Apa yang dimaksud aliran salafi

KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.

Apa Itu Wahabi dan Salafi? Disebut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Sebagai Pintu Masuk Terorisme

KH. Imam Jazuli Lc., M.A.*

TRIBUNNEWS.COM - Belakangan hari, duka cita kembali menimbuni perasaan bangsa. Belum lagi tuntas Pandemi Covid-19, teror bom bunuh diri meledak di Makassar.

Dalam rangka merespon, Ketum PBNU KH. Said Aqil Siradj berkomentar, "jika kita betul-betul serius memberangus Terorisme, maka biang atau pangkalnya yang harus dicerabut, yakni Wahhabi dan Salafi".

Wahhabi sejatinya adalah gerakan pemikiran salah satu etnis Arab. Yaitu dakwah Islamiah yang digagas oleh suku Nejd, dipelopori Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi al-Najdi (w. 1206 H./1791 M.).

Sayangnya, pemikiran keagamaan ini diorientasikan mendukung kepentingan politik seorang Amir yang ambisius kekuasaan, Muhammad bin Sa'ud, yang sedang berjuang menyebarkan ideologi Salafi dan mempertahankan kekuasaan yang meliputi Jazirah Arab, Yaman, Syam, Iraq (Dhohir, 1993).

Salafiah dengan demikian berbeda dari Wahhabi. Salafi adalah ideologi, atau bisa disebut visi-misi sebuah gerakan.

Sedangkan Wahhabiah adalah gerakan, dengan tokoh-tokoh intelektual maupun massa pendukungnya. Sebagai sebuah ideologi, Salafi mengajarkan pemurnian agama (purifikasi).

Sebagai sebuah gerakan, Wahhabi menempuh strategi-strategi yang merusak (destruktif), radikal, dan cenderung menimbulkan teror (Blanchard, 2008:21).

Korban awal gerakan Wahhabi ini adalah masyarakat Iraq, bahkan Madinah. Banyak makam-makam ulama dan situs-situs arkeologis yang dihancurkan di awal penyebarannya.

Judul Buku: Sejarah  Berdarah Sekte Salafi Wahabi Penulis: Syaikh Idahram Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta Terbit: Maret 2011 Tebal: 276 Halaman Peresensi: Nurcholish

Radikalisme sesungguhnya banyak menjangkiti berbagai agama dan aliran-aliran sosial, politik, budaya dan ekonomi di dunia ini. tetapi pada masa pasca perang dingin, yang menjadi fokus penggunjingan di dunia ialah apa yang diistrilahkan dengan “radikalisme islam”. Isu sentral dalam penggunjingan ini adalah munculnya berbagai gerakan “islam” yang menggunkan berbagai bentuk kekerasan dalam rangka memperjuangkan dan mendirikan “negara Islam”.

Hakikat Islam sebagai agama peradaban yang membawa rahmat bagi semesta alam, mulai meretas. Islam yang nampak kepermukaan bukanlah islam sebagai agama universal dan menginginkan adanya peramaian dunia, akan tetapi islam ekstrimis yang identik dengan kekerasan (terorisme). Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi; Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama` yang ditulis oleh Syaikh Idahram ini, menunjukkan bagaimana kelompok islam Wahabiyah turut andil adanya kekerasan yang akhir-akhir ini marak terjadi.

Untuk menyebarkan ajaran-ajarannya, Wahabi megatasnamakan dirinya sebagai kelompok salafi yang dikenal dengan salafi Wahabi. Sedangkan istilah salafi sendiri sebenarnya adalah mereka (manusia) yang hidup di masa rasulullah dan yang mengikuti mereka (tabiin) kemudian mengikuti mereka (tabiit-tabiin). Dalam artian, salafi adalah generasi pertama hingga ketika setelah rasulullah wafat.

Penggunaan kata-kata salafi ini yang kemudian kelompok Wahabi banyak mendapatkan pengikut. Secara kasat mata, ajaran yang di lakukan hampir sama dengan kelompok islam lainya. Akan tetapi penguasaan terhadap al-qur`an dan pemahamannya mengenai islam haya sebatas kulit luarnya saja. Islam yang sejatinya adalah rahmatan lil alamin, berubah menjadi islam ekstrim yang ditakui banyak orang.

Maka dari itu, sering diatakan bahwa kelompok Salafi Wahabi adalah aliran Islam yang tidak mengetahui sepenuhnya hakikat Islam. Atau dengan kata lain, mereka adalah kelompok yang tidak memahami islam secara kompleks. Mereka rata-rata adalah hafal al-qur`an, setiap malam salat tahajud, hampir setiap hari puasa sunnah, jidatnya hitam, dan lututnya kapanan untuk sujud. Dengan kata lain, mereka tekun manjalankan ibadah dan amalan-amalan sunnah, akan tetapi paradigma yang mereka gunakan adalah paradigma ekstrim.

Menelisik lebh jauh, Said Agil  Siraj menuliskan, lahirnya sekte ekstrim  dalam sejarah islam – yang mana itu sangat dicela oleh Nabi muhammad – sudah ada  sejak abad pertama Hejriyah. Kelompok ini mulai berani menunjukkan diri di hadapan nabi Muhammad pada bulan syawal tahun 8 hijeriyah, saat nabi Muhammad baru saja memenagkan perang Thaif dan Huiain. Tiba-tiba seseoang yang bernama Dzul Khuwaishirah dari keturunan Bani Tamim maju kedepan dengan sombongnya sambil berkata, “berlaku adillah, hai Muhammad!” nabi pun berkata, “celakalah kamu, siapa yang akan berbuat adil jika aku saja tidak berbuat adil?” lantas umar berkata, “wahai Rasulullah, biarkan kupenggal saja lehernya.” Mabi menjawab, “biarkan saja!.”

Ketika orang itu berlalu nabi bersabda, “akan lahir dari keturunan orang ini kaum yang membaca Al-Qur`an , tapi tidak sampai melewati batas tenggorokannya (tidak memahami subtansi misi-misi Al-Qur`an dan hanya hafal di bibir saja). Mereka keluar dari agama Islam seperti anak panah tembus keluar dari (badan) binatang buruannya. Mereka memerangi orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Kalau aku menemui mereka niscaya akan kupenggal lehernya seperti halnya kaum ‘Ad.” (HR. Muslim pada kitab Az-Zakah, bab Al-Qismah). (hal 11)

Kelompok salafi Wahabi ini hampir persis meniru cara hidup Rasulullah Mereka memakai sorban, bercelana diatas tumit dan berenggot panjang sejatinya itu bagus. Tetapi, hal yang bersifat simbolik itu tidak cukup untuk dinilai bahwa dia telah mengamalkan ajaran Islam. Ulama` terdahulu, seprti Imam Syafi`I, Al-Ghozali, dan sejumlah tokoh Islam terkemuka lainnya juga mempunyai jenggot panjang dan memakai sorban. Namun, Islam tidak cukup hanya dengan jenggot dan sorban saja. Sebab, ajaran Islam sangat luas dan tidak bisa diwakili hanya dengan simbol belaka.

Simbol adalah kulit yang siapa saja bisa melakukannya, hingga orang jahat sekalipun bisa melakukan hal itu dengan mudahnya. Jangan sampai hanya dengan simbol umat Islam terpancing untuk menjustifikasi bahwa orang itu muslim puritan atau abangan. Keterjebakan ini kemudian menghasilkan opini publik bahkan dunia mengatakan bahwa Islam adalah agama teroris, atau teroris diidentikkan dengan islam. Padahal ditelisik lebih jauh, Islam tidak mengajarkan terorisme dan ajaran ekstrim lainnya.

Buku ini hadir sebagai bentuk penolakan atas mereka (kelompok islam ) yang menodai agama Islam dengan kekerasan yang identik dengan Islam fundamentalis dan Islam ekstrim. Untuk memahami kelompok-kelompok yang seperti itu, maka buku ini menjadi tambahan pengetahuan dan referensi bagi umat islam agar umat islam tidak melulu terjebak dengan doktrin kelompok-kelompok ekstrimis tersebut.

Peresensi adalah Anggota Center for Studi Of Islamic and Politic (CSIP)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya

Jakarta, CNN Indonesia -- Fenomena hijrah tercatat mulai menjamah masyarakat perkotaan Indonesia sejak 1980-an. Gejala sosial 'untuk menjadi lebih religius' kala itu tak lepas dari ekspansi ragam gerakan Islamisme transnasional yang berasal dari negara lain, di antaranya Salafi, Wahabi, Jamaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir.Penyebaran pandangan untuk menjadi lebih religius atau hijrah terjadi secara alami di Indonesia. Fenomena itu terbentuk seiring kepulangan para mahasiswa Indonesia yang mengenyam pendidikan di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi yang umumnya beraliran Salafi.Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Rahmat Hidayatullah mengatakan fenomena hijrah di Indonesia baru belakangan riuh di permukaan karena cukup lama tertekan oleh rezim Orde Baru yang tergolong represif terhadap gerakan Islam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Gerakan atau harokah keislaman saat itu tidak bisa mengartikulasikan gagasan dan perlawanannya ke publik," ujar Rahmat kepada CNNIndonesia.com di kampus UIN Jakarta, beberapa waktu lalu.Rahmat mengatakan begitu banyak mahasiswa asal Indonesia yang belajar di Saudi pada medio 1980-an. Mereka menyerap pandangan dan budaya setempat lalu mendakwahkan kembali sepulang ke Indonesia. Itu dilakukan atas keinginan sendiri atau merasa sebagai kewajiban seorang muslim.Di luar itu ada pula yang berdakwah untuk menjalankan misi dan dibiayai. Rahmat memberi contoh pemerintah Arab Saudi yang mengorganisir penyebaran paham Salafi ke Indonesia."Saudi juga secara intensif membiayai kader mereka yang ada di Indonesia. Di Indonesia misalnya dia melalui LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) di Mampang, Pejaten," kata Rahmat.

Salafi fokus pada gerakan mengajak seluruh umat Islam kembali kepada dasar hukum Islam yang murni, yaitu Alquran dan Sunnah.(ANTARA FOTO/Rahmad)


Menjamah Masyarakat PerkotaanPenyebaran paham untuk menjadi lebih religius cenderung berkutat di wilayah perkotaan. Mereka belakangan berani muncul untuk berdakwah di ruang publik.Setelah Indonesia memasuki reformasi, para penyebar hijrah mulai masuk ke wilayah strategis, seperti sekolah dan yayasan, tempat tahfidz dan tahsin quran, percetakan buku, membentuk ajang Islamic Book Fair, hingga membuat TV dan Radio di Indonesia.Rahmat mengatakan gaya tersebut berbeda dengan pemuka agama dari organisasi konvensional semacam Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah."Mereka kalau tidak didatangi sama jemaah, ya jarang bersuara. Ini juga jadi evaluasi bagi NU dan Muhammadiyah," kata Rahmat.Para penyebar salafi terdukung oleh generasi yang sangat memahami teori komunikasi, terutama dalam hal mengajak orang ikut bergabung dengan kelompoknya.Ajakan-ajakan di media sosial, misalnya, dikemas sedemikian rupa untuk menarik perhatian kalangan milenial dengan gaya pendekatan anak muda.

"Kelompok Islamis ini urban genius. Sejak awal mereka paham pasar dan cara treatment-nya. Mereka tahu betul packaging is everything," kata Rahmat.

Dosen UIN Jakarta dan pengajar hadits di Pesantren Darus-Sunnah Ciputat, Dr Arrazy Hasyim mengatakan ajaran untuk lebih taat beragama, terutama Salafi, bisa tumbuh subur karena Indonesia sejak memasuki reformasi telah menjelma negara demokrasi yang lebih bebas dari Saudi Arabia."Mereka juga tidak pernah melakukan provokasi seperti negara atau polisi toghut, ataupun melawan pemerintah, jadi makin dapat tempat dan bisa ceramah dan dakwah apa aja," ujar Arrazy.

Gerakan Islamisme transnasional aktivitasnya melampaui sekat-sekat teritorial negara-bangsa (nation-state). (ANTARA FOTO/Rahmad)


Dalam kamus bahasa Arab Lisanul Arab karya Ibnu Manzhur, Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan.

Sementara istilah Salafiyah dikaitkan dengan metode beragama atau manhaj yang puritan, tapi bukan menciptakan sebuah mazhab baru dalam Islam.

Salafi biasanya dihubungkan dengan al-salaf al-shalih; orang-orang terdahulu yang menjadikan Alquran dan hadits sebagai sumber hukum islam. Rujukannya adalah pada umat Islam generasi awal yang disebut oleh Nabi Muhammad sebagai umat terbaik.Salaf al-shalih adalah generasi yang cinta damai bahkan cenderung menjauh dari pertikaian politik, serta fokus pada gerakan mengajak seluruh umat Islam kembali kepada dasar hukum Islam yang murni, yaitu Alquran dan Sunnah.Pada zaman modern, salafi dikaitkan dengan aliran pemikiran yang mencoba memurnikan kembali ajaran yang dibawa Rasulullah dan perintah Alquran secara literal dari berbagai hal yang bid'ah (tidak dilakukan Rasul), khurafat, dan syirik dalam Islam. Salah satu rujukan utama kaum salafi adalah mazhab Ahmad bin Hambali atau Hambali.

Salafi menurut  Arrazy terbagi dua, yakni salafi murni yang fokus pada ajaran akidah dan fikih serta salafi yang jihadi (bergerak seperti Ikhwanul Muslimim).

Belakangan Salafi murni semakin banyak diterima masyarakat Indonesia, khususnya anak muda yang hijrah. Karena salafi bagi mereka mengajarkan Islam secara hitam-putih, bukan ambigu dan tidak berputar-putar. Jumlah pengikut dalam komunitas Salafi pun terus berkembang seiring perjalanan.

"Jumlahnya saat ini masih terbilang belum besar, tapi penyebaran Salafi yang bisa dibilang minoritas itu suaranya lebih nyaring, mereka akan terus show up lewat media sosial dan akhirnya dilirik. Mereka sekarang gunakan medsos karena beberapa kajian di masjid pernah dibubarkan," ujar Arrazy.

Komoditas Produk Syariah

Peneliti Middle Class Institute Yuswohady mengatakan bahwa pandangan untuk berhijrah sudah lama didakwahkan di Indonesia dengan mengedepankan aspek tentang bagaimana mendekatkan diri kepada Tuhan.Belakangan strategi penyebaran dakwah melalui media sosial dimanfaatkan untuk menyasar generasi muda yang hidup di era digital. Strategi komunikasi ala milenial itu terbukti mujarab. Kini begitu banyak anak muda yang memutuskan untuk berhijrah mengubah gaya hidup, baik dari segi aspek keimanan maupun penampilan.Yuswohady mencermati bagaimana penyebaran dakwah lewat media sosial meningkat seiring dengan menjamurnya iklan produk atau jasa yang bernuansa Islami kurun 10 tahun terakhir.Produk kosmetik halal dan hotel syariah, misalnya, kerap diiklankan dengan menyertakan figur berbusana Islami, seperti perempuan mengenakan hijab dan berpakaian tertutup.

"Dulu kalau sinetron, pakai hijab takutnya wah ini radikal. Sekarang justru dianggap keren. Value-nya naik," ucap Yuswohady.

Gaya berkomunikasi lewat iklan itu turut mendorong para kelompok yang selama ini menyebarkan pandangan untuk berhijrah menjadi semakin berani tampil ke permukaan.Ajakan dikemas semenarik mungkin karena memang kalangan muda yang diincar. Ceramah-ceramah juga turut ditayangkan di media sosial. Penetrasi ke benak anak-anak muda dimulai dari sana."Kalau zaman dulu kaya Zainudin MZ harus di lapangan. Sejuta umat yang hadir. Tetapi sekarang ustaz yang menggunakan Instagram itu punya nilai lebih ketimbang ustaz yang kumpulnya di lapangan," ucap Yuswohady.

Salaf al-shalih adalah generasi yang cinta damai bahkan cenderung menjauh dari pertikaian politik dan fokus pada gerakan mengajak seluruh umat Islam kembali kepada dasar hukum Islam yang murni, yaitu Alquran dan Sunnah. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)



Penyebaran ajakan hijrah di media sosial semakin ampuh atas kehadiran influencer --yang punya peranan penting terutama ketika artis atau figur publik yang dijadikan ikon.Masyarakat khususnya di daerah perkotaan yang lekat dengan media sosial dengan cepat bisa mengetahui perkembangan informasi ketika ada publik figur yang mengubah gaya hidup dan penampilannya.Setelah itu mereka tergugah untuk mencari tahu alasan orang lain berhijrah. Terlebih jika publik figur yang menjadi Islami masih tergolong muda, menarik, dan punya banyak fans. Yuswohady mengatakan penyebaran info secara instan itu adalah konsekuensi mutlak dari era media sosial yang mengandalkan jaringan pertemanan.

"Teman-temannya yang melihat merasa temannya lebih cantik, jadi kepengen juga. Terus terus begitu. Itulah yang membuat lifestyle itu kemudian cepat mewabah," kata Yuswohady.

Post Islamisme Usai Orde BaruSosiolog Monash University, Australia, Ariel Heryanto mengatakan bahwa pandangan untuk berhijrah sebetulnya tidak sebatas disebarkan di perkotaan. Pedesaan juga menjadi wilayah yang menjadi target namun dengan siasat berbeda.

"Di daerah pedesaan tidak pakai slogan, atau istilah sama seperti yang di perkotaan. Di pusat-pusat perkotaan itu ada unsur 'modal besar' yang ikut bermain dalam gejolak dan penampilan atau ungkapannya," ucap Ariel kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

Lewat buku Identitas dan Kenikmatan Ariel mencatat banyak pengamat yang menilai kebangkitan Islamisasi dalam budaya populer semata kasus komersialisasi kehidupan kaum muslim dan komodifikasi simbol agama.

Dalam pandangan mereka ini terkandung kesan bahwa Islam berhasil dijinakkan oleh kapitalisme global dan dijadikan objek memanjakan diri para konsumen. Sementara pandangan yang bertolak belakang melihat fenomena yang sama sebagai kejayaan Islamisasi dalam menaklukkan Islam atau industri yang sekuler.

Lepas dari perdebatan itu, Ariel lebih sepakat dengan wacana bahwa ketaatan beragama menemukan perwujudan dalam menanggapi pasar yang sedang tumbuh bagi revitalisasi dan gaya hidup Islami ketimbang perdebatan Islamisasi versus komersialisasi.

Ilustrasi. Warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas 1 Makassar bersiap mengikuti khatam Aquran massal di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (20/4). ANTARA FOTO/Dewi Fajriani)

Pada 1970 hingga 1980-an, Ariel mengenang cara Soeharto melakukan penindasan segala bentuk aktivisme Islam seperti menghukum perempuan yang menggunakan jilbab di sekolah negeri.Namun proses Islamisasi semakin terbuka setelah dua dekade kemudian, sejumlah provinsi di Indonesia memperkenalkan hukum syariah yang justru bisa menerapkan hukuman pada siswi yang tak berjilbab.

Pencabutan batas-batas politik terhadap Islam yang dipaksakan di Orde Baru itu memunculkan era baru dalam kehidupan publik di Indonesia, terutama kaum mudanya. Ketaatan beragama dan modernitas sama menariknya dan tak selalu bertentangan.


Muslim generasi baru berhasil menemukan cara untuk mendamaikan hal-hal yang secara tradisional dipandang bertolak belakang, yang membuat mereka mampu terlibat dengan agama dan budaya populer secara bermakna dan sungguh-sungguh. Kaum muslim muda berusaha untuk lebih proaktif di dunia modern tanpa melepaskan keimanan dan unsur syar'i.
Ariel melihat fenomena hijrah yang didominasi muslim generasi muda sebagai perwujudan Post Islamisme bisa menjadi gejala sosial yang potensial membentuk perubahan yang lebih besar."Tapi itu baru potensi. Apakah nantinya benar-benar bisa menjelma menjadi lebih besar, ia bergantung pada banyak faktor lain di luar dirinya," kata Ariel. Faktor-faktor lain itu yang membuat Ariel juga belum bisa memastikan fenomena hijrah ini akan berlangsung langgeng.

[Gambas:Video CNN]


(bmw/DAL)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA