Apakah hubungan antara manusia dengan kerusakan lingkungan alam

Anderson, Heri (2012) HUBUNGAN MANUSIA DAN ALAM SEKITAR DITINJAU DARI SUDUT PANDANG ETIKA LINGKUNGAN HIDUP (STUDI EKSPOSISI KEJADIAN 1-3. Masters thesis, Sekolah Tinggi Teologi Injili Arastamar (SETIA) Jakarta.

Apakah hubungan antara manusia dengan kerusakan lingkungan alam
Text
HERI ANDERSON FIX.pdf

Download (475kB)

Abstract

Masalah lingkungan hidup merupakan masalah global yang menjadi perhatian dan keprihatinan dunia dewasa ini. Pemanasan global dan efek rumah kaca, perubahan iklim bumi, penipisan lapisan ozon, penebangan hutan secara besarbesaran, dan pencemaran lingkungan hidup merupakan sederet masalah yang kini terjadi pada lingkungan hidup. Dunia ini diarahkan menuju chaos karena aneka persoalan lingkungan hidup kini menjamur. Persoalan lingkungan hidup yang kini menjamur dapat diminimalisir dengan mengubah cara berpikir manusia dan selanjutnya mengubah cara benindak. Melalui tulisan ini, penulis mencoba menggagas perubahan baik dalam cara berpikir maupun dalam cara bertindak dengan berpijak pada Alkilab Sebagai Firman Tuhan dengan memaparkan Kejadian 1-3 sebagai dasar ayat-ayat pijakan. Dalam terang Kejadian 1-3, diharapkan ada suatu perubahan paradigma manusia terhadap lingkungan hidup yang mengarahkan manusia pada suatu pandangan yang Ieosentris dalam menilai dan melihat alam ciptaan Tuhan, dan dengan menerapkan nilai moral dasar dan moral lingkungan hidup yang barakar dari Firman Tuhan pada gilirannya manusia akan menemukan keberadaannya sebagai gambar dan rupa Allah (imago Dei) yang mampu mewujudkan relasi etis dengan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup yang berbuntut pada kerusakan lingkungan akibat dari eksploitasi lingkungan dan pencemaran sehingga membahayakan keberadaan umat manusia sudah semestinya menyadarkan setiap orang Kristen tentang pelestarian lingkungan hidup, karena manusia merupakan bagian dari kesatuan lingkungan, tidak terkecuali orang Kristen itu sendiri. Manusia untuk mememenuhi kebutuhan hidupnya telah memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) dari lingkungan. Namun haruslah disadari bahwa makhluk hidup lainnya juga memerlukan Sumber Daya Alam (SDA) serta mempunyai hak untuk hidup. Oleh karena itu lingkungan hidup harus dilestarikan. Untuk melestarikan lingkungan hidup diperlukan adanya kesadaran, kemauan dan tanggung jawab moral, bahwa lingkungan hidup tidak hanya untuk generasi saat ini, melainkan untuk generasi yang akan datang juga. Maka yang perlu diubah pada dasarnya adalah pandangan umat manusia, dari penguasaan lingkungan kepada pembinaan lingkungan hidup. Perubahan pandangan akan menumbuhkan etika lingkungan, yang dimanefestasikan dalam bentuk tanggung jawab moral dalam melestarikan lingkungan hidup. Hingga saat ini sepanjang pengetahuan penulis kesadaran Gereja atau setiap orang percaya terhadap lingkungan hidup masih kurang dan terkesan acuh tak acuh. Untuk itu secara khusus dalam dan melalui tesis ini penulis ingin memberikan sumbangsih, bagaimana merumuskan etika lingkungan hidup dan menerapkannya dalam kehidupan orang percaya di dalam lingkungan Gereja Tuhan; orang Kristen pada umumnya.

Actions (login required)

Apakah hubungan antara manusia dengan kerusakan lingkungan alam
View Item

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebuah Renungan tentang Hubungan antara Manusia dan Lingkungan dalam Konteks Ilmu Komunikasi

“Dan apabila dikatakan kepada mereka ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari’” (QS Al Baqarah ayat 11-12)

Masa depan akan selalu jadi misteri. Kita bahkan tidak tahu apa yang terjadi esok hari. Walau begitu, bumi ini selalu menyediakan tanda-tanda yang membuat setiap orang bisa meramal secara ilmiah. Salah satu bentuk ramalan ilmiah itu terangkum dalam kemasan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan sebuah jawaban pasti dari para ilmuwan yang sudah sejak dari dulu berusaha keras memecahkan misteri alam.

Tapi saat ini, banyak orang yang tak mempedulikan jawaban dari para ilmuwan. Mereka begitu terobsesi terhadap alam. Hasilnya, bencana alam di mana-mana. Nyawa banyak melayang.

Mungkin kutipan ayat Al Qur’an di atas bisa menjadi penjelas kenapa banyak orang tak kunjung menyadari dampak buruk dari apa yang mereka lakukan. Mereka menebang hutan, mereka mendirikan perusahaan, tetapi terkadang mereka luput memikirkan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Sebagai contoh, sudah seyogyanya hutan dipelihara karena menjadi tempat penghisap udara kotor, penghasil udara segar, daerah peresap air, dan juga berfungsi menjaga kestabilan tanah. Tapi nyatanya, banyak pohon ditebangi secara liar dan tak terkendali. Mereka berdalih pembangunan ekonomi adalah suatu hal yang paling penting. Mereka tak berpikir tentang hukum alam. Hal ini tentu menunjukkan kontradiksi antara perilaku manusia terhadap alam dengan hasil penelitian para ilmuwan alam yang sudah teruju kebenarannya.

Oleh karenanya, perlu ada komunikasi di antara mereka. Di sini, teori komunikasi lingkungan lahir sebagai salah satu bidang dari ilmu komunikasi yang membahas perlunya menyebarkan wacana kritis mengenai lingkungan kepada masyarakat untuk melawan wacana kaum dominan. Wacana kritis ini tentu harus berdasarkan hasil penelitian para ilmuwan eksak. Teori Komunikasi lingkungan, yang bahasa kerennya disebut Environmental Communication Theory, bertujuan agar wacana kritis itu tidak hanya dapat dipahami, namun juga bisa diwujudkan dalam tindakan nyata (Littlejohn & Foss, 344:2009)

Tindakan nyata dalam teori ini bukan tentang bagaimana cara manusia menyelamatkan lingkungan agar tidak terjadi bencana, tapi tentang usaha apa yang mereka lakukan untuk mempengaruhi manusia lainnya agar ikut peduli masalah lingkungan. Usaha itu bisa dilakukan dengan berbagai cara : bisa melalui sosialisasi, kampanye di jalanan, serta cara yang lebih kreatif seperti membuat film dan novel yang membahas masalah lingkungan.

Buku novel Dunia Anna karangan Jostein Gaarder misalnya. Novel itu menceritakan kondisi bumi pada tahun 2082 di mana dunia mengalami fase kemunduran : banyak spesies binatang yang punah, es di kutub yang telah mencair, iklim yang tak menentu, dan manusia yang tidak lagi bisa menggunakan kendaraan bermotor karena persediaan minyak telah habis. Isi novel yang berisi wacana kritis mengenai lingkungan ini semakin dapat dipercaya karena penulisnya, Jostein Gaarder, merupakan orang yang aktif di kegiatan pecinta lingkungan. Tindakan nyata yang dilakukan oleh Jostein Gaarder tersebut, ataupun para aktivis lingkungan lain dapat disebut dengan aksi simbolik (Cox, 2010:23). Melalui aksi simbolik, para aktivis lingkungan menciptakan makna dan menyusun konsensus yang akan disebarkan pada masyarakat tentang bagaimana seharusnya mereka memandang lingkungan.

Di sini, wacana tentang bagaimana seharusnya kita memandang dunia bisa berubah seiring waktu. Beberapa dekade silam, di saat banyak manusia di dunia ini hidup miskin, penemuan energi minyak bumi di berbagai belahan dunia dianggap menjadi ladang ekonomi baru dan diprediksi akan mengurangi angka kemiskinan. Namun sampai saat ini, ketika penambangan dilakukan secara besar-besaran, nyatanya angka kemiskinan masih banyak. Ditambah lagi hasil penelitian yang mengemukakan minyak bumi adalah energi fosil yang tak dapat diperbaharui dan kelak akan habis. Maka saat ini banyak wacana kritis yang menyebutkan penambangan minyak bumi adalah salah satu bentuk kerakusan manusia terhadap alam dan kelak manusia pula yang merasakan akibatnya.

Di Indonesia sendiri, eksploitasi terhadap alam sudah dilakukan secara membabi buta. Industri asing banyak didirikan. Kebakaran hutan, banjir bandang, pencemaran lingkungan, dan sebagainya adalah akibat dari semua itu. Namun, yang banyak terkena tumbalnya adalah rakyat jelata yang tak berdosa. Perusahaan besar, yang menyebabkan semua itu terjadi, hanya mendapat manisnya. Mereka mencuri kekayaan negeri untuk kepentingan sendiri.

Hal ini tentu ironis mengingat Indonesia merupakan negara demokrasi di mana setiap pendapat dipertimbangkan dan dihargai. Oleh karenanya perlu ada ruang publik yang bisa menyuarakan pendapat kaum jelata yang menjadi korban dari eksploitasi alam. Menurut Juergen Habermas (dalam Cox, 2010:26), ruang publik atau public sphere adalah sebuah tempat di mana setiap orang berkumpul dan menyuarakan pendapatnya untuk membentuk sebuah badan publik. Badan publik di sini lahir dari hasil konsensus bersama untuk melakukan tindakan melawan eksploitasi alam. Dan ruang publik itu seyogyanya disediakan para aparatur negara dalam rangka memfasilitasi rakyatnya bersuara.

Tapi sayangnya, definisi ruang publik telah disalah artikan. Ruang publik dewasa ini dimaknai sebagai tempat di mana sebuah kebijakan politik diciptakan, disebarkan, dan (harus) dipersepsikan seragam oleh segenap lapisan masyarakat. Selain itu, ruang publik juga dimaknai sebagai sesuatu yang konkrit : kolom editorial dan opini di koran, talk show di televisi dan radio, blog di internet, ataupun kunjungan resmi petinggi negara ke lapangan untuk mengetahui problem masyarakat (Cox, 2010:32). Di sini timbul pertanyaan, apakah orang yang menulis opini di koran, di blog, ataupun pembicara di siaran on air bisa mewakili suara rakyat jelata yang hidup dalam situasi yang sebenarnya ?

Memang dalam sejarahnya, suara kaum minoritas sangat sangat sulit berteriak lebih keras dari suara kaum dominan. Kaum dominan berkuasa atas apa saja. Tak hanya ekonomi, namun juga akses ilmu pengetahuan. Kita tidak dapat membantah bahwa rakyat jelata yang kekayaan alamnya dieksploitasi merupakan kaum yang (hampir) mustahil mengenyam pendidikan tinggi. Mereka (mungkin) hanya belajar dari budaya nenek moyang tentang pentingnya cinta kasih terhadap alam. Sedangkan kaum dominan, dalam konteks ini perusahaan besar, siap merekrut para sarjana perguruan tinggi dengan gaji tinggi. Sarjana ini bisa diambil dari beragam disiplin ilmu pengetahuan. Bisa sarjana teknik, sarjana ilmu alam, ataupun sarjana ilmu komunikasi.

Untuk sarjana ilmu komunikasi sendiri, mereka sudah mempelajari bidang ilmu yang sedikit dibahas di atas, Komunikasi Lingkungan. Menurut sarjana komunikasi yang nantinya akan terjun di bidang Public Relations (PR) suatu perusahaan, pada awalnya komunikasi lingkungan dapat diartikan sebagai penggunaan rancangan dan strategi dalam proses komunikasi dan produk media untuk mendukung pembuatan kebijakan yang efektif, partisipasi publik, dan penerapan proyek yang diarahkan menuju kelestarian lingkungan (Anonim, 1999:8). Tapi setelah mereka terjun di dunia perusahaan, pandangan normatif tentang definisi itu sedikit banyak berubah.

Komunikasi lingkungan tidak lagi dipahami sebagai alasan melesterikan lingkungan, namun sebagai suatu langkah agar masyarakat bisa mendukung sebuah kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengenai lingkungan. Berbagai program edukasi mengenai lingkungan yang dikeluarkan oleh PR suatu perusahaan bukan diperuntukkan demi kemajuan masyarakat, namun demi kepentingan perusahaan semata. Masyarakat asli hanya disiapkan menjadi buruh yang nantinya semakin melegitimasi keberadaan suatu perusahaan di tempat itu.

Berdasarkan refleksi singkat di atas. Perlu digarisbawahi, asumsi-asumsi itu tidak patut digeneralisasi. Artinya, tulisan di atas tidak begitu saja dapat diterima secara mentah-mentah. Penulis sendiri merasa masih banyak kekurangan karena bukan orang yang kredibel dalam mengangkat topik itu. Selain itu, masih banyak bahasan yang lebih krusial dan menarik berkaitan dengan isu lingkungan.

Tapi yang ingin disampaikan penulis di sini adalah, pentingnya menyebarkan ilmu pengetahuan yang ada dalam diri penulis, terlepas wacana tentang ilmu pengetahuan itu benar apa salah. Kita sebagai makhluk yang memiliki akal tentu bisa mengoreksinya.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha mulia. Yang mengajar manusia dengan (perantara) kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS Al Alaq ayat 1-5)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (1999). Environmental Communication: Applying Communication Tools toward Suistainable Development, Working Paper of the Working Party on Development Cooperation and Environment. Paris: OECD Publication.

Cox, R. (2010). Environmental Communication and the Public Sphere, Second Edition. California: Sage Publication, Inc.

Littlejohn, S. W. & Foss, K. A. (2009). Encyclopedia of Communication Theory.California: Sage Publication, Inc.


Page 2

Sebuah Renungan tentang Hubungan antara Manusia dan Lingkungan dalam Konteks Ilmu Komunikasi

“Dan apabila dikatakan kepada mereka ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari’” (QS Al Baqarah ayat 11-12)

Masa depan akan selalu jadi misteri. Kita bahkan tidak tahu apa yang terjadi esok hari. Walau begitu, bumi ini selalu menyediakan tanda-tanda yang membuat setiap orang bisa meramal secara ilmiah. Salah satu bentuk ramalan ilmiah itu terangkum dalam kemasan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan sebuah jawaban pasti dari para ilmuwan yang sudah sejak dari dulu berusaha keras memecahkan misteri alam.

Tapi saat ini, banyak orang yang tak mempedulikan jawaban dari para ilmuwan. Mereka begitu terobsesi terhadap alam. Hasilnya, bencana alam di mana-mana. Nyawa banyak melayang.

Mungkin kutipan ayat Al Qur’an di atas bisa menjadi penjelas kenapa banyak orang tak kunjung menyadari dampak buruk dari apa yang mereka lakukan. Mereka menebang hutan, mereka mendirikan perusahaan, tetapi terkadang mereka luput memikirkan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Sebagai contoh, sudah seyogyanya hutan dipelihara karena menjadi tempat penghisap udara kotor, penghasil udara segar, daerah peresap air, dan juga berfungsi menjaga kestabilan tanah. Tapi nyatanya, banyak pohon ditebangi secara liar dan tak terkendali. Mereka berdalih pembangunan ekonomi adalah suatu hal yang paling penting. Mereka tak berpikir tentang hukum alam. Hal ini tentu menunjukkan kontradiksi antara perilaku manusia terhadap alam dengan hasil penelitian para ilmuwan alam yang sudah teruju kebenarannya.

Oleh karenanya, perlu ada komunikasi di antara mereka. Di sini, teori komunikasi lingkungan lahir sebagai salah satu bidang dari ilmu komunikasi yang membahas perlunya menyebarkan wacana kritis mengenai lingkungan kepada masyarakat untuk melawan wacana kaum dominan. Wacana kritis ini tentu harus berdasarkan hasil penelitian para ilmuwan eksak. Teori Komunikasi lingkungan, yang bahasa kerennya disebut Environmental Communication Theory, bertujuan agar wacana kritis itu tidak hanya dapat dipahami, namun juga bisa diwujudkan dalam tindakan nyata (Littlejohn & Foss, 344:2009)

Tindakan nyata dalam teori ini bukan tentang bagaimana cara manusia menyelamatkan lingkungan agar tidak terjadi bencana, tapi tentang usaha apa yang mereka lakukan untuk mempengaruhi manusia lainnya agar ikut peduli masalah lingkungan. Usaha itu bisa dilakukan dengan berbagai cara : bisa melalui sosialisasi, kampanye di jalanan, serta cara yang lebih kreatif seperti membuat film dan novel yang membahas masalah lingkungan.

Buku novel Dunia Anna karangan Jostein Gaarder misalnya. Novel itu menceritakan kondisi bumi pada tahun 2082 di mana dunia mengalami fase kemunduran : banyak spesies binatang yang punah, es di kutub yang telah mencair, iklim yang tak menentu, dan manusia yang tidak lagi bisa menggunakan kendaraan bermotor karena persediaan minyak telah habis. Isi novel yang berisi wacana kritis mengenai lingkungan ini semakin dapat dipercaya karena penulisnya, Jostein Gaarder, merupakan orang yang aktif di kegiatan pecinta lingkungan. Tindakan nyata yang dilakukan oleh Jostein Gaarder tersebut, ataupun para aktivis lingkungan lain dapat disebut dengan aksi simbolik (Cox, 2010:23). Melalui aksi simbolik, para aktivis lingkungan menciptakan makna dan menyusun konsensus yang akan disebarkan pada masyarakat tentang bagaimana seharusnya mereka memandang lingkungan.

Di sini, wacana tentang bagaimana seharusnya kita memandang dunia bisa berubah seiring waktu. Beberapa dekade silam, di saat banyak manusia di dunia ini hidup miskin, penemuan energi minyak bumi di berbagai belahan dunia dianggap menjadi ladang ekonomi baru dan diprediksi akan mengurangi angka kemiskinan. Namun sampai saat ini, ketika penambangan dilakukan secara besar-besaran, nyatanya angka kemiskinan masih banyak. Ditambah lagi hasil penelitian yang mengemukakan minyak bumi adalah energi fosil yang tak dapat diperbaharui dan kelak akan habis. Maka saat ini banyak wacana kritis yang menyebutkan penambangan minyak bumi adalah salah satu bentuk kerakusan manusia terhadap alam dan kelak manusia pula yang merasakan akibatnya.

Di Indonesia sendiri, eksploitasi terhadap alam sudah dilakukan secara membabi buta. Industri asing banyak didirikan. Kebakaran hutan, banjir bandang, pencemaran lingkungan, dan sebagainya adalah akibat dari semua itu. Namun, yang banyak terkena tumbalnya adalah rakyat jelata yang tak berdosa. Perusahaan besar, yang menyebabkan semua itu terjadi, hanya mendapat manisnya. Mereka mencuri kekayaan negeri untuk kepentingan sendiri.

Hal ini tentu ironis mengingat Indonesia merupakan negara demokrasi di mana setiap pendapat dipertimbangkan dan dihargai. Oleh karenanya perlu ada ruang publik yang bisa menyuarakan pendapat kaum jelata yang menjadi korban dari eksploitasi alam. Menurut Juergen Habermas (dalam Cox, 2010:26), ruang publik atau public sphere adalah sebuah tempat di mana setiap orang berkumpul dan menyuarakan pendapatnya untuk membentuk sebuah badan publik. Badan publik di sini lahir dari hasil konsensus bersama untuk melakukan tindakan melawan eksploitasi alam. Dan ruang publik itu seyogyanya disediakan para aparatur negara dalam rangka memfasilitasi rakyatnya bersuara.

Tapi sayangnya, definisi ruang publik telah disalah artikan. Ruang publik dewasa ini dimaknai sebagai tempat di mana sebuah kebijakan politik diciptakan, disebarkan, dan (harus) dipersepsikan seragam oleh segenap lapisan masyarakat. Selain itu, ruang publik juga dimaknai sebagai sesuatu yang konkrit : kolom editorial dan opini di koran, talk show di televisi dan radio, blog di internet, ataupun kunjungan resmi petinggi negara ke lapangan untuk mengetahui problem masyarakat (Cox, 2010:32). Di sini timbul pertanyaan, apakah orang yang menulis opini di koran, di blog, ataupun pembicara di siaran on air bisa mewakili suara rakyat jelata yang hidup dalam situasi yang sebenarnya ?

Memang dalam sejarahnya, suara kaum minoritas sangat sangat sulit berteriak lebih keras dari suara kaum dominan. Kaum dominan berkuasa atas apa saja. Tak hanya ekonomi, namun juga akses ilmu pengetahuan. Kita tidak dapat membantah bahwa rakyat jelata yang kekayaan alamnya dieksploitasi merupakan kaum yang (hampir) mustahil mengenyam pendidikan tinggi. Mereka (mungkin) hanya belajar dari budaya nenek moyang tentang pentingnya cinta kasih terhadap alam. Sedangkan kaum dominan, dalam konteks ini perusahaan besar, siap merekrut para sarjana perguruan tinggi dengan gaji tinggi. Sarjana ini bisa diambil dari beragam disiplin ilmu pengetahuan. Bisa sarjana teknik, sarjana ilmu alam, ataupun sarjana ilmu komunikasi.

Untuk sarjana ilmu komunikasi sendiri, mereka sudah mempelajari bidang ilmu yang sedikit dibahas di atas, Komunikasi Lingkungan. Menurut sarjana komunikasi yang nantinya akan terjun di bidang Public Relations (PR) suatu perusahaan, pada awalnya komunikasi lingkungan dapat diartikan sebagai penggunaan rancangan dan strategi dalam proses komunikasi dan produk media untuk mendukung pembuatan kebijakan yang efektif, partisipasi publik, dan penerapan proyek yang diarahkan menuju kelestarian lingkungan (Anonim, 1999:8). Tapi setelah mereka terjun di dunia perusahaan, pandangan normatif tentang definisi itu sedikit banyak berubah.

Komunikasi lingkungan tidak lagi dipahami sebagai alasan melesterikan lingkungan, namun sebagai suatu langkah agar masyarakat bisa mendukung sebuah kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengenai lingkungan. Berbagai program edukasi mengenai lingkungan yang dikeluarkan oleh PR suatu perusahaan bukan diperuntukkan demi kemajuan masyarakat, namun demi kepentingan perusahaan semata. Masyarakat asli hanya disiapkan menjadi buruh yang nantinya semakin melegitimasi keberadaan suatu perusahaan di tempat itu.

Berdasarkan refleksi singkat di atas. Perlu digarisbawahi, asumsi-asumsi itu tidak patut digeneralisasi. Artinya, tulisan di atas tidak begitu saja dapat diterima secara mentah-mentah. Penulis sendiri merasa masih banyak kekurangan karena bukan orang yang kredibel dalam mengangkat topik itu. Selain itu, masih banyak bahasan yang lebih krusial dan menarik berkaitan dengan isu lingkungan.

Tapi yang ingin disampaikan penulis di sini adalah, pentingnya menyebarkan ilmu pengetahuan yang ada dalam diri penulis, terlepas wacana tentang ilmu pengetahuan itu benar apa salah. Kita sebagai makhluk yang memiliki akal tentu bisa mengoreksinya.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha mulia. Yang mengajar manusia dengan (perantara) kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS Al Alaq ayat 1-5)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (1999). Environmental Communication: Applying Communication Tools toward Suistainable Development, Working Paper of the Working Party on Development Cooperation and Environment. Paris: OECD Publication.

Cox, R. (2010). Environmental Communication and the Public Sphere, Second Edition. California: Sage Publication, Inc.

Littlejohn, S. W. & Foss, K. A. (2009). Encyclopedia of Communication Theory.California: Sage Publication, Inc.


Apakah hubungan antara manusia dengan kerusakan lingkungan alam

Lihat Pendidikan Selengkapnya


Page 3

Sebuah Renungan tentang Hubungan antara Manusia dan Lingkungan dalam Konteks Ilmu Komunikasi

“Dan apabila dikatakan kepada mereka ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari’” (QS Al Baqarah ayat 11-12)

Masa depan akan selalu jadi misteri. Kita bahkan tidak tahu apa yang terjadi esok hari. Walau begitu, bumi ini selalu menyediakan tanda-tanda yang membuat setiap orang bisa meramal secara ilmiah. Salah satu bentuk ramalan ilmiah itu terangkum dalam kemasan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan sebuah jawaban pasti dari para ilmuwan yang sudah sejak dari dulu berusaha keras memecahkan misteri alam.

Tapi saat ini, banyak orang yang tak mempedulikan jawaban dari para ilmuwan. Mereka begitu terobsesi terhadap alam. Hasilnya, bencana alam di mana-mana. Nyawa banyak melayang.

Mungkin kutipan ayat Al Qur’an di atas bisa menjadi penjelas kenapa banyak orang tak kunjung menyadari dampak buruk dari apa yang mereka lakukan. Mereka menebang hutan, mereka mendirikan perusahaan, tetapi terkadang mereka luput memikirkan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Sebagai contoh, sudah seyogyanya hutan dipelihara karena menjadi tempat penghisap udara kotor, penghasil udara segar, daerah peresap air, dan juga berfungsi menjaga kestabilan tanah. Tapi nyatanya, banyak pohon ditebangi secara liar dan tak terkendali. Mereka berdalih pembangunan ekonomi adalah suatu hal yang paling penting. Mereka tak berpikir tentang hukum alam. Hal ini tentu menunjukkan kontradiksi antara perilaku manusia terhadap alam dengan hasil penelitian para ilmuwan alam yang sudah teruju kebenarannya.

Oleh karenanya, perlu ada komunikasi di antara mereka. Di sini, teori komunikasi lingkungan lahir sebagai salah satu bidang dari ilmu komunikasi yang membahas perlunya menyebarkan wacana kritis mengenai lingkungan kepada masyarakat untuk melawan wacana kaum dominan. Wacana kritis ini tentu harus berdasarkan hasil penelitian para ilmuwan eksak. Teori Komunikasi lingkungan, yang bahasa kerennya disebut Environmental Communication Theory, bertujuan agar wacana kritis itu tidak hanya dapat dipahami, namun juga bisa diwujudkan dalam tindakan nyata (Littlejohn & Foss, 344:2009)

Tindakan nyata dalam teori ini bukan tentang bagaimana cara manusia menyelamatkan lingkungan agar tidak terjadi bencana, tapi tentang usaha apa yang mereka lakukan untuk mempengaruhi manusia lainnya agar ikut peduli masalah lingkungan. Usaha itu bisa dilakukan dengan berbagai cara : bisa melalui sosialisasi, kampanye di jalanan, serta cara yang lebih kreatif seperti membuat film dan novel yang membahas masalah lingkungan.

Buku novel Dunia Anna karangan Jostein Gaarder misalnya. Novel itu menceritakan kondisi bumi pada tahun 2082 di mana dunia mengalami fase kemunduran : banyak spesies binatang yang punah, es di kutub yang telah mencair, iklim yang tak menentu, dan manusia yang tidak lagi bisa menggunakan kendaraan bermotor karena persediaan minyak telah habis. Isi novel yang berisi wacana kritis mengenai lingkungan ini semakin dapat dipercaya karena penulisnya, Jostein Gaarder, merupakan orang yang aktif di kegiatan pecinta lingkungan. Tindakan nyata yang dilakukan oleh Jostein Gaarder tersebut, ataupun para aktivis lingkungan lain dapat disebut dengan aksi simbolik (Cox, 2010:23). Melalui aksi simbolik, para aktivis lingkungan menciptakan makna dan menyusun konsensus yang akan disebarkan pada masyarakat tentang bagaimana seharusnya mereka memandang lingkungan.

Di sini, wacana tentang bagaimana seharusnya kita memandang dunia bisa berubah seiring waktu. Beberapa dekade silam, di saat banyak manusia di dunia ini hidup miskin, penemuan energi minyak bumi di berbagai belahan dunia dianggap menjadi ladang ekonomi baru dan diprediksi akan mengurangi angka kemiskinan. Namun sampai saat ini, ketika penambangan dilakukan secara besar-besaran, nyatanya angka kemiskinan masih banyak. Ditambah lagi hasil penelitian yang mengemukakan minyak bumi adalah energi fosil yang tak dapat diperbaharui dan kelak akan habis. Maka saat ini banyak wacana kritis yang menyebutkan penambangan minyak bumi adalah salah satu bentuk kerakusan manusia terhadap alam dan kelak manusia pula yang merasakan akibatnya.

Di Indonesia sendiri, eksploitasi terhadap alam sudah dilakukan secara membabi buta. Industri asing banyak didirikan. Kebakaran hutan, banjir bandang, pencemaran lingkungan, dan sebagainya adalah akibat dari semua itu. Namun, yang banyak terkena tumbalnya adalah rakyat jelata yang tak berdosa. Perusahaan besar, yang menyebabkan semua itu terjadi, hanya mendapat manisnya. Mereka mencuri kekayaan negeri untuk kepentingan sendiri.

Hal ini tentu ironis mengingat Indonesia merupakan negara demokrasi di mana setiap pendapat dipertimbangkan dan dihargai. Oleh karenanya perlu ada ruang publik yang bisa menyuarakan pendapat kaum jelata yang menjadi korban dari eksploitasi alam. Menurut Juergen Habermas (dalam Cox, 2010:26), ruang publik atau public sphere adalah sebuah tempat di mana setiap orang berkumpul dan menyuarakan pendapatnya untuk membentuk sebuah badan publik. Badan publik di sini lahir dari hasil konsensus bersama untuk melakukan tindakan melawan eksploitasi alam. Dan ruang publik itu seyogyanya disediakan para aparatur negara dalam rangka memfasilitasi rakyatnya bersuara.

Tapi sayangnya, definisi ruang publik telah disalah artikan. Ruang publik dewasa ini dimaknai sebagai tempat di mana sebuah kebijakan politik diciptakan, disebarkan, dan (harus) dipersepsikan seragam oleh segenap lapisan masyarakat. Selain itu, ruang publik juga dimaknai sebagai sesuatu yang konkrit : kolom editorial dan opini di koran, talk show di televisi dan radio, blog di internet, ataupun kunjungan resmi petinggi negara ke lapangan untuk mengetahui problem masyarakat (Cox, 2010:32). Di sini timbul pertanyaan, apakah orang yang menulis opini di koran, di blog, ataupun pembicara di siaran on air bisa mewakili suara rakyat jelata yang hidup dalam situasi yang sebenarnya ?

Memang dalam sejarahnya, suara kaum minoritas sangat sangat sulit berteriak lebih keras dari suara kaum dominan. Kaum dominan berkuasa atas apa saja. Tak hanya ekonomi, namun juga akses ilmu pengetahuan. Kita tidak dapat membantah bahwa rakyat jelata yang kekayaan alamnya dieksploitasi merupakan kaum yang (hampir) mustahil mengenyam pendidikan tinggi. Mereka (mungkin) hanya belajar dari budaya nenek moyang tentang pentingnya cinta kasih terhadap alam. Sedangkan kaum dominan, dalam konteks ini perusahaan besar, siap merekrut para sarjana perguruan tinggi dengan gaji tinggi. Sarjana ini bisa diambil dari beragam disiplin ilmu pengetahuan. Bisa sarjana teknik, sarjana ilmu alam, ataupun sarjana ilmu komunikasi.

Untuk sarjana ilmu komunikasi sendiri, mereka sudah mempelajari bidang ilmu yang sedikit dibahas di atas, Komunikasi Lingkungan. Menurut sarjana komunikasi yang nantinya akan terjun di bidang Public Relations (PR) suatu perusahaan, pada awalnya komunikasi lingkungan dapat diartikan sebagai penggunaan rancangan dan strategi dalam proses komunikasi dan produk media untuk mendukung pembuatan kebijakan yang efektif, partisipasi publik, dan penerapan proyek yang diarahkan menuju kelestarian lingkungan (Anonim, 1999:8). Tapi setelah mereka terjun di dunia perusahaan, pandangan normatif tentang definisi itu sedikit banyak berubah.

Komunikasi lingkungan tidak lagi dipahami sebagai alasan melesterikan lingkungan, namun sebagai suatu langkah agar masyarakat bisa mendukung sebuah kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengenai lingkungan. Berbagai program edukasi mengenai lingkungan yang dikeluarkan oleh PR suatu perusahaan bukan diperuntukkan demi kemajuan masyarakat, namun demi kepentingan perusahaan semata. Masyarakat asli hanya disiapkan menjadi buruh yang nantinya semakin melegitimasi keberadaan suatu perusahaan di tempat itu.

Berdasarkan refleksi singkat di atas. Perlu digarisbawahi, asumsi-asumsi itu tidak patut digeneralisasi. Artinya, tulisan di atas tidak begitu saja dapat diterima secara mentah-mentah. Penulis sendiri merasa masih banyak kekurangan karena bukan orang yang kredibel dalam mengangkat topik itu. Selain itu, masih banyak bahasan yang lebih krusial dan menarik berkaitan dengan isu lingkungan.

Tapi yang ingin disampaikan penulis di sini adalah, pentingnya menyebarkan ilmu pengetahuan yang ada dalam diri penulis, terlepas wacana tentang ilmu pengetahuan itu benar apa salah. Kita sebagai makhluk yang memiliki akal tentu bisa mengoreksinya.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha mulia. Yang mengajar manusia dengan (perantara) kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS Al Alaq ayat 1-5)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (1999). Environmental Communication: Applying Communication Tools toward Suistainable Development, Working Paper of the Working Party on Development Cooperation and Environment. Paris: OECD Publication.

Cox, R. (2010). Environmental Communication and the Public Sphere, Second Edition. California: Sage Publication, Inc.

Littlejohn, S. W. & Foss, K. A. (2009). Encyclopedia of Communication Theory.California: Sage Publication, Inc.


Apakah hubungan antara manusia dengan kerusakan lingkungan alam

Lihat Pendidikan Selengkapnya


Page 4

Sebuah Renungan tentang Hubungan antara Manusia dan Lingkungan dalam Konteks Ilmu Komunikasi

“Dan apabila dikatakan kepada mereka ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari’” (QS Al Baqarah ayat 11-12)

Masa depan akan selalu jadi misteri. Kita bahkan tidak tahu apa yang terjadi esok hari. Walau begitu, bumi ini selalu menyediakan tanda-tanda yang membuat setiap orang bisa meramal secara ilmiah. Salah satu bentuk ramalan ilmiah itu terangkum dalam kemasan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan sebuah jawaban pasti dari para ilmuwan yang sudah sejak dari dulu berusaha keras memecahkan misteri alam.

Tapi saat ini, banyak orang yang tak mempedulikan jawaban dari para ilmuwan. Mereka begitu terobsesi terhadap alam. Hasilnya, bencana alam di mana-mana. Nyawa banyak melayang.

Mungkin kutipan ayat Al Qur’an di atas bisa menjadi penjelas kenapa banyak orang tak kunjung menyadari dampak buruk dari apa yang mereka lakukan. Mereka menebang hutan, mereka mendirikan perusahaan, tetapi terkadang mereka luput memikirkan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Sebagai contoh, sudah seyogyanya hutan dipelihara karena menjadi tempat penghisap udara kotor, penghasil udara segar, daerah peresap air, dan juga berfungsi menjaga kestabilan tanah. Tapi nyatanya, banyak pohon ditebangi secara liar dan tak terkendali. Mereka berdalih pembangunan ekonomi adalah suatu hal yang paling penting. Mereka tak berpikir tentang hukum alam. Hal ini tentu menunjukkan kontradiksi antara perilaku manusia terhadap alam dengan hasil penelitian para ilmuwan alam yang sudah teruju kebenarannya.

Oleh karenanya, perlu ada komunikasi di antara mereka. Di sini, teori komunikasi lingkungan lahir sebagai salah satu bidang dari ilmu komunikasi yang membahas perlunya menyebarkan wacana kritis mengenai lingkungan kepada masyarakat untuk melawan wacana kaum dominan. Wacana kritis ini tentu harus berdasarkan hasil penelitian para ilmuwan eksak. Teori Komunikasi lingkungan, yang bahasa kerennya disebut Environmental Communication Theory, bertujuan agar wacana kritis itu tidak hanya dapat dipahami, namun juga bisa diwujudkan dalam tindakan nyata (Littlejohn & Foss, 344:2009)

Tindakan nyata dalam teori ini bukan tentang bagaimana cara manusia menyelamatkan lingkungan agar tidak terjadi bencana, tapi tentang usaha apa yang mereka lakukan untuk mempengaruhi manusia lainnya agar ikut peduli masalah lingkungan. Usaha itu bisa dilakukan dengan berbagai cara : bisa melalui sosialisasi, kampanye di jalanan, serta cara yang lebih kreatif seperti membuat film dan novel yang membahas masalah lingkungan.

Buku novel Dunia Anna karangan Jostein Gaarder misalnya. Novel itu menceritakan kondisi bumi pada tahun 2082 di mana dunia mengalami fase kemunduran : banyak spesies binatang yang punah, es di kutub yang telah mencair, iklim yang tak menentu, dan manusia yang tidak lagi bisa menggunakan kendaraan bermotor karena persediaan minyak telah habis. Isi novel yang berisi wacana kritis mengenai lingkungan ini semakin dapat dipercaya karena penulisnya, Jostein Gaarder, merupakan orang yang aktif di kegiatan pecinta lingkungan. Tindakan nyata yang dilakukan oleh Jostein Gaarder tersebut, ataupun para aktivis lingkungan lain dapat disebut dengan aksi simbolik (Cox, 2010:23). Melalui aksi simbolik, para aktivis lingkungan menciptakan makna dan menyusun konsensus yang akan disebarkan pada masyarakat tentang bagaimana seharusnya mereka memandang lingkungan.

Di sini, wacana tentang bagaimana seharusnya kita memandang dunia bisa berubah seiring waktu. Beberapa dekade silam, di saat banyak manusia di dunia ini hidup miskin, penemuan energi minyak bumi di berbagai belahan dunia dianggap menjadi ladang ekonomi baru dan diprediksi akan mengurangi angka kemiskinan. Namun sampai saat ini, ketika penambangan dilakukan secara besar-besaran, nyatanya angka kemiskinan masih banyak. Ditambah lagi hasil penelitian yang mengemukakan minyak bumi adalah energi fosil yang tak dapat diperbaharui dan kelak akan habis. Maka saat ini banyak wacana kritis yang menyebutkan penambangan minyak bumi adalah salah satu bentuk kerakusan manusia terhadap alam dan kelak manusia pula yang merasakan akibatnya.

Di Indonesia sendiri, eksploitasi terhadap alam sudah dilakukan secara membabi buta. Industri asing banyak didirikan. Kebakaran hutan, banjir bandang, pencemaran lingkungan, dan sebagainya adalah akibat dari semua itu. Namun, yang banyak terkena tumbalnya adalah rakyat jelata yang tak berdosa. Perusahaan besar, yang menyebabkan semua itu terjadi, hanya mendapat manisnya. Mereka mencuri kekayaan negeri untuk kepentingan sendiri.

Hal ini tentu ironis mengingat Indonesia merupakan negara demokrasi di mana setiap pendapat dipertimbangkan dan dihargai. Oleh karenanya perlu ada ruang publik yang bisa menyuarakan pendapat kaum jelata yang menjadi korban dari eksploitasi alam. Menurut Juergen Habermas (dalam Cox, 2010:26), ruang publik atau public sphere adalah sebuah tempat di mana setiap orang berkumpul dan menyuarakan pendapatnya untuk membentuk sebuah badan publik. Badan publik di sini lahir dari hasil konsensus bersama untuk melakukan tindakan melawan eksploitasi alam. Dan ruang publik itu seyogyanya disediakan para aparatur negara dalam rangka memfasilitasi rakyatnya bersuara.

Tapi sayangnya, definisi ruang publik telah disalah artikan. Ruang publik dewasa ini dimaknai sebagai tempat di mana sebuah kebijakan politik diciptakan, disebarkan, dan (harus) dipersepsikan seragam oleh segenap lapisan masyarakat. Selain itu, ruang publik juga dimaknai sebagai sesuatu yang konkrit : kolom editorial dan opini di koran, talk show di televisi dan radio, blog di internet, ataupun kunjungan resmi petinggi negara ke lapangan untuk mengetahui problem masyarakat (Cox, 2010:32). Di sini timbul pertanyaan, apakah orang yang menulis opini di koran, di blog, ataupun pembicara di siaran on air bisa mewakili suara rakyat jelata yang hidup dalam situasi yang sebenarnya ?

Memang dalam sejarahnya, suara kaum minoritas sangat sangat sulit berteriak lebih keras dari suara kaum dominan. Kaum dominan berkuasa atas apa saja. Tak hanya ekonomi, namun juga akses ilmu pengetahuan. Kita tidak dapat membantah bahwa rakyat jelata yang kekayaan alamnya dieksploitasi merupakan kaum yang (hampir) mustahil mengenyam pendidikan tinggi. Mereka (mungkin) hanya belajar dari budaya nenek moyang tentang pentingnya cinta kasih terhadap alam. Sedangkan kaum dominan, dalam konteks ini perusahaan besar, siap merekrut para sarjana perguruan tinggi dengan gaji tinggi. Sarjana ini bisa diambil dari beragam disiplin ilmu pengetahuan. Bisa sarjana teknik, sarjana ilmu alam, ataupun sarjana ilmu komunikasi.

Untuk sarjana ilmu komunikasi sendiri, mereka sudah mempelajari bidang ilmu yang sedikit dibahas di atas, Komunikasi Lingkungan. Menurut sarjana komunikasi yang nantinya akan terjun di bidang Public Relations (PR) suatu perusahaan, pada awalnya komunikasi lingkungan dapat diartikan sebagai penggunaan rancangan dan strategi dalam proses komunikasi dan produk media untuk mendukung pembuatan kebijakan yang efektif, partisipasi publik, dan penerapan proyek yang diarahkan menuju kelestarian lingkungan (Anonim, 1999:8). Tapi setelah mereka terjun di dunia perusahaan, pandangan normatif tentang definisi itu sedikit banyak berubah.

Komunikasi lingkungan tidak lagi dipahami sebagai alasan melesterikan lingkungan, namun sebagai suatu langkah agar masyarakat bisa mendukung sebuah kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengenai lingkungan. Berbagai program edukasi mengenai lingkungan yang dikeluarkan oleh PR suatu perusahaan bukan diperuntukkan demi kemajuan masyarakat, namun demi kepentingan perusahaan semata. Masyarakat asli hanya disiapkan menjadi buruh yang nantinya semakin melegitimasi keberadaan suatu perusahaan di tempat itu.

Berdasarkan refleksi singkat di atas. Perlu digarisbawahi, asumsi-asumsi itu tidak patut digeneralisasi. Artinya, tulisan di atas tidak begitu saja dapat diterima secara mentah-mentah. Penulis sendiri merasa masih banyak kekurangan karena bukan orang yang kredibel dalam mengangkat topik itu. Selain itu, masih banyak bahasan yang lebih krusial dan menarik berkaitan dengan isu lingkungan.

Tapi yang ingin disampaikan penulis di sini adalah, pentingnya menyebarkan ilmu pengetahuan yang ada dalam diri penulis, terlepas wacana tentang ilmu pengetahuan itu benar apa salah. Kita sebagai makhluk yang memiliki akal tentu bisa mengoreksinya.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha mulia. Yang mengajar manusia dengan (perantara) kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS Al Alaq ayat 1-5)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (1999). Environmental Communication: Applying Communication Tools toward Suistainable Development, Working Paper of the Working Party on Development Cooperation and Environment. Paris: OECD Publication.

Cox, R. (2010). Environmental Communication and the Public Sphere, Second Edition. California: Sage Publication, Inc.

Littlejohn, S. W. & Foss, K. A. (2009). Encyclopedia of Communication Theory.California: Sage Publication, Inc.


Apakah hubungan antara manusia dengan kerusakan lingkungan alam

Lihat Pendidikan Selengkapnya