagian dari Hukum Internasional. Tax treaty hadir dari kebutuhan untuk menciptakan perdagangan dan investasi lintas batas dan menumpas pengelakan pajak yang dapat merugikan negara dengan melakukan pertukaran informasi. Tax treaty dilakukan untuk menghindari adanya perpajakan berganda yang akan membebani dunia usaha, menjamin kedudukan antar negara adalah setara, mengkoordinasikan hak pajak berdasarkan pada prinsip pajak internasional, menyederhanakan mekanisme sengketa pajak, dan menghindari perlakuan pajak yang diskriminatif [1].

Pajak Berganda terjadi saat pajak dikenakan oleh dua atau lebih negara pada objek pajak yang sama, subjek pajak yang sama dan periode yang identik yang mengakibatkan pajak yang dibebankan kepada wajib pajak lebih besar dari tarif pajak domisili yang seharusnya ditanggung. Dengan kata lain, penghindaran pajak berganda terjadi ketika beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak atas penghasilan yang diterima sama persis dengan tarif pajak negara domisili atau secara total beban pajak yang ditanggungkan sama seperti tarif negara domisili.

Contoh:

ABCD Ltd. adalah Perusahaan yang ada di Singapura yang menerima pembayaran dividen dari kepemilikan sahamnya pada salah satu Perusahaan go public di Indonesia. Tarif pajak atas dividen yang berlaku pada Undang-Undang PPh Indonesia adalah sebesar 20% dan besarnya tarif Pajak Perusahaan Singapura adalah 17%. Diasumsikan Indonesia dan Singapura memiliki tax treaty yang menyatakan bahwa pajak atas dividen paling banyak dikenakan tarif sebesar 10% di negara sumber. Maka terdapat beberapa skema yang dapat terjadi:

Apabila Indonesia dan Singapura tidak memiliki tax treaty, maka atas transaksi tersebut dikenakan tarif pajak sebesar 20% di Indonesia. Tarif tersebut lebih besar 3% dari tarif pajak domisili ABCD Ltd. di Singapura yang seharusnya ditanggung oleh ABCD Ltd. Hal inilah yang disebut dengan pajak berganda.


Apabila Indonesia dan Singapura memiliki tax treaty dan perjanjian tersebut dapat berlaku secara efektif, atas transaksi tersebut dikenakan tarif pajak sebesar 10% di Indonesia. ABCD Ltd. kemudian dapat menyerahkan bukti potong pajak atas dividen saat kembali ke Singapura dan selanjutnya hanya akan dikenakan pajak sebesar sisa dari selisih tarif pajak domisili yang seharusnya ditanggung dengan tarif pajak yang disepakati dalam P3B yaitu sebesar 7% di Singapura (17%-10%). Hal inilah yang disebut dengan penghindaran pajak berganda.

Seperti banyak hukum publik internasional lainnya, Lotus Principle digunakan sebagai dasar hukum tax treaty. Prinsip Lotus atau Pendekatan Lotus menyatakan “sovereign states may act in any way they wish so long as they do not contravene an explicit prohibition” bahwa setiap negara yang berdaulat berwenang untuk melakukan apa saja selama hal itu tidak menentang larangan yang eksplisit. Dalam kaitannya dengan aturan perpajakan, tax treaty memiliki prinsip bahwa sejatinya setiap negara berwenang untuk menerapkan pemajakan apapun di negaranya berdasarkan kewenangannya sepanjang tidak menentang larangan yang ada. Tax treaty disepakati antar dua negara yurisdiksi. Sampai saat ini, terdapat 67 tax treaty yang berlaku antara negara Indonesia dan negara yurisdiksi lainnya yang tercantum dalam laman resmi DJP (dapat Anda simak dalam link berikut).

Beberapa aspek basis dalam Tax Treaty menurut Brian J. Arnold adalah sebagai berikut [2]

  1. Tax treaty adalah perjanjian antara negara yang berdaulat (sovereign nations),
  2. Kewajiban yang muncul dari tax treaty hanya muncul untuk dua negara yang ada dalam perjanjian. Tidak untuk pihak ketiga seperti WP,
  3. Tax treaty mengikat untuk dua negara perjanjian dan harus dilaksanakan secara good faith,
  4. Biasanya bersifat bilateral (antara dua negara), tapi ada juga yang lebih dari dua negara (perjanjian multilateral),
  5. Tax treaty bersifat resiprokal (timbal balik),
  6. Tax treaty merepresentasikan aspek penting perpajakan internasional dari banyak negara,
  7. Mayoritas negara disusun berdasarkan bagian besar dari UN model dan OECD model.

Aturan mengenai tax treaty terdapat pada Pasal 32A Undang-Undang Pajak Penghasilan yang menyatakan bahwa “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak”. Dengan demikian, pengaplikasian tax treaty bersifat lex specialis dan akan mengesampingkan aturan hukum umum, yaitu Undang-Undang Perpajakan di Indonesia. Namun, aturan tax treaty tidak disusun untuk mengganti hukum pajak Indonesia. Tax treaty hanya merestriksi pemajakan domestik suatu negara, dalam hal ini adalah Undang-Undang Pajak yang berlaku di Indonesia.

Mayoritas tax treaty yang ada di dunia disusun berdasarkan OECD Model dan UN Model dan disertai dengan commentary sebagai alat interpretasi dan referensi. Namun, terdapat beberapa perbedaan pandangan terhadap keberadaan commentary dalam penerapan tax treaty. Meskipun disusun oleh sebuah tim experts OECD, Commentary OECD Model tidak didesain untuk mengikat secara hukum (legally binding). Hal ini juga berlaku pada Commentary UN Model yang bahkan secara tegas menyatakan larangan penggunaannya sebagai rekomendasi formal dan hanya boleh dijadikan sebagai rujukan saja. Seperti banyak negara lain, Commentary OECD Model dan UN Model bukan merupakan sesuatu yang mengikat secara hukum (legally binding instrument) di Indonesia tapi sangat relevan untuk dijadikan referensi.

Secara umum, objek perpajakan yang diatur dalam tax treaty adalah Pajak Penghasilan, sehingga hak pemajakan diatur berdasarkan pada residen yang memperoleh penghasilan atau “resident recipient”. Penghasilan yang tercakup dalam tax treaty meliputi semua penghasilan dari residen, tidak peduli negara sumber memajaki atau tidak dan apa dasar pajak yang digunakan. Tax treaty tidak mengatur perpajakan residen dan tidak mempengaruhi kewenangan negara residen untuk memajaki residen karena Negara residen bebas memajaki residennya. Lebih lanjut, tax treaty berbicara mengenai penentuan residen dan distribusi hak pemajakan pada negara dalam perjanjian.

Tax treaty juga memberikan interpretasi umum untuk kedua negara. Apabila ketentuan antar negara berbeda, maka kedua otoritas akan berdiskusi untuk menyepakati definisi atas sesuatu. Untuk memudahkan pemahaman tentang tax treaty, disarankan untuk membaca tax treaty dengan memperhatikan perjanjian terkait, seperti protokol dan Multilateral Interpretation (MLI).

Untuk mempermudah pemahaman interaksi Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan P3B (Tax Treaty), berikut flowchart interaksi Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan P3B.


Penjelasan flowchart:

  1. Lakukan identifikasi transaksi internasional yang terjadi. Transaksi internasional tersebut dapat berupa inbound income (penghasilan yang berasal dari luar negeri yang diterima oleh residen dalam negeri) maupun outbound income (penghasilan yang berasal dari dalam negeri yang diterima oleh residen luar negeri).
  2. Tentukan perlakuan pajak penghasilan berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan atas transaksi internasional yang terjadi. Apabila tidak ada PPh terutang atas transaksi tersebut maka berakhirlah flowchart interaksi Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan P3B.
  3. Apabila terdapat PPh terutang atas transaksi tersebut, lihat apakah P3B antar negara yang terlibat dalam transaksi internasional dapat diterapkan. Apabila P3B antar negara yang terlibat dalam transaksi internasional tidak dapat diterapkan, maka pemajakan transaksi internasional didasarkan pada Undang-Undang Pajak Penghasilan.
  4. Apabila P3B antar negara yang terlibat dalam transaksi internasional dapat diterapkan, maka sandingkan kedua aturan dan periksa apakah terdapat konflik antara aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dan P3B. Apabila tidak terdapat konflik antara dua aturan tersebut, maka pemajakan transaksi internasional didasarkan pada Undang-Undang Pajak Penghasilan.
  5. Apabila terdapat konflik antara Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan P3B, maka pemajakan atas transaksi internasional (khusus untuk isu yang berkonflik saja) didasarkan pada P3B, sedangkan untuk hal lain yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan akan tetap menggunakan aturan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Secara umum berikut adalah Langkah Penerapan Tax Treaty

1. Aplikasi Hukum Domestik.

Negara dalam perjanjian terlebih dahulu merefleksikan sebuah transaksi penghasilan pada hukum pajak domestik yang berlaku di negara tersebut. Apabila berdasarkan ketentuan perpajakan domestik terdapat hak pemajakan (ada PPh berdasarkan aturan pajak Indonesia)


2. Hak Pemanfaatan Tax Treaty

Negara dalam perjanjian akan menilai apakah tax treaty dapat diaplikasikan untuk selanjutnya melakukan penyandingan hukum PPh dan tax treaty. Apabila terdapat perbedaan dalam aturan PPh dengan P3B, maka aturan P3B lah yang digunakan (sepanjang tidak bertentangan dengan hukum pajak domestic, sifat tax treaty hanya merestriksi). Tax treaty kemudian mengidentifikasi keterangan residen penerima penghasilan.


3. Distributive Rule

Negara dalam perjanjian harus mengklasifikasikan penghasilan ke dalam aplikasi pasal distributive rule dengan memeriksa scope of distributive rule.


4. Relief

Negara dalam perjanjian akan memeriksa apakah relief dapat diaplikasikan (dalam hubungannya jika negara dalam perjanjian lainnya memberi pajak.


5. Kesimpulan

Terakhir, negara dalam perjanjian menarik kesimpulan mengenai ada atau tidaknya restriksi aplikasi hukum domestik oleh tax treaty.

Referensi:
[1] Kementerian Keuangan. 2020. Penjelasan Singkat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Atau Tax Treaty.
[2] Brian J. Arnold. An Introduction to Tax Treaties.
[3] Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
[4] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA