Apakah monogami diperbolehkan dalam Islam?

Marzuki Marzuki



Poligami adalah perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri dalam waktu yang bersamaan. Lawan dari poligami adalah monogami. Dalam perspektif hukum Islam, poligami dibatasi sampai maksimal empat orang isteri. Ada dua ayat pokok yang dapat dijadikan acuan dilakukannya poligami, yakni QS. al-Nisa’ (4): 3 dan QS. al-Nisa’ (4): 129. Poligami sudah berjalan seiring perjalanan sejarah umat manusia, sehingga poligami bukanlah suatu trend baru yang muncul tiba-tiba saja. Para ulama berbeda pendapat mengenai ketentuan dan hukum poligami. Di antara mereka ada yang menyetujui poligami dengan persyaratan yang agak longgar dan ada yang mempersyaratkannya dengan ketat. Di antara mereka juga ada yang melarang poligami, kecuali karena terpaksa (sebagai rukhshah) dalam kondisi-kondisi tertentu. Yang pasti hukum Islam tidak melarang poligami secara mutlak (haram) dan juga tidak menganjurkan secara mutlak (wajib). Hukum Islam mengatur masalah poligami bagi orang-orang yang memang memenuhi syarat untuk melakukannya. Pelaksanaan poligami, menurut hukum Islam, harus didasari oleh terpenuhinya keadilan dan kemaslahatan di antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Namun, kenyataannya banyak praktik poligami yang tidak mengindahkan ketentuan hukum Islam tersebut, sehingga masih jauh dari yang diharapkan.


DOI: //doi.org/10.21831/civics.v2i2.4376

  • There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2006 Marzuki


This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.

   
    
    

Supported by:

Jurnal Civics Media Kajian Kewarganegaraan is published Univesitas Negeri Yogyakarta in collaboration with Indonesia Association Profession of Pancasila and Civic Education/Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (AP3KnI).

Jurnal Civics is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.

 

j.civics stat

Oleh: Affandi

Pernikahan seorang laki-laki dengan lebih dari satu perempuan (poligami) telah terjadi ribuan tahun sebelum risalah Islam bersama Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam datang.

Meski Al-Quran menyinggung tentang pernikahan poligami, sejatinya Islam adalah agama yang menekankan pada pernikahan dengan satu pasangan (monogami). Poligami boleh dilakukan dengan konteks sosial dan persyaratan ketat, bukan sekadar nafsu biologis semata.

“Islam tidak memperkenalkan poligami, tapi al-Quran justru mengatur poligami. Jadi al-Quran tidak mengintroduksi lembaga poligami karena lembaga poligami sudah ada ribuan tahun sebelum Islam. Sehingga ketika islam datang adalah mengatur,” jelas Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Hamim Ilyas, Jumat (29/1).

Al-Quran yang dimaksud oleh Hamim adalah ayat ketiga di dalam Surat An-Nisa yang mengatur jumlah bagi seorang muslim untuk memiliki istri. Dalam ayat tersebut tertulis syarat poligami berkaitan dengan keadilan untuk para istri dan anak yatim.

Hamim Ilyas menjelaskan bahwa asbabun nuzul atau latar belakang turunnya ayat itu adalah munculnya problem sosial setelah 70 sahabat Nabi wafat sebagai syuhada di Perang Uhud.

Meninggal para sahabat menyebabkan para istri dan anak-anak yang ditinggalkan tidak jelas menjadi tanggungjawab siapa karena belum ada hukum Allah yang mengatur. Sementara itu pada masa Jahiliyah tanggungjawab lazimnya dilimpahkan pada suku dari pihak yang gugur.

Hamim menjelaskan bahwa satu pahlawan yang gugur minimal memiliki satu istri dan tiga orang anak, maka aka nada 70 janda baru dengan 210 anak yatim. Nyatanya, para pahlawan tidak hanya memiliki satu istri dan tiga orang anak sehingga problem sosial lebih besar dari itu.

“Maka jalan keluarnya adalah Islam oke, karena makan tidak bisa ditunda dan kalau kamu mengasuh anak yatim saja, kok kurang elok, maka kamu mengasuh anak yatim sekligus menikahi ibunya sehingga poligami ini menjadi pintu darurat sosial. Karena ada kedaruratan sosial maka jalan keluarnya adalah poligami, dan itu adalah jalan keluar yang kreatif, memecahkan masalah sesuai yang ada ketika itu,” jelas Hamim.

Syarat Berat Poligami

Selain sebagai jawaban pada masalah di atas, ayat ketiga Surat An-Nisa itu lebih lanjut menurut Hamim mensyaratkan pemberlakuan hukum Islam yang cenderung mengarah pada monogami.

“Empat pun itu ada syarat. Apabila kamu tidak bisa berlaku adil pada empat istrimu maka satu saja. ini pengaturan Islam yang luar biasa. Semula poligami tidak ada batasnya, kemudian dibatasi empat, dan empatpun dibatasi dengan syarat adil. Kalau tidak adil tidak boleh sehingga dalam ayat ini syarat itu dibuka, poligami itu boleh bagi yang adil,” jelas Hamim.

“Cuma pembicaraannya, selanjutnya An Nisa ayat 129 itu dijelaskan, kamu tidak akan mampu untuk berlaku adil di antara istri-istri kamu. Di ayat 3 poligami boleh dengan syarat adil, tapi di sini Allah menegaskan kamu tidak akan mampu berlaku adil,” tambah Hamim.

“Kamu boleh poligami dengan syarat adil, tapi kamu itu tidak bisa bakalan adil. Itu artinya apa, dibuka tapi ditutup. Artinya monogami, bukan poligami,” tegas pengajar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut.

Hamim melanjutkan terusan ayat dalam Surat An-Nisa ayat 129 yang menyebutkan bahwa ketidakadilan akibat poligami menjadikan istri lain yang terzalimi tidak memiliki status yang jelas (tergantung) sehingga Hamim mengandaikannya seperti layangan putus.

Melanjutkan penafsiran ayat, Hamim lebih jauh menuturkan bahwa jika seseorang mampu berlaku imbang, tidak membuat salah satu istri merasa digantung, semua istri mendapatkan nafkah lahir batin yang setara, semua kehidupan anak-anaknya terjamin, Allah menutup ayat tersebut dengan ungkapan Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.

“Itu berarti opo? Berarti potensi untuk mendapatkan dosa pada keluarga poligami itu besar. Dosanya karena tidak islah dan tidak takwa,” terangnya.

Hamim kemudian mengutip sebuah hadis Nabi riwayat Abu Daud, An Nasa’I yang menuturkan bahwa barangsiapa memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.

“Sehingga di sini di tuntunan keluarga sakinah ini, dalam keadaan tertentu boleh poligami, tapi yang baik yang tidak poligami. Mengapa yang baik tidak poligami karena poligami adalah perkawinan minimalis, bukan perkaiwnan yang utama dan kita pengikut agama Islam itu dianjurkan memilih yang utama. Jadi pengikut nabi Muhammad itu yabtaghuna fadlan minallah wa ridhwana, mencari yang utama dari Allah dan diridhai-Nya,” tutup Hamim. (afn)

Editor: Fauzan AS

Tradisi Arab sebelum Islam adalah pernikahan dengan banyak istri tanpa batas. Perlakukan suami dan keluarga terhadap para istri cenderung kurang manusiawi, banyak perlakukan kekerasan terhadap para istri, baik kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, maupun sosial. Islam hadir dengan membatasi poligami bagi yang mampu berbuat adil dan hasanah terhadap para istri.

Meskipun demikian Al-Qur’an memberi isyarat bahwa manusia tidak mampu berbuat adil, karena adil bukan sematamata masalah materi yang bersifat konkrit, tetapi mencakup juga keadilan yang bersifat abstrak.

Dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis, pada dasarnya dapat dipahami bahwa pernikahan dalam Islam prinsipnya monogami. Bila dihadapkan pada permasalahan dan kondisi tertentu dimungkinkan poligami, tentu dengan pertimbangan mampu berlaku adil, mendapat izin dari istri dan mempertimbangkan pendapat anak-anak.

Kemampuan berlaku adil dan hasanah ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama. Apabila ada kekhawatiran tidak mampu berbuat adil ketika poligami, maka monogami lebih baik, karena pada dasarnya bersikap adil dan menjauhi kemadaratan bagi keluarga adalah lebih utama untuk menjaga ketakwaan. Dalam hal ini dipahami bahwa paling tidak ada empat ayat yang dijadikan dasar prinsip dimaksud yaitu,

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka. Jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakantindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berbuat adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya [Q.S. an-Nisa’ (4): 2-3].

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata [Q.S. an-Nisa’ (4): 20].

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Q.S. an-Nisa’ (4): 129].

Al-Qur’an membicarakan poligami di antaranya ada dalam surat an-Nisa’(4): 2, 3 dan 129. Ayat 2 dan 3 berbicara tentang kondisi yang melatarbelakangi pengaturan poligami, syarat adil dan batas maksimal poligami dengan empat istri. Dan ayat 129 tentang ketidakmungkinan seorang suami berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam poligami.

Surah an-Nisa’(4): 3 menghubungkan pengaturan poligami dengan ketidakadilan terhadap anak yatim. Pemahaman terhadap persoalan ini bisa dilakukan dengan merekonstruksi sejarah ketika ayat itu diturunkan pada tahun ke-4 H. Pada waktu itu Islam baru saja mengalami kekalahan besar dalam Perang Uhud yang menelan korban 70 orang pria dewasa sebagai syuhada. Jumlah itu sangat besar untuk ukuran umat ketika itu yang jumlah kaum prianya hanya 700 orang.

Ketika itu sebagaimana masa-masa sebelum dan sesudahnya, pria menjadi tumpuan keluarga. Dengan gugurnya 10 % pria Muslim itu maka banyak perempuan menjadi janda dan banyak anak menjadi yatim dalam keluarga-keluarga yang kehilangan penopang ekonominya. Dengan kata lain, di Madinah pusat pemerintahan Islam yang baru tumbuh ketika itu terjadi booming janda dan anak yatim yang potensial menjadi terlantar.

Pada masa ketika struktur sosial masyarakat Arab masih bersifat kesukuan, hal itu tidak menjadi persoalan karena kepala suku yang memiliki kewajiban memberikan jaminan sosial kepada warganya akan memberi santunan kepada mereka. Namun keadaannya kemudian berubah seiring dengan berkembangnya Hijaz menjadi rute perdagangan dari Yaman ke Syiria, yang mendorong masyarakat Arab perkotaan berubah menjadi masyarakat perdagangan dengan segala konsekuensinya, seperti individualisme, eksploitasi terhadap yang lemah dan persaingan.

Islam tidak memutar jarum jam sejarah mereka kembali ke masa purba, tapi memperbaiki keadaan yang ada dengan menekankan persamaan, persaudaraan dan keadilan. Karena itu ketika terjadi krisis sosial akibat banyaknya orang yang gugur di medan perang itu, Nabi tidak berperan sebagai kepala suku yang menyantuni janda dan anak-anak yatim yang mereka tinggalkan, tapi sebagai kepala negara yang harus menjamin kesejahteraan warganya. Karena kas negara terbatas atau bahkan tidak ada, maka warganya yang memiliki kemampuan secara mental dan material dihimbau untuk menanggulangi krisis itu dengan melakukan poligami sebagai katup pengaman sosial.

Dari paparan sekilas ini bisa diketahui bahwa poligami dalam Islam sebenarnya menjadi aturan yang berlaku ketika terjadi darurat sosial, tidak dalam situasi normal dan “darurat” individual. Dan yang perlu dicatat adalah bahwa meskipun menjadi aturan darurat, poligami ketika itu tetap diberi persyaratan ketat, seperti yang disinggung di atas. Oleh karena itu pengaturan dan pelaksanaan poligami di kalangan umat seharusnya mengacu pada idealisme Al-Qur’an itu.

Selain ayat-ayat Al-Qur’an, beberapa hadis Nabi SAW juga mengisyaratkan adanya prinsip monogami. Hadis-hadis dimaksud antara lain,

Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Ghailan bin Salamah masuk Islam beserta 10 orang istrinya yang ia nikahi pada masa jahiliyyah. Lalu Nabi SAW memerintahkan kepadanya untuk memilih 4 orang dari mereka [H.R. ad-Daruqutni].

Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa yang memiliki dua istri dan ia lebih condong kepada salah satunya maka pada hari kiamat ia muncul dengan bahu miring sebelah [H.R. Ibnu Majah].

Hadis-hadis di atas menjelaskan bahwa saat itu poligami dipraktikkan oleh masyarakat Arab sebelum datangnya Islam dengan bilangan istri yang tidak terbatas. Karena itu, dengan hadis di atas dapat dipahami bahwa Islam tidak menganjurkan poligami, tetapi membatasi poligami yang tidak terbatas. Islam memberikan batas maksimal poligami hanya dengan empat (4) istri.

Hadis Ibnu Majah dari Abu Hurairah bukan anjuran tetapi peringatan terhadap laki-laki yang melakukan poligami harus mampu berbuat adil. Rasul SAW menyampaikan sindiran pada suami yang tidak mampu berbuat adil dengan mengatakan bahwa kelak di akhirat bahunya nampak miring.

Walaupun poligami diizinkan, tapi realitasnya ternyata menyisakan penderitaan bagi istri, orang tua dan anak. Hal ini terungkap dalam hadis Nabi SAW riwayat Imam al-Bukhar³, Muslim, at-Turmudzi dan Ibnu Majah dari Miswar bin Makhramah yang mengangkat peristiwa yang dialami keluarga putri Nabi SAW (Fatimah) ketika Ali akan melakukan poligami.

Miswar bin Makhramah berceritera bahwa ia mendengar Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar seraya berkata, “Sesungguhnya keluarga Hisyam bin al-Mughirah meminta izinku untuk menikahkan putrinya dengan Ali bin Abi Thalib. Aku tidak izinkan. Aku tidak izinkan. Aku tidak izinkan. Kecuali jika Ali bin Abi Thalib lebih memilih menceraikan putriku dan menikah dengan putrinya (Keluarga Hisyam). Sesungguhnya putriku adalah darah dagingku, menyusahkannya berarti menyusahkanku dan menyakitinya berarti menyakitiku” [H.R. al-Bukhari, Muslim, at-Turmudzi dan Ibnu Majah].

Hadits dimaksud mempertegas prinsip monogami dalam pernikahan. Nabi SAW melarang Ali bin Abi Thalib, menantu sekaligus sahabat terdekatnya untuk melakukan poligami, bahkan beliau meminta Ali memilih menceraikan Fatimah putri Nabi jika tetap menikahi gadis tersebut. Alasan yang diajukan Rasulullah adalah beliau tidak rela andaikan poligami itu akan menyusahkan dan menyakiti putri tercintanya Fatimah, yang berarti menyakiti perasaan Rasulullah SAW sebagai ayahnya.

Jika kedua kelompok hadis di atas digabungkan, dapat dipahami bahwa hadis-hadis tentang poligami tidak menyebutkan bahwa poligami itu perbuatan sunah atau yang dianjurkan. Poligami dalam Islam merupakan ketentuan pembatasan yang pernah terjadi sebelumnya (yang tidak terbatas). Poligami dilakukan dengan memenuhi ketentuan adil. Dalam pelaksanaannya ketetapan terwujudnya keadilan diputuskan oleh Pengadilan Agama.

Allah SWT juga menyatakan bahwa manusia tidak mampu berlaku adil. Namun demikian poligami dapat dicegah oleh semua pihak, baik keluarga istri maupun suami, manakala diduga kuat pernikahan itu dapat menyusahkan istri pertama dan keluarganya.

Untuk mewujudkan keluarga sakinah, poligami tidak menjadi pertimbangan utama ketika menghadapi permasalahan antara suami-istri. Semua anggota keluarga hendaklah berusaha menjauhkan peluang yang dapat mengantarkan adanya kemungkinan poligami dan mewujudkan prinsip monogami dalam perkawinannya.

Tulisan ini disarikan dari buku Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah terbitan Suara Muhammadiyah

Tags: muhammadiyahpoligami

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA