Apa yang menjadi benang merah keterkaitan antara drama kabuki di Jepang dengan kajian seni rupa

Jepang merupakan negara yang maju, dengan segala kecanggihan teknologinya. Namun Jepang juga memiliki seni teater tradisional yang sampai saat ini masih sangat digemari oleh masyarakat disana. Salah satu seni teater yang terkenal adalah Kabuki.

Kabuki adalah teater tradisional jepang yang terkenal akan pertunjukkannya yang dipenuhi dengan nyanyian dan tarian yang indah dan memukau. Alam bahasa Jepang modern, kata “Kabuki” ditulis dengan karakter “Ka” yang mengartikan lagu, “bu” yaitu tarian, dan “ki” yang mengartikan tarian. Biasanya pemain Kabuki akan mementaskan drama dengan bernyanyi dan menari, juga memakai make-up yang tebal dan para pemain akan memakai tepung beras di wajah agar mendapatkan warna putih yang nyata dan mendapatkan kesan “porselen”.

Pertunjukkan Kabuki biasanya lebih dikenal di kalangan masyarakat menengah. Pada awalnya, pertunjukan ini diperankan baik oleh laki – laki maupun perempuan. Akan tetapi, para pemain kabuki perempuan banyak yang mengalami pelecehan dan menjadi lebih populer dengan prostitusi dan tarian – tarian yang sensual. Hal ini lah yang pada akhirnya menyebabkan adanya larangan bagi perempuan untuk bermain seni peran tersebut. Ketika pertama kali dilakukan, ia cukup mengguncang dunia pertunjukan dan teater. Hari ini, ia terkenal karena dipentaskan secara eksklusif oleh aktor pria akan tetapi satu-satunya orang yang dikaitkan dengan penciptaan kabuki sebenarnya adalah seorang wanita. Namanya “Izumo no Okuni” dan dia diyakini sebagai seorang gadis suci dari kuil Izumo. Dengan demikian, salah satu tugasnya adalah untuk mementaskan tarian dan ritual kuno untuk menghormati dewa Buddha tapi melalui adaptasinya sendiri dari pertunjukan ini, telah membuatnya terkenal dan pada akhirnya melahirkan kabuki. Melepaskan tradisi yang kaku, Okuni tidak hanya membawa sedikit sindiran ke dalam tariannya, tapi juga tema pertikaian cinta dan cerita-cerita lain tentang kehidupan sehari-hari orang biasa. Penampilannya begitu populer, sehingga tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk melatih perempuan lain untuk dapat menari sepertinya, beberapa mencontek gaya pentasnya dan dengan segera, berbagai kelompok kabuki yang terdiri dari hanya perempuan itu mulai bermunculan, menyebarkan gaya ini keseluruh Jepang.

Pada 1603, Okuni mementaskan kabuki pertamanya dengan sekelompok wanita. Hanya sekitar 30 tahun kemudian, kontroversi sekitar bentuk seni baru ini ahkirnya membesar sehingga Keshogunan mengambil tindakan, melarang keras aktris wanita dari seni pertunjukan karena kekhawatiran umum tentang moral dan ketidaksenonohan. Mereka ahkirnya digantikan dengan aktor pria muda, tapi bahkan merekapun tidak lama lagi menghadapi masalah yang sama, dan ini mengarah ke kabuki yang ahkirnya hanya dipentaskan oleh pria yang lebih tua, standar yang ahkirnya ditegakkan bahkan diteater saat ini. Selama periode Edo, Kabuki benar-benar mulai berkembang. Dalam budaya yang dibentuk oleh rakyat biasa di Jepang ini, aktor kabuki pada dasarnya adalah popstars dari Jepang lama, yang sangat digemari dan dicari. Banyak drama yang ditulis dan banyak karakteristik yang kita kenal sekarang terbentuk pada saat itu.

Seiring dengan waktu, pertunjukan teater kabuki semakin berkualitas. Apresiasi dari pemerintah dan kalangan kelas atas yang semakin meningkat, teater ini menjadi semakin populer di Jepang. Selama Perang Dunia II, teater ini mengalami kerugian yang luar biasa besar dan kehilangan banyak pemainnya. Butuh waktu beberapa dekade untuk memulihkan dan me   latih jumlah aktor yang memadai untuk menggantikan mereka yang menjadi korban perang. Pada saat ini, seni teater Kabuki masih cukup terkenal dan cukup sering dipentaskan di Jepang. Para aktor – aktor Kabuki masih terus memainkan dan mementaskan seni drama ini untuk menjaga kelestarian budaya mereka.

Mega Kristiyawati

2201824204

//www.akibanation.com/wp-content/uploads/2016/03/kabuki.jpg

//www.akibanation.com/mengenal-lebih-dekat-sejarah-kabuki/

//livejapan.com/id/article-a0000299/

Teater di Daerah Asia

A.    Jepang

1.      Kabuki

      Sejarah dan asal mula kabuki

Kabuki merupakan salah satu dari empat jenis drama tradisional Jepang yang di mulai pada tahun 1603. Perkembagan Kabuki diawali oleh seorang wanita yang bernama Izumi no Okuni dari kuil Kitano Temangu, Kyoto.  Tokoh inilah yang dianggap sebagai tokoh yang berpengaruh dalam Kabuki. Pertunjukan kabuki yang digelar sekelompok wanita penghibur disebut Onna-kabuki (kabuki wanita), sedangkan kabuki yang dibawakan remaja laki-laki disebut Wakashu-kabuki (kabuki remaja laki-laki).

      Penggolongan kabuki dalam perkembangannya

1)      Kabuki-odiri

Kabuki-odiri merupakan pertunjukan yang lebih banyak mempertunjukkan tarian dan lagu dibandingkan dengan porsi drama yang ditampilkan.

2)      Kabuki-geki

Kabuki-geki merupakan pertunjukan sandiwara yang ditujukan untuk penduduk kota di zaman Edo dan berintikan sandiwara dan tari. Tema pertunjukan kabuki-geki bisa berupa tokoh sejarah, cerita kehidupan sehari-hari atau kisah peristiwa kejahatan, sehingga kabuki jenis ini juga dikenal sebagai Kabuki kyogen.

      Kostum kabuki

·         menghiasi rambutnya dengan berbagai aksesoris yang indah dan dihiasi dengan topi yang berbentuk seperti payung yang disebut dengan Nurigasa.

·         untuk menyamai penampilannya dengan seorang samurai, pemain kabuki membawa pedang yang diselipka di Obi nya.

·         aksesoris tambahan pemain menggunakan selempang berwarna merah di dada yang disebut Karaori, dan ditambah hiasan gong kecil yang disebut dengan kane.

·         menggunakan kostum berupa kimono dengan motif bunga-bunga yang indah dengan warna yang terang dan mencolok.

kostum tidak hanya mewakili karakter tokoh dan peran yang dimainkan, mencerminkan identitas dan status sosial tokoh yang bersangkutan, tetapi juga mendukung ketokohannya sekaligus, sehingga kehadiran dan peran yang di jalankan memperkuat tema cerita.

      Unsur-unsur Penunjang dalam Pementasan Kabuki

Pada garis besarnya ada 6 unsur penunjung dasar, yaitu :

1)      Unsur Tari

Ada 3 jenis tarian yang digunakan dalam pementasan drama klasik Kabuki yaitu :

a.       Tarian selingan

Tarian ini ditampilkan sebagai sisipan diantara pergantian babak dalam drama klasik kabuki, dengan tujuan untuk menghilangkan kejenuhan bagi penonton.

b.      Tarian drama

Tarian ini ditampilkan dengan iringan musik secara lengkap, tarian ini bertujuan menunjang gerakan para pemain kabuki, dalam memainkan lakon yang diperankan oleh pemain yang bersangkutan menjadi sempurna.

c.       Tarian yang menunjukkan kepribadian

Tarian ini merupakan tarian adat, yaitu suatu ekspresi tarian rakyat yang merefleksikan kehidupan yang diceritakan dan ditampilkan di atas panggung kabuki, Biasanya tarian ini merupakan tarian perorangan, sehingga menonjolkan pribadi seseorang.

2)      Unsur Musik Pengiring

Instrumen yang digunakan dalam pementasan drama klasik kabuki sebagai musik pengiring adalah taiko (gendang), shamisen (semacam gitar yang berdawai tiga), dan tsuzumi (genderang yang dipukul-pukul dengan tangan). Kombinasi dari instrumen-instrumen tersebut di atas menghasilkan ekspresi bunyi-bunyi an asli seperti bunyi hujan, tiupan angin dan salju.

Jenis musik pengiring yang mendukung tarian dalam pementasan drama klasik kabuki dapat dikelompokkan ke dalam 4 jenis yaitu

a.       Osatsume adalah ekspresi musik yang dimunculkan hanya untuk adegan-adegan yang menakutkan.

b.      Kiyomoto adalah ekspresi musik pengiring untuk narasi nyanyian Jepang yang anggun.

c.       Nagauta adalah nyanyian indah yang ditampilkan dalam berbagai cerita,

d.      Hyosigi adalah musik yang digunakan untuk menentukan kapan layar dibuka dan ditutup.

3)      Unsur Panggung

Panggung pementasan drama klasik kabuki terbagi dalam 6 bagian utama yaitu :

a.       Atoza, bagian belakang panggung yang ditempati oleh musik pengiring yang disebut dengan istilah ayashikata.

b.      Wakiza, bagian samping kanan panggung yang ditempati oleh 8 atau 9 orang penyanyi.

c.       Honbutai, bagian panggung utama untuk pementasan.

d.      Hanamichi, bagian sisi kiri dan kanan panggung yang berbentuk lorong panjang yang menerobos di antara kursi-kursi penonton.

e.       Mawari Butai, panggung yang bisa berputar yang digerakan dari bawah oleh petugas pentas, berfungsi untuk mengganti latar belakang panggung dan peralihan babak dengan cepat.

f.       Oozeri, panggung mini yang dipersiapkan untuk dapat naik turun dengan mudah.

4)      Unsur pemain/ peran

Semua pemain Kabuki adalah pria. Namun dalam pementasan ada di antara pemain yang harus memainkan peranan sebagai wanita. Peran wanita dalam drama klasik Kabuki disebut onnagata atau tateoyama

Terdapat 3 jenis tingkatan peran wanita, dalam yaitu :

a.       Hime dan machimusume, yaitu peranan sebagai wanita muda

b.      Okugata dan sewayobo, yaitu peranan sebagai wanita dewasa

c.       Fukeoyama, yaitu peranan sebagai wanita tua

Selain itu, dalam drama klasik kabuki dikenal juga adanya 2 jenis peran dasar yang terdiri dari wagoto (mencerminkan realitas kehidupan masyarakat, berwatakkan naturalis, lemah lembut) dan aragoto (mencerminkan semangat masyarakat, berwatak sombong, kasar, berideologi kuat)

5)      Unsur cerita

a.       Jidaimono (cerita tentang sejarah)

Seperti pada kisah-kisah pertempuran antara keluarga Minamoto dan Taira, shogun Ashikaga dan Hojo, Odanobunaga dan Toyotomi Hideyoshi.

b.      Sewamono (cerita mengenai keadaan kehidupan sehari- hari)

Jenis cerita ini menggambarkan realitas kehidupan sehari-hari rakyat jelata, baik menyangkut tentang kesulitan hidup, profesi dan penjahat.

6)      Unsur Penggunaan Dialog

Fungsinya untuk memperjelas dan mengekspresikan suatu adegan. Melalui dialog tersebut, muncullah jenis cerita aragoto yang diciptakan Ichikawa Danjuro dengan naskah pertamanya berjudul “Shintenno Osamadachi” yang pertama dipentaskan di Edo pada tahun 1637.

2.      N O H

      Sejarah dan asal mula

Noh adalah teater Jepang yang menggabungkan antara pertunjukan tari, drama, musik, dan puisi. Noh bisa juga disebut dengan nogaku yang berarti bentuk drama musikal. Seni pertunjukan tradisional Jepang ini dikembangkan sekitar abad ke 14 selama periode Muromachi (1333-1573).

Berdasarkan sejarahnya drama Noh lahir pada periode Chuusei antara tahun 1350-1450, dimana saat itu pertunjukannya merupakan kombinasi antara sarugaku (seni pertunjukan dari China) dan dengaku (tarian tradisional Jepang). Noh akhir abad ke 14 dipopulerkan oleh Kannami Kiyotsugu bersama anaknya bernama Zeami Motokio. Mereka mengadakan pertunjukan dihadapan kaisar Ashikaga Yoshimitsu.

      Kategori/babak berdasarkan urutan pementasan

a.       Wakinoh (babak Shin) terdiri dari cerita mengenai dewa atau upacara tanda syukur.

b.      Shuramono (babak Nan) terdiri dari cerita yang bertemakan samurai yang telah meninggal dalam pertempuran.

c.       Kazuramono (babak Nyo) terdiri dari cerita yang menjadikan wanita atau roh wanita sebagai tokohnya.

d.      Ganzaimono (babak Kyoo) terdiri dari cerita mengenai kejadian yang ada pada zaman saat.

e.       Kirinoh (babak Ki) mengenai setan atau cerita tentang binatang buas.

      Ciri khas

·         Pemain harus memakai topeng.

·         Pergerakan tariannya sangat pelan.

·         Terdiri dari babak-bakak.

·         Diiringi oleh pemain musikyang terdiri atas pemain suling dan penabuh gendang.

·          

      Kostum

·         dibuat dari sutra cantik yang dicelup dan dibordir dengan rumir.

·         Kostum-kostum ini mengungkapkan tipe karakter yang digambarkan dan mengikuti konvensi ditetapkan sebagai penggunaannya.

·         Proses menggunakan kostum begitu rumit.

B.     Cina

1.      Opera Peking

Sejarahnya, pada 1790 sebuah jenih drama baru, yang dikenal sebagai Jingxi atau Jingju (drama ibu kota), lahir. Drama ini dibuat di Beijing untuk peringatan ulang tahun ke 80 Kaisar Qianlong.  Drama ini menggabungkan beberapa gaya pertunjukkan, seperti lagu-lagu rakyat sekitar, dialeg lokal, opera tepukdan sejenis musik yang disebut Pihuang.

Naskah opera peking biasanya merupakan revisi dari drama zaju atau kunqu. Naskahnya terdiri dari lagu, pantomim, tarian, akrobat, seni bela diri, dan dialog. Para pemain memiliki speslisasi peran tunggal, yaitu sheng (laki-laki), dan (perempuan), jing (tokoh dengan wajah dilukis), atau chow (pelawak). Tiap jenisnya terdiri dari beberapa peran.

Aktor opera peking paling terkenl pada abad XX adalah Mei Lanfang, seorang spesialis peran wanita yang memperkenalkan opera peking pada dunia barat pada tahun 1930-an.

Panggung opera ini sederhana. Para pemusik yang memainkan kecapi, batang kayu, dan jeni gong dan simbal, duduk di panggung terbuka yang beralaskan karpet dengan dua pintu masuk yang terbuka.

Kostum dan tata riasnya, yang memberikan identifikasi peran, sangat berlebihan dan bergaya. Para pemain menggunakan baju berlengan air - kain sutra putih yang lebih panjang dari lengan, yang jatuh sekitar 60 cm dari tangan

Sepasang ornamen burung yang dipasang pada bagian kepala juga menjadi bagian koreografi gerak. Pada ksatria menggenakan jubah satin dengan bordiran dan empat bendera segitiga di punggungnya. Pemain jing mengecat wajah mereka dengan aneka warna atau pola abstrak hitam putih yang menggambarkan karakter tertentu.

2.      Opera Kunqu

Opera Kunqu berasal dari Kota Kunshan Provinsi Jiangsu di timur China dan sudah bersejarah lebih 600 tahun . Awalnya , Opera Kunqu hanya merupakan senandung yang hanya populer di kawasan Kunshan , kemudian diperkenalkan ke berbagai tempat di seluruh China .

Nilai budaya Opera Kunqu terutama diperlihatkan dalam 3 aspek yaitu :

a.       Script drama

Script drama Opera Kunqu terdiri dari susunan drama yang terbentuk pada abad ke-10 di China. Umumnya setiap script drama terdiri dari 24 babak dan setiap babak terdiri dari satu cerita yang lengkap dan dapat dipersembahkan sendirian, sementara 24 babak tersebut memiliki hubungan cerita antara satu sama lain menurut perkembangan cerita umum. Opera Kunqu ada yang panjang dan ada yang pendek, perkataannya lemah lembut dan merdu.

b.      Musik

Musik lagu Opera Kunqu sebanyak lebih 1000 jenis, diantaranya ada banyak lagu rakyat dan lagu etnis-etnis minoritas China. Alat musik permainan iringan Opera Kunqu terutama adalah seruling, Sheng, Xiao dam Suona, alat musik tiup serta Sanxian dan Pipa, alat musik kutipan tradisional China.

c.       Pertunjukan

PertunjukanOpera Kunqu memiliki sistem dan keistimewaannya sendiri . Opera Kunqu mengutamakan nyanyian lirik dan gerak-gerik presentasi yang halus dan cantik. Tarian pada Opera Kunqu dipersembahkan menurut aturan tertentu . Lagu Opera Kunqu dinyanyikan sesuai dengan gerak-gerik tarian.

Cara pertunjukan Opera Kunqu terdiri dari nyanyian, berdialog dan menari. Pelakon Opera Kunqu harus memiliki kepandaian tinggi dari beberapa cara presentasi barulah dapat mempersembahkan Opera Kunqu dengan baik.

   C.    Thailand

1.      Khon

Khon merupakan pementasan drama/teater thailand yang menceritakan tentang Ramayana. Bangsa Thailand menganggap cerita Ramayana tempat kejadiannya di Thailand. Disana ada bekas kerajaan Ayutthaya (Ayodhya) tempat tinggal Rama, tokoh sentral dari cerita Ramayana.

Sama seperti Wayang Orang, dalam drama Khon juga memiliki dua karakter yakni sisi baik dan sisi jahat. sisi baik diwakili oleh Rama dan saudaranya Laksmana berbusana pakaian ala ksatria berwarna perak dengan bahu ada hiasan melengkung seperti tanduk. Mahkota yang dikenakan mirip hiasan-hiasan candi yang ada di Thailand, meruncing ke atas menyerupai stupa. Yang membedakan sisi baik dan sisi jahat adalah pada mahkota dan pemakaian topeng Khon. Sisi jahat mahkotanya bergambar dua kepala raksasa yang bermuka hitam menyerupai topeng yang dikenakan pemainnya, serta memakai Khon (topeng).

Gamelan atau musik pengiring dalam drama Khon terdiri dari dua buah gamelan yang mirip gambang dalam gamelan Jawa dan satu yang menyerupai Bonang hanya bentuknya melingkar, satu gendang dan satu alat gesek mirip rebab dan alat tiup mirip seruling. Dan dua dalang, pria dan wanita yang menjadi penyampai cerita dan dialog. Suara dalang mendayu-dayu seperti seorang pendeta yang sedang merapalkan mantra.

Drama Khon hanya mengambil cerita dari “Ramakien” atau Ramayana. Cerita diawali ketika Rama, Laksmana dan Sinta sedang bercengkerama di hutan dandaka dan digoda oleh kijang emas yang ternyata penjelmaan dari raksasa Kota Longka (Alengka). Sinta diculik oleh Thotsakan (Rahwana) yang menjelma sebagai seorang pertapa miskin. Hanya dalam cerita versi Thai ini tidak ada Jatayu (burung raksasa) yang berusaha merebut Sinta dari tangan Rahwana (berarti orang Indonesia kreatif dalam meramu, membumbui cerita). Rama dibantu Hanoman dan pasukan kera menyerbu Alengka dan merebut kembali Sinta.

Khon mula-mula digarap di keraton sejak Raja Rama I. Kemudian, dipertontonkan untuk umum sejak pemerintahanRaja Rama VI, dilanjutkan oleh anaknya Raja Rama VII yang paling giat mengembangkannya.

Perangkat musik yang digunakan untuk mengiringi Khon disebut Piphat. Piphat terdiri atas alat musik tiup, gendang, gambang, dan kecrek. 

   D.    India

1.      Teater Bhavai

Bhavai diyakini berasal dari abad ke-14 . Pertunjukan Bhavai juga dikenal sebagai swang. Perkembangan Bhavai tampak jelas telah berevolusi dari bentuk-bentuk awal dari hiburan rakyat . Kata Bhavai dalam arti pertunjukan atau tontonan.

Dalam pertunjukan Bhavai, para pemainnya milik tingkatan-tingkatan yang dikenal sebagai tragala. Selain sebagian pertunjukan hiburan, Bhavai juga dijadikan sebagai ritual dilakukan untuk Dewi Amba. Kritik sosial halus dicampur dengan humor tajam adalah ciri khas dari Bhavai. Orang-orang milik berbagai tingkat strata sosial mulai dari raja untuk penjahat digambarkan dalam Bhavai.

Bhavai Veshas menggambarkan orang-orang dari semua kelas masyarakat. Humor merupakan peranan penting dalam pementasan Bhavai. Dominasi ini membuat Bhavai unik di antara seni tradisional India. Kepala rombongan Bhavai disebut Nayak. Dia pertama kali menandai arena pertunjukan, kemudian menawarkan kumkum untuk minyak-obor yang merupakan simbol dari dewi Amba dan menyanyikan lagu-lagu doa pujiannya.

Cerita terungkap melalui lagu-lagu , dialog dan pidato dalam prosa serta ayat . Ada banyak menari dan bernyanyi di Bhavai . Karakter wanita yang diperankan oleh laki-laki.Bhungal adalah tokoh yang memiliki empat kaki pipa tembaga panjang yang memberikan catatan yang kuat dan unik untuk Bhavai. Bhungal dimainkan selama urutan tari dan juga merupakan salah satu karakter penting .

Bahasa Bhavai adalah campuran dari Hindi, Urdu, dan Marwari. Bhavai Veshas diterbitkan untuk pertama kalinya pada abad kesembilan belas dan pertunjukan terkait dengan pendahulu mereka melalui praktek dan tradisi lisan.

Alat musik lain yang pertunjukan Bhavai antara lain, ialah pakhawaj (drum), jhanjha (simbal), yang sarangi (instrumen musik gesek), dan harmonium. Gaya musik selalu berbau Hindu dan diselingi dengan lagu-lagu lokal.

Bhavai juga bisa dibilang sebagai tarian rakyat yang spektakuler. Bentuk Tari terdiri dari terselubung penari perempuan menyeimbangkan sampai tujuh atau sembilan pitcher kuningan karena mereka menari dengan gesit, berputar-putar dan kemudian bergoyang dengan telapak kaki mereka bertengger di atas kaca atau di tepi pedang.

Teater Eropa

Sejarah teater masuk ke Eropa

Kekuasaan gereja di Eropa, banyak pentas teater di kota-kota untuk merayakan hari besar umat kristen sekitar abat XIII-XIV, yang ceritanya berdasarkan cerita alkitab. Pertunjukan dilakukan diatas kereta kuda yamg disebut pageant. Pertunjukan ini seperti pawai atau karnaval keliling kota-kota Eropa bahkan keliling dunia. Pendukung drama ini menggunakan kolong kereta untuk menyembunyikan instrumen musik ilustrasi pertunjukan dan membuat efek trik tipuan, seperti menurunkan seorang aktor dari atas ke panggung.Aktor-aktor pageant  seringkali adalah para perajin setempat yang memainkan adegan yag menunjukan keahlian mereka. Orang berkerumun untuk menyaksikan drama pageant religius di Eropa. Drama ini populer karena pemainnya berbicara dalam bahasa sehari-hari, bukan bahasa Latin yang merupakan bahasa resmi gereja-gereja Kristen  Teater Eropa merupakan salah satu teater yang muncul pada Abad Pertengahan.

Tearter zaman renaisance di Inggris (1500-1700 M)

Kejayaan teater di zaman yunani kuno lahir kembali di zaman renaissance. Di Inggris muncul dramawan-dramawan besar. Dan yang paling terkenal adalah williams shakespeare (1564-1616). Beberapa karyanya yang diterjemahkan oleh Trisno Sumardjo yaitu Romeo and Juliet, Hamlet, Machbet, Prahara.

Zaman restorasi adalah zaman kebangkitan kembali kegiatan teater di Inggris setelah kaum Puritan yang berkuasa menutup kegiatan teater.  Segala bentuk teater dilarang.Namun setelah Charles II berkuasa kembali, ia menghidupkan kembali teater. Adapun ciri- ciri teater pada zaman restorasi adalah:

·         Tema cerita bersifat umum dan penonton sudah mengenalnya.

·         Tokoh wanita diperankan oleh Pemain wanita

·         Penonton tidak lagi semua lapisan masyarakat, tetapi hanya kaum menengah dan kaum atasan

·         Gedung teater  mencontoh gaya Italia.

·         Pertunjukan diselenggarakan di  gedung  proscenium diperluas dengan menambah area yangdisebut apron.sehingga terjadi komunikasi yang intim antara pemain dan penonton. .

·         Setting panggung bergambar perspektif dan  lebih bercorak umum, misalnya taman atau istana.

Teater zaman renaisance di Perancis (1500-1700 M)

Asal-usulteater:

      Berasal dari upacara agama primitif. Unsur cerita ditambahkan pada upacara semacam itu yang akhirnya berkembang menjadi pertunjukan teater. Meskipun upacara agama telah lama ditinggalkan, tapi teater ini hidup terus hingga sekarang.   

      Berasal dari nyanyian untuk menghormati seorang pahlawan di kuburannya. Dalam acara ini seseorang mengisahkan riwayat hidup sang pahlawan yang lama kelamaan diperagakan dalam bentuk teater. 

      Berasal dari kegemaran manusia mendengarkan cerita. Cerita itu kemudian juga dibuat dalam bentuk teater (kisahperburuan, kepahlawanan, perang, dan lain sebagainya). 

Bangsa perancis juga mengambil hikmah dari kejayaan teater Yunani kuno. Mereka menyebutnya dengan “neo klasik” artinya klasik baru. Maksudnya adalah mereka memberikan jiwa baru kepada gaya klasik Yunani kuno. Yaitu gaya yang lebih halus, anggun dan mewah. Di zaman itu muncullah Moliere (1622-1673 M). Moliere juga mengarang dan mementaskan karya-karyanya sendiri, sekaligus menjadi pemeran utamanya. Beberapa karyanya yang telah diterjemahkan yaitu, Si Bakhil, Dokter Gadungan, Akal Bulus Scapin.

Teater Prancis dengan ciri-ciri sebagai berikut

a.       mengikuti konsep pembuatan naskah klasik.

b.      menitikberatkan pada konsep mengenai moral kebaikan dan kebenaran.

c.       memiliki orientasi pada fungsi drama

Teater Prancis mengalami perubahan besarsekitar tahun 1630-an, ketika teori neoklasik dari Italia masuk Prancis. Teori ini di Prancis amat dipegang teguh dan dipatuhi lebih dari negara manapun padawaktu itu. Dasar teori neoklasik itu adalah:

1. Hanya ada 2 bentuk drama, tragedi dan komedi, keduanya tak boleh dicampur.

2. Drama harus berisi ajaran moral yang disajikan secaramenarik.

3. Karakter harus menggambarkan sifat umum, yang universal dan bukan individual yang aneh.

4. Kesatuan waktu, tempat dan kejadian dipertahankan.

Tokoh-tokoh drama di Prancis antara lain Pierre Corneile (1606-1684, dengan karya-karya: Melite, Le Cid), Jean Racine (1639-1699, dengan karya: Phedra). Contoh teater dari Perancis : Aduna, Terre d'Aventure”. Pertunjukan ini merupakan rangkaian Perayaan Musim Semi di Perancis (Printemps Francaisen Asie).

Teater zaman Italia

Sejarah teater di Italia

Abad 17 memberi sumbangan yang sangat berarti bagi kebudayaan Barat. Sejarah abad 15 dan 16 ditentukan oleh penemuan-penemuan penting yaitu mesin, kompas, dan mesin cetak. Semangat baru muncul untuk menyelidiki kebudayaan Yunani dan Romawi klasik. Semangat ini disebut semangat Reanissance yang berasal dari kata renaitre yang berarti kelahiran kembali manusia untuk mendapatkan semangat hidup baru. Gerakan yang menyelidiki semangat ini disebut gerakan Humanisme.

Pusat-pusat aktivitas teater di Italia adalah istana-istana dan akademi. Di gedung-gedung teater milik para bangsawan inilah dipentaskan naskah-naskah yang meniru drama-drama klasik. Para aktor kebanyakan pegawai-pegawai istana dan pertunjukan diselenggarakan dalam pesta-pesta istana.

Ada 3 jenis drama yang dikembangkan, yaitu : Tragedi, Komedi, liturgis, dan Pastoral  ataupun drama  yang membawakan kisah-kisah percintaan antara dewa-dewa dengan para gembala di daerah pedesaan. Namun nilai seni ketiganya masih rendah. Meskipun demikian gerakan mereka memiliki arti penting karena mulailah Eropa mengenal drama yang jelas struktur bentuknya.

Ciri-ciri teater zaman Italia

1.      Naskah lakon yang dipertunjukan meniru teater zaman Yunani klasik.

2.      Cerita berdasarkan dongeng dan fantasi dan tidak berusaha mendekati kenyataan.

3.      Tata buasana dan seting yang dipergunakan sangat inovatif.

4.      Pelaksanaan bentuk teater diatur oleh kerajaan maupun universitas sehingga moral pengetahuan perspektifdan Fagade Roma.

5.      Menggunakan panggung proseniumya itu bentuk panggung yang memisahkan area panggung dengan penonton.

      Pada zaman ini juga melahirkan satu bentuk teater yang disebut Commedia Dell’arte yang bersumber dari komedi Yunani

Commedia Del’Arte Di Italia

Commedia Del’Arte adalah teater rakyat Italia abad ke 16 yang berkembang dilingkungan istana. Drama ini dipertunjukkan di lapangan kota dalam panggung yang sederhana.

Ciri-cirinya:

1.      Pada naskah berisi garis besar plot saja

2.      Pelakunya menggunakan topeng

3.      Percakapan langsung spontan

4.      Diselingi nynyian dan tarian yang bersifat menyindir

Teater rakyat tersebut memberi jalan ke arah timbulnya peran-peran pantonim tradisional. Ikut sertanya pemain-pemain wanita membuat Commedia Del’Arte terkesan lebih halus

Ciri Khas Commedia Dell’arte adalah:

1.      Para pemain dibebaskan berimprovisasi mengikuti jalannya cerita  dan dituntut memiliki pengetahuan luas yang dapat mendukung permainan improvisasinya.

2.      Menggunakan naskah lakon yang berisi garis besar cerita

3.      Cerita yang dimainkan bersumber pada cerita yang diceritakan secara turun menurun.

4.      Cerita terdiri dari tiga babak didahului prolog panjang. Plot cerita berlangsung dalam suasana adegan lucu.

5.      Peristiwa cerita berlangsung dan berpindah secara cepat .

6.      Terdapat  tiga tokoh  yang selalu muncul, yaitu tokoh penguasa, tokoh penggoda, dan tokoh pembantu.

7.      Tempat pertunjukannya di lapangan kota dan panggung-panggung sederhana.

8.      Setting panggung sederhana yaitu, rumah, jalan, dan lapangan.

Teater Amerika

Perkembangan teater di Amerika

 Teater masuk ke Amerika pada sebelum koloni inggris datang,tepatnya pada tahun 1607. Teater Amerika didirikan oleh seorang dramwan,pada tahun 1752 di Williamsburg, Virginia. Pada abad – 18 kinerja teater Amerika dilarang oleh hukum. Yang mana hukum ini merupakam desakan dari kongres kontinental.

Pada abad – 19 teater Amerika dikaitkan dengan kehidupan hedonisme bahkan dikaitkan juga dengan kekerasan. Pada waktu ini teater memilik reputasi atau image kurang baik. Periode pra- perang teater cenderung menjadi derivatif,yaitu pertunjukan teater yang meniru melodrama eropa,dan tragediromantis .teater pada waktu ini menarik rasa nasionalisme dengan menggambarkan kepahlawanan amerika.

Ciri-ciri teater amerika

1.     Pertunjukan nya cenderung berupa nyanyian

2.     Keragaman genre

3.     Pertunjukan di lakukan di aula dan jalan-jalan

4.     Menawarkan panorama pertunjukan seni paling lengkap

Contoh teater dari amerika

Pengarang drama yang penting di Amerika adalah Thomas Godfrey, dengan karyanya The Princes of Parthic (1767). Yang dikenal sebagai pengarang masa kini di antaranya adalahTennesse Williams (1914) Arthur Miller (1915 dan William Inge. Pengarang lainnya adalah: Robert Anderson (karyanya: Tea and Shympathy, All Summer Long, an Silent Night, Lonely Night). William Gibson (Karyanya: Two for the Seesaw dan The Miracle Worker). Brooks Atkinson (karyanya: The New York Times).

Drama Komedimusikaljugaberkembang di Amerika, misalnya: A Trip to Chinatown (oleh Charles Hoyt), Forty Five Minutes from Broadway (oleh George M. Cohan), Of There I Song karya George S.

Gaya Pementasan

Representasional (Realisme)

Gaya ini berusaha menampilkan kehidupan secara nyata di atas pentas sehingga apa yang disaksikan oleh penonton seolah-olah bukanlah sebuah pentas teater tetapi potongan cerita kehidupan yang sesungguhnya. Para pemain beraksi seolah-olah tidak ada penonton yang menyaksikan. Tata artistik diusahakan benar-benar menyerupai situasi sesungguhnya di mana lakon itu berlangsung.  Unsur-unsur gaya Representasional adalah:

  • Aktor saling bermain di antara mereka, beranggapan seolah-olah penonton tidak ada sehingga mereka benar-benar memainkan sebuah cerita seolah-olah sebuah kenyataan
  • Menciptakan dinding keempat (the fourth wall) sebagai pembatas imajiner antara penonton dan pemain

KONDOBULENG: DARI ARENA KE TEKS

Eksistensi dan Transkripsi Teater Tradisional Bugis-Makassar

SEMINAR SERUMPUN IV UNHAS-MALAYSIA 4-5 JULI 2009

ABSTARK.

Kondobuleng, sejenis teater tradisional suku Bugis-Makassar, Sulawesi Selatan. Catatan tertua menegaskan, teater tradisional ini milik orang Bajo, sekelompok masyarakat pantai yng berdiam di wilayah Teluk Bone, Sulawesi Selatan (Holt, 1939). Teater ini terungkap melalui gerak, vokal, dan musik. Kondobuleng sebagai teater tradisional dapat ditemukan di Paropo’ di tengah-tegah Kota Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, juga di pulau-pulau dalam wilayah Kabupaten Pangkajene Kepulauan, tetapi dikenal sebagai tarian. Teater tradisional Kondobuleng mempunyai keunikan yang tidak dipunyai oleh teater tradisional lainnya di Indonesia. Keunikan dimaksud yaitu tidak adanya batas antara pemain (characters) dengan perlengkapan (properties) pada adegan tertentu. Mereka adalah pemain, tetapi pada adegan yang sama, mereka adalah perlengkapan pemain. Mereka perahu yang sedang menyeberangi samudra, tetapi pada sat itu pula, mereka adalah manusia yang sedang menumpangi perahu itu. Sebagai warisan dari masa lampau, Kondobuleng yang telah berusia sekitar 300 tahun itu, mengandung fungsi-fungsi sosial yang memiliki 3 nilai yaitu nilai pendidikan (educational value), nilai hiburan (recreational value), dan nilai penciptaan (re-creative value). Nilai-nilai tersebut dapat ditemukan sepanjang pertunjukanya yang sederhana tapi sangat simbolis melalui tiga jenis komedi, yakni kecelakaan fisik (physical mishap), kejenakaan verbal (verbal wit), dan komedi ide (comedy of idea). Berbagai perubahan dan karena itu berbagai penafsiran muncul dalam perjalanannya. Ada yang berpendapat bahwa Kondobuleng adalah simbol kesucian, kemurnian; dan karena itu meskipun tokoh kondo (bangau) sudah mati karena ditembak, dia hidup kembali. Pada masa penajajahan Belanda, tokoh Bangau ditafsirkan sebagai Belanda, dan karena itu tidak hidup kembali setelah tertembak oleh gerilya. Ketika PKI (Partai Komunis Indonesia) masih bercokol di Indonesia, tokoh Bangau hidup kembali setalah ditembak oleh PKI, dan karena itu sang penembak harus menembak dirinya sendiri, karena dianggap dia tidak mampu melaksanakan tugas partai dengan baik. Hal ini mengingatkan kita tentang prinsip PKI, bahwa segala sesuatunya ada di bawah telapak kaki politik. Ada pula yang menafsirkannya sebagai prwujudan siri na pacce (Makassar), siri’ na pessệ (Bugis) seagai sitem nilai suku Bugis-Makassar, sehingga hidupnya kembali tokoh Bangau (sang kondobuleng), ditafsirkan buka secra fisik, melaikan dalam hati keluarga. Salah satu sebab perbedaan penafsiran itu disebabkan oleh adanya perubahan tertentu, tetapi tidak mengubah pola. Salah satu upaya sebagai tujuan pelestarian Kondobuleng, adalah pentranskripsian dalam bentuk naskah pertunjukan. Tujuan lainnya agar awal penyosialisasiannya bisa lebih menyebar dalam bentuk tulisan, dan sebagai pengenalan awal bagi mahasiswa Universitas Hasanuddin yang megambil mata kuliah Seni Pertunjukan Tradisional yang bernomor kode 259F5102. Sebagai kelengkapan, terlampir transkripsi naskah Kondobuleng (Lampiran 1), transliterasi ke aksara Latin syair Daeng Camummu sebagai lagu latar belakang pertunjukan (Lampiran 2), dan trasliterasi syair Daeng Camummu dalam tipografi sajak (Lampiran 3). *** Pengantar Sebagai karya kreatif, teater dan drama berada pada wilayah masing-masing. Drama pada wilayah seni sastra yang ditulis untuk dipertunjukkan, sedangkan teater pada wilayah seni pertunjukan. Pernyataan ini tidak berarti bahwa, puisi dan cerpen sebagai karya sastra, tidak memungkinkan untuk dipertunjukkan. Bahkan dalam perkembangan seni pertunjukan dewasa ini, karya seni rupa bisa menjadi salah satu jenis seni pertunjukan. Salah satu di antaranya adalah Seni Rupa Petunjukan: Kolaborasi dan Penciptaan dalam Festival dan Temu Ilmiah & Festival Budaya Nusantara (9-23 September 1999) di Tirtagangga, Bali. Lebih dari itu, Seni Rupa Pertunjukan di workshop-kan pada hari terakhir. Konsep tertulis dan tidak tertulis itulah yang menjadi pembeda paling utama antarkeduanya. Secara historis seni pertunjukan di Indonesia tidak bertolak dari teks berbentuk naskah tertulis. Seni pertunjukan macam itu dikenal dengan teater tradisional. Pola penyebarannya dari wilayah ke wilayah, dari generasi ke generasi hanya pada saat pertunjukannya. Oleh karena eksistensi seni pertunjukan di Indonesia tidak tertulis, tanpa ragu-ragu Djajakusuma (1972) mengatakan bahwa sebelum abad ke-19 di Indonesia tidak ada drama. Yang ada adalah teater. Alasan utamanya karena Indonesia tidak memiliki tradisi menuliskan konsep seni pertunjukannya. Sehubungan dengan pendapat Djajakusuma tersebut, Sumardjo menegaskan: “Salah satu aspek teater Barat yang membedakannya dengan teater tradisional Indonesia adalah tersedianya naskah drama. Teater tradisional Indonesia tidak pernah menuliskan naskah pementasannya...... Naskah sastra drama tertua yang tercatat di Indonesia adalah karya F. Wiggers, Lelakon Raden Beij Surio Retno yang diterbitkan tahun 1901. Sedangkan rombongan drama tertua di Indonesia muncul tahun 1891 dengan nama Komedie Stamboel (1992: 236). Sulawesi Selatan yang secara geografis terletak di wilayah bagian timur Indonesia, teater tradisionalnya memang amat sangat terbatas jika dibandingkan dengan Jawa dan Bali. Jenis-jenis yang telah diidentifikasikan ada 6 (secara alfabetis): 1) Anngaruwe’. 2) Koa-koayang. 3) Kondobuléng. 4) Maccampong. 5) Mappennyu, 6) Songko’-songko’ Jangang. Empat jenis di antara teater tradisional tersebut di atas: Anngaruwe’, Maccampong, Mappennyu, dan Songko’-songko’ Jangang pada akhir dasa warsa pertama abad ke-21 ini, tidak pernah lagi dipertunjukkan. Dua jenis lainnya: Koa-koayang dan Kondobuléng pertunjukannya hanya karena diundang oleh sebuah panitia. Dalam berbagai diskusi, teknologi seni audio visual (televisi, VCD, dan semacamnya) dituding sebagai penyebab tersisihnya teater tradisional Indonesia dari masyarakatnya. Pendapat itu di satu sisi bisa dibenarkan. Kampung-kampung sebagai wilayah konsumen terbesar seni pertunjukan tradisional, sejak awal dasa warsa pertama abad ke-21, sudah dimasuki VCD dengan film-film yang mereka anggap “modern”. Para pemuda mengikutinya, bahkan dirasuki oleh gaya (style) berpakaian, berjalan, atau cara berbicara tokoh yang disaksikannya. Di sisi lain penyebab terisihnya ialah penampilannya yang sangat terbatas dan hanya di lingkungan pendukungnya. Dan, yang lebih dari itu, mereka masih menerapkan pendapat bahwa para pemainnya harus yang ada hubungan darah dengan leluhurnya. Dalam Festival Teluk Bone awal tahun 2000-an yang diselenggarakan di wilayah Bajoé, Teluk Bone, panitia menampilkan Anngaruwe’, sejenis teater tradisional etnis Bugis yang nirkata, tanpa kata atau tanpa dialog dan monolog. Para pemainnya semua laki-laki, berusia sekitar 40 tahun ke atas. Dalam wawancara esok paginya sehubungan tidak adanya seorang pun pemuda (usia 20 tahun ke bawah) dalam pertunjukan itu, pimpinan kelompok Anngaruwe’ menjawab: “De’ gaga élo’. Kuno garé’.” (bahasa Bugis: “Tak ada yang mau. Kuno menurut mereka.”). Sejak tahun 1970 Anngaruwe’ belum pernah diikutkan dalam festival atau acara apapun di luar wilayahnya. Dalam Festival dan Seminar Internasional La Galigo tahun 2002 di Kabupaten Barru (sekitar 100 km dari Makassar) yang diketuai oleh Dr. Nurhayati Rahman (kini Prof.), kelompok seni pertunjukan tradisional Anngaruwe’ menyatakan persetujuannya sebagai salah satu acara pada malam harinya. Biaya akomodasi, konsumsi, dan honorarium disiapkan oleh panitia. “Tetapi kami batal ikut, karena sebagai anggota masyarakat yang hidupnya pas-pasan, kami tidak mampu membayar biaya transportasi walaupun saya selaku Pimpinan Rombongan sudah berusaha, termasuk kepada pemerintah” (wawancara dengan A. Muskamal Bare, teaterawan Bone, 2002). Demikian pula dengan Koa-koayang dari Mandar, batal ke Festival Internasional La Galigo karena masalah yang sama. Kondobuléng satu-satunya teater tradisional yang tampil dalam festival internasional itu. Seni pertunjukan tradisional inilah yang sampai sekarang, 2009, bisa disaksikan, baik dalam kota Makassar maupun di daerah-daerah lain. Kini, di wilayah yang sama, Paropo, terdapat beberapa grup/kelompok yang bisa memainkan Kondobuleng, seperti Sanggar I Lolo Gading, Sanggar Remaja Paropo, dll.

Apa itu Kondobuléng?

Secara etimologis kata kondobuléng adalah bahasa Bugis dan Makassar, terbentuk dari dua kata. Kondo berarti bangau, sejenis burung yang berkaki, berleher, dan berparuh panjang. Burung ini pemangsa ikan, hidup di rawa-rawa atau di tempat berair, seperti tepi pantai atau sawah. Kata buléng ada yang mengartikannya “putih”, tapi dalam percakapan sehari-hari, kata “putih” berarti kébo’ dalam bahasa Makassar. Dalam Kamus Indonesia-Makassar (Arif, dkk: 1992), kata “putih” diterjemahkan kébo’. Holt (1939: 18) menulis, “we were to see a dance-pantomine (pantomime?, Pen.) by Kondobuléng, which means “white heroen”. Arti lain kata buléng dapat dilihat di dalam Cense dan Abdoerrahim, “BULENG (Mal. bulai) wit v huidskleur, albino; tau-buleng albino; tedong buleng roze karbouw; djarang buleng wit paard (= djarang balanda)...” (1979: 140). Dari kutipan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa kata “putih” yang ditafsirkan dengan kata buléng bukanlah putih murni, melainkan lebih terarah pada warna putih yang kepirang-pirangan. Dalam konteks ini mengacu pada tubuh dan rambut yang kekurangan zat pigmen. Cense dan Abdoerrahim selanjutnya menulis sbb.: “...kondobuléng witte reiger met gele poten en zwarte snavel; ook en spel; warbij iem zich als witte reiger vermont en een ander person als jager optreedt... warsa pertama abad ke-21 ini, tidak pernah lagi dipertunjukkan. Dua jenis lainnya: Koa-koayang dan Kondobuléng pertunjukannya hanya karena diundang oleh sebuah Akkondo-buléng het spel v.d witte reiger spelen (men hecht hieeran een religieuze betek; henspel wordt dikwijs omstreeks middlenacht gespeeld). Pakondo-kondo-buléng een kondo-buleng speler. (1979: 333). Dengan demikian Kondobuléng adalah sejenis permainan yang sering dilaksanakan pada malam hari, dimainkan oleh seseorang yang berperan sebagai Bangau dan yang seorang lagi sebagai Pemburu, sedangkan para pemainnya disebut pakondo-kondo-buléng. Awal munculnya permainan Kondobuléng diperkirakan 300 tahun lampau. Angka ini merupakan hasil perkalian lima dengan salah seorang pemainnya yang berusia 60 tahun bernama Muhamad Arsjad. Dalam wawancara tanggal 29 Maret 2009 dengannya, pimpinan grup pemelihara teater tradisional ini mengaku sebagai lapisan kelima dari leluhurnya yang secara turun-temurun mewariskan permainan tersebut pada anak cucunya. Menurut Muhamad Arsyad, Kondobuléng hanya boleh dimainkan oleh mereka yang ada hubungan darah dengannya. Pada mulanya permainan Kondobuléng hanya dikenal oleh masyarakat pesisir pantai Sulawesi Selatan yang disebut masyarakat Bajo, yaitu sekelompok masyarakat yang hidup dan mengarungi kehidupannya di laut. Dengan demikian, permainan Kondobuléng diciptakan oleh masyarakat Bajo. Mereka dikenal dengan sebutan to ri jé’né’ (bahasa Makassar, to = tau: orang, ri: di, jé’né’: air). Masyarakat ini tergolong masyarakat yang segan melepaskan peradaban aslinya meskipun sudah akrab dengan masyarakat tempatnya bermukim untuk sementara. Mata pencahariannya, menangkap ikan dan berburu penyu. Holt menyatakan, “beberapa penulis menyebutnya gypsy, masyarakat pengembara, dan dengan demikian tidak menetap di satu tempat” (1939: 18-19). Dalam peta geografi Provinsi Sulawesi Selatan, wilayah masyarakat Bajo terletak di pesisir pantai Teluk Bone, bagian timur-laut Provinsi Sulawesi Selatan. Pada awalnya Kondobuléng berbentuk permainan yang nirkata, tanpa kata atau tanpa tuturan, baik dialog maupun monolog. Segala sesuatuya terungkap melalui gerak dan musik. Vokal manusia terwujud dalam nyanyian, tawa, dan teriakan. Penyebarannya sangat lamban karena hanya ada melalui permainan pengisi waktu. Dalam perjalanannya yang sangat lamban, status Kondobuléng berubah dari permainan menjadi pertunjukan. Bentuk ini rupanya memberi efek yang sangat kuat, terutama untuk mendatangkan orang banyak. Itulah sebabnya dalam masyarakat tradisional Bugis-Makassar, permainan masyarakat yang telah berubah menjadi pertunjukan itu dijadikan salah satu mata acara keramaian, misalnya dalam pesta perkawinan, naik rumah baru, khitanan, dll. Masuknya agama Islam ke wilayah Kondobuléng, menjadi dasar bertambahnya materi pertunjukannya yang disebut Pépé’-pépéka ri Makka (bahasa Makassar, pépé’: api, ka: yang, ri: di, Makka: Mekah). Akan tetapi jika pertunjukannya diamat-amati secara lebih dalam, tampak sama sekali tak ada kaitannya dengan Kondobuléng, episode tersendiri tanpa alur (plot). Dalam pertunjukan itu sekelompok laki-laki dalam pakaian khas Bugis Makassar: ikat kepala passapu, baju kantiu (jas tanpa kerah), celana barocci’, dan sarung digulung sampai lutut; tampil menari-nari sambil memegang sumbu besar yang menyala yang dilekatkan ke lengan, sekali-sekali mengobarkan api dengan minyak tanah yang disemburkan dri mulut. Kesan yang tertinggal, mereka kebal terhadap api. Pertunjukan di antara Kondobuléng dengan Pépé’-pépéka ri Makka, ditampilkan selingan yang disebut Ganrang Bulo (bahasa Makassar, ganrang: gendang, bulo: bambu). Pimpinan I Lolo Gading, M. Arsyad, dalam wawancara (29 Maret 2009) mengatakan bahwa Pépé’-pépéka ri Makka, Ganrang Bulo, dan Kondobuléng itu sendiri sejak setengah abad lalu dijadikan satu paket dalam setiap pertunjukan.

Struktur Kondobuléng

Dalam catatan Holt, tokoh dalam Kondobuléng terdiri atas dua. Tokoh pertama, Bangau. Untuk memberi kesan bangau, pemain yang memerankannya mengenakan kain putih polos yang diselimutkan mulai dari pundak sampai ke kaki. Selain itu, secarik kain yang juga berwarna putih diikatkan di bagian leher, diputar ke atas menutupi kepala termasuk wajah. Di bagian mulut, tertonjol runcing oleh bentukan bambu. Itulah paruhnya. Inilah Kondobuléng-nya. Tokoh kedua, Pemburu, laki-laki dengan sebatang tongkat yang berfungsi sebagai senapan. Sebagai eksposisi dalam alur (plot), Pemburu bergerak bersamaan dengan Kondobuléng ke tengah arena. Si Pemburu berjalan terpincang-pincang, sedangkan Kondobuléng melayang dengan ringan, lalu berhenti sekali-sekali sambil memaling-malingkan kepala dan menggerak-gerakkan sayap. Demikian berlangsung beberapa lama dengan gerak-gerak tertentu yaitu mencari ikan. Tetapi dengan naluri hewannya, Kondobuléng memberi kesan diintai oleh Pemburu. Pada satu saat Pemburu memutuskan untuk menembak. Dia lalu membidikkan senapannya. Kondobuléng mengembangkan sayap lalu berpindah empat. Sekali lagi Pemburu membidik lalu menembak. Tetapi tembakannya meleset. Berikutnya, Pemburu mengisi senapannya dengan peluru (improvisatif). Dia membidik agak lama, dan pada detik tertentu, dia menembak. Kondobuléng jatuh. Tetapi pada detik itu pula, terjadi sesuatu pada diri Pemburu. Dia mengosok-gosok mata, dan ternyata dia buta. Karena itu dia berusaha mendekati tempat jatuhnya Kondobuléng dengan meraba-raba. Dia lantas melengking gembira ketika tangannya menyentuh tubuh Kondobuléng yang tergeletak. Namun, musibah lain terjadi lagi berikutnya. Tubuh Pemburu terbenam. Setelah berhasil naik, dia memotong-motong tubuh Kondobuléng dengan gergaji (improvisatif). Pertama leher, lalu sayap. Ketika sampai pada bagian kaki, terjadi lagi keajaiban. Kaki Kondobuléng teracung ke udara. Pemburu kaget dan terloncat ke samping. Beberapa saat berikutnya, pelan dan hati-hati Pemburu mendekat lagi. Kondobuléng ditegakkan, disandarkannya ke dinding. Pemburu kemudian pergi. Sepeninggal Pemburu, Kondobuléng bergerak, kemudian melayang pergi. Demikian alur permainan Kondobuléng sebagaimana catatan Holt (1939: 18-19), satu-satunya data tertulis dan tertua yang bisa diperoleh. Perkembangan Kondobuléng Penyebaran teater tradisional Kondobuléng memang sangat lamban, karena hanya diketahui pada saat dipertunjukkan. Itu pun hanya oleh penontonnya. Selain itu, sifatnya yang tradisional merupakan bentuk standar atau pola tertentu, dalam pengertian cerita tidak berubah, meskipun di tempat-tempat lain dikenal sebagai tarian, seperti di Kepulauan Barrang Lompo dan Barrang Ca’di, Kabupaten Pangkajene, Sulawesi Selatan. Kondobuléng di Makassar sejak 60 tahun lalu berbentuk teater, terungkap melalui gerak, vokal, musik, dan aspek seni pertunjukan lainnya. Berikut ini teater tradisional Kondobuléng versi I Lolo Gading. 1. Durasi pertunjukan: antara 30-45 menit. 2. Tempat pertunjukan: di mana saja (panggung tertutup atau arena terbuka). 3. Waktu pertunjukan: kapan saja (siang atau malam). 4. Tokoh: laki-laki. 5. Musik: 5.1 jumlah musisi: antara 5-7 orang. 5.2 instrumen musik: a. biola. b. rebana. c. gendang. d. kecapi. e. gong. f. kannong-kannong. g. lea-lea/parappasa’.

6. Lirik: 6.1 Papparapa’ Empo. 6.2 Ma’-rencong-rencong. 6.3 Daeng Camummu. 6.4 Mala-mala Hatte.

(Khusus lirik Daeng Camummu, dapat ditemukan di dalam Makassarsche Crestomathie oleh BF Matthes (1860). Penulisannya beraksara lontara’ dan bertipografi naratif. Aksara lontara’ ini ditransliterasi ke aksara Latin, tipografinya diubah menjadi tipografi sajak (Terlampir). Perubahan itu sengaja dilakukan dengan tujuan mempermudah akses menuju pemahaman). 7. Kostum: 7.1 Pemain: pakaian sehari-hari. 7.2 Musisi: pakaian adat tradisional Bugis-Makassar. 8. Rias: para pemain tidak berrias sedangkan musisi berrias segagah mungkin. 9. Perlengkapan/property: 9.1 pancing, 9.2 jaring, 9.3 sodo’/sungkup bambu, 9.4 senapan, 9.5 dayung. 10. Gerak pemain: gabungan antara gerak keseharian dan stilisasi, spontan, improvisatif. 11. Penonton: sebagian besar masyarakat kelas menengah ke bawah. Jika dipertunjukkan pada acara-acara kenegaraan, disaksikan oleh masyarakat kelas atas (pejabat). Kajian Singkat atas Kondobuléng sebagai Teater Jika kita kembali pada ciri-ciri teater tradisional, agaknya sulit diterima jika Kondobuléng memiliki konsep kerja (lazim disebut konsep teater) sebagaimana yang dikenakan pada teater modern sekarang ini. Sihombing menegaskan: “Konsep kerja itu dalam garis besarnya adalah mempermasalahkan proses penteateran sebuah naskah, sebuah sinopsis, atau bahkan sebuah ide, mulai dari persiapannya sampai rampung menjadi sebuah pertunjukan yang utuh. Bagaimanakah naskah, sinopsis, atau ide-ide dipersiapkan? Apakah diadakan penafsiran atau diskusi terlebih dahulu? Apakah sutradara melibatkan seluruh pemain dalam penafsiran diskusi ini, atau mendiktekan segala-galanya kepada pemainnya? (1980: vii). Mencermati materi awal pertunjukannya yang berulang kali serta hasil wawancara dengan para pendukungnya, kita diperhadapkan hanya pada ide dalam bentuk lisan, dan tidak pernah dalam bentuk tulisan, semacam sinopsis apalagi naskah. Hal ini disadari sepenuhnya karena suku Bugis-Makassar tidak pernah menuliskan seni pertunjukannya. Diakui oleh para anggota I Lolo Gading sebagai pemelihara satu-satunya teater tradisional itu, bahwa pengetahuan mereka hanya melalui pertunjukan yang selalu mereka saksikan. Ceritanya yang memang tunggal. Gerak, suara, bahasa, lirik lagu, musik, kostum, dan elemen pertunjukan lainnya, berpindah hanya pada saat pertunjukan. Pola demikian itu menyebabkan terjadinya penghilangan, perubahan, dan penambahan adegan tanpa disadari. Pertunjukannya yang tidak memilih tempat, apakah di panggung prosenium atau di arena terbuka. Semua berlangsung sangat santai, tanpa formalitas. Dalam penelitian bersama dengan Dr. Endo Suanda dan Taufik Rahzen dari MSPI (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia), ada hal yang merupakan salah satu identitas pendukungnya. Dalam perjanjian dengan kelompok itu sehari sebelumnya, disepakai pertunjukan pukul 09.00 pagi. Tetapi pertunjukan itu tertunda karena salah seorang pemainnya belum muncul. Lewat pukul 11.00 siang baru dimulai. Ternyata keterlambatan itu disebabkan pemain dimaksud yang penjual sayur keliling, dagangannya kurang laris meskipun sudah dijajakan sejak pagi.

Dalam pertunjukan istilah stage happening (kecelakaan pentas) tidak dikenal. Bahkan jika misalnya hal itu terjadi, pertunjukan justru berkembang tanpa memperhitungkan waktu dan efeknya pada penonton. Dalam Festival Galigo dan Seminar Internasiomal Sawerigading, tgl. 10-14 Desember 2003 di Masamba, Luwu Utara (sekitar 400 km. dari Makassar), hal itu terjadi. Kondobuléng tampil pada malam terakhir (14 Desember 2003). Oleh karena hujan turun sore harinya, panggung terbuka di sana-sini digenangi air. Dalam pertunjukan pada malam harinya, tiba-tiba seorang pemain jatuh karena panggung licin.

Para penonton pun tertawa ramai. Reaksi penonton itu menyebabkan semua pemain “ikut-ikutan jatuh”. Tujuan mereka tentu saja untuk menarik perhatian. Akan tetapi satu hal yang mereka lupakan, bahwa lakon yang dilakukan berulang-ulang dalam pertunjukan yang sama, akan membosankan penonton. Bisa diduga efeknya. Pertunjukan yang seharusnya hanya berkisar 45 menit, berkembang menjadi satu jam lebih. Napas Kondobuléng adalah komedi. Dengan demikian para pemain berlumba melakukan gerak-gerak, diksi-diksi, dan gaya bahasa komikal. Bila kita mengacu pada komedi yang disebut the ladder of comedy oleh Alan R. Thompson dalam Wright (1972: 50) sebanyak enam tingkat, Kondobuléng menyajikan tiga tingkat komedi: 1) physical mishap, kelucuan yang disebabkan oleh kecelakaan fisik (tingkat ke-2); 2) verbal wit, kelucuan yang ditimbulkan oleh gaya bahasa dan cara pengucapan (tingkat ke-4) ; dan

3) comedy of ideas, kelucuan yang bisa dinikmati melalui pemahaman intelektual (tingkat ke-6).

Komedi tingkat ini disebutnya high comedy. Para pemainnya kaya imajinasi dan kuat berimprovisasi. Penonton “dipaksa” kagum bila disadari bahwa mereka tidak pernah memperoleh pendidikan dan pelatihan teori dan praktik teknik bermain di akademi teater atau institut kesenian, misalnya. Mereka mampu meyakinkan penonton bahwa mereka berjalan di daratan kering, di pinggir pantai, atau di lumpur. Lokasi tidak dipermasalahkan. Pada detik ini mereka di pinggir pantai, tetapi pada detik-detik berikutnya mereka berenang di laut lepas tanpa berpindah. the three unities (Hukum 3 Kesatuan/H3K) yang dirumuskan oleh Aristoteles: keatuan waktu, kesatuan tempat, dan kesatuan lakuan, diberontaki, atau tepatnya, tidak berlaku bagi mereka.

Ketika tak seorang pun yang mampu sampai ke seberang dengan berenang meskipun dalam berbagai gaya (dada, punggung, kupu-kupu, bebas), muncul inisiatif dari seseorang membuat jembatan. Jembatan pun selesai dalam beberapa detik dengan menggunakan bambu, yang sebelumnya justru sebagai instrumen musik Ganrang Bulo. Mereka lalu naik ke jembatan, tetapi jembatan itu runtuh tak lama kemudian karena terlalu banyak orang yang naik pada waktu yang bersamaan. Muncul lagi inisiatif lain, yaitu membuat perahu. Mereka lantas membuat perahu, yaitu dua orang pemain berhadapan, saling mendu

duki punggung kaki masing-masing karena lutut ditegakkan. Seorang lagi berdiri di belakang mereka sambil memegang dayung. Dia mulai mendayung, perahu pun mulai bergerak meninggalkan tempat, naik turun. Pada saat itulah ketiga orang itu bercakap dengan bebas sambil terus bergerak. Mereka adalah perahu tapi pada saat yang sama mereka adalah orang yang mendayung dan naik perahu. Improvisasi-improvisasi tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam teater tradisional Kondobuléng tidak ada batas antara tokoh (characters) dengan perlengkapan (properties). Di sini penonton “dipaksa” lagi mengakui bahwa mereka adalah manusia (tokoh cerita yang mendayung dan menumpang perahu), tetapi pada saat yang sama mereka adalah perahu (perlengkapan pertunjukan yang ditumpangi manusia). Keduanya lebur menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam Seminar Ekologi Teater Indonesia di Tirtagangga, Bali, tahun 1999 oleh MSPI (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia), saya mengemukakan kasus “satunya tokoh dengan perlengkapan” dalam teater tradisional seperti Kondobuléng, tak seorang pun di antara peserta yang memberikan contoh bandingan.

Dari aspek penentuan pemeran pun teater tradisional ini pun tidak mau repot. Ketika sang Pemburu itu terbenam setelah menembak Kondobuléng, seseorang melapor pada Pemerintah (imajinatif) melalui tuturan: “Lapor pada Pemerintah,” tapi setelah Pemburu diselamatkan, yang melapor tadi kembali melapor pada Pemerintah. Namun, yang dilapori adalah sang Pemburu itu sendiri. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa segala sesuatunya diserahkan sepenuhnya kepada kemampuan individual pendukung-pendukungnya (pemain dan musisi). Latihan pun bisa dikatakan tidak dilakukan, kecuali musik. Latihan adalah pertunjukan, sedangkan pertunjukan adalah latihan. Bahkan kalau mereka pernah berlatih untuk bermain, yang mereka lakukan justru tidak pernah dilakukan dalam latihan. Secara formal tidak ada sutradara, sehingga pemain berlaku sebebas mungkin. Penafsiran

Makna lahir dari penafsiran, sedangkan penafsiran merupakan pertemuan antara penafsir dan objek yang ditafsirkan. Hasil penafsiran seseorang terhadap sebuah pertunjukan bisa saja tidak sama, dalam pengertian penafsiran terhadap pertunjukan teater tradisional Kondobuléng, misalnya, sebagai objek ditentukan oleh visi, wawasan, daya pikir, daya rasa, dan lingkungan, seorang penonton sebagai subjek.

Ini berarti bahwa makna yang sampai kepada seseorang tidak akan selalu sama. Kondobuléng sebagai teater tradisional, dapat memberikan berbagai makna melalui penafsiran. Holt, misalnya, mengatakan: “... When he is gone (Pemburu, Pen.) the white figure suddenly detached itself from the wall, and stiffy, with “closed wings,” glides off in small smooth steps, describing semi-circle, as is hovering. One gets the impression that it the hero’s ghost flying off to heaven. In fact, this episode his surrection.” (1939: 20). (“... Ketika dia pergi (Pemburu, Pen.) bangau putih itu mendadak melepaskan dirinya dari dinding, mengembangkan sayap, meluncur dengan langkah-langkah pendek, memutar setengah lingkaran seperti melayang. Gerak itu memberi kesan arwah tokoh ini melayang ke surga). Penegasan Holt sebagaimana kutipan di atas menjelaskan pada kita wawasannya atas seni pertunjukan (simbolis) dan visi religius (perhatikan kata: heaven (surga) dan surrection (kebangkitan). Muhamad Jusuf Junus (almarhum), seorang teaterawan dan pensiunan Pegawai Taman Budaya Sulawesi Selatan menafsirkan, bahwa sesungguhnya Kondobuléng itu merupakan simbol kesucian, kehormatan, kemurnian dalam hidup ini, yang akan dilenyapkan oleh kejahatan (Pemburu). Akan tetapi karena kesucian, kehormatan, dan kemurnian tidak bisa dilenyapkan sampai kapan pun, maka pada saat Kondobuléng itu tertembak, Pemburu ikut ditimpa bencana (tenggelam). Hidupnya kembali Kondobuléng merupakan manifestasi bahwa kesucian dan semacamnya tidak dapat dikalahkan oleh kejahatan, tetapi kejahatan itulah yang justru tak terelakkan. Dua penafsiran lainnya bertolak dari dua periode dalam sejarah politik di Indonesia, dan satu penafsiran lainnya berdasarkan adat istiadat suku Bugis-Makassar. Penafsiran pertama dilatarbelakangi oleh periode penjajahan Belanda di Indonesia. Dalam pertunjukan pada periode itu Kondobuléng tidak hidup kembali. Kenyataan pentas itu memberi penafsiran bahwa tokoh Kondobuléng adalah Belanda, sedangkan yang menembaknya adalah gerilya. Itulah sebabnya pada masa itu Kondobuléng tidak hidup kembali karena dia adalah Belanda yang tidak boleh ada di bumi Indonesia. Penafsiran kedua adalah masa melebarnya sayap PKI (Partai Komunis Indonesia). Dalam pertunjukan ditampilkan Kondobuléng hidup kembali dan Pemburu justru menembak dirinya sendiri. Kenyataan pentas ini memberi penafsiran bahwa anggota komunis yang tidak mampu menyelesaikan tugas partai dengan baik, dianggap melanggar perintah partai, dan karena itu harus mati, bunuh diri. Penafsiran lain lagi bertitik tolak dari adat istiadat Bugis-Makassar sebagai budaya etnis pendukungnya. Hal yang dimaksudkan adalah sistem nilai yang disebut siri’ na paccé (bahasa Makassar) atau siri’ na pessé (bahasa Bugis). Sistem nilai ini diterjemahkan: kehormatan/harga diri dan pedih (bukan sedih). Pertunjukkan ditafsirkan, bahwa sesungguhnya Kondobuléng adalah gadis yang mempermalukan keluarga karena silariang (lari bersama untuk kawin tanpa persetujuan orang tua) yang menyebabkan siri’ (harga diri/kehormatan ternoda). Karena itu Kondobuléng (gadis) mati oleh ayah sendiri (Pemburu). Akan tetapi bagaimanapun juga, kematian gadis menimbulkan paccé (pessé), pedih bagi kalangan keluarga. Karena itu Kondobuléng hidup kembali dalam hati keluarga. Kondobuléng sebagai Institusi Sosial

Menelusuri kelahiran teater tradisional Kondobuléng, sulit diakui bahwa jenis teater ini pada awalnya telah terbebani fungsi sosial. Pendapat ini didasarkan pada awal kemunculannya yang tidak “di-ada-kan” sebagaimana seni pertunjukan sekarang ini. Kondobuléng “meng-ada” dengan sendirinya, bebas dari beban fungsi yang “di-ada-ada-kan”: “sekelompok masyarakat mencari ikan.

Muncul Bangau sebagai saingan. Bangau ditembak. Bangau tenggelam. Pemburu ikut tenggelam. Atas kesepakatan bersama keduanya dicari. Pemburu ditemukan. Bangau ditemukan. Bangau hidup kembali. Bangau melayang pergi.”
Kondobuléng adalah permainan ciptaan masyarakat zamannya. Akan tetapi menyaksikannya sebagai pertunjukan pada masa sekarang ini, seorang penonton diantar untuk menafsirkannya sebagai sebagai pranata (institusi) sosial.

Hal ini didasarkan atas penafsiran atasnya yang akan menunjukkan fungsinya. Setidak-tidaknya ada 2 fungsi yang terkandung di dalamnya, yaitu hiburan dan pendidikan. Kedua fungsi ini mampu mewujudkan kreativitas baru melalui pengolahan sebagai konsep untuk karya teater modern. Saya belum pernah menyaksikan pertunjukan teater modern yang memakai judul La Galigo karya Robert Wilson, karena tidak pernah dimainkan di Makassar. Akan tetapi mendengar penuturan seorang pemainnya yang orang teater di Makassar bernama Aco Zulsafri sebagai tokoh Kondobuléng, sangat disayangkan, sutradara tingkat internasional itu tidak mampu menangkap hakikat teater tradisional Kondobuléng yang dipinjamnya. Dalam wawancara dengannya, Aco Zulsafri, tgl. 11 April 2009 di Gedung Kesenian Societeit de Harmonie, dikatakannya bahwa dalam latihan Robert Wilson akan menokohkan Kondobuleng sebagai burung milik Sawerigading (dalam mitos La Galigo, burung dimaksud bernama La Dunrung) untuk melihat dunia luar. “Tetapi setelah saya menjelaskan tentang teater tradisional Kondobuleng, Robert Wilson menggantinya sebagaimana yang dimainkan dalam pertunjukan teater La Galigo.” Penuturan tersebut menegaskan bahwa di sini tidak ada eksplorasi. Robert Wilson hanya meminjam nama Kondobuléng sebagai teater tradisional Bugis-Makassar untuk mengesahkan teaternya yang menurut Yudiaryani: interkulturalisme dan eksplorasi klasik. Dikatakan Yudiaryani, Wilson meminjam beberapa media, budaya-budaya dari beberapa negara dan periode kesejarahan (2002: 338). Yang dilakukan oleh Robert Wilson hanya mem-foto copy aspek visual, sehingga hakikat yang sesungguhnya tidak mampu dia tangkap. Dengan demikian makna yang dikandung Kondobuléng, hilang. Dari penelitian terhadap pertunjukan Kondobuléng yang berulang kali pada waktu dan tempat yang berbeda, lahir semacam makna yang secara tidak langsung menegaskan fungsinya sebagai institusi sosial. Sebagai hiburan dapat dinikmati pada semua elemen teaterikalnya, yakni gerak dan vokal tokoh, permainan musik, lirik lagu, dan irama lagu itu sendiri. Dari elemen teaterikal yang berpadu menjadi satu pertunjukan yang utuh itu, beberapa fungsi sosial dapat dipetik, antara lain, seperti berikut: a) kesatuan dalam hidup bermasyarakat: adegan bersama-sama mencari nafkah, kesepakatan untuk saling menyelamatkan, b) rintangan dalam hidup: adegan bangau sebagai saingan mendapatkan ikan dengan mudah, c. optimisme dalam hidup: adegan membuat jembatan karena gagal berenang, membuat perahu karena jembatan runtuh, dan d) penyimpangan sosial: cacat fisik dalam adegan permainan Ganrang Bulo. Catatan Akhir Teater tradisional Kondobuléng yang telah berusia sekitar 300 tahun yang merupakan warisan dari masa lampau di Sulawesi Selatan, memiliki fungsi edukasi dan rekreasi, dan secara tidak langsung sekaligus berfungsi sebagai institusi sosial. Kedua fungsi yang memancing fungsi re-kreatif itu, sangat menarik untuk dijadikan konsep teater modern. Kondobuléng terungkap melalui gerak, vokal, dan musik. Semua pemain dan musisinya laki-laki. Pertunjukannya tidak memilih waktu dan tempat. Keunikan yang tidak dimiliki oleh teater tradisional lainnya di Indonesia, adalah tidak adanya batas antara tokoh (characters) dan perlengkapan (properties). Ceritanya tunggal, tapi ide-ide baru bisa saja dimasukkan pada setiap pertunjukan. Irama musik dan lirik lagunya ada empat: Papparapa’ Empo, Daéng Camummu’, Ma’-réncong-réncong, dan Mala-mala Hatté. Daéng Camummu’ yang merupakan latar belakang pertunjukan, dapat ditemukan di dalam Makassarsche Christomathie oleh BF Matthes dalam aksara lontara’. Oleh karena penyebarannya sangat lamban karena hanya boleh dimainkan oleh kalangann keluarga, dikhawatirkan teater tradisional warisan dari masa lampau itu akan punah. Untuk mencegah kepunahan itu, sebagai upaya awal adalah mentranskripsikannya dalam bentuk naskah pertunjukan. Pentranskripsian ini bukan untuk menjadikannya sebagai karya sastra drama yang bertujuan untuk dipertunjukkan.

PENI MASAN DAI

Tradisi dan Ekspresi lisan, termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya takbenda, (termasuk cerita rakyat, dongeng, syair, dsb.)Seni Pertunjukan; (termasuk sandiwara, drama, musik, lagu)

Sejarah

Peni masan dai merupakan sebuah tarian rakyat, yang didalamnya penuh dengan dialog sastra daerah, mengisahkan tentang sejarah munculnya sebuah desa.  Teater tradisional ini dilakonkan pada malam hari, usai suatu upacara adat, atau pada perayaan hari raya nasional.  Konfigurasinya terdiri dari laki-laki diselingi perempuan dalam bentuk lingkaran.  Para penutur dalam tarian ini saling berdialog dalam lagu dengan menggunakan sastra daerah.  Tarian ini muncul sejak dahulu kala dan hingga saat ini masih dipertahankan, namun tidak diminati remaja saat ini.

1.CUPAK GERANTANG

          Menceritakan tentang sifat dua orang yang berbeda,yaitu cupak(Bosok) orangnya penipu,tukang fitnah dan propokator.Gerantang(Liman Sumantri) orangnya jujur,sabar,baik dan tidak iri hati.Nama asli Cupak adalah “Bosok”,sedangkan Gerantang adalah Liman Sumantri.Cupak dan Gerantang,Keduanya berniat untuk menyelamatkan anak Datu Dahak Keling yang diculik oleh raksasa.Akan tetapi mereka berdua kalah melawan raksasa tersebut..Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk betapa di dalam gua Gala-gala untuk mendapatkan kekuatan,disana mereka bertemu dengan”Syaikh Waridin”.Kemudian Syaikh Wardin member petunjuk kepada Bosok(cupak) untuk berbuat jahat,biar mendapat kekutan yang diinginkan.Kemudian bosok ditulis lidahnya oleh syaikh wardin diberi keris yang namanya”Sangkur Rebong”,kemudian mengganti namanya menjadi “Cupak”.Sedangkan Liman Sumantri diberi petunjuk untuk berbuat baik,sabar dan tidak iri hati,kemudian dia diberi keris  yang bernama”Paras Dendeng” yang artinya “Gurunte/guru kita”.Setelah keduanya bertapa,lalu mereka berdua pergi melawan raksasa tersebut menggunakan keris masing-masing yang diberikan oleh Syaikh Waridin.Ketika Gerantang melawan raksasa,cupak bersembunyi dan mencari anak Datu dan membawanya ke istana.Setelah sampai di istana cupak mengaku bahwa dialah yang menyelamatkan anak Datu sehingga Datu berniat untuk menikahkan Cupak dengan putrinya tersebut.Ketika perkawinan akan berlangsung,Gerantang datang dan putrinya langsung mengatakan bahwa yang menyelamatkannya adalah gerantang.Sehingga perkawinan Cupak dengan Denda Datu Daha Keling dibatalkan dan Gerantanglah yang jadi dinikahkan dengan Denda.Sehingga Cupak pergi dengan hati yang kecewa sambil menulis-nulis tanah.

2.DENDE CILINAYA

ahulu kala ada dua orang raja bersaudara,seorang menjadi raja di Daha dan seorang lagi di Keling.Kedua raja ini belum mempunyai anak,mereka sudah berusaha dengan berbagai cara agar mendapat anak,namun semua usaha hamper sia-sia,hampir putus asa mereka mengira mereka mandul maka mereka pun mencoba berobat.Tabib dan dukun negeri tersebut berusaha mengobati raja,namun tidak ada yang berhasil.Kemudian kedua raja tersebut pergi bernazar kesebuah tempat pemujaan di puncak bukit.Di sana kedu raja itu berdoa dan mengucap nazar mereka masing-masing.Raja Keling bernazar dengan ucapan sederhana saja,”Jika aku dikaruniai seorang anak,aku akan datang kemari dengan membawa Sirih Pinang”.Sementara itu raja Daha yang berada di samping raja Keling mengucapkan nazarnya juga”Aku raja Daha bernazar,jika aku mempunyai anak kelak aku akan datang kemari lagi dengan membawa dan memotong-motong kerbau yang berselimut sutra bertanduk emas dan berkuku perak”.begitulah nazar-nazar kedua raja tersebut.Demikianlah,atas izin tuhan terkabullah niat kedua raja itu.Raja daha dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik,sedangkan raja Keling dikaruniai seorang anak laki-laki yang sangat tampan.Tibalah saatnya raja keeling dan raja daha memenui nazarnya,mereka pergi ke Batu Kemeras.Meskipun raja keling hanya berjanji akan membawa sirih pinang tapi ternyata ia membawa kerbau berselimut sutra,bertanduk emas dan berkuku perak.Itulah ungkapan rasa syukur karena keinginannya mendapatkan anak telah terpenuhi.Raja daha yang dulu memasang nazar besar,ternyata tidak memenuhi janjinya,ia hanya datang membawa kerbau biasa saja.Selesai upacara membayar nazar pulanglah kedua raja itu ke negeri mereka masing-masing.Alkisah ketika Raja Daha dalam perjalanan,datanglah angin putting beliung yang amat kencang,putrid raja daha diterbangkan ke angkasa.Hati raja dan permaisuri sangat sedih mereka tidak kuasa untuk menolong putrid mereka,mereka hanya bisa berteriak meminta tolong.”Tolong,,,tolong,,,tolong,,,, anak kami dia diterbangkan oleh angin.”para inang  pengasuh dan pengiring lainnya menangis melolong-lolong sambil membanting diri.Makin lama makin jauh bayi perempuan Raja Daha itu diterbangkan angin.Ia melewati padang dan bukit   akhirnya jatuh disebuah taman.Taman itu dijaga seopasang suami istri yang bernama bapak bangkol dan ibu bangkol.Ketika pak bangkol berkeliling memeriksa taman ia mendengar jeritan tangis bayi.”Owek,,,owek,,”suara tangisan bayi siapa itu?padahal disini hanya aku dan istriku yang tinggal di sini,aku juga tidak punyak seorang anak.(kata pak bangkol).”dengan perasaan was-was pak bangkol mencari suara tangisan anak tersebut dan ia melihat bayi tersebut tergeletak ditepi telaga tersebut.”Dengan perasaan terkejut bercampur gembira,pak bangkol membawa bayi itu pulang,istri pak bangkol sangat senang mendapatkan bayi itu karena sudah lama ia ingin mempunyai anak,kemudian bayi itu diberi nama Cilinaya.Cilinaya dipelihara dengan pak bangkol dengan kasih saying,berbagai keterampilan wanita seperti memasak,menenun,menyulam dan merangkai bunga diajarkan padanya.Ia tumbuh menjadi gadis remaja yang luar biasa cantikrdas.Pada suatu hari terdengar  berita bahwa putra mahkota Raja Keling bernama Raden Panji akan pergi berburu ke hutan buruan dan rombongan putra mahkota akan singgah di taman.Pangeran pun tiba pada waktu yang sudah ditentukan.Bu bangkol pun cepat-cepat menyembunyikan Cilinaya di bawah buluh terunduk benang(alat tenun datu babu).Bu bangkol dan pak bangkol menyambut pangeran dengan penuh hormat dan ramah tamah.Setelah duduk berkatalah sang pangeran,”Bu saya dating kemari karena saya bermimpi ibu mempunyai seorang gadis yang sangat cantik.kecantikan ank ibu melebihi kecantikan bidadari dari kayangan.Tak seorang pun putri raja di muka bumi ini dapat menyamai kecantikan anak gadis ibu.Bu,dimana anak ibu?Saya ingi bertemu dengannya,ia akan saya peristri”Pucat pasi wajah ibu dan bapak bangkol mendengar ucapan pangeran.Bu bangkol lalu berkata”Tuanku pangeran ketahuilah hamba tak punya anak gadis.apalagi cantik seperti kata tuanku tadi.Kalau tuanku tidak percaya periksalah”.Ha….ha…ha…,ibu jangan berbohong,akan saya periksa rumah ibu dank alau saya mendapatkannya,pasti saya akan ambil dan menjadikannya sebagai istri saya”.Lalu pangaran pun memeriksa seluruh rumah pak bangkol dan bu bangkol dengan sek sama.Tetapi tidak ditemukan,raden panji putus asa kemudian keluar dari rumah.Sewaktu melewati pintu dengan takdir Tuhan, tersangkutlah sehelai rambut cilinaya pada hulu kris raden panji.Raden panji terkejut dan ia mencari asal rambut itu,cilinaya pun dijumpainya dan pangeran panji gembira,akhirnya ia menikah dengan cilinaya.Setahun lamanya Raden Panji tinggal di taman bersama cilinaya dan mereka hidup bahagia.Suatu hari Raden Panji meminta izin pulang ke negri Keling.Sesampai di Keling,Raden Panji bercerita kepada ayahnya bahwa ia telah menikah dengan Cilinaya,anak penjaga taman.Raja keeling sangat kecewa putranya menikah dengan orang biasa.Diam-diam raja keeling menyuruh para pengawal membunuh cilinaya.Pengawal pun pergi menjemput cilinaya ke taman,sementara itu Raden Panji pergi mencari hati rusa hijau untuk obat ayahnya.Sudah seminggu ayahnya pura-pura skit,begitulah siasat Raja keeling untuk memisahkan raden panji dan cilinaya.Pengawal membawa cilinaya ke sebuah pantai yang sepi di tanjung menangis,sesampai di pohon ketapang yang rindang berhentilah mereka.Pengawalpun menceritakan maksudnya kepada cilinaya,setelah mendengar cerita itu Cilinaya berkata dengan berurai air mata,”Baiklah paman,bila memang demikian Ayahanda Raja Keling,bunuhlah aku sekarang juga.Akan tetapi sebalum paman membunuhku akan ku petik buah maja untuk mengganti tempat anak ku menyusu.Pesanku bila darahku berbau amis itulah tanda aku orang biasa,akan tetapi bila darahku berbau harum,ketahuilah aku juga anak seorang Raja.”Cilinaya menambahkan,”Nah cabutlah kerismu paman dan bunuhlah aku,sampaikan salamku kepada suamiku Raden Panji.”Cilinaya bejongkok sambil memeluk bayinya,rambutnya dilepas terurai ia memandang ke langit sambil bedoa kepada tuhan yang maha esa.Lalu pengawal membunuh cilinaya di bawah ketapang di tanjung menangis itu.Tubuh cilinaya tergeletak di tanah dan mengalirkan darah yang sangat harum baunya.Sang bayi tergeletak disamping ibunya sambil memeluk buah maja.Raden Panji yang diiringi saudaranya,raden irun dan para pengiring yang lain sedang mencari rusa sampai ditempat itu.Mereka mendengar suara tangis bayi yang sangat memilukan hati,dan mereka berlomba-lomba mencari suara bayi itu.Ketika bayi itu ditemukan ternyata dismping bayi itu ada mayat seorang wanita,Raden Panji segera tahu bahwa mayat itu adalah istrinya dari cincin dipakainya,tidak terkira sedih hatinya.Tiba-tiba dari arah langit terdengar suara guruh dan petir sembar-menyembar.Angin kencang berembus dan awan hitam tebal menutupi angkasa.Dicelah-celah suara petir itu terdengar suara gaib dari langit,”Hai Panji,bawalah peti mayat istrimu dan hanyutkanlah ke laut .Kelak Tuhan dengan kuasa-Nya akan mempertemukan kalian kembali”.Setelah itu pangeran Panji menyuruh Raden Irun dan pengawalnya membuat peti dari kayu.Peti itu diberi tali sepanjang seribu depa,setelah selesai mayat istrinya dimasukkan kedalam peti.Kemudian,peti itu dihanyutkan ke laut,Raden Panji memegang tali itu dan menuntunnya sepanjang pantai.Selang beberapa lama datanglah arus dan badai yang sangat hebat.Tali pengikat mayat itu  terbawa arus.Raden Panji berjalan sambil menggendong anaknya yang masih bayi,anak itu kemudian diberi nama Raden Megatsih.Peti berisi mayat Cilinaya itu pun hanyut samapi ke negeri Daha.pada saat itu istri Raja Daha berpesta di pantai,permaisyuri melihat ada peti hanyut,ia segera menyuruh perajurit untuk mengambil peti itu.Ternyata peti itu berisi seorang wanita cantik yang sedang tidur lelap.Wanita itu tidak lain adalah Cilinaya yang ditakdirkan hidup kembali dan diambil menjadi anak oleh Raja Daha.Beberapa tahun kemudian Raja daha mengadakan pesta besar.Pada pesta itu diadakan acara sabung ayam dengan taruhan amat besar.Para raja dari berbagai negri dating mengikuti sabung ayam itu,mereka mempertaruhkan wilayah negeri masing-masing.Meriah sekali pesta perjudian di Kerajaan Daha itu,diantara para penyabung terdapat seorang anak kecil yang membaw ayam jago berbulu hijau,berjangger dan berekor indah.kokok ayam itu aneh bunyinya,”Do do Panji Kembang ikok maya’Ayahku Panji ibuku Cilinaya!’semua heran mendengar kokok ayam itu,Putri Cilinaya sangat gembira bahwa yang dating ternyata anaknya.Raja daha segera menyabung ayamnya dengan Raden Magatsih.Sebagai taruhan,sebagian kerajaan daha diberikan kepada raden magatsih jika ayamnya menang.Dalam satu gebrakan saja,matilah ayam Raja Daha.Raja Daha menepati janji dan menyerahkan sebagian kerajaannya.

3.PUTRI NYALE

Menurut dongeng bahwa pada zaman dahulu di pantai selatan Pulau Lombok terdapat sebuah kerajaan yang bernama Tonjang Beru. Sekeliling di kerajaan ini dibuat ruangan - ruangan yang besar. Ruangan ini digunakan untuk pertemuan raja - raja. Negeri Tonjang Beru ini diperintah oleh raja yang terkenal akan kearifan dan kebijaksanaannya Raja itu bernama raja Tonjang Beru dengan permaisurinya Dewi Seranting.Baginda mempunyai seorang putri, namanya Putri Mandalika. Ketika sang putri menginjak usia dewasa, amat elok parasnya. Ia sangat anggun dan cantik jelita. Matanya laksana bagaikan bintang di timur. Pipinya laksana pauh dilayang. Rambutnya bagaikan mayang terurai. Di samping anggun dan cantik ia terkenal ramah dan sopan. Tutur bahasanya lembut. Itulah yang membuat sang putri menjadi kebanggaan para rakyatnya.Semua rakyat sangat bangga mempunyai raja yang arif dan bijaksana yang ingin membantu rakyatnya yang kesusahan. Berkat segala bantuan dari raja rakyat negeri Tonjang Beru menjadi hidup makmur, aman dan sentosa. Kecantikan dan keanggunan Putri Mandalika sangat tersohor dari ujung timur sampai ujung barat pulau Lombok. Kecantikan dan keanggunan sang putri terdengar oleh para pangeran - pangeran yang membagi habis bumi Sasak (Lombok). Masing - masing dari kerajaan Johor, Lipur, Pane, Kuripan, Daha, dan kerajaan Beru. Para pangerannya pada jatuh cintar. Mereka mabuk kepayang melihat kecantikan dan keanggunan sang putri.Mereka saling mengadu peruntungan, siapa bisa mempersunting Putri Mandalika. Apa daya dengan sepenuh perasaan halusnya, Putri Mandalika menampik. Para pangeran jadi gigit jari. Dua pangeran amat murka menerima kenyataan itu. Mereka adalah Pangeran Datu Teruna dan Pangeran Maliawang. Masing - masing dari kerajaan Johor dan kerajaan Lipur. Datu Teruna mengutus Arya Bawal dan Arya Tebuik untuk melamar, dengan ancaman hancurnya kerajaan Tonjang Beru bila lamaran itu ditolaknya. Pangeran Maliawang mengirim Arya Bumbang dan Arya Tuna dengan hajat dan ancaman yang serupa.Putri Mandalika tidak bergeming. Serta merta Datu Teruna melepaskan senggeger Utusaning Allah, sedang Maliawang meniup Senggeger Jaring Sutra. Keampuhan kedua senggeger ini tak kepalang tanggung dimata Putri Mandalika, wajah kedua pangeran itu muncul berbarengan. Tak bisa makan, tak bisa tidur, sang putri akhirnya kurus kering. Seisi negeri Tonjang Beru disaput duka.Kenapa sang putri menolak lamaran ? Karena, selain rasa cintanya mesti bicara, ia juga merasa memikul tanggung jawab yang tidak kecil. Akan timbul bencana manakala sang putri menjatuhkan pilihannya pada salah seorang pangeran. Dalam semadi, sang putri mendapat wangsit agar mengundang semua pangeran dalam pertemuan pada tanggal 20 bulan 10 ( bulan Sasak ) menjelang pagi - pagi buta sebelum adzan subuh berkumandang. Mereka harus disertai oleh seluruh rakyat masing - masing. Semua para undangan diminta datang dan berkumpul di pantai Kuta. Tanpa diduga - duga enam orang para pangeran datang, dan rakyat banyak yang datang, ribuan jumlahnya. Pantai yang didatangi ini bagaikan dikerumuni semut. Ada yang datang dua hari sebelum hari yang ditentukan oleh sang putri. Anak - anak sampai kakek - kakek pun datang memenuhi undangan sang putri ditempat itu. Rupanya mereka ingin menyaksikan bagaimana sang putri akan menentukan pilihannya. Pengunjung berduyun - duyun datang dari seluruh penjuru pulau Lombok. Merekapun berkumpul dengan hati sabar menanti kehadiran sang putri.Betul seperti janjinya. Sang putri muncul sebelum adzan berkumandang. Persis ketika langit memerah di ufuk timur, sang putri yang cantik dan anggun ini hadir dengan diusung menggunakan usungan yang berlapiskan emas. Prajurit kerajaan berjalan di kiri, di kanan, dan di belakang sang putri. Sungguh pengawalan yang ketat. Semua undangan yang menunggu berhari - hari hanya bisa melongo kecantikan dan keanggunan sang putri. Sang putri datang dengan gaun yang sangat indah. Bahannya dari kain sutera yang sangat halus.Tidak lama kemudian, sang putri melangkah, lalu berhenti di onggokan batu, membelakangi laut lepas. Disitu Putri Mandalika berdiri kemudian ia menoleh kepada seluruh undangannya. Sang putri berbicara singkat, tetapi isinya padat, mengumumkan keputusannya dengan suara lantang dengan berseru : ??Wahai ayahanda dan ibunda serta semua pangeran dan rakyat negeri Tonjang Beru yang aku cintai. Hari ini aku telah menetapkan bahwa diriku untuk kamu semua. Aku tidak dapat memilih satu diantara pangeran. Karena ini takdir yang menghendaki agar aku menjadi Nyale yang dapat kalian nikmati bersama pada bulan dan tanggal saat munculnya Nyale di permukaan laut.??Bersamaan dan berakhirnya kata - kata tersebut para pangeran pada bingung rakyat pun ikut bingung dan bertanya - tanya memikirkan kata - kata itu. Tanpa diduga - duga sang putri mencampakkan sesuatu di atas batu dan menceburkan diri ke dalam laut yang langsung di telan gelombang disertai dengan angin kencang, kilat dan petir yang menggelegar.Tidak ada tanda - tanda sang putri ada di tempat itu. Pada saat mereka pada kebingungan muncullah binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak yang kini disebut sebagai Nyale. Binatang itu berbentuk cacing laut. Dugaan mereka binatang itulah jelmaan dari sang putri. Lalu beramai - ramai mereka berlomba mengambil binatang itu sebanyak - banyaknya untuk dinikmati sebagai rasa cinta kasih dan pula sebagai santapan atau keperluan lainnya.Itulah kisah Bau Nyale. Penangkapan Nyale menjadi tradisi turun - temurun di pulau Lombok. Pada saat acara Bau Nyale yang dilangsungkan pada masa sekarang ini, mereka sejak sore hari mereka yang akan menangkap Nyale berkumpul di pantai mengisi acara dengan peresean, membuat kemah dan mengisi acara malam dengan berbagai kesenian tradisional seperti Betandak (berbalas pantun), Bejambik (pemberian cendera mata kepada kekasih), serta Belancaran (pesiar dengan perahu). Dan tak ketinggalan pula, digelar drama kolosal Putri Mandalika di pantai Seger.etiap tanggal duapuluh bulan kesepuluh dalam penanggalan Sasak atau lima hari setelah bulan purnama, menjelang fajar di pantai Seger Kabupaten Lombok Tengah selalu berlangsung acara menarik yang dikunjungi banyak orang termasuk wisatawan. Acara yang menarik itu bernama Bau Nyale. Bau dari bahasa Sasak artinya menangkap. Sedangkan Nyale, sejenis cacing laut yang hidup di lubang - lubang batu karang di bawah permukaan laut.Penduduk setempat mempercayai Nyale memiliki tuah yang dapat mendatangkan kesejahteraan bagi yang menghargainya dan mudarat bagi orang yang meremehkannya.??Itulah yang berkembang selama ini,?? ujar Lalu Wirekarme yang pernah menjabat sebagai Kepala Sub Dinas Pemasaran Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Tengah.Tradisi menangkap Nyale (bahasa sasak Bau Nyale) dipercaya timbul akibat pengaruh keadaan alam dan pola kehidupan masyarakat tani yang mempunyai kepercayaan yang mendasar akan kebesaran Tuhan, menciptakan alam dengan segala isinya termasuk binatang sejenis Anelida yang disebut Nyale. Kemunculannya di pantai Lombok Selatan yang ditandai dengan keajaiban alam sebagai rahmat Tuhan atas makhluk ini.Beberapa waktu sebelum Nyale keluar hujan turun deras dimalam hari diselingi kilat dan petir yang menggelegar disertai dengan tiupan angin yang sangat kencang. Diperkirakan pada hari keempat setelah purnama, malam menjelang Nyale hendak keluar, hujan menjadi reda, berganti dengan hujan rintik - rintik, suasana menjadi demikian tenang, pada dini hari Nyale mulai menampakkan diri bergulung - gulung bersama ombak yang gemuruh memecah pantai, dan secepat itu pula Nyale berangsur - angsur lenyap dari permukaan laut bersamaan dengan fajar menyingsing di ufuk timur.Dalam kegiatan ini terlihat yang paling menonjol adalah fungsi solidaritas dan kebersamaan dalam kelompok masyarakat yang dapat terus dipertahankan karena ikut mendukung kelangsungan budaya tradisional.

Teater nusantara (jawa dan kalimantan)

Teater Tradisional adalah bentuk pertunjukan seni dimana pesertanya berasal dari daerah setempat karena terkondisi dengan adat istiadat setempat, sosial masyarakat dan struktur geografis masing-masing daerah.              Kata tradisi berasal dari kata dalam bahasa Inggris "tradition", yang berarti buah pikiran, kepercayaan, adat-istiadat, atau pandangan hidup yang diturunkan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisional adalah ; bentuk tontonan yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun-temurun kepada generasi berikutnya. Dramawan atau orang-orang yang bermain drama secara alami berupaya untuk mengaktualisasikan teater tradisional itu dengan konsep-konsep masa kini atau modern, hal itu dilakukan agar tontonan yang ditampilkan lebih mudah diterima oleh para penontonnya.

Beberapa teater tradisional nusantara antara lain adalah sebagai berikut :

 Lenong (Teater tradisional nusantara dari Betawi)

Ada dua bentuk Lenong;
(1) Denes             Tontonan Lenong Denes lakonnya tentang raja-raja dan pangeran di suatu kerajaan, sekarang sudah jarang kita jumpai, karena hampir tidak ada penerusnya. Cerita-cerita yang dipentaskan pada Lenong Denes antara lain : Indra Bangsawan, Danur Wulan, Jula-Juli Bintang Tujuh, dan cerita-cerita lain yang diambil dari Cerita 1001 Malam, misalnya kisah Abunawas. Karena Lenong denes memainkan cerita kerajaan, maka busana yang digunakan oleh tokoh-tokoh pemerannya sangat gemerlapan, seperti peran raja, bangsawan, pangeran, putri, atau hulubalang. Akhirnya kata denes (dinas) jadi melekat pada cerita dan busana yang dipakai.             Adapun Bahasa yang digunakan dalam pementasan lenong denes bahasa adalah bahasa Melayu tinggi. Contoh kata-kata Melayu tinggi yang sering digunakan antara lain : baginda, tuanku, kakanda, adinda, daulat tuanku, beliau, syahdan, hamba dan lain sebagainya. Dialog dalam lenong denes sebagian besar dilakukan dengan nyanyian. Dengan cerita kerajaan dan berbahasa Melayu tinggi, para pemain lenong denes jadi tidak leluasa untuk melakukan humor. Agar pertunjukan tidak terlalu monoton dan bisa menampilkan kejenakaan, maka ditampilkan tokoh dayang atau khadam (pembantu) yang menggunakan bahasa Betawi. Adegan-adegan perkelahian dalam lenong denes tidak menggunakan jurus-jurus silat, tetapi tinju, gulat, dan main anggar (pedang).  

            Lenong denes biasanya dimainkan di atas panggung berukuran 5 x 7 meter. Penggunaan dekor atau seben untuk menyatakan susunan adegan-adegan. Misalnya ada dekor singgasana, taman sari, hutan, dan sebagainya. Musik pengiring teater lenong denes adalah gambang kromong. Dalam adegan perkelahian alat musik pengiringnya ditambah dengan tambur.

(2) Lenong Preman

            Pertunjukan lenong Preman lakonnya tentang rakyat jelata, seperti yang kita kenal sekarang, pada awalnya, Lenong Preman dimainkan semalam suntuk. Karena jaman berkembang dan tuntutan keadaan, maka terjadi perubahan-perubahan.             Bersamaan dengan diresmikannya TIM (Taman Ismail Marzuki), lenong yang tadinya hanya dimainkan di kampung-kampung, oleh SM. Ardan, dibawa ke TIM, tapi waktu pertunjukannya diperpendek menjadi satu atau dua setengah jam saja.

            Teater tradisional Betawi yang lain diantaranya adalah  Topeng Betawi, Topeng Blantek dan Jipeng (Jinong).

  • Lenong menggunakan alat musik Gambang Kromong
  • Topeng Betawi menggunakan alat musik Tabuhan Topeng Akar
  • Topeng Blantek menggunakan alat musik Tabuhan Rebana Biang
  • Jipeng atau Jinong menggunakan alat musik Tanjidor

Bahasa yang digunakan pada pertunjukan Lenong adalah bahasa Betawi. Berdasarkan sejarahnya, Lenong mendapat pengaruh dari teater Bangsawan.

Longser (Teater tradisional nusantara di Jawa Barat)

            Teater Longser berasal dari daerah Jawa Barat. Pengertian longser dapat kita lihat dari asal katanya, kata Longser berasal dari kata "melong" yang memiliki arti melihat dan "seredet" yang artinya tergugah. Secara umum Longser berarti  bahwa barang siapa yang melihat atau menonton pertunjukan tersebut, maka hatinya akan tergugah. Sama halnya dengan teater-teater tradisional yang lain, Longser dari Sunda ini juga bersifat hiburan yang sederhana, jenaka dan menghibur.             Tontonan Longser dapat diselenggarakan di mana saja, karena tidak memerlukan dekorasi yang rumit. Penonton bisa menyaksikan Longser dengan posisi duduk melingkar. Berbicara tentang sejarah longser, puncak popularitas teater Longser berada pada tahun 1920 – 1960. Tokoh- tokohnya, antara lain; Ateng Japar, Bang Tawes, Tilil Bang, Bang Soang, dan lain-lain.

            Seni Longser yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh beberapa kelompok seniman di Jawa Barat, Kesenian Longser saat ini dipadukan dengan kondisi jaman, selain untuk melestarikan seni budaya teater longser, sekaligus agar teater ini dapat dicintai dan diminati oleh generasi saat ini, agar seni tradisi ini dapat abadi dengan bumbu modernisasi yang tidak menghilangkan keaslian dari seni budaya itu sendiri.

Ketoprak (Teater Tradisional di Jawa Tengah)

          Teater ketoprak berasal dari Jawa Tengah, pada mulanya Ketoprak hanyalah permainan para penduduk desa yang sedang menghibur diri mereka dengan menggunakan lesung yang ditabuh di bulan Purnama, hiburan ini disebut gejogan. Pada perkembangannya, hiburan Ketoprak menjadi suatu bentuk tontonan teater tradisional yang lengkap dan paling populer di Jawa Tengah.
      Ketoprak pertama kali dipentaskan sekitar tahun 1909. Awalnya teater ini disebut ketoprak lesung, tapi setelah musik gendang, terbang, suling, nyanyian dan lakon yang menggambarkan kehidupan rakyat di pedesaan dimasukkan sebagai unsurnya, maka lengkaplah Ketoprak sebagaimana yang kita kenal saat ini,

Ludruk (Teater tradisional nusantara Jawa Timur)

            Ludruk adalah teater yang bersifat kerakyatan yang berasal dari kota Jombang yang dikenal dengan kota santri. Ludruk menggunakan bahasa Jawa dialek Jawa Timuran. Sejalan dengan waktu, Ludruk kemudian menyebar ke daerah-daerah di sebelah barat, karesidenan Madiun, Kediri hingga ke Jawa Tengah. Pada teater Ludruk, semua perwatakan dimainkan oleh pria.
            Cerita yang dilakonkan mumnya  tentang sketsa kehidupan rakyat atau masyarakat, yang dibumbui dengan perjuangan melawan penindasan. Unsur parikan di dalam teater Ludruk pengaruhnya sangat besar. Misalnya, parikan yang dilantunkandi zaman penjajahan Jepang oleh Cak Durasim, yang membuat Cak Durasim berurusan dengan kempetei Jepang. Begini bunyi parikan itu: “Pagupon omahe doro melok Nipon tambah soro”

Mamanda (Teater tradisional nusantara Banjarmasin)

          Teater Tradisional Mamanda adalah teater yang berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Tahun 1897, syahdan datanglah rombongan Bangsawan Malaka ke Banjar Masin, yang ceritanya bersumber dari syair Abdoel Moeloek. Meskipun masyarakat Banjar sudah mengenal wayang, topeng, Rudat, joget, Hadrah dan Japin, tapi rombongan Bangsawan ini mendapat tempat tersendiri di masyarakat.

      Dalam perkembangannya, nama Bangsawan merubah menjadi Badamuluk. Dan berkembang lagi menjadi Bamanda atau mamanda. Kata Mamanda berasal dari kata “mama” yang berarti paman atau pakcik dan “nda” berarti “yang terhormat” sehingga Mamanda berarti “Paman yang terhormat”. Struktur dan perwatakan pada Mamanda sampai sekarang tidak berubah. kecualipad tata busana, tata musik dan ekspresi artistiknya.

Teater Tradisional Sulawesi

SINRILIK

Sinrilik adalah karya sastra Makassar yang berbentuk prosa yang cara penyampaiannya dilagukan secara berirama baik dengan menggunakan alat musik maupun tanpa alat musik. Hingga saat ini, masih dipelihara dan diminati oleh masyarakat Makassar. Meskipun karya sastra ini masih diminati oleh masyarakat, namun orang yang dapat melagukannya atau membacakan

sangat terbatas. Oleh karena itu, karya satra jenis ini perlu mendapat pembinaan agar tetap lestari.

Sinrilik sebagai salah satu bentuk sastra lisan, sangat terkait dengan hal – hal :

1) pencerita dan penceritaan,

2) kesempatan bercerita,

3) tujuan bercerita,

4) hubungan cerita dengan lingkungannya,

5) jenis cerita yang disampaikan, dan

6) pendengar.

Menurut Bantang seorang Sinrili’wan harus menguasai beberapa hal, yaitu :

a.Pandai berbahasa Makassar b.Kaya paruntuk kana c.Kaya kelong d.Menguasai dialek bahasa Makassar e.Menguasai banyak rapang dan pappasang

f.Mampu mengaprsiasikan dan menyatu dengan alam.

Pada acara – acara tertentu, sinrilik dipentaskan oleh seorang seniman, yang selain menguasai sastra sinrilik juga mampu menggesek kesok – kesok (sejenis instrument musik gesek). Orang yang mementaskan sinrilik ini disebut orang pakesok – kesok.

Berdasarkan isi dan cara melagukannya sinrilik terbagi atas dua macam, yaitu sinrilik pakesok-kesok dan sinrilik Bosi Timurung.

Sinrilik Pakesok-kesok adalah sinrilik yang dilagukan dengan iringan alat musik kesok-kesok (rebab). Isinya melukiskan tentang sejarah perjuangan dan kepahlawanan seorang tokoh. Bunyi alat musik gesek kesok-kesok yang mengiring pakesok-kesok/pasinrilik (orang yang memainkan alat musik kesok-kesok atau melagukan sinrilik) harus selaras dengan lagu dan isi serta suasana cerita yang dibawakan.

Di Sulawesi Selatan terdapat beberapa naskah yang berbentuk sinrilik. Naskah ada yang sudah dibukukan dan adapula yang belum, adapun naskah sinrilik yang dapat diiringi dengan kesok-kesok antara lain, Sinrilik Kappala' Tallumbatua, Sinrilik I Makdik Daeng Ri Makka, Sinrilik I Manakku' Caddi-caddi dan lain sebagaiya. Sinrilik ini isinya mengisahkan tentang perjuangan dan kepahlawanan disela percintaan sang tokoh yang ditampilkan dalam cerita itu. Jenis sastra ini sangat menarik apabila dikreasi menjadi sastra pertunjukan.

Sinrilik Bosi Timurung adalah sinrilik yang dilagukan tanpa diiringi alat musik kesok-kesok dan biasanya dilantunkan pada tempat yang sunyi dikala orang yang berada disekelilingnya sedang tidur nyenyak. Sinrilik Bosi Timurung pada dasarnya berisi hal-hal sebagai berikut:

·         Pujaan yang menggambarkan kecantikan seorang gadis dengan membandingkan keadaan sekelilingnya.

·         Merindukan kekasih yang menggambarkan kerinduan seorang jejaka terhadap gadis yang dicintainya.

·         Beriba hati yang menggambarkan seorang yang sial atas segala usahanya sehingga menjadi sengsara.

·         Kesedihan yang menggambarkan kesedihan seseorang yang ditinggal oleh suaminya.

Dengan kata lain Sinrilik Bosi Timurung bila diistilahkan kedalam istilah anak muda jaman sekarang adalah sinrilik Curhat atau curahan hati seseorang yang hanya dia saja dan tuhannya yang mengetahuinya.


Sinrilik Bosi Timurung dapat juga dijadikan pelajaran atau nasihat yang berharga bagi orang yang menyimaknya, karena isinya menceritakan tentang ganjaran perbuatan yang baik dan siksaan terhadap perbuatan yang jelek diakhirat kelak. Sinrilik yang mengisahkan tentang hal-hal seperti ini biasanya dilantunkan pada saat kedukaan atau kematian sehingga dapat pula dijadikan sebagai hiburan bagi orang yang ditinggalkan. Acara ini dalam adat istiadat Makassar disebut dengan Ammaca kitta' yang pelaksanaannya dilakukan setelah Tadarrus AlQuran. Contoh Sinrilik Bosi Timurung adalah Kitta'na Tulkimak, Kitta'na Bodolo' Akherat, Kitta'na Jayalangkara dan lain sebagainya.

Toco Palu

Teater Copo Palu merupakan sebuah komunitas Teater yang berdiri sejak 4 tahun silam. Copo, dalam bahasa lokal berarti lampu yang umumnya terbuat dari kaleng susu bekas dan berbahan bakar minyak tanah, kata ini kemudian dipilih oleh Etenk Irsyad S.Sn (pendiri Teater Copo) untuk digunakan sebagai nama Kelompok Teater yang dibentuknya di Kota Palu sejak kepulangannya dari Bandung dalam rangka “belajar teater” di STSI dan sebelum hijrahnya beliau ke kampung halamannya di Kabupaten Buol.

Esensi dari tajuk komunitas mereka adalah penyimbolan terhadap makna pencarian ide dan gagasan yang dikemas menjadi sebuah bentuk tontonan, dimana mutlak didalamnya terdapat unsur-unsur estetika yang kental, teknik artistik, serta manusia-manusia yang sedang menjalani proses perpindahan karakteristik dan proses mengolah rasa seutuhnya.

Ini ceritanya:

Drama Satire Inspektur Jendral, Sebuah Karya Dari Nicolai Valisevich Gogol Seorang Sastrawan Rusia Berkebangsaan Ukraina mendeskripsikan dengan begitu gamblang borok-borok moral para pejabat-pejabat tinggi sebuah wilayah yang kemudian mempengaruhi mereka dalam mekanisme pengambilan keputusan atas sebuah problem individu maupun publik, bahkan kerusakan cara berpikir para pemangku kepentingan ini mampu mengacaukan hal - hal terkecil sekaligus sensitif bagi sosok pemimpin, Disiplin dan wibawa ! tentu kita semua sudah sangat mampu membayangkan bagaimana dampak bagi negara jika seorang pejabat nomor satu beserta jajarannya dalam sebuah wilayah Negara tersebut mengalami krisis disiplin dan pembawa’an.

Suasana yang ditawarkan inspektur jenderalnya Gogol terasa begitu dekat dengan morat-maritnya Republik kita. Drama ini, menyajikan bentuk-bentuk kegelisahan serta keinginan kaum elit yang jauh dari landasan kepentingan masyarakatnya, malah munculnya segala jenis kesibukan tersebut berangkat dari kekhawatiran akan nasib pribadi mereka. Boleh jadi pada dua abad yang lalu Gogol menuliskan drama ini dengan tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh latar belakang kehidupan sosial, politik,budaya serta kaitannya terhadap kesadaran sejarah yang bergulir di zaman Tsar nya orang-orang Rusia dan tentu bersifat jauh lebih global. ( Tsar adalah gelar Kekaisaran Pertama dan Kedua Bulgaria sejak tahun 913 dan untuk merujuk kepada pemimpin-pemimpin Rusia pada dulu kala sejak 1547 hingga 1917.wikipedia), namun di kemudian hari kepekaannya ini dengan tidak sengaja telah membidik atmosfer politik serta dinamika kekuasaan pada negara-negara “coba terus berkembang” termasuk Indonesia yang semakin pasti mengalami kehilangan spirit dalam menjaga komitmen terhadap sistem politik yang telah di cetuskan guna menjalankan kehidupan yang mengutamakan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Kini terbukti bahwa berlandaskan kepekaan tersebut Nicolai V.Gogol mampu menemukan sebuah strategi pembacaan yang lihai dan cerdas serta dengan bijak menempatkan kesenian sebagai bagian dari pembentukan kultur pada masyarakat. 

Alhasil, kita orang Indonesia pun seolah merasa diwakili kegundahannya akan masa depan cerah sebuah negara oleh seseorang yang moyangnya mengaku secara kultural sebagai keturunan polandia. Nah, ketika kita menyepakati bahwa Republik hakikinya adalah gagasan untuk mengaplikasikan kesetaraan, persamaan di dalam kemajemukan Nusantara, maka sesungguhnya bangsa ini telah gagal besar dalam menjalankan misi tersebut. Mengapa ? apa tolak ukurnya ? mudah saja, karena kita ternyata masih merasakan bahwa keadaan Rusia di 2 abad silam yang dideskripsikan Gogol lewat “Inspektur Jenderal” merupakan perwakilan yang tepat bagi perasaan ketika kita menatap wajah pertiwi ini. Begitu jelas bagaimana pendidikan politik publik hanya sebatas retorika, dan program program yang mendukungnya tidak ada yang mengena esensinya,justru para pejabat publik selalu saja memaksakan pandangan pribadinya terhadap persoalan-persoalan publik, maka jadilah Republik ini sebagai lahan instalasi politik tekhnis dengan dalih bahwa kegunaan republik adalah mengapresiasi “permohonan-permohonan” yang sekuler.

GANDRANG BULO

Masyarakat di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan punya satu kesenian menarik yang disebut gandrang bulo. Kesenian gandrang bulo sudah berkembang sejak zaman penjajahan Jepang.munculnya kreasi ini adalah salah satu cara para seniman melawan penjajah .mereka tidak hanya melakukan perlawanan secara fisik dan senjata , melainkan juga lewat ekspresi kesenian di atas panggung . pada waktu istirahat kerja paksa . ganrang bulo biasanya dimainkan olehpara pekerja . beberapa orang seniman tampil di depan teman lainnya diiringi music ganrang bulo. Lalu mereka mulai meniru-niru dan mencemooh geral gerik, gesture dan perilaku tentara jepang .karena diiringi musik ditambah gerakan-gerakan yang kocak, maka wajar bila permainan ini menarik ditonton dan diminati banyak orang . Aslinya gandrang bulo merupakan pertunjukan seni tari yang diiringi permainan musik gendang dan biola dari bambu. kesenian gandrang bulo lebih dikenal dengan kesenian yang menyampaikan aspirasi dan kritik rakyat dengan cara yang ringan dan lucu.

Pemain membawakan karakter lucu seperti orang idiot atau orang kampung yang lugu berhadapan dengan pemeran pejabat atau orang berkuasa yang angkuh. Orang idiot dan orang kampung itu selalu berhasil mencibir si pejabat. Begitu lucu gerak-gerik para pemain sehingga orang yang dikritik pun ikut tergelak tertawa.

Menurut para seniman, perkembangan gandrang bulo terdiri dari dua fase. Fase pertama adalah gandrang bulo klasik yang terdiri dari tari dan musik saja. Fase pertama berkembang pada masa kerajaan. Fase kedua terbentuk pada tahun 1942 saat penjajahan Jepang. Pada fase kedua inilah unsur kritik dimasukkan.

Pertunjukan gandrang bulo umumnya dilakukan diatas sebuah panggung dan diiringi musik dari gendang. Para pemainnya menggunakan kostum sehari-hari sesuai dengan cerita yang dipertunjukan. Disela-sela pertunjukan sering disisipkan tari-tarian tradisional dari Makassar seperti Tari Se'ru dan Tari Pepe. Dialog-dialog lucu yang dilontarkan oleh para senimannya merupakan kritik dan luapan emosi atas masalah yang dihadapi sehari-hari.

Gandrang bulo sekarang banyak mengangkat isu-isu seputar politik, sosial, dan budaya. Karena tema-tema yang diangkat begitu dekat dengan kehidupan masyarakat dan disajikan dengan ringan dan lucu, kesenian gandrang bula sangat diminati oleh semua kalangan masyarakat di Makassar. Masyarakat pinggiran yang ternyata memiliki cara sendiri dalam merespon berbagai tekanan sosial dan struktural yang menimpanya. Lewat Gandrang Bulo, mereka secara satiris menertawakan kehidupan dan menggugat persoalan dalam rupa humor yang menghibur

Teater Tradisional Papua

NUG-NUG WAN

Menurut sutradara pertunjukan, Jefri Zeth Nendissa, sastra lisan merupakan budaya masyarakat Papua yang diwariskan turun-temurun. Tidak ada buku yang menuliskan kisah-kisah tersebut. Semua cerita diwariskan dari mulut ke mulut.

Kisah yang diangkat malam itu pun sebenarnya sangat sederhana. Diangkat dari "Mop" atau cerita komedi ringan yang dibumbui dengan nilai-nilai kebijaksanaan. Alkisah sepasang suami istri yang tamak, satu-satunya pemilik kolam ikan di dunia yang tidak diketahui oleh masyarakat. Namun akhirnya, rahasia mereka terbongkar juga sehingga kolam tersebut dihancurkan oleh tuan tanah sehingga ikan-ikan di dalamnya dapat dimiliki oleh masyarakat. Kolam yang terbongkar tersebut kemudian dipercaya sebagai teluk Yotefa.

Nendissa mengatakan tujuan awal ia mengangkat cerita rakyat milik desa Tobati dan Enggros adalah untuk memperkenalkan kepada masyarakat luas sebuah kisah anekdot mengenai asal usul teluk indah yang terletak di sebelah utara pulau Irian tersebut.

Seni pertunjukan ini menggabungkan nyanyian khas Papua dan tari-tarian rakyat sehingga menarik ditonton.

Belum lagi para penonton juga dimanjakan suara merdu Edo Kondologit dan Michael "Idol" Jakarimilena. Edo berperan sebagai pencerita yang membimbing penonton memahami isi dari kisah yang disampaikan. Namun, tidak hanya sebagai narator, Edo juga mengambil bagian sebagai penyanyi dan penari dalam pertunjukan tersebut.

Pemeran suami atau ayi dalam pertunjukan tersebut adalah Michael Jakarimilena. Ia juga merupakan finalis Indonesia idol 2004. selain berakting dalam pertunjukan ini, ia juga menunjukkan kebolehannya bernyanyi. Pemeran istri atau anyi adalah Putri Nere, reporter sebuah stasiun swasta yang juga pernah ikut dalam ajang Miss Indonesia 2006.

Pertunjukan juga bergulir secara ringkas, ringan dan dibumbui banyak komedi sehingga terasa ringan. Para penari bergerak secara luwes dan dinamis mengikuti irama lagu pop Papua seperti "Pangkur Sagu" yang dikolaborasikan dengan tarian pergaulan Papua, Yosim Pancar.

Sulit Dicerna

Setting panggung yang sederhana juga tidak terlihat kaku. Sayangnya, pertunjukan teater tersebut berdialog dalam bahasa Indonesia dengan dialek Papua yang fasih sehingga sulit dicerna bagi orang awam yang jarang mendengar.

Tata panggung juga disusun dengan apik dengan setting lampu yang pas. Namun sayangnya, pada beberapa adegan, tata suara agak kacau dan saling tumpang tindih sehingga mengganggu pertunjukan. Namun, gangguan tersebut tidak membuat penonton kecewa. Berkali-kali terdengar tawa penonton melihat akting para pemain teater yang berdialog secara natural dan atraktif dengan penonton.

Tidak heran. Walau membawa budaya khas Papua dan pemain-pemain serta penari yang semuanya merupakan produk Papua, jalan cerita Nug Nug Wan kental dengan unsur pop yang ringan. Jefri Zeth Nendissa, arsitek dibalik pertunjukan ini sudah mengemban ilmunya selama bertahun-tahun di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Ia mengatakan sudah saatnya cerita rakyat milik tanah Papua diceritakan kepada masyarakat luas dengan cara yang ringan, seperti halnya cerita-cerita ini dikisahkan turun-temurun dengan cara yang ringan.

ORCHID

Teater Orchid asal Papua mementaskan kisah tokoh kepahlawanan perempuan, Angganetha yang berjuang untuk hak-hak adat rakyat Papua pada masa penjajahan kolonial di Panggung Lumbini Komplek Taman Wisata Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Selasa siang (15/05). Tokoh Angganetha sendiri merupakan pahlawan perempuan asal Papua yang berjuang untuk hak-hak adat rakyat Papua pada masa penjajahan colonial. Kisah Angganetha tersebut diperankan oleh puluhan pemeran yang semuanya perempuan yang merupakan korban kekerasan dan penindasan terhadap hak perempuan. Sosok kepahlawanan Angganetha ini dipentaskan untuk menyemangati perjuangan dalam konteks kekinian, terutama hak-hak adat orang asli papua serta hak dasar perempuan. Pementasan ini mampu memadukan karakter papua dalam pentas yang komunikatif dengan logat dan karakter asli masyarakat Papua.

Pemimpin Teater Orchid Papua, Agustina Klorway mengatakan, kisah angganetha ini berupaya mengungkap sisi keadilan, kesejahteraan dan perdamaian di dalam masyarakat papua dengan cara-cara beradab yakni menghormati hak-hak adat kehidupan manusia dan alam. Pesan perjuangan melawan penindasan dan kekerasan terhadap hak adat perempuan lebih efektif dan diterima melalui seni teater dibanding harus turun ke jalan lewat aksi demo. Teater Orchid Papua adalah teater pertama di Papua yang beranggotakan para kaum perempuan

Teater Tradisional  Nusa tenggara

CEPUNG

Teater dari NTB contohnya Cepung. Teater ini berasal dari lombok. Cepung merupakan teater tutur. Penamaan Cepunf berawal dari iringan suara gamelan dari mulut yang berbunyi ",cek,cek,cek,cek,pung". Cepung adalah seni membaca kitab lontar, khususnya cerita Monyeh,yang diiringi oleh iringan bunyi suling dan redeb serta peniruan suara suara  instrumen gamelan yang lain. pemain pemain cepung ada 6 orang,terdiri atas pembca lontar ,seorang pemain redeb,seorang pemain suling, dan tiga orang sebagai penembang. 

Mereka duduk berjajar setengah lingkaran. Musik,tari,mimik,dan lawak merupakan unsur unsur yang selalu ada. Memakai sesaji berupa ayam,tuak,kembang ,beras,yang kepeng,benang,dan sirih pinang.

KEMIDI RUDAT

Kemidi Rudat merupakan teater tradisional yang termasuk dalam bagian teater tradisional rumpun Melayu-Islam. Teater tradisional Kemidi Rudat ini tersebar di seluruh wilayah pulau Lombok dengan berbagai corak ekspresi. Ada yang bertahan dengan pola-pola yang telah baku, tetapi ada pula yang berimprovisasi dalam hal cerita yang dibawakan sehingga membuat kesan sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan informasi.

Secara etimologis, rincian istilah rudat belum di temukan secara jelas. Tapi menurut Iyus Rusmana istilah ini bisa di cari dari bahasa arab rudatun yang artinya taman bunga. Dalam hal ini berarti bunganya adalah pencak. Sedangkan menurut Enoch Atmibrata, rudat tarian merupakan tarian di iringi oleh musik terbangan yang unsur tariannya kental dengan nuansa agama, seni bela diri, dan seni suara (fithrorozi, 2008).

Dalam penjelasan lain dikatakan bahwa rudat adalah sejenis kesenian tradisional yang semula tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren. Seni rudat merupakan seni gerak dan vokal yang diiringi tabuhan ritmis dari waditra sejenis terbang (rebana). Syair-syair yang terkandung dalam nyanyiannya bernafaskan kegamaan, yaitu puja-puji yang mengagungkan Allah dan Shalawat Rosul. Tujuannya adalah untuk menebalkan iman masyarakat terhadap agama Islam dan kebesaran Allah. Sehingga manusia bisa berakhlak tinggi berlandasan agama Islam dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian, seni rudat adalah paduan seni gerak dan vokal yang di iringi musik terbangan yang di dalamnya terdapat unsur ke agamaan, seni tari dan seni suara.

Teater Tradisional Sumatera

DULMULUK

Dul Muluk merupakan salah satu seni tradisional di Sumatera Selatan. Teater Abdul Muluk pertama kali terinspirasi dari seorang pedagang keturunan arab yang bernama Wan Bakar. Dia datang ke Palembang pada abad ke-20 lalu menggelar pembacaan kisah petualangan Abdul Muluk Jauhari, anak Sultan Abdul Hamid Syah yang bertakhta di negeri Berbari di sekitar rumahnya di Tangga Takat, 16 Ulu. Acara itu menarik minat masyarakat sehingga datang berkerumun.

Sejak itu Wan Bakar sering diundang untuk membacakan kisah-kisah tentang Abdul Muluk pada berbagai perhelatan, seperti acara perkawinan, khitanan atau syukuran saat pertama mencukur rambut bayi.

Bersama murid-muridnya, antara lain Kamaludin dan Pasirah Nuhasan, Wan Bakar lalu memasukkan unsur musik gambus dan terbangan (sejenis musik rebana) sebagai pengiring. Bentuk pertunjukan pun diperkaya. Jika semula Wan Bakar menjadi wakil semua tokoh, kemudian para muridnya dilibatkan membaca sesuai tokoh perannya.

Pada tahun 1919, tercatat pertama kali pembacaan teks dibawakan dalam bentuk dialog disertai gerak tubuh sesuai peran masing-masing. Pertunjukan pun sudah di lapangan terbuka. Dalam perkembangan berikutnya, pelaku peran dilengkapi kostum khusus, sudah merias diri, dan menggunakan properti pertunjukan seadanya. Perangkat musik pun ditambah biola, gendang, tetawak (gong), dan jidur alias gendang ukuran besar.

Pertunjukan Dulmuluk sempat berada di puncak kejayaannya pada era 1960-an dan 1970-an. Ketika itu ada puluhan grup teater tradisi Dulmuluk. Dibeberapa tempat teater tradisi ini dikenal juga sebagai pertunjukan Johori. Istilah Johori berasal dari nama belakang tokoh utamanya, yang bernama lengkap Abdul Muluk Jauhari.

BAKABA

Merupakan salah satu teater bertutur dari Sumatra Barat. Pembacaan sastra ini dilakukan dengan berdendang, diiringi dengan beberapa alat musik seperti rebana  besar (adok), kecapi, rebab, dan biola. Kisah yang dibawakannya adalah hal-hal yang bertemakan baik buruk, patut atau tidak patut dalam tradisi Tambo Alam atau adat Minangkabau, dengan menampilkan tokoh-tokoh dalam tradisi hikayat. Selain memperhatikan irama dendang untuk suasana, mereka juga sangat teliti memerhatikan karakter tokoh. Ini dilakukan dengan membedakan suara tiap karakter tokoh.

        Dalam pembacaan sastra daerah ini, tukang Kaba terlebih dahulu membaca doa dan mantra untuk mohon izin menyampaikan cerita serta mohon maaf kepada roh tokoh-tokoh yang namanya disebut dalam Kaba. Pembacaan mantra dilakukan pada awal dan akhir pertunjukan Bakaba.

        Bakaba terdiri dari beberapa jenis, tergantung dari alat pengiring dan judul cerita yang dibawakan. Seperti, Bakaba yang diiringi oleh kecapi disebut Barabab, sedangkan Bakaba yang diiringi kecapi dan adok disebut Basijobang. Dalam perkembangannya, Bakaba didukung oleh pemuda – pemudi kampung dan tumbuh menjadi teater rakyat Minangkabau bernama Randai.

RANDAI

Randai adalah salah satu permainan tradisional di Minangkabau yang dimainkan secara berkelompok dengan membentuk lingkaran, kemudian melangkahkan kaki secara perlahan, sambil menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian secara berganti-gantian. Randai menggabungkan seni lagu, musik, tari, drama dan silat menjadi satu.

Cerita randai biasanya diambil dari kenyataan hidup yang ada di tengah masyarakat. Fungsi Randai sendiri adalah sebagai seni pertunjukan hiburan yang didalamnya juga disampaikan pesan dan nasihat. Semua gerakan randai dituntun oleh aba-aba salah seorang di antaranya, yang disebut dengan janang[1].

Randai dalam sejarah Minangkabau memiliki sejarah yang lumayan panjang. Konon kabarnya ia sempat dimainkan oleh masyarakatPariangan, Tanah Datar ketika mesyarakat tersebut berhasil menangkap rusa yang keluar dari laut. Randai dalam masyarakat Minangkabau adalah suatu kesenian yang dimainkan oleh beberapa orang dalam artian berkelompok atau beregu, dimana dalam Randai ini ada cerita yang dibawakan, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Randai ini bertujuan untuk menghibur masyarakat yang biasanya diadakan pada saat pesta rakyat atau pada hari raya Idul Fitri.

Pada awalnya Randai adalah media untuk menyampaikan kaba atau cerita rakyat melalui gurindam atau syair yang didendangkan dangalombang (tari) yang bersumber dari gerakan-gerakan silat Minangkabau. Namun dalam perkembangannya, Randai mengadopsi gaya penokohan dan dialog dalam sandiwara-sandiwara, seperti kelompok Dardanela.

Randai ini dimainkan oleh pemeran utama yang akan bertugas menyampaikan cerita, pemeran utama ini bisa berjumlah satu orang, dua orang, tiga orang atau lebih tergantung dari cerita yang dibawakan, dan dalam membawakan atau memerankannya pemeran utama dilingkari oleh anggota-anggota lain yang bertujuan untuk menyemarakkan berlansungnya acara tersebut.

MAK YONG

Makyong adalah seni teater tradisional yang menarik untuk disaksikan karena menggabungkan berbagai unsur di dalamnya yaitu agama, adat Melayu, sandiwara, gerak tari, syair lagu, vokal, instrumental tradisional, serta naskah sederhana namun memikat. Sejak dahulu makyong dipentaskan di desa-desa sekitar pematang sawah seusai panen padi. Pihak kerajaan juga akan mementaskannya secara khusus dengan mengambil pelakon terbaik dari desa-desa.


Teater khas Melayu ini mementaskan tokoh utama pria dan wanita tetapi justru dibawakan penari wanita dengan memakai topeng. Ada juga tokoh lain dalam cerita seperti munculnya pelawak, dewa, jin, pegawai istana, dan binatang. Semua tokoh yang dimainkan pria memakai topeng yang disesuaikan dengan wataknya.


Pementasan makyong menyuguhkan iringan alat musik rebab, gendang, dan tetawak yang harmonis terdengar. Akan didendangkan juga lagu-lagu merdu Melayu, yaitu: Betabik, Awang Bejalan, Jalan Masuk, Cik O‘oi, Bunga Kuning, Gemalai, Gendang Tinggi, Lagub Rancak, Lenggang Tanduk, Timang Welo, Adik Itam, Colak, Lagu Sabuk, dan Ratap. Sementara itu, cerita yang disajikan dalam pementasan makyong sebagian besar berasal dari warisan tukang cerita istana.

Makyong adalah seni teater tradisional khas Melayu yang masih digemari sampai sekarang dan sering dipertunjukkan sebagai drama tari dalam forum internasional.  Makyong ternyata juga muncul di Malaysia (negara bagian Terengganu, Pattani, Kelantan, dan Kedah) tetapi penarinya tanpa mengenakan topeng. Makyong diperkirakan telah ada di Riau hampir seabad yang lalu. Belum diketahui secara pasti asal nama makyong tetapi diduga berasal dari kata Ma Hiang atau dikenal sebagai nama sebuah bentuk teater dan nama salah seorang tokoh utama dalam lakon Makyong.


Untuk mementaskan makyong tidak menuntut properti, dekorasi, atau layar untuk pergantian babak. Makyong seringnya dipentaskan di lapangan terbuka namun tetap diberi atap menggunakan bubungan dengan enam buah tiang penyangga dan pada kayu yang melintang dihiasi daun kelapa muda. Bila dimainkan di istana, makyong dipentaskan di panggung beton berbentuk segi enam.


Sebelum pementasan biasanya akan dipilih tempat yang tepat untuk pertunjukan makyong. Seorang ketua panjak (bomo) akan melakukan serangkaian upacara sebelum pementasan berupa pengasapan pada seluruh alat pementasan, yaitu: gendang penganak, gendang pengibu, tawak-tawak, mong, geduk-geduk, canang, serunai, dan rebab. Selanjutnya bomo akan menanam sebutir telur ayam, segenggam beras basuh, segenggam beras kuning, bertih, sirih sekapur, dan sebatang rokok daun nipah.  Ia juga akan menaburkan beras basuh (bertih) ke sekeliling tempat bermain, sambil membacakan mantra diiringi bunyi musik berirama magis.

Pementasan makyong terbilang ber-alur lambat dengan cerita bersambung terus selama lima malam, bahkan kadang sampai tujuh malam. Pertunjukan makyong biasanya dimulai setelah Isya dan akan berakhir menjelang Subuh. Dalam pertunjukannya pelakon berjalan dengan gerak tari sederhana yang menggambarkan wataknya. Misalnya seorang wanita pemeran Pakyong harus memperlihatkan gerakan yang cekatan untuk menggambarkan bahwa dirinya seorang pria.


Makyong mengalami kejayaannya pada masa keemasan kesultanan Riau-Lingga tahun 1950-an. Pada masa kejayaannya ini Makyong pernah dianggap sebagai kesenian istana.
Di Kepulauan Riau masa lalu, makyong ditemukan di dua tempat, yaitu di Tanah Merah dan di Mantang Arang. Di Tanah Merah dipimpin oleh Embak Tanah Merah; di Rempang dan Sembulang dipimpin oleh Niah; dua kelompok di Kasu masing-masing dipimpin oleh Minah Kekap dan Mat Darus; dan di Dompak dipimpin oleh Emak Empak. Sementara di Mantang Arang masing-masing dipimpin oleh Hasan, Ni Poso, Tongkong, Botak, Ungu Mayang, Awang, Begoh, dan Khalid. Kelompok yang masih ada hingga sekarang hanya Makyong Mantang Arang yang dipimpin Bapak Khalid Kasim. Sebagian besar anggota kelompok ini sudah berusia lebih dari setengah abad.


Makyong yang terancam punah masih banyak di Keke Kijang dan Mantang Arang. Untuk menikmati teater ini Anda juga dapat menyambangi Kijang (
Bintan Timur), Rempang atau Sembulang, Dompak, Kasu, Pulau Buluh, dan Cate (daerah pinggiran PulauBatam). Penikmat teater ini lebih suka datang ke tempat pertunjukannya langsung karena dalam acara hajatan tidak pernah dilakukan akibat tarifnya mahal. Makyong kini terus dipopulerkan dan diperbaharui sesuai zamannya dan melengkapi kekayaan budaya di Kepulauan Riau.

Page 2

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA