Apa yang dikatakan ibnu umar tentang cara memanfaatkan waktu

Nikmat yang seringkali dilalaikan oleh manusia adalah nikmat sehat dan waktu senggang, hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya, “Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR. Bukhari no. 6412, dari Ibnu ‘Abbas). Seseorang tidaklah dikatakan memiliki waktu luang hingga badannya juga sehat, dan barangsiapa memiliki dua hal tersebut yaitu waktu senggang dan sehat hendaknya ia bersemangat dan jangan sampai tertipu dengan meninggalkan rasa syukur pada Allah atas nikmat yang telah diberikan.

Terkadang, manusia berada dalam kondisi sehat, namun ia tidak memiliki waktu luang karena sibuk dengan urusan dunianya. Terkadang, manusia memiliki waktu luang , namun ia dalam keadaan tidak sehat. Apabila terkumpul pada manusia waktu luang dan nikmat sehat, sungguh akan datang rasa malas dalam melakukan amalan ketaatan. Dan mereka itulah manusia yang telah tertipu dan terperdaya.

Barangsiapa yang memanfaatkan waktu luang dan nikmat sehat dalam rangka melakukan ketaatan, maka dialah yang akan bahagia. Dunia merupakan lading untuk beramal, hendaklah benar-benar dijadikan renungan untuk senantiasa meningkatkan amal untuk meraih lading pahala di akhirat kelak. Sesudah waktu luang akan datang waktu penuh kesibukan, sesudah sehat akan ada kondisi tidak menyenangkan, jadi gunakan waktu luang dan nikmat sehat dengan lebih baik.

Umar bin Khottob mengatakan, “Aku tidak suka melihat seseorang yang berjalan seenaknya tanpa mengindahkan ini dan itu, yaitu tidak peduli penghidupan dunianya dan tidak pula sibuk dengan urusan akhiratnya”.

Ibnu Mas’ud mengatakan “Aku sangat membenci orang yang menganggur, yaitu tidak punya amalan untuk penghidupan dunianya ataupun akhiratnya”.

Bagaimana memanfaatkan waktu? Sebagian ulama salaf biasa memanfaatkan waktu luang dengan belajar, membaca sambil berjalan. Jadi, marilah kita saling mengingatkan untuk senantiasa memanfaatkan waktu dengan belajar. Dimanapun kita berada, berusahalah untuk senantiasa belajar dengan membaca buku, membaca Al-Qur’an serta mentadaburinya.

Meninggalkan yang haram, meninggalkan syubhat dan juga perkara yang makruh serta meninggalkan hal-hal yang berlebihan. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah mengurangi berbicara dalam hal yang tidak bermanfaat”. (HR. Ahmad, 1:20).

Jika seseorang meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat, kemudian menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat, maka tanda baiknya Islamnya telah sempurna.

Memanfaatkan waktu luang serta nikmat sehat dengan lebih bijak dengan mengharapkan keridhoan Allah adalah lebih utama. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang lalai atas kenikmatan tersebut dan senantiasa bisa memperbaiki diri. Aamiin. (Soffi-Rumaysho.com)

Waktu merupakan sesuatu yang amat berharga yang Allah berikan kepada setiap makhluknya. Ia adalah modal utama dalam segala hal. Islam mengajarkan kita disiplin waktu, sebagaimana ditekankan sholat di awal waktunya. Demikian juga tuntutan lainnya seperti haji, zakat, puasa, dan kurban, juga mengajarkan perihal disiplin waktu.

Allah bersumpah: wal ashr (demi masa), wal fajri, (demi fajar), wash-shubhi idza tanaffas, (dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing), wadh-dhuha (demi waktu matahari naik), wal laili idza yagsya, wan-nahari idza jallaha, (demi malam apabila cahayanya menutupi siang, dan demi siang apabila terang benderang). Semua itu menunjukkan betapa pentingnya waktu. Dan di dalam waktu itu kita akan mendapatkan kelapangan dan kesulitan, sehat dan sakit, kaya dan fakir.

Rasulullah SAW bersabda, “Bahwa ada dua nikmat yang seringkali manusia lalai padanya, yaitu nikmat sehat dan waktu lapang.”

Ini mengisyaratkan bahwa yang betul-betul memanfaatkan waktu hanya sedikit, dan yang banyak adalah menyia-nyiakannya.

Orang barat mengatakan time is money, tapi dalam islam disebut al-Waqtu atsmanu minadz-Dzahabi (waktu lebih berharga dari pada emas). Hilang emas bisa dicari dengan lebih banyak, tapi hilang waktu maka selamanya tak akan kembali. Maka waktu lebih mahal dari emas, intan, dan permata. Karena waktu kita adalah hidup kita.

Waktu berlalu lebih cepat dari awan. Bilamana waktu digunakan karena Allah, maka itulah umur dan hidup yang sesungguhnya. Tapi bila bukan karena itu, maka hidupnya dianggap sia-sia, walaupun hidup lama, tak ubahnya sepeti hewan. Bila seseorang menghabiskan waktunya untuk maksiat dan syahwat, maka tidur lebih baik baginya. Sebab matinya orang seperti ini lebih baik dari pada hidupnya.

Orang yang berakal tidak akan membiarkan waktunya hilang begitu saja. Hanya orang-orang yang diberikan taufiq dan ilham lah yang mengetahui betapa pentingnya waktu. Siapa yang membaca kisah hidup orang-orang sukses terdahulu, niscaya dia akan termotivasi untuk bangkit. Lihatlah bagaimana para ulama kita memanfaatkan waktunya.

Muhammad bin Hasan (132-189 H), murid Imam Abu Hanifah, tidak tidur malam kecuali sedikit. Di sampingnya selalu ada buku. Jika bosan dengan satu buku, ia akan membaca buku yang lain. Al-Baqilani, beliau tidak tidur malam hingga selesai menulis 35 lembar. Dan kebiasaan beliau adalah shalat sunat 20 rakaat setiap malam.

Ibnu Abid Dunya meninggalkan karya 1000 karangan, Ibnu Asakir menulis sejarah sebanyak 80 jilid, Ibnu Hazam menulis 400 jilid, Ibnu Abi Hatim menulis buku fiqh, hadis, dan sejarah sebanyak lebih dari 1000 juz. ‘Ishom bin Yusuf al-Balkhi (w. 215 H), seorang ahli fiqh dan hadis, rela membeli sebuah pena dengan harga satu dinar. Ia menyatakan, umur ini begitu pendek, sementara ilmu begitu banyak, maka sudah seharusnya penuntut ilmu tidak menyia-nyiakan waktunya, memanfaatkan waktu malam dan menyendiri, juga talaqqi kepada para masyayikh.

Dalam Siyar A’lam an-Nubala, Imam adz-Dzahabi menyebutkan, bahwa seorang ahli hadis ‘Ubaid bin Ya’isy, guru dari Imam Bukhari dan Muslim, beliau tidak pernah makan malam dengan tangannya, tapi disuapi oleh saudarinya. Sementara beliau sibuk menulis hadis.

Demikian juga Muhammad bin Suhnun al-Qairuwani (202-256 H), disuapi makan malam oleh pelayannya, sementara Ibnu Subnun sendiri sibuk mengarang kitab, dan ajaibnya ia tidak merasa disuapi. Ketika hampir tiba waktu subuh, ia memanggil pelayannya, mana makanan untukku tadi malam? Sang pelayan bilang, demi Allah wahai Tuanku, tadi malam Anda sudah saya suapi, tapi anda tak merasa.

Baca juga:  Meredam Friksi Politik

Kisah lainnya adalah, Tsa’lab (200-291 H), seorang ahli sastra dan bahasa Arab, hadis dan qiraat, beliau akan memenuhi panggilan dengan syarat telah menyelesaikan muthalaah kitab. Ia meninggal ditabrak seekor hewan tunggangan saat asyik membaca buku di jalan.

Waktu itu beliau keluar masjid setelah shalat ashar di hari jum’at, di tangannya ada sebuah buku. Saat asyik membaca itulah beliau ditabrak kuda dan jatuh ke jurang. Lalu dibawa ke rumah, dua hari kemudian beliau meninggal dunia.

Cerita hampir serupa, Abu Bakar bin Khayyath (w. 320 H), seorang ahli gramatika Arab, banyak menghabiskan waktunya untuk belajar, bahkan di jalan sekalipun. Hingga meninggal dunia karena jatuh di jurang. Ibnu Syahin (297-385 H), ahli hadis Iraq, mengarang 330 kitab, terdiri dari 1000 juz tafsir, Musnad 1300 juz, sejarah 150 juz, dan tentang zuhud 100 juz. Satu juz zaman dahulu kurang lebih 30 halaman.

Abu Raihan al-Biruni (362-440 H), ahli di bidang matematika, astronomi, kedokteran, sejarah, bahasa dan sastra. Di akhir hayatnya menjelang sakaratul maut, ia mempelajari ilmu faraidh. Beliau rajin belajar, tangannya hampir tidak pernah lepas dari pena, tafakkurnya luar biasa. Beliau menguasai lima bahasa, yaitu Suryani, Sansakerta, Persia, India, dan tentu Bahasa Arab.

Ibnu Jarir ath-Thabari (224-310 H), seorang ahli tafsir, hadis dan sejarah, telah menjaga baik waktu dan semangatnya untuk menafsirkan Alquran 30 ribu halaman. Beliau menyibukkan dirinya dengan belajar, mengajar, membaca dan menulis.

Kalau dihitung dari banyaknya karya Ibnu Jarir, 358 ribu halaman, maka beliau rata-rata menulis 40 halaman setiap harinya. Buku sejarahnya dicetak 11 jilid besar, tafsir 30 juz besar. Hingga saat ini, kita masih bisa menikmati karya beliau ini. Maka benarlah yang dikatakan Imam Ibnu Jauzi bahwa buku yang ditulis seorang alim adalah anaknya yang kekal.

Imam Fakhrurrazy (543-606 H), seorang ahli tafsir, teolog, dan ahli ushul fiqh), meninggalkan 200 kitab. Satu kitab bisa berjilid-jilid, seperti kitab tafsirnya 30 jilid. Imam Ibnu Sukainah (519-607 H), seorang ahli fiqh dan hadis, mengisi keseharian beliau dengan membaca Alquran, dzikir, tahajud, dan mengajar. Beliau tidak keluar rumahnya kecuali untuk menghadiri shalat jum’at, idul fitri, atau ta’ziyah. Ibnu Taimiyah al-Jadd (590-653 H), saking pedulinya waktu, beliau masuk wc sambil minta dibacakan kitab dari luar, dengan suara nyaring didengar.

Syekh Ibnu Taimiyah (661-728 H), meninggal di usia 57 tahun dengan karya tulis kurang lebih 500 jilid. Bahkan murid beliau, Ibnul Qoyyim, menulis judul karangan Ibnu Taimiyah dalam sebuah risalah sebanyak 22 halaman.Waktunya dimanfaatkan untuk belajar, mengajar dan ibadah.

Saat beliau sakit, dokter menyarankan agar beristirahat agar cepat sembuh. Tapi beliau malah membaca buku. Ibnu Taimiyah berkata, bukankah diri seseorang akan menguat jika dia bahagia? Dokter menjawab, iya. Beliau lalu menyahut, aku bahagia dengan ilmu, maka aku menjadi semangat. Dokter berkomentar, ini di luar kebiasan kami mengobati pasien.

Al-Hafizh al-Mundziri (581-656 H), dengan tangannya menulis banyak kitab, 90 jilid dan 700 juz di luar karangannya. Tetangganya berkata bahwa setiap malam di rumah al-Mundziri terlihat cahaya terang, ia sibuk dengan belajar. Bahkan saat makan pun, di hadapannya ada buku.

Ibnu Malik (600-672 H), seorang ahli gramatika Arab terkenal, penulis Alfiyah. Beliau banyak membaca, tidaklah beliau mencatat suatu hafakannya, melainkan juga mengulangi tulisannya itu. Tidaklah ia dilihat melainkan dalam keadaan shalat, membaca, atau mengarang kitab.

Baca juga:  Islam Tanpa Kekerasan: Membaca Esai Gus Dur

Imam Nawawi (631-649 H), seorang ulama besar, ahli fiqh dan hadis. Beliau tidak meletakkan sisi tubuhnya selama 2 tahun. Setiap hari beliau membaca 12 pelajaran dengan dhobit dan ta’liq, meliputi fiqh, nahwu, mantiq, bahasa dan sastra, ushul fiqh, ushuluddin, dan lainnya.

Imam Nawawi hanya makan sekali untuk sehari semalam, yaitu ketika shalat isya. Meninggal di usia 45 tahun, tapi karyanya banyak. Jika dihitung masa hidupnya dengan karya tulisnya, maka rata-rata beliau menulis empat buku tulis setiap harinya.

Imam Ibnu Nafis (610-687 H), seorang dokter terkemuka di masanya, ahli fiqh, ushul fiqh, bahasa dan sastra, hadis, dan lainnya. Beliau banyak menulis kitab. Yang unik adalah ketika beliau sedang di kamar mandi, tiba-tiba beliau dapat pembahasan atau inspirasi tentang kedokteran, maka beliau keluar dari kamar mandi untuk mencatat inspirasinya, kemudian masuk ke kamar mandi lagi. Ia dijuluki Ibnu Sina kedua. Dialah yang menemuka sistem peredaran darah di tubuh manusia sejak lebih dari 7 abad silam. Ini temuan besar dalam dunia kedokteran.

Yahya bin Mu’in, beliau menulis sejuta hadis. Setiap satu hadis ditulis lima puluh kali. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, bila terdapat hadis yang tidak diketahui Ibnu Mu’in, maka itu tidak termasuk hadis. Ibnu Mu’in menjadi perumus metode besar dalam menerima ilmu dan hadis. Ia berkata: tulislah apa yang kamu dengar, kemudian kumpulkan. Jika hendak meriwayatkan hadis, para periksalah terlebih dahulu.

Al-Jahizh Amru bin Bahr (163-255 H), seorang sastrawan yang juga merupakan Menteri dari Khalifah Mutawakkil, bilamana memegang sebuah buku, maka ia akan membacanya dari awal sampai akhir, buku apa saja.

Sulaim ar-Razy (w. 447 H), seorang tokoh mazhah Syafi’i di masanya. Setiap hari waktunya dihabiskan dengan membaca, menulis, dan menyalin. Ketika tangan menulis, maka lidahnya berzikir. Itu semua beliau lakukan agar tidak ada yang waktu yang terlewat.

Khatib al-Baghdadi (392-463 H),ahli hadis dan sejarawan Baghdad, berjalan sambil membaca kitab. Imam Haramain (419-478 H), guru Imam Ghazali, beliau tidak tidur kecuali tertidur, dan hanya makan ketika punya selera makan. Kenikmatan beliau adalah ketika mudzakarah ilmu.

Ibnu Aqil al-Hanbali (431-513 H), tidak menyia-nyiakan waktunya terbuang. Lisannya senantiasa digunakan untuk mudzakarah ilmu, matanya untuk membaca, otaknya senantiasa berpikir. Bahkan saat di usia 80-an tahun, semangatnya melebihi ketika usianya 20-an tahun. Beliau menulis banyak kitab, baik di bidang tafsir, fiqh, ushul fiqh, ushuluddin, nahwu, bahasa dan sastra, sejarah, dan lainnya.

Satu di antara kitabnya berjudul “al-Funun”, sebanyak 800 jilid. Hafizh adz-Dzahabi berkomentar, tidak ada di dunia ini yang lebih besar karangannya dari apa yang ditulis Ibnu Aqil. Ibnu Aqil lebih memilih memakan kue basah ketimbang makan roti, untuk efisiensi waktu. Bagi beliau waktu adalah modal utama. Itu adalah ghanimah yang luar biasa. Sebaik-baik pemanfaatan waktu dan taqarrub kepada Allah adalah menuntut ilmu, karena akan mengeluarkan dari kegelapan menuju cahaya.

Ibnu Jauzi (508-597 H), menulis kitab lebih dari 500 judul, dengan jumlah 2000 jilid. Ibnu Wardi mengatakan, jika karya Ibnu Jauzi dibagi dengan umurnya, maka rata-rata perhari ia menulis 9 buku tulis.

Ibnu Jauzi menulis dalam bukunya Shaidul Khatir, sepantasnyalah seorang manusia mengetahui betapa mulia dan berharganya waktu, jangan biarkan hilang begitu saja. Maka prioritaskanlah dengan baik setiap ucapan dan perbuatan yang kita lakukan, mulai dari yang paling utama, lebih utama, dan yang utama. Dan hendaknya niat kita selalu dalam kebaikan.

Imam Syaukani (1173-1250 H), dalam sehari mengajar 13 pelajaran di berbagai disiplin ilmu. Meninggalkan karya 114 kitab.

Imam Alusi (1217-1270 H), seorang mufassir dan mufti Baghdad. Mengajar 24 pelajaran dalam sehari. Tapi ketika sibuk berfatwa, maka beliau mengajar 13 pelajaran. Siangnya digunakan untuk mengajar dan berfatwa, malamnya untuk menulis. Bahkan menulis hingga sakit terakhirnya.

Abdul Hay al-Laknawy (w. 1304 H), meninggal di usia 39 tahun. Karya tulisnya mencapai 110 judul. Di Indonesia sendiri ada Syekh Yasin al-Fadani (w. 1409 H), yang bergelar Musnid Dunya, karya tulisnya juga ratusan. Demikian juga Syekh Nawawi al-Bantani dan KH Bisri Musthafa yang karyanya ratusan.

Produktifitas para ulama berkarya menunjukkan betapa mereka memanfaatkan waktu dengan baik. Memanfaatkan waktu akan membuat umur terasa lebih panjang dan memberikan bekas. Allah berkahi waktu yang singkat dengan karunianya yang banyak kepada siapa yang ia kehendaki.

Umur yang sebenarnya adalah masa muda. Karena di waktu muda inilah kita bekerja produktif, fisik dan semangat juga mendukung. Semakin kita menua, semakin besar tanggung jawab yang diemban, semakin banyak relasi, namun waktu menjadi semakin sempit, kemampuan berkurang, fisik pun melemah, kesehatan berkurang, semangat juga tak lagi menggebu, sementara kewajiban dan kesibukan terus bertambah. Maka bersegeralah memanfaatkan waktu dengan baik.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata: Ketika kita lahir kita diazankan, dan disholatkan manakala kita meninggal dunia. Ini bukti bahwa hidup kita begitu singkat.

Andai kita sia-siakan waktu 1000 tahun, lalu kita bertaubat, hingga akhir hayat kita digunakan untuk hal yang bermanfaat, maka kita termasuk orang yang beruntung. Keuntungan itu karena mengoptimalkan masa akhir dari hidup kita. Yang terbaik adalah memaksimalkan pada hal positif sejak di usia muda. Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu begitu menyesali hari yang terlewati begitu saja tanpa ada amal yang meningkat di dalamnya.

Bayangkan, sebentar saja kita luangkan waktu kita untuk mengucap tasbih “Subhanallahil-azhim wa bi hamdih“, maka Allah akan tanamkan satu pohon kurma di surga.

Bukan bermaksud mengisi waktu seperti dia atas 100 persen secara monotan. Tapi ketika ada waktu kosong diselingi dengan aktifitas bermanfaat lainnya seperti olahraga.

Karenanya, bagi seorang pelajar, ia harus betul-betul memanfaatkan waktunya dengan menuntut ilmu. Karena malas hanya akan membawa penyesalan. Bukankah pahala menuntut ilmu sangat besar, sama halnya berjuang di jalan Allah, pahala seperti haji, lebih baik dari sholat sunnah, didoakan malaikat hingga ikan yang ada di laut, dan dimudahkan jalan menuju surga.

Dan berilmu saja tidaklah cukup, haruslah juga diimbangi dengan amal agar memperoleh keutamaan yang sempurna. Di antara sebab menurunnya para penuntut ilmu sekarang ini adalah karena tujuannya bukan lagi ilmu semata, tapi menginginkan kemewahan, kekayaan, harta, dan tujuan dunia lainnya.

Umar bin Khattab menasihati, hati-hatilah dari perut kenyang. Karena akan membuat malas melakukan shalat dan berdampak buruk pada kesehatan badan. Makan secukupnya saja karena akan membuat fisik kuat, jauh dari mubazir, lebih sehat untuk badan, dan kuat beribadah.

Di antara cara agar bisa memanfaatkan waktu dengan baik adalah menyendiri sebisa mungkin, berinteraksi sekadarnya saja, sedikit makan. Karena banyak makan akan cepat mengantuk dan tidur panjang, sehingga waktu malam berlalu begitu saja.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA