Apa yang diketahui tentang kanal

Banjir besar pertama tercatat pada 1621, dua tahun setelah pendirian kota Batavia. Banjir besar terjadi lagi pada 1654. Banjir besar berikutnya terjadi pada 1872, 1909, dan 1918. Sistem  kanal ternyata  kurang  berhasil  mengatasi limpahan air. Ini disebabkan topografi Jakarta sangat datar sehingga air tidak bisa mengalir secara gravitasi, artinya dari tempat ting gi ke tempat yang lebih rendah. Sedimentasi lumpur dan sampah juga menyebabkan aliran air tidak lancar. Akibatnya pengendalian banjir dengan pembangunan kanal atau saluran hanya mampu mengurangi beban air sesaat (Gunawan, 2010: 5-6).

PEMBUATAN KANAL DI SEKITAR KEBON SIRIH Sumber: ANRI KIT BATAAVIA 531/87

Pada abad ke-16 sampai ke-19 jumlah sungai cukup banyak. Pada masa kemudian beberapa sungai kecil dan kanal menghilang dari Jakarta. Salah satunya tergambar dari nama Cililitan, yang menurut Restu berasal dari nama anak sungai Cipinang. Sekarang anak sungai itu sudah tiada lagi (hal. 14).

Pada 1911 Komisi Pengaliran Air dan Penyedia Air di Batavia melaku- kan kajian terhadap sungai-sungai di Batavia. BOW (Burgelijke Openbare Werken)—Kementerian Pekerjaan Umum Hindia Belanda yang berwenang menangani masalah pengairan menindaklanjuti hasil kajian komisi tersebut dengan menunjuk Herman van Breen, seorang insinyur hidrologi  untuk menyusun perencanaan pengairan di Batavia. Menurut hasil penelitan itu, banjir sering melanda daerah di sebelah tmur Ciliwung. Diketahui pula beberapa sungai mengalami pendangkalan sehingga kecepatan arus sangat lambat. Akibatnya kapal-kapal mengalami kesulitan untuk melintas.

PEMBUATAN BANJIR KANAL DI WELTEVREDEN 1916 Sumber: ANRI, KIT BATAVIA 529/4

Pada 1913 dilakukan penelitan lagi. Salah satu langkah, menurut laporan van Breen, adalah pembuatan penggalian kanal banjir dari Matraman sampai Karet. Usulan kedua, pembuatan saluran Cideng. Berdasarkan penelitan tersebut, pemerintah memutuskan untuk membangun pintu air Matraman, membangun pintu air di kampung Gust, dan mengerjakan proyek penggalian sungai Sunter ke laut.

Setelah bekerja pada 1913-1919, proyek kanal banjir dari Matraman sampai laut dan pembangunan pintu air Matraman, dapat digunakan pada 1919. Namun sesungguhnya kanal banjir itu belum selesai. Pada masa kemudian, selain meneruskan proyek kanal banjir, van Breen juga melakukan perbaikan pengaliran di Cideng.

Pada dasarnya untuk mewujudkan gagasan tentang tata kelola pengairan, van Breen membagi proyeknya menjadi empat. Pertama, proyek untuk memperbaiki pembuangan air dan mengatasi kemacetan aliran air. Kedua, proyek untuk memperbaiki sarana pengaliran air limbah dan kotoran. Ketga, proyek untuk penyediaan air mandi, minum, dan cuci. Keempat, proyek lain yang berkaitan dengan proyek di atas untuk kepentngan perumahan (Gunawan, 2010: 261).

Pada Januari 1918 penduduk Batavia diisukan kenaikan harga pangan. Bersamaan dengan itu hujan turun terus-menerus hingga awal Februari. Pada 4 Februari 1918 kampung-kampung di Weltevreden terendam sehingga penduduknya mengungsi. Penyebab banjir di daerah ini adalah selokan yang terlalu kecil sehingga air tdak bisa lewat. Pada 14 Februari 1918 Ciliwung kembali meluap dan menggenangi kampung rendah di Gang Pecebokan. Beberapa wilayah lain juga terendam, mulai setnggi pinggang hingga dada orang dewasa.

SEBUAH BENDUNG DI MEESTER CORNELIS, SEKARANG JATINEGARA Sumber: //kitlvpictura-dp.nl

Melihat kondisi sepert itu Gemeenteraad Batavia, semacam DPRD sekarang, langsung mengadakan sidang paripurna pada 19 Pebruari 1918 malam. Dalam rapat tersebut hadir Walikota G.J. Bisschop (1916-1920) dan 14 anggota DPRD. Hadir pula van Breen. Dalam kesempatan tersebut van Breen ditanya, “Apakah jika banjir kanal sudah selesai dapat mengatasi banjir?” Breen mengatakan tdak menjamin. Ternyata Breen benar karena pada tahun-tahun berikutnya Batavia masih kebanjiran.

Beberapa hari setelah rapat, hujan masih terjadi. Harian Bataviaasch Nieuwsblad edisi 28 Februari 1918, melaporkan hujan deras yang turun kemarin membuat beberapa kawasan rendah tergenang air. “Permukaan air sungai yang melonjak naik secara tdak normal juga menyebabkan saluran air hujan menuju sungai terhambat. Hal ini terbukt, sejak siang tadi sungai Tjiliwoeng meluap,” demikian harian itu mengabarkan (htp://www.nederlandsindie.com/banjir-1918-pejambon-bak-danau/) 

Awal 1920 pemerintah tetap mengupayakan penangggulangan banjir. Rencana itu cukup sederhana, yaitu memecah aliran sungai yang masuk Batavia melalui sebelah kiri dan kanan Batavia. Dengan demikian aliran air  Sungai Ciliwung dan Sungai Krukut dapat dikendalikan dan tdak ada yang masuk tengah kota.

Setelah selesai mempelajari kondisi sungai-sungai di Batavia, van Breen memutuskan untuk menggali kanal yang kemudian diarahkan menuju ke laut tepian barat kota. Itulah awal pembangunan saluran banjir atau banjir kanaal yang kemudian dikenal sebagai Kanal Banjir Barat pada 1922.

Kanal Banjir Barat merupakan perluasan dari banjir kanal Kali Malang. Penggalian kanal 4,5 kilometer dengan kedalaman 4-12 meter dilakukan dengan tenaga tangan. Selain itu memperbaiki drainase di perkampungan dan menetapkan Kawasan Teluk Gong sebagai daerah polder. Polder adalah tanah yang digenangi air dan dikelilingi tanggul, tnggi rendah air diatur oleh sejumlah
parit yang bermuara di induk parit, dan pada induk parit terdapat mesin pompa untuk membuang air yang berlebihan (htp://kbbi.web.id/polder). Kanal Banjir Barat dikerjakan bertahap dari Pintu Air Manggarai menuju Barat, memotong Sungai Cideng, Sungai Krukut, Sungai Grogol, terus ke Muara Angke dengan panjang 17,4 kilometer. Menurut hasil penelitan van Breen, Manggarai berada di batas wilayah selatan kota yang relatf aman dari banjir. Pintu air Manggarai berfungsi sebagai pengatur debit air Sungai Ciliwung. Saat itu luas kota Batavia baru mencapai 2.500 ha. Beberapa tahun kemudian, pada 1930 penduduk Batavia dan sekitarnya meningkat menjadi 532.000 orang dan 253.700 untuk daerah pinggiran.

Dalam menyusun konsep, van Breen dan kawan-kawan tampak sadar bahwa banjir yang selalu mengancam Jakarta tak akan teratasi jika hanya memperbaiki sistem tata air di dalam kota. Pencegahan di daerah hulu pun harus dikelola terpadu. Untuk mengendalikan aliran di daerah hulu dibangun beberapa bendungan untuk penampungan sementara, sebelum air dialirkan ke hilir. Sebagai pendukung dibuat pula sejumlah situ di daerah penyangga.

Polder adalah tanah yang digenangi air dan dikelilingi tanggul, tinggi rendah air diatur oleh sejumlah parit yang bermuara di induk parit, dan pada induk parit terdapat mesin pompa untuk membuang air yang berlebihan.

Dengan adanya kanal banjir, beban sungai di utara saluran kolektor relatf terkendali. Karena itu, alur-alur tersebut serta beberapa kanal yang dibangun kemudian, dimanfaatkan sebagai sistem makro drainase kota guna mengatasi genangan air di dalam kota.

Kehadiran fasilitas pengendali banjir tersebut tdak sepenuhnya menjamin Jakarta terbebas dari banjir, sebagaimana prediksi van Breen. Keberadaan Kanal Banjir Barat dan Pintu Air Manggarai, hanya akan berakibat pada pengalihan wilayah banjir. Jika sebelumnya banjir melanda kawasanWeltevreden dan Menteng, dengan adanya kanal dan pintu air tadi, air lalu mengalir ke tempat yang lebih rendah sehingga banjir pun berpindah ke daerah Manggarai dan Jatnegara.

Dalam kurun waktu 1911-1938 cukup banyak usaha yang dilakukan Pemerintah Hindia-Belanda untuk menanggulangi banjir di Batavia. Selain membangun pintu air, pemerintah juga melakukan pemeliharaan sungai dengan mengeruk beberapa sungai besar yang ada di Batavia, antara lain Sungai Ciliwung, Kali Angke, Sungai Krukut, Kali Baru, dan Saluran Sentong. Sayang dana besar yang dikeluarkan belum diimbangi hasil maksimal karena pada tahun-tahun berikutnya Batavia masih dilanda banjir besar.

Konsep van Breen lalu menjadi acuan bagi upaya pencegahan banjir di masa-masa selanjutnya. Namun, akibat menjamurnya permukiman di bagian tmur dan selatan Jakarta yang ada di luar area kanal banjir, Jakarta kembali menghadapi ancaman banjir yang serius.

VIADUCT DAN PINTU AIR MANGGARAI Sumber: ANRI, KEMPEN 530312 Fl 1-1

Celakanya, akibat keterbatasan dana, Pemerintah Daerah hampir tak berdaya mengatasi banjir. Pemerintah pusat turun tangan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1965 tertanggal 11 Februari 1965 dengan membentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir DKI Jakarta, disingkat Kopro Banjir, sebagai badan yang khusus menangani masalah banjir di Jakarta.

Sejak 1972 nama Kopro Banjir diubah menjadi Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya (PBJR). Meskipun pemerintah telah membentuk badan khusus yang menangani banjir, setelah berjalan 20 tahun, ternyata badan ini gagal mengendalikan banjir di Jakarta.

Rencananya, Kanal Banjir Barat akan diperluas. Tetapi karena sulitnya membebaskan tanah, perluasan Kanal Banjir Barat tertunda. Sebagai gantnya dibuatlah jaringan pengendali banjir lainnya, yakni jaringan kanal dan drainase yang dinamakan Sistem Drainase Cengkareng (Cengkareng Drain). Hal itu karena Kanal Banjir Barat hanya mampu menampung  sampai 370 meter kubik per detk. Selain Cengkareng Drain, antara 1983-1985 dibangun Cakung Drain dan Sodetan Kali Sekretaris.

Dalam mengatasi banjir, strategi Kopro Banjir pada prinsipnya hanya mengembangkan konsep yang disusun van Breen dan kawan-kawan. Namun, implementasinya terpaksa disesuaikan dengan Pola Induk Tata Pengairan DKI Jakarta yang sudah ada saat itu. Karenanya, dalam pelaksanaannya Kopro Banjir cenderung mengedepankan sistem polder yang dikombinasikan dengan waduk dan pompa. Hasil kerja dari Kopro Banjir itu, antara lain Pembangunan Waduk Seta Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, dan Waduk Grogol. Juga dilakukan rehabilitasi terhadap sungai-sungai di sekitarnya. Sete

lah itu pembangunan Polder Melat, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Seta Budi Barat, dan Polder Seta Budi Timur. Hasil lain pembuatan sodetan Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, dan Gorong-gorong Jalan Sudirman.

Kanal Banjir Barat cukup efektf dalam mengendalikan banjir Jakarta, terutama melindungi daerah Jakarta sebelah barat hingga 1970-an. Namun, efektvitas Kanal Banjir Barat tdak berlangsung lama karena kesadaran warga Jakarta dalam menjaga kebersihan aliran drainase tdak berjalan seiring perkembangan zaman.

Kanal Banjir Barat gagasan van Breen baru dilanjutkan pada 1973. Kanal ini tdak berhasil dibangun karena terbentur masalah dana dan rumitnya masalah sosial, terutama masalah pembebasan lahan dan gant rugi.

Menurut catatan Gunawan (2009: 178) dari kebutuhan Rp 80 miliar, hanya tersedia Rp 59,3 miliar. Akibatnya beberapa proyek pengairan tdak berhasil dibangun. Dari tujuh waduk yang akan dibangun, hanya dua yang berhasil direalisasikan. Dari sembilan gedung pompa, hanya empat gedung berhasil dibangun.

Peran serta masyarakat dalam memelihara dan menjaga optmalisasi kinerja sistem drainase mutlak diperlukan. Jika tdak ada keseimbangan dan sinergisitas antara kebijakan pemerintah dengan kesadaran aktf masyarakat, mustahil Jakarta terbebas dari banjir. Pada dasarnya Jaka

rta adalah sebuah daerah yang rentan banjir. Ini karena secara geomorfologis berada pada dataran rendah, bahkan lebih rendah dari permukaan laut. Sebenarnya kita bisa meniru Nederland atau Belanda, yang negaranya terletak di bawah permukaan laut. Namun dana yang harus dikeluarkan sangat banyak. Jadi untuk sementara pemerintah masih belum mampu. Meskipun begitu kita berharap, untuk sementara banjir bisa diminimalisasi. (Djulianto Susanto)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA