General Agreement on Tariffs and Trade 1994 atau Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (“GATT”) merupakan perjanjian perdagangan multilateral yang berdasarkan mukadimahnya, tujuan dari perjanjian ini adalah pengurangan substansial atas tarif dan hambatan perdagangan lainnya dan penghapusan perlakuan diskriminasi dalam perdagangan internasional. Show
Salah satu prinsip perdagangan yang diatur dalam GATT adalah prinsip persaingan yang adil (fairness principle). Untuk menciptakan persaingan yang adil, GATT menetapkan ketentuan-ketentuan diantaranya adalah pembatasan pemberian subsidi terhadap produk ekspor.[1]
Menurut Huala Adolf & A. Chandrawulan dalam Masalah-masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, subsidi adalah sebuah pembayaran oleh pemerintah untuk produsen, distributor dan konsumen bahkan masyarakat dalam bidang tertentu (hal. 64).
Andreas F. Lowenfield dalam International Economic Law mengatakan subsidi adalah transfer kekayaan dari dana publik kepada suatu kelompok penerima manfaat tertentu, dimana dipercayai tidak dapat bertahan, atau setidaknya tidak dapat mempertahankan kedudukan mereka, kalau hanya didasarkan pada kekuatan pasar semata (hal. 216).
Menurut hemat kami, walaupun subsidi tersebut terjadi dalam suatu negara tertentu, perbuatan tersebut dapat memiliki dampak yang buruk terhadap ekonomi atau sektor tertentu negara-negara lain, karena subsidi ini mendistorsi arus barang yang terjadi.
Aturan mengenai subsidi diatur Pasal XVI GATT dan lebih lanjut dalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures 1995 (“SCM”) yang mengatur lebih rinci mengenai subsidi dan tindakan yang dapat diambil oleh negara anggota yang dirugikan akibat adanya produk ekspor yang disubsidi negara lainnya.
Jenis-Jenis Subsidi Pasal 1.1 SCM memberkan definisi umum mengenai subsidi yang akan menjadi acuan dalam penentuan apakah subsidi tersebut diperbolehkan atau tidak, yaitu:
For the purpose of this Agreement, a subsidy shall be deemed to exist if:
(2) there is any form of income or price support in the sense of Article XVI of GATT 1994; and
Berdasarkan uraian tersebut, maka subsidi dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu:
Ketentuan diatas tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus memenuhi ketentuan bahwa subsidi tersebut harus bersifat “spesifik” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2.1 SCM:
In order to determine whether a subsidy, as defined in paragraph 1 of Article 1, is specific to an enterprise or industry or group of enterprises or industries (referred to in this Agreement as "certainenterprises") within the jurisdiction of the granting authority, the following principles shall apply:
Berdasarkan ketentuan tersebut, subsidi yang dimaksud adalah subsidi yang spesifik penerimanya, yaitu subsidi yang diberikan kepada suatu perusahaan, industri, kelompok perusahaan atau kelompok industri. Sedangkan, subsidi yang sifatnya umum tidak termasuk subsidi yang dimaksud dalam SCM.
Subsidi yang diberikan kepada semua pihak sepanjang memenuhi kriteria atau persyaratan yang diatur dalam suatu perundang-undangan, bukan merupakan subsidi yang spesifik, sehingga tidak termasuk dalam ruang lingkup yang diatur dalam SCM. Faktor-faktor lain yang harus diperhatikan adalah apakah kegiatan ekonomi negara yang dimaksud bervariasi atau tidak dan lamanya waktu program subsidi berlangsung.
Tolok Ukur Subsidi yang Dilarang Menurut Mithuo Mathushita, et.al dalam The World Trade Organization, Law, Practive, and Policy, berdasarkan ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 SCM, maka terdapat tiga elemen dasar dalam menentukan subsidi berdasarkan SCM, yaitu (hal. 305):
SCM kemudian membagi subsidi kedalam 2 (dua) kategori utama, yaitu:
Sebenarnya, terdapat satu lagi kategori subsidi, yaitu subsidi yang tidak dapat dikenakan tindakan (non-actionable subsidies), seperti bentuk bantuan penelitian dan pengembangan dari pemerintah sebagaimana diatur dalam Bagian IV SCM. Namun, karena tidak ada negara anggota yang menyetujui perpanjangan keberlakuan ketentuan ini sesuai dengan jangka waktu yang dipersyaratkan, maka sejak 31 Desember 1999 ketentuan Bagian IV SCM sepanjang mengenai non-actionable subsidies berakhir dan menjadi tidak berlaku.
Prohibited subsidies adalah subsidi yang diberikan oleh pemerintah yang pada dasarnya terdiri dari subsidi produk ekspor subsidi dan produk substitusi impor sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 SCM, yang berbunyi:
Subsidi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3.1 SCM adalah per se illegal, yaitu sama sekali dilarang tanpa mewajibkan negara pelapor membuktikan adanya dampak kerugian ekonomi yang dialami negaranya akibat adanya suatu produk impor bersubsidi dari negara lain.
Subsidi kategori prohibited subsidies otomatis memenuhi unsur spesifik sebagaimana dipersyaratkan. Annex 1 SCM memberikan daftar bentuk subsidi produk ekspor yang dilarang yang bersifat non-exhaustive, artinya dimungkinkan bentuk-bentuk lain di luar daftar tersebut.
Mithuo Mathushita, et.al dalam buku yang sama menyatakan bahwa daftar bentuk-bentuk subsidi produk ekspor yang dilarang berdasarkan Annex 1 SCM (hal. 330 – 331):
Dalam actionable subsidies, komplain yang ditujukan tidak harus terhadap subsidi produk ekspor atau subsidi produk substitusi impor. Negara anggota dapat melakukan komplain terhadap setiap jenis subsidi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1.1 SCM sepanjang yang bersangkutan dapat membuktikan adanya dampak kerugian ekonomi yang ditimbulkan dari produk bersubsidi tersebut.
Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Article 5 SCM yang menyebutkan:
No Member should cause, through the use of any subsidy referred to in paragraphs 1 and 2 of Article 1, adverse effects to the interests of other Members, i.e.:
Berdasarkan ketentuan diatas, terhadap actionable subsidies, negara pelapor harus menunjukan bahwa subsidi berdampak buruk pada kepentingannya. Kalau tidak, subsidi diizinkan.
Ketentuan tersebut juga mendefinisikan tiga jenis kerusakan yang terjadi akibat subsidi. Pertama, subsidi suatu negara dapat merugikan industri dalam negeri di negara pengimpor. Kedua, subsidi dapat merugikan eksportir saingan dari negara lain ketika keduanya bersaing di pasar ketiga. Ketiga, subsidi domestik di suatu negara dapat merugikan eksportir yang mencoba bersaing di pasar domestik negara yang memberikan subsidi.
Dengan demikian, subsidi yang dilarang dalam rangka perjanjian perdagangan internasional adalah subsidi dari pemerintah kepada perusahaan atau industri tertentu, dengan jenis utamanya adalah subsidi produk ekspor atau subsidi produk substitusi impor.
Selain subsidi produk ekspor atau produk substitusi impor, pelarangan subsidi juga dimungkinkan sepanjang negara pelapor dapat membuktikan adanya dampak kerugian ekonomi yang ditimbulkan.
Kemudian, terhadap produk bersubsidi, negara yang dirugikan dapat menempuh dua tindakan, yaitu:
Negara pelapor dapat menggunakan salah satu atau kedua jalur tersebut secara bersamaan, namun hasilnya hanya boleh ada satu tindakan pemulihan yang diambil berdasarkan ketentuan Pasal 10 SCM, yaitu bea penyesuaian (contervailing duty) berdasarkan Bagian V SCM atau tindakan balasan (countermeasure) berdasarkan Pasal 4.10 atau Pasal 7.9 SCM.
Inisiasi investigasi tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Aturan prosedur dan pembuktian dalam melakukan investigasi diatur dalam dan harus sesuai dengan ketentuan dalam Bagian V SCM untuk dapat membebankan bea penyeimbang (countervailing duty) terhadap produk impor dimaksud.
Sedangkan, dalam penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa WTO, jika terbukti, negara pelanggar dapat diminta untuk mencabut subsidi tersebut. Jika negara pelanggar tersebut tidak mematuhinya, maka Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body) memberikan otorisasi kepada negara pelapor untuk mengambil tindakan balasan (countermeasure).[2]
Berdasarkan penelusuran kami, dalam kasus Uni Eropa-Indonesia terkait minyak kelapa sawit atau biodiesel, Uni Eropa menggunakan jalur investigasi sendiri untuk mengenakan bea perimbangan (contervailing duty) terhadap impor minyak kelapa sawit dari produsen Indonesia.
Komisi Eropa pada 13 Agustus 2019 mengenakan bea perimbangan (contervailing duty) sebesar 8% – 18% terhadap impor biodisel dari Indonesia. Berdasarkan artikel Commission Imposes Countervailing Duties on Indonesian Biodiesel, diakses pada 18 November 2019, pukul 14.47. Apa yang dimaksud dengan subsidi ekspor?Subsidi ekspor adalah bantuan (support) pemerintah, yang akan berkontribusi secara finansial kepada produsen DN atau eksportir manakala mereka mengekspor suatu komoditas/produk. Ekspor suatu komoditas/produk dapat didorong melalu subsidi tersebut, karena daya saingnya menjadi lebih tinggi.
Apa yang dimaksud subsidi berikan contohnya?Pengertian Subsidi
Sementara itu menurut Investopedia, subsidi merupakan manfaat yang diberikan kepada individu, lembaga, atau bisnis yang umumnya berasal dari pemerintah. Bentuknya bisa bermacam-macam baik secara langsung (contohnya BLT/Bantuan Langsung Tunai) atau tidak langsung (seperti BBM dan gas bersubsidi).
Apa yang dimaksud dengan subsidi dan nonsubsidi?BBM subsidi adalah bahan bakar minyak yang dibantu oleh pemerintah. BBM subsidi dibiayai menggunakan dana anggaran pendapatan belanja negara atau APBN. Sementara itu, BBM non-subsidi adalah bahan bakar minyak yang diperjualbelikan tanpa adanya campur tangan pemerintah.
|