Apakah IQ berpengaruh pada anak tunalaras?

1 BAB I KARAKTERISTIK BELAJAR ANAK TUNALARAS Karakteristik berarti ciri-ciri yang menonjol dijumpai pada sekelompok benda, atau manusia. Karakteristik belajar anak tunalaras berarti ciri-ciri belajar yang menonjol yang dimiliki oleh anak tunalaras. Dengan kata lain adalah bagaimana ciri-ciri yang ditampilkan pada anak tunalaras dalam belajarnya. Sebagaimana kelompok khusus anak luar biasa, anak tunalaras memiliki karakteristik tersendiri dalam belajarnya, yang relatif berbeda dengan kelompok anak luar biasa yang lain ataupun anak normal. Perbedaan karakteristik tersebut muncul sebagai akibat dari ketunalarasan yang disandangnya. Diketahui bahwa ketidakmatangan sosial dan atau emosionalnya selalu berdampak pada keseluruhan prilaku dan pribadinya, termasuk dalam perilaku belajarnya. Secara umum dikatakan bahwa proses belajar akan berlangsung secara optimal, bila salah satu diantaranya ada kesiapan psikologis dari peserta didik. Anak tunalaras karena ketidakmatangan dalam aspek sosial dan atau emosional jelas akan menghambat kesiapan psikologisnya, sehingga optimalisasi proses belajarnya juga akan terhambat. Sebagai gambaran tentang bagaimana karateristik belajar anak tunalaras (emotional disturbed) berikut ini disarikan beberapa hal yang diungkapkan oleh Cruickshank (1980) dalam bukunya Psychology of Exceptional Children and Youth.

2 Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagai siswa, maka karakteristik perilaku belajar anak tunalaras tidak jauh berbeda, bahkan sulit dibedakan dengan kelompok anak tunagrahita dan anak berkesulitan belajar, yang membedakan hanyalah bahwa pada anak tunalaras frekuensi lebih tinggi dan selalu tertuju pada perilaku-perilaku maladaptive. Hasil studi lain juga menunjukkan bahwa anak tunalaras pada umumnya memiliki IQ yang rendah, prestasi rendah,dan juga berasal dari kelas sosial yang rendah pula. Mereka juga banyak mengalami kesulitan dalam satu atau lebih bidang studi, seperti membaca dan matematika, serta perilakunya tidak memenuhi harapan sesuai dengan usia dan kemampuannya (Hallahan dan Kaufman, 1977 ; Chary, 1966 ; Kvaraceus, 1961 ; Scarpitti, 1964). Berkaitan dengan karakteristik belajar anak tunalaras menurut Cruickshank paling tidak terdapat tiga isu yang menarik, yaitu : Pertama, kecenderungan bahwa pada anak tunalaras terdapat kesenjangan antara kemampuan potensial mereka dengan kemampuan yang aktual, atau dengan istilah sederhana cenderung berprestasi dibawah potensinya. Salah satu yang turut mewarnai kesenjangan prestasi tersebut adalah sifat-sifat pribadi dan perilaku anak tunalaras itu sendiri. Hasil studi dari Taylor (1964) menunjukkan bahwa paling tidak terdapat tujuh faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap prestasi anak, yaitu : (1) Kemampuan anak untuk mengatasi kecemasan, (2) Perasaan harga diri, (3) Konformitas terhadap tuntutan otoritas, (4) Penerimaan kelompok sebaya, (5) Kurangnya konflik dan sifat ketergantungan,

Upload your study docs or become a

Course Hero member to access this document

Upload your study docs or become a

Course Hero member to access this document

End of preview. Want to read all 73 pages?

Upload your study docs or become a

Course Hero member to access this document

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada saat ini banyak anak-anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku diisolasi dari teman-temannya yang lain bukan karena mereka dikucilkan dari teman-temannya tapi karena mereka mulai berkelahi dengan kemarahan dan agresi. Mereka kasar, merusak, tidak terprediksi, tidak bertanggung jawab, mudah marah, membangkang, dll. Anak-anak tersebut digolongkan dalam anak-anak tunalaras.

Semakin meningkatnya jumlah anak-anak tuna laras membuat para ahli semakin menggali tentang hal tersebut. Anak-anak dan remaja yang mengalami gangguan emosi dan perilaku adalah tipe individu yang sulit dalam berteman. Masalah terbesar bagi mereka adalah untuk membangun keakraban dengan orang lain dan mengikatkan emosi dengan orang lain yang dapat membantu mereka. Bahkan jika mereka berteman, maka mereka akan berteman dengan kelompok teman yang salah.

Lalu dari mana masalah muncul? Apakah dimulai dari perilaku anak-anak tuna laras yang membuat orang-orang di sekitarnya marah, frustasi, dan terganggu? Atau dimulai dari lingkungan soasial yang tidak sesuai serta tidak nyaman yang menyebabkan anak-anak tersebut menyerang orang lain? Pemikiran terbaik saat ini adalah bahwa masalah tidak hanya terdapat pada diri anak-anak ataupun dari lingkungan sekitarnya. Masalah tersebut muncul karena interaksi social antara anak-anak dan lingkungan social tidak sesuai.

Oleh karena itu pada kesempatan kali ini pemakalah akan membahas tentang anak-anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku atau yang biasa kita sebut sebagai tuna laras.

Rumusan Masalah

  1. Apa pengertian dari anak tunalaras?
  2. Apa faktor penyebab anak tunalaras?
  3. Bagaimana klasifikasi anak tunalaras?
  4. Bagaimana karakteristik anak tunalaras?
  5. Bagaimana kebutuhan pendidikan anak tunalaras?
  6. Bagaimana jenis-jenis layanan bagi anak tunalaras?

Tujuan

  1. Untuk mengetahui pengertian dari anak tunalaras.
  2. Untuk mengetahui faktor penyebab anak tunalaras.
  3. Untuk mengetahui klasifikasi anak tunalaras.
  4. Untuk mengetahui karakteristik anak tunalaras.
  5. Untuk mengetahui kebutuhan pendidikan anak tunalaras.
  6. Untuk mengetahui jenis-jenis layanan bagi anak tunalaras.

Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan penulis dalam penyusunan makalah ini menggunakan studi kepustakaan yang bersumber dari berbagai media buku maupun media cetak/elektronik yang sesuai dengan materi yang akan dibahas.

BAB II

PEMBAHASAN

 Pengertian Anak Tunalaras

Istilah tunalaras berasal dari kata “tuna” yang berarti kurang dan “laras” berarti sesuai. Jadi, anak tunalaras berarti anak yang bertingkah laku yang kurang sesuai dengan lingkungan. Perilakunya sering bertentangan dengan norma-norma yang terdapat di dalam masyarakat tempat ia berada.

Dalam peraturan pemerintah No. 72 tahun 1991 disebutkan bahwa tunalaras adalah gangguan atau hambatan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sementara itu masyarakat lebih mengenalnya dengan istilah anak nakal. Seperti halnya istilah, definisi mengenai tunalaras juga beraneka ragam. Berbagai definisi yang diadaptasi oleh Lynch dan Lewis (1988) adalah sebagai berikut:

  1. Public Law 94-242 (Undang-undang tentang PLB di Amerika Serikat)

Mengemukakan pengertian tunalaras dengan istilah gangguan emosi, yaitu gaangguan emosi adalah kondisi yang menunjukkan salah satu atau lebih gejala-gejala berikut dalam kurun satu waktu tertentu dengan tigkat yang tinggi mempengaruhi prestasi belajar:

  1. Ketidakmampuan belajar dan tidak dapat diakitkan dengan faktor kecerdasan, penginderaan atau kesehatan
  2. Ketidakmampuan menjalin hubungan yang menyenangkan teman dan guru
  3. Bertingkah laku yang tidak pantas pada keadaan normal
  4. Perasaan tertekan atau tidak bahagia terus-menerus
  5. Cenderung menunjukkan gejala-gejala fisik seperti takut pada masalah-masalah sekolah
  6. Kauffman (1977) mengemukakan bahwa penyandang tunalaras adalah anak yang secara kronis dan mencolok berinteraksi dengan lingkungannya dengan cara yag secara sosial tidak dapat diterima atau secara pribadi tidak menyenangkan tetapi masih dapat diajar untuk bersikap yang secara sosial dapat diterima dan secara pribadi menyenangkan.
  7. Sechmid dan Mercer (1981) mengemukakan bahwa anak tunalaras adalah anak yang secara kondisi dan terus menerus menunjukkan penyimpangan tingkah laku tingkat berat yang mempengaruhi proses belajar meskipun telah menerima layanan belajar serta bimbingan, seperti anak lain. Ketidakmampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain dan gangguan belajarnya tidak disebabkan oleh kelainan fisik, saraf atau intelegensia.
  8. Nelson (1981) mengemukakan bahwa tingkah laku seorang murid dikatakan menyimpang jika:
  9. Menyimpang dari perilaku yang oleh orang dewasa dianggap normal menurut usia dan jenis kelaminnya
  10. Penyimpangan terjadi dengan frekuensi dan intensitas tinggi
  11. Penyimpangan berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama

Dari beberapan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa membuat definisi atau batasan mengenai tunalaras sangatlah sulit karena definisi tersebut harus menggambarkan keadaan anak tunalaras secara jelas. Beberapa komponen yang penting untuk diperhatikan adalah:

  1. Adanya penyimpangan perilaku yang terus-menerus menurut norma yang berlaku sehingga menimbulkan ketidakmampuan belajar dan penyesuaian diri
  2. Penyimpangan itu tetap ada walaupun telah menerima layanan belajar serta bimbingan

Faktor Penyebab Anak Tunalaras

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab utama seseorang mengalami ketunalarasan. Daniel P. Hallahan, dkk (2009: 270), menuliskan “the causes of emotional or behavioral disorders have been attributed to four major factors: biological disorders and diseases; pathological family relationship; undesirable experiences at school; and negative cultural influences.” Dari keterangan Daniel P. Hallahan, dkk tersebut terdapat empat faktor utama yang menjadi penyebab ketunalarasan yaitu faktor biologis, patologis hubungan keluarga, pengalaman tidak menyenangkan di sekolah, dan pengaruh lingkungan atau budaya yang negatif atau buruk. Berikut ini penjelasan dari keempat faktor-faktor yang menjadi penyebab ketunalarasan tersebut:

Perilaku dan emosi seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam diri sendiri. Faktor tersebut yaitu “keturunan (genetik), neurologis, faktor biokimia atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut” (Triyanto Pristiwaluyo, 2005: 70). Faktor biologi dapat terjadi ketika anak mengalami keadaan kurang gizi, mengidap penyakit, psikotik, dan trauma atau disfungsi pada otak.

Faktor dari keluarga yang dimaksud adalah adanya patologis hubungan dalam keluarga. Menurut Triyanto Pristiwaluyo (2005: 73), “tanpa disadari hubungan dalam keluarga yang sifatnya interaksional dan transaksional sering menjadi penyebab utama permasalahan emosi dan perilaku pada anak.” Pengaruh dari peraturan, disiplin, dan kepribadian yang dicontohkan atau ditanamkan dari orangtua sangat memengaruhi perkembangan emosi dan perilaku anak.

Ada beberapa anak mengalami gangguan emosi dan perilaku ketika mereka mulai bersekolah. Pengalaman di sekolah mempunyai kesan dan arti penting bagi anak-anak. Glidewell, dkk (1966) dan Thomas, dkk (1968) dalam Triyanto Pristiwaluyo (2005: 74), mengungkapkan bahwa “kompetensi sosial ketika anak-anak saling berinteraksi dengan perilaku dari guru dan teman sekelas sangat memberi kontribusi terhadap permasalahan emosi dan perilaku.” Ketika seorang anak mendapat respon negatif dari guru dan teman sekelasnya saat mengalami kesulitan dan kurang keterampilan di sekolah tanpa disadari anak terjerat dalam interaksi negatif. Anak akan berada dalam keadaan jengkel dan tertekan yang diakibatkan dari tanggapan yang diterimanya baik dari guru maupun teman sekelasnya.

Daniel P. Hallahan, dkk (2009: 274), menuliskan “values and behavioral standards are communicated to children through a variety of cultural condition, demands, prohibition, and models.” Yang dimaksudkan adalah standar nilai-nilai perilaku anak didapat melalui tuntutan-tuntutan maupun larangan-larangan, dan model yang disajikan oleh kondisi budaya. Beberapa budaya dapat memengaruhi perkembangan emosi dan perilaku anak misalnya saja contoh tindak kekerasan yang diekspose media (telivisi, film, maupun internet), penyalahgunaan narkoba yang seharusnya sebagai obat medis dan penenang, gaya hidup yang menjurus pada disorientasi seksualitas, tuntutan-tuntutan dalam agama, dan korban kecelakaan nuklir maupun perang.

Klasifikasi Anak Tunalaras

Kalsifikasi yang dikemukakan oleh Rosembera, dkk. (1992), anak tunalaras dapat dikelomppokkan atas tingkah laku yang berisiko tinggi dan rendah dan yang berisiko tinggi, yaitu hiperaktif, agresif, pembangkang, delinkuensi dan anak yang menarik diri dari pergaulan sosial, sedangkan yang berisiko rendah, yaitu autisme dan skizofrenia. Ada persamaannya pada setiap klasifikasi, yaitu kekacauan tingkah laku, kecemasan dan menarik diri, kurang dewasa, dan agresif. Selain pembagian di atas, masih banyak tingkah laku anak-anak yang digolongkan tunalaras yang belum mendapat layanan khusus, misalnya anak yang merasa bahagia bila melihat api karena ingin selalu membakar saja, anak yang suka meninggalkan rumah, penyimpangan seks, dsb.

Secara garis besar anak tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan anak yang mengalami gangguan emosi. Sehubungan dengan itu, William M.C (1975) mengemukakan kedua klasifikasi tersebut antara lain sebagai berikut:

  1. Anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial:
    1. The Semi-socialize child, anak yang termasuk dalam kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu. Misalnya: keluarga dan kelompoknya. Keadaan seperti ini datang dari lingkungan yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian anak selalu merasakan ada suatu masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.
    2. Children arrested at a primitive level of socialization, anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya, berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan kearah sikap sosial yang benar dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perhatian dari orang tua yang mengakibatkan perilaku anak di kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan respon pada perlakuan yang ramah.
    3. Children with minimum socialization capacity, anak kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan/kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini banyak bersikap apatis dan egois.
  1. Anak yang mengalami gangguan emosi, terdiri dari:
  2. neurotic behavior, anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain akan tetapi mereka mempunyai masalah pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan mudah dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan cemas, marah, agresif dan perasaan bersalah. Di samping itu kadang mereka melakukan tindakan lain seperti mencuri dan bermusuhan. Anak seperti ini biasanya dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. Keadaan neurotik ini biasanya disebabkan oleh sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang berat.
  3. children with psychotic processes, anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan, misalnya minuman keras dan obat-obatan

Karakteristik Anak Tunalaras

Karakteristik yang dikemukakan oleh Hallahan & Kauffmann (1986), berdasarkan dimensi tingkah laku anak tunalaras adalah sebagai berikut:

  1. Anak yang mengalami kekacauan tingkah laku memeperlihatkan ciri-ciri: suka berkelahi, memukul, menyerang, mengamuk, membangkang, menantang, merusak milik sendiri atau milik orang lain, kurang ajar, lancang, melawan, tidak mau bekerja sama, tidak mau memperahtikan, memecah belah, ribut, tidak bisa diam, menolak arahan, cepat arah, menganggap enteng, sok aksi, ingin menguasai orang lain, mengancam, pembohong, tidak dapat dipercaya, suka berbicara kotor, cemburu, suka bersoal jawab, mencuri, mengejek, menyangkal berbuat salah, egois, dan mudah terpengaruh untuk berbuat salah.
  2. Anak yang sering merasa cemas dan menarik diri, dengan ciri-ciri khawatir, cemas, ketakutan, kaku, pemalu, segan, menarik diri, terasing, tak berteman, rasa tertekan, sedih, terganggu, rendah diri, dingin, malu, kurang percaya diri, mudah bimbang, sering menangis, pendiam, suka berahasia.
  3. Anak yang kurang dewasa, dengan ciri-ciri, yaitu pelamun, kaku, berangan-angan, pasif, mudah dipengaruhi, pengantuk, pembosan, dan kotor.
  4. Anak yang agresif bersosialisasi, dengan ciri-ciri, yaitu mempunyai komplotan jahat, mencuri bersama kelompoknya, loyal terhadap teman nakal, berkelompok dengan geng, suka di luar rumah sampai larut malam, bolos sekolah, dan minggat dari rumah.

Menggambarkan karakteristik anak-anak dan remaja dengan gangguan emosi atau perilaku merupakan tantangan yang luar biasa karena gangguan emosi dan perilaku sangat bervariasi. individu dapat sangat bervariasi dalam kecerdasan, prestasi, keadaan hidup, dan karakteristik emosional dan perilaku.

  1. Intelligensi dan Prestasi

Penelitian secara jelas menunjukkan bahwa rata-rata murid dengan gangguan emosi dan perilaku memiliki IQ dalam penilaian kasar (berkisar 90) dan beberapa penilaian yang relatif dalam penilaian yang normal. Dibandingkan dengan intelegensi distribusi normal, kebanyakan anak dengan gangguan emosi dan perilaku termasuk kedalam peringkat belajar lambat dan intelektual yang kurang baik.

Tes intelegensi bukanlah instrument yang sempurna untuk memastikan apakah intelegensi kita sudah baik, dan ini beranggapan bahwa gangguan emosi dan perilaku sulit untuk mencegah anak dari penilaian yang berdasarkan kemampuan dirinya. Faktanya, banyakan anak dengan gangguan yang berat dalam kemampuan dasar membaca, kemampuan dasar berhitung dan beberapa yang kompeten dalam membaca atau berhitung sering tidak mampu untuk menunjukan kemampuan mereka dalam kesehariannya.

Kelainan perilaku akan mengakibatkan adanya penyesuaian sosial dan sekolah yang buruk. Akibat penyesuaian yang buruk tersebut maka dalam belajarnya memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Pencapaian hasil belajar yang jauh di bawah rata-rata
  2. Sering kali dikirim ke kepala sekolah atau ruangan bimbingan untuk tindakan disclipiner.
  3. Sering kali tidak naik kelas atau bahkan ke luar sekolahnya.
  4. Sering kali membolos sekolah.
  5. Lebih sering dikirim ke klinik bimbingan.
  1. Karakteristik sosial dan emosional

Karakteristik sosial dan emosional anak tunalaras dijelaskan sebagai berikut:

  • Masalah yang menimbulkan gangguan bagi orang lain, dengan ciri-ciri: perilaku tidak diterima masyarakat dan biasanya melanggar norma budaya, dan perilaku melanggar aturan keluarga, sekolah, dan rumah tangga.
  • Perilaku tersebut ditandai dengan tindakan agresif, yaitu tidak mengikuti aturan, bersifat mengganggu, mempunyai sikap membangkang atau menantang, dan tidak dapat bekerja sama.
  • Adanya hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak, seperti tekanan batin dan rasa cemas.
  • Adanya rasa gelisah, seperti rasa malu, rendah diri, ketakutan, dan sangat sensitif atau perasa.
  1. Karakteristik fisik/kesehatan

Karakteristik fisik/kesehatan anak tunalaras ditandai dengan adanya gangguan makan, gangguan tidur, dan gangguan gerakan. Sering kali anak merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada jasmaninya, ia mudah mendapat kecelakaan, merasa cemas terhadap kesehatannya, merasa seolah-olah sakit. Kelainan lain yang berwujud kelainan fisik, seperti gagap, buang air tidak terkendali, sering mengompol, dan jorok.

Kebutuhan Pendidikan Anak Tunalaras

Yang menjadi sasaran pokok dalam pengembangan adalah usaha pemerataan dan perluasan kesempatan belajar dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar. Biasanya anak tunalaras itu segera saja dikeluarkan dari sekolah karena dianggap membahayakan. Dengan usaha pengembangan sekolah bagi anak tunalaras ini berarti kita memberi wadah seluas-luasnya atau tempat mereka memperoleh berbaikan kepribadiannya.

Dengan adanya sekolah bagi anak tunalaras berarti membantu para orangtua anak yang sudah kewalahan mendidik puteranya, membantu para guru yang selalu diganggu apabila sedang mengajar dan mengamankan kawan-kawannya terhadap gangguan anak nakal.

Pengembangan pendidikan bagi anak tunalaras sebaiknya paralel atau dikaitkan dengan mengintensifkan usaha Bimbingan Penyuluhan di sekolah reguler. Sehingga apabila anak itu tidak mengalami perbaikan dari usaha bimbingan dan penyuluhan dari kelas khusus maka mereka dikirim ke Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras.

Sesuai dengan karakteristik anak tunalaras yang telah dikemukakan maka kebutuhan pendidikan anak tunalaras diharapkan dapat mengatasi problem perilaku anak tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut.

  1. Berusaha mengatasi semua masalah perilaku akibat kelainannya dengan menyesuaikan lingkungan belajar maupun proses pembelajaran yang sesuai dengan kondisi anak tunalaras.
  2. Berusaha mengembangkan kemampuan fisik sebaik-baiknya, mengembangkan bakat dan kemampuan intelektualnya.
  3. Memberi keterampilan khusus untuk bekal hidupnya.
  4. Memberi kesempatan sebaik-baiknya agar anak dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan atau terhadap norma-norma hidup di masyarakat.
  5. Memberi rasa aman, agar mereka memiliki rasa percaya diri dan mereka merasa tidak tersia-siakan oleh lingkungan sekitarnya.
  6. Menciptakan suasana yang tidak menambah rasa rendah diri, rasa bersalah bagi anak tunalaras. Untuk itu, guru perlu memberi penghargaan atas prestasi yang mereka tampilkan sehingga mereka merasa diterima oleh lingkungannya.

Jenis-jenis Layanan Anak Tunalaras

Dalam jenis-jenis layanan ini akan dikemukakan beberapa hal, seperti berikut.

  1. Mengurangi atau menghilangkan kondisi yang tidak menguntungkan yang menimbulkan atau menambah adanya gangguan perilaku

Adapun kondisi yang tidak menguntungkan itu adalah sebagai berikut.

  1. Lingkungan fisik yang kurang memenuhi persyaratan, seperti bangunan sekolah dan fasilitas yang tidak memadai, seperti ukuran kelas yang kecil dan sanitasi yang buruk. Tidak jarang hal ini akan menjadikan anak merasa bosan dan tidak betah berada di sekolah.
  2. Disiplin sekolah yang kaku dan tidak konsisten, seperti peraturan sekolah yang memberi hukuman tanpa memperhatikan berat dan ringannya pelanggaran siswa. Keadaan ini akan membuat anak merasa tidak puas terhadap sekolah.
  3. Guru yang tidak simpatik sehingga situasi belajar tidak menarik. Akibatnya, murid sering membolos berkeliaran di luar sekolah pada jam-jam belajar, kadang-kadang digunakan untuk merokok, tawuran, dan lain-lain.
  4. Kurikulum yang digunakan tidak berdasarkan kebutuhan anak. Akibatnya, anak harus mengikuti kurikulum bagi semua anak walaupun hal itu tidak sesuai dengan bakatnya. Demikian pula kurikulum yang berubah-ubah menjadikan anak merasa jenuh, dan melelahkan.
  5. Metode dan teknik mengajar yang kurang mengaktifkan anak dapat mengakibatkan anak bosan dan merasa lelah.

Selanjutnya, Kauffman (1985) mengemukakan ada enam kondisi yang menyebabkan ketunalarasan dan kegagalan belajar, yaitu:

  • guru yang tidak sensitif terhadap kepribadian anak;
  • harapan guru yang tidak wajar;
  • pengelolaan belajar yang tidak konsisten;
  • pengajaran keterampilan yang tidak relevan atau nonfungsional;
  • pola reinforcement yang keliru, misalnya diberikan pada saat anak berperilaku tidak wajar;
  • model/contoh yang tidak baik dari guru dan dari teman sebaya.
  1. Menentukan model-model dan teknik pendekatan

Sehubungan dengan model yang digunakan dalam memberikan layanan kepada anak tunalaras Kauffman (1985) mengemukakan jenis-jenis model pendekatan sebagai berikut.

Model ini dipilih berdasarkan asumsi bahwa gangguan perilaku disebabkan oleh kecacatan genetik atau biokimiawi sehingga penyembuhannya ditekankan pada pengobatan, diet, olahraga, operasi, atau mengubah lingkungan.

  • Model behavioral (tingkah laku)

Model ini mempunyai asumsi bahwa gangguan emosi merupakan indikasi ketidakmampuan menyesuaikan diri yang terbentuk, bertahan, dan mungkin berkembang karena berinteraksi dengan lingkungan, baik di sekolah maupun di rumah. Oleh karena itu, penanganannya tidak hanya ditujukan kepada anak, tetapi pada lingkungan tempat anak belajar dan tinggal.

Model ini berpandangan bahwa perilaku yang menyimpang atau gangguan emosi disebabkan oleh gangguan atau hambatan yang terjadi dalam proses perkembangan kepribadian karena berbagai faktor sehingga kemampuan yang diharapkan sesuai dengan usianya terganggu. Ada juga yang mengatakan adanya konflik batin yang tidak teratasi. Oleh karena itu, untuk mengatasi gangguan perilaku itu dapat diadakan pengajaran psikoedukasional, yaitu menggabungkan usaha membantu anak dalam mengekspresikan dan mengendalikan perasaannya.

Model ini menganggap bahwa kehidupan ini terjadi karena adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya. Gangguan perilaku terjadi karena adanya disfungsi antara anak dengan lingkungannya. Oleh karena itu, model ini menghendaki dalam memperbaiki problem perilaku agar mengupayakan interaksi yang baik antara anak tentang lingkungannya, misalnya dengan mengubah persepsi orang dewasa tentang anak atau memodifikasi persepsi anak dengan lingkungannya. Rhoden (1967) menyatakan bahwa masalah perilaku adalah akibat interaksi destruktif antara anak dengan lingkungannya (keluarga, teman sebaya, guru, dan subkelompok kebudayaannya).

Beberapa teknik pendekatan yang digunakan dalam mengatasi masalah perilaku, diantaranya adalah sebagai berikut.

Kavale dan Nye (1984) mengemukakan bahwa obat-obatan dapat mengurangi atau menghilangkan gangguan perilaku, seperti adanya perbaikan perhatian, hasil belajar dan nilai tes yang baik, serta anak hiperaktif menuju ke arah perbaikan.

Salah satu teknik yang banyak dilakukan untuk mendorong perilaku prososial dan mengurangi perilaku antisosial adalah penyesuaian perilaku melalui operant conditioning dan task analysis (analisis tugas). Dengan operant conditioning kita mengendalikan stimulus yang mengikuti respons. Misalnya, seorang anak kecil mengisap ibu jari jika menonton TV. Orang tua mematikan TV selagi ibu jari di mulut anak dan menyalakan TV jika ia tidak mengisap ibu jarinya. Dalam hal ini anak akan belajar jika ia ingin TV menyala maka ia tidak boleh mengisap ibu jari. Mengisap ibu jari adalah operant yang dikendalikan oleh stimulus (matinya TV) yang mengikutinya.

Pengondisian operant berdasarkan prinsip dasar bahwa perilaku adalah suatu fungsi konsekuensi penerapan stimulus positif (TV menyala) segera setelah suatu respons (matinya TV) merupakan hukuman.

Ada beberapa langkah dalam melaksanakan modifikasi perilaku, yaitu:

  1. a) menjelaskan perilaku yang akan diubah;
  2. b) menyediakan bahan yang mengharuskan anak untuk duduk diam;
  3. c) mengatakan perilaku yang diterima.

Tujuan utama pendekatan psikodinamika adalah membantu anak menjadi sadar akan kebutuhannya, keinginan, dan kekuatannya sendiri. Penganjur strategi ini menyarankan agar dilakukan evaluasi diagnostik, perawatan, pengambilan keputusan, dan prosedur psikiatrik. Mereka melihat bahwa perilaku maladaptive adalah pertanda konflik jiwa. Mereka percaya bahwa penyingkiran suatu gejala tanpa menghilangkan penyebabnya hanya menyebabkan penggantian dengan gejala lainnya.

Pendukung teknik, mengasumsikan bahwa dengan diciptakannya lingkungan yang baik maka perilaku anak akan baik pula.

Tempat layanan pendidikan bagi anak yang mengalami gangguan perilaku adalah ditempatkan di sekolah khusus dan ada pula yang dimasukkan dalam kelas-kelas biasa yaitu belajar bersama-sama dengan anak normal. Berikut ini akan dikemukakan macam-macam tempat pendidikan anak tunalaras.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Secara definitif anak dengan gangguan emosi dan perilaku adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usiamaupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupunorang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demikesejahteraan dirinya maupun lingkungannya.

Program layanan pendidikan untuk anak dengan gangguan emosi danperilaku di sekolah dasar hendaknya mulai dirintis untuk menjawabkemungkinan keberadaan mereka di sana. Peningkatan kemampuanidentifikasi guru terhadap keberadaan anak-anak ini menjadi prasyaratmutlak yang diperlukan dalam pengelolaan gangguan emosi dan perilakusekaligus untuk merancang program pendidikan dan pembelajaran yangsesuai untuk mereka di lingkungan sekolah dasar. Beberapa fase dari prosesidentifikasi akan melibatkan praktisi atau profesional lain yang berkaitandengan anak. mengalami gangguan emosi dan perilaku.

Saran

Menyadari bahwa kelompok kami masih jauh dari kata sempurna, selanjutnya kelompok kami akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya dapat dipertanggung jawabkan.

DAFTAR PUSTAKA

  1. A. K. Wardani, dkk. 2011. Pengantar pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka.

//www.academia.edu/4915393/Tuna_Laras. diakses tanggal 26 September 2014.

//eprints.uny.ac.id/9576/2/bab%202%20-%2007103241013.pdf. diakses tanggal 26 September 2014.

//id.wikipedia.org/wiki/Tunalaras. diakses tanggal 26 September 2014.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA