Apa yang dimaksud badal haji

REPUBLIKA.CO.ID,  Assalamualaikum Wr Wb,

Ustaz apa sebenarnya yang dimaksud badal haji itu? Apakah ajaran Islam membolehkannya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan?

Hamba Allah

Bandung, Jawa Barat

Jawab:

Waalaikumussalam Wr Wb

Badal artinya “menggantikan” maknanya adalah seseorang yang menggantikan haji dari orang yang seharusnya menunaikan ibadah haji disebabkan oleh faktor halangan, usia lanjut atau telah meninggal dunia.

Badal haji sering menjadi bahan perdebatan, masuk dalam kategori khilafiyah antara yang membolehkan dan yang tidak. Masing masing beragumen pada dalil masing-masing. Para ulama yang tidak membolehkan berangkat dari dasar fikiran dan nash bahwa seseorang tidak bisa menggantikan amal orang lain, tanggungjawab itu bersifat pribadi.

Kalau orang yang tidak bisa haji karena berbagai faktor maka itu artinya ia memang tidak istithoah maka ia terbebas dari kewajibannya. Bagi kelompok yang berpendapat seperti ini jika ada hadits pun yang sanad nya shahih tentang adanya badal haji, namun dari sisi matan maka hadits tersebut masih perlu dipertanyakan.

Dalil pokok dan ayat-ayat yang sejenis, yaitu : “(Yaitu) bahwasanya tidak memikul tanggungjawab perbuatan orang lain. Dan bahwasanya seseorang manusia tidak memperoleh sesuatu selain dari apa yang diusahakannya” (QS An Najm 38-39). Begitu juga dengan hadits putus amal orang meninggal kecuali shadaqah, ilmu, dan doa anak sholih “illa min shadaqotin jaariyatin aw ilmin yunfa’u bihi aw waladin shoolihin yad’uu lahu” (HR Muslim, Nasaa’i, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban).

Bagi yang membolehkan bersandar pada hadits-hadits yang meriwatkan peristiwa peristiwa yang terjadi, seperti anak yang menghajikan orang tua yang sudah tua renta di mana Rosulullah SAW bersabda “fahujji anhu” (maka hajikanlah dia olehmu)". (HR Muslim). 

Lalu ada pula orang yang menghajikan saudara atau kerabatnya yang bernama Syubrumah, Rasul bertanya apakah ia sudah haji dan ketika jawabannya belum, maka Nabi bersabda “Berhajilah untuk dirimu, kemudian hajikan Subromah” (HR Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al Bani dan Al A’zami. Al Baihaqi mengatakan tidak ada yang lebih shahih dalam bab ini daripada hadits ini).

Dalam mendelegasikan ibadah haji (al istinaabah fiel hajj) hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:

Pertama, yang menghajikan harus sudah haji. Kedua, niat untuk membadali harus untuk orang yang dibadali sebagaimana niat “Labbaika ‘an Syubrumah”.

Ketiga, diniatkan untuk membayar utang bukan menggantikan amal. Keempat, seseorang hanya dapat membadali untuk satu orang, karena ihram itu untuk sekali haji dan menyebut nama satu orang. Kelima, pelaksanaan badal oleh naib (anak atau saudara) harus sukarela bukan terpaksa. Keenam, biaya badal haji dari kekayaan orang yang membadali, kecuali anak atau saudara sukarela membiayai.

Yang perlu diperhatikan bersama adalah komersialisasi badal haji, suatu hal yang sesungguhnya terlarang. Banyak yang berangkat haji mencari-cari orang yang mau membadalkan haji kepadanya, sehingga yang awalnya tak terfikirkan oleh seseorang, karena bujuk rayunya, maka akhirnya ia pun mempercayakan orang itu untuk membadalkan orangtua atau kerabatnya.

Ternyata sudah banyak yang terdaftar dibadalkan melaluinya. Sang kolektor melakukan sendiri atau membagikan lagi kepada anggota timnya.

Ibnu Taimiyah dalam “Majmu’at al Fatawa” menyoroti hal ini dengan menyatakan: ”Hendaknya seseorang mencari uang untuk berangkat haji, bukan berangkat haji untuk mencari uang. Barangsiapa berhaji untuk mencari uang, maka tidak ada bagian di hari kiamat nanti”.

Wallahu a’lam bissawab. 

Ustaz HM Rizal Fadillah

Pertanyaan (Karim, bukan nama sebenarnya):

Bagaimana hukumnya badal haji? Ibu saya sudah meninggal dunia, apakah boleh saya berhaji untuk beliau?

Jawaban (Kiai Muhammad Hamdi):

Ibadah haji adalah rukun Islam yang wajib dilaksanakan sekali seumur hidup, dengan syarat “jika mampu”. Karena haji adalah ibadah yang kompleks dan membutuhkan banyak persiapan, mulai dari fisik sampai materi. 

Allah berfirman:

‎وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا

Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana (QS. Ali Imran [3]: 97).

Tidak setiap muslim mampu pergi haji. Sebagian terhalang karena kondisi ekonomi, dan sebagian yang lain terhalang karena kondisi fisik yang tidak mumpuni.

Lantas, jika orang-orang yang sudah wajib berhaji tidak mampu pergi haji sendiri, apakah orang lain boleh berhaji menggantikannya?

Ulama mazhab Maliki, Ibnu Rusyd, mengatakan bahwa ulama sepakat membolehkan badal untuk haji sunnah. Namun, ulama berbeda pendapat apakah badal haji boleh dilakukan untuk haji yang sifatnya wajib?

Badal haji untuk yang masih hidup

Badal haji berarti melaksanakan ibadah haji atas nama orang lain. Ulama sepakat bahwa orang yang telah memenuhi syarat sebagai orang yang mampu melaksanakan haji tidak boleh digantikan oleh orang lain. 

Ulama mazhab Syafii, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, menyebutkan, “Ulama yang membolehkan untuk menggantikan haji wajib sepakat itu tidak berlaku kecuali untuk orang yang sudah meninggal atau lumpuh.

Maka tidak termasuk orang sakit, karena ada harapan sembuh. Tidak juga orang gila, karena ada harapan waras. Tidak juga orang yang dipenjara, karena ada harapan bebas. Tidak juga orang fakir, karena ada harapan akan mampu.”

Imam Syafii berpendapat bahwa orang yang masih hidup boleh digantikan hajinya jika ia tidak kuat untuk melaksanakan haji sendiri. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Al-Fadhl bin Abbas ra.:

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمٍ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أَبِي أَدْرَكَتْهُ فَرِيضَةُ اللهِ فِي الحَجِّ وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيْعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى ظَهْرِ البَعِيْرِ، قَالَ: حُجِّيْ عَنْهُ

Seorang perempuan dari Khats’am berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh ayahku telah wajib haji, sedangkan beliau sudah renta dan tidak mampu duduk di atas punggung unta.” Lalu beliau bersabda, Berhajilah untuknya.(HR. Tirmidzi no. 928; beliau mengatakan hadis ini hasan shahih).

Dalam hadis lain, Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan ada seorang laki-laki mengabarkan kepada Rasulullah ﷺ bahwa ayahnya telah masuk Islam. Namun, ayahnya sudah renta dan tidak bisa berkendara. “Apakah aku bisa berhaji untuknya?” tanya laki-laki tadi. Rasulullah ﷺ membandingkan tanggungan haji dengan utang yang boleh dibayar orang lain, lalu beliau ﷺ  bersabda:

فَاحْجُجْ عَنْ أَبِيكَ

Berhajilah untuk ayahmu (HR. Ahmad no. 1812; Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani menilai hadis ini sahih).

Dalam mazhab Syafii, orang yang memiliki harta untuk berhaji, tetapi tidak mampu pergi karena tua renta, lumpuh dan sebagainya, maka wajib meminta orang lain berhaji untuknya. Dengan begitu akan gugur kewajiban hajinya.

Sementara itu, mazhab Maliki tidak membolehkan berhaji untuk orang lain, baik orang tersebut mampu untuk berhaji maupun tidak. Karena mereka mengqiyaskan haji dengan ibadah lain seperti shalat, zakat dan puasa, yang tidak boleh digantikan orang lain. Sebagaimana firman Allah:

‎وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰى

Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya (QS. An-Najm [53]: 39).

Adapun menurut mazhab Hanafi kewajiban haji otomatis gugur apabila seseorang tidak mampu, baik secara fisik maupun materi. Namun, jika seseorang punya ketidakmampuan permanen seperti lumpuh, maka boleh dihajikan orang lain.

Badal haji untuk yang sudah meninggal

Ulama mazhab Syafii, Imam Nawawi, mengatakan bahwa mazhab Syafii sepakat boleh berhaji untuk orang yang sudah meninggal. Wajib haji untuknya ketika memiliki tanggungan haji, baik ia berwasiat maupun tidak.

Hal ini berdasarkan hadis:

‎أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ، جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالوَفَاءِ

Seorang perempuan dari suku Juhainah datang kepada Rasulullah dan berkata, “Sungguh ibuku telah bernazar untuk haji, tetapi ia tidak haji sampai wafat. Apakah aku bisa berhaji untuknya?” Beliau menjawab, “Ya, berhajilah untuknya. Jika ibumu memiliki tanggungan utang, bukankah kamu akan membayarnya? Bayarlah (utang) kepada Allah, karena Dia lebih berhak untuk dilunasi.” (HR. Bukhari no. 1852).

Adapun mazhab Maliki berpendapat badal haji untuk orang yang sudah meninggal hanya terjadi jika ia berwasiat untuk dihajikan. Lalu uang yang digunakan untuk menggantikan haji itu diambil dari sepertiga harta warisannya. Jika ia tidak berwasiat, maka gugur kewajiban hajinya.

Syarat badal haji

Dalam mazhab Syafii, ada empat syarat untuk melaksanakan badal haji:

1. Pengganti sudah sah untuk melaksanakan kewajiban haji.

2. Pengganti sudah pernah berhaji untuk dirinya sendiri.

3. Pengganti tidak punya tanggungan haji wajib karena nazar atau qadha.

4. Pengganti dipercayakan oleh orang yang digantikan.

Kesimpulan

Sahabat KESAN, pergi haji wajib bagi orang yang mampu. Namun, tidak semua orang beruntung bisa berziarah ke Tanah Suci, kiblat yang selalu dituju setiap muslim saat shalat. Sebagian yang punya uang untuk naik haji terpaksa tidak pergi karena fisiknya tidak mampu.

Ulama berbeda pendapat tentang hukum menggantikan haji seseorang yang tidak mampu. Mazhab Syafii membolehkan badal haji untuk orang yang tidak bisa pergi haji karena tua renta, lumpuh dan sebagainya. Termasuk juga orang yang sudah lebih dulu meninggal.

Sementara itu, mazhab Maliki tidak membolehkan menggantikan haji untuk orang lain meskipun ia tidak mampu. Kecuali jika orang yang meninggal berwasiat untuk dihajikan, maka wajib badal haji menggunakan sepertiga harta warisannya.

Adapun mazhab Hanafi membolehkan badal haji bagi yang memiliki kelemahan permanen seperti lumpuh.

Sahabat KESAN, semoga Allah mengizinkan kita untuk berziarah ke Baitullah dan makam Rasulullah ﷺ, dan menggenapi umur kita semua dengan melaksanakan ibadah haji. Aamiin.

Wallahu A’lam bish Ash-Shawabi.

Referensi: Muhammad bin Ismail Al-Bukhari; Shahih Al-Bukhari, Abu Zakaria bin Syaraf An-Nawawi; Al-Majmu’, Ibnu Hajar Al-Asqalani; Fath Al-Bari, Zakaria Al-Anshari; Asna Al-Mathalib.

###

*KESAN bekerjasama dengan Kitabisa dalam penyaluran donasi hewan kurban dan daging kurban untuk mereka yang membutuhkan. Bagi Sahabat KESAN yang ingin turut berdonasi bisa klik tautan berikut. Dan bagi Sahabat KESAN yang ingin bersedekah daging kurban bisa melalui tautan berikut

**KESAN juga bekerjasama dengan Amitra untuk pembiayaan hewan kurban. Bagi Sahabat KESAN yang ingin mencicil pembelian hewan kurban bisa mengklik tautan berikut.

***Jika artikel di aplikasi KESAN dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin. Download atau update aplikasi KESAN di Android dan di iOS. Gratis, lengkap, dan bebas iklan.

****Ingin menulis untuk KESAN dan berbagi ilmu yang berguna? Tunggu apa lagi? Sebab berbagi ilmu itu bukan hanya indah, tetapi juga berpahala. Kirim artikelmu ke  

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA