Apa peran pemerintah terhadap konversi lahan pertanian menjadi industri?

Ita Rustiati Ridwan


Semakin meningkatnya jumlah penduduk berarti jumlah kebutuhan menjadi lebih besar, salah satunya kebutuhan pada lahan. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia bermata pencaharian dalam bidang pertanian, maka semakin sempitlah lahan garapan karena telah dikonversi menjadi lahan permukiman, jalan, industri dan lainnya. Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang masih produktif dan ketersediaannya yang terbatas. Proses terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian disebabkan oleh beberapa faktor meliputi faktor eksternal (adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi), faktor internal (kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan), dan faktor kebijakan (aspek regulasi yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian). Dampak konversi lahan sawah antara lain menurunkan produksi padi nasional, kerugian akibat investasi dana untuk mencetak sawah, membangun waduk dan sistem irigasi. Dampak lainnya adalah menurunnya kesempatan kerja dalam bidang pertanian dan degradasi lingkungan. Upaya pencegahan konversi lahan sawah yang dapat dilakukan hanya bersifat pengendalian yang bertitik tolak dari faktor-faktor penyebab terjadinya konversi lahan sawah, yaitu faktor ekonomi, sosial, dan perangkat hukum. Selain itu, hendaknya didukung oleh keakuratan pemetaan dan pendataan penggunaan lahan yang dilengkapi dengan teknologi yang memadai.

Kata kunci: konversi lahan pertanian, faktor eksternal, faktor internal.


Pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam beberapa tahun belakangan ini menimbulkan dampak positif yang cukup besar terutama dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan penciptaan lapangan kerja. Perkembangan pembangunan secara tidak langsung merubah struktur ekonomi Indonesia menjadi lebih kearah ekonomi industri terutama manufaktur dan sektor jasa. Sebagai akibat perubahan struktur ekonomi tersebut, maka secara langsung berdampak terhadap sektor lain terutama sektor pertanian.

Sektor industri dan jasa yang berkembangan pesat tentu saja diikuti oleh kebutuhan akan lahan untuk sektor tersebut baik yang berhubungan langsung maupun yang menjadi ikutannya.  Karena lahan yang sudah ada terutama di daerah kawasan industri sebagian besar adalah lahan pertanian, maka sebagai akibatnya terjadi banyak alih fungsi lahan dari sektor pertanian ke sektor lain terutama sektor industri, perumahan, perdagangan dan jasa.

Alih fungsi lahan tersebut secara langsung mengurangi luas lahan sektor pertanian yang dapat ditanami berbagai komoditas pertanian terutama padi. Apabila hal ini terus dibiarkan dan tidak ada penanganan lebih lanjut, maka dampaknya akan mengancam ketahanan pangan nasional yang sangat berbahaya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tercatat bahwa alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan lainnya selama 2002-2010 mencapai rata-rata 56.000-60.000 ha per tahun.

Pertumbuhan ekonomi yang pesat yang diikuti perubahan sosial kultural masyarakat petani menyebabkan proses alih fungsi lahan pertanian menjadi isu penting dalam perkembangan pertanian saat ini. Isu konversi ini tentu saja merupakan keadaan yang harus diwaspadai, karena konversi lahan pertanian berarti berkurangnya luas areal pertanian, yang berarti pula produksi pertanian akan menurun.

Konversi lahan yang terjadi saat ini, tentu saja harus diantisipasi dengan baik untuk meminimalisir dampak terhadap produksi pertanian pada khususnya dan sektor pertanian pada umumnya. Karena itu,maka tulisan ini akan membahas mengenai konversi lahan beserta sejumlah permasalahannya dan dampak apa yang ditimbulkan akibat proses konversi lahan pertanian.

Terkait dengan alih fungsi lahan sektor pertanian menjadi penggunaan untuk sektor lain terutama industri, perumahan, perdagangan dan jasa, Pemerintah dapat mengambil peran yang sangat penting dalam upaya memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan sebagai akibat dari proses konversi lahan terutama dalam mengantisipasi penurunan produksi hasil pertanian dalam hal ini produksi padi. Antisipasi kebijakan yang diambil terutama berkaitan dengan penggantian lahan sawah yang terkonversi, sehingga luas lahan sawah tidak mengalami penurunan tajam, atau bahkan lebih meningkat. Antisipasi kebijakan lain yaitu mempertahankan bahkan meningkatkan produksi padi melalui peningkatan produktifitas panen.

Sehubungan dengan upaya pemerintah dalam meminimalisir dampak konversi lahan pertanian terhadap produksi pertanian terutama padi, terdapat berbagai permasalahan yang terjadi antara lain: (i) Mengapa konversi lahan sangat cepat terjadi terutama di wilayah dekat pusat pertumbuhan (ii) Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab petani mengkonversikan lahannya menjadi penggunaan di sektor non pertanian (iii) Bagaimana dampak konversi lahan terhadap produksi pertanian dalam hal ini padi dan seberapa besar dampak ekonomisnya, dan (iv) Langkah kebijakan apa yang harus diambil pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya konversi lahan sektor pertanian di Indonesia.

Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan, maka tulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan dan rekomendasi dalam menjawab berbagai permasalahan tersebut. Sehingga tulisan ini memiliki tujuan antara lain (i) Untuk mengetahui penyebab terjadinya konversi lahan dengan sangat cepat terutama di wilayah dekat pusat pertumbuhan terutama wilayah perkotaan (ii) Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi non pertanian (iii) Untuk mengetahui dampak ekonomis konversi lahan terhadap produksi pertanian dan (iv) Merumuskan alternatif kebijakan yang bisa diambil pemerintah dalam mengantisipasi terjadinya konversi lahan di sektor pertanian.

Kajian ini menggunakan metode analisis deskriptif (descriptive analysis). Tujuan dari metode analisis deskriptif adalah untuk membuat suatu penelaahan yang sistematis terhadap suatu isu dan fakta dengan cara melakukan analisis data dan fakta serta memformulasikan hipotesis dan kesimpulan tentang suatu objek penelitian. Metodologi penelitian dalam tulisan ini dilakukan dengan menelaah kajian literatur terhadap buku-buku, jurnal dan artikel baik yang berhubungan dengan konversi lahan pertanian dan produksi sektor pertanian terutama padi. Dalam penulisan ini, data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari Kementerian Pertanian, Badan Pertanahan Nasional dan Badan Pusat Statistik. Selain itu dilakukan juga penghitungan mengenai dampak ekonomis yang hilang dari produksi pertanian akibat terjadinya konversi lahan di beberapa wilayah yang terjadi konversi lahan dengan cepat.

Berdasarkan hasil kajian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa (i) Konversi lahan hanya terjadi di beberapa wilayah saja, terutama di daerah-daerah yang dekat dengan lokasi pertumbuhan seperti Jabotabek (Kabupaten Bogor dan Bekasi), (ii) Meskipun terjadi konversi lahan sawah di beberapa wilayah, namun secara total luas lahan sawah di Indonesia tidak mengalami penurunan karena luas wilayah yang terkonversi tertutup oleh pencetakan lahan sawah baru di beberapa wilayah lain. Luas lahan sawah meningkat dari sekitar 6,1 juta hektar pada tahun 2008 menjadi 6,9 juta hektar pada tahun 2013, (iii) Produktifitas pertanian semakin meningkat, meskipun tipis. Secara umum, produktifitas sawah di pulau Jawa masih lebih tinggi dibanding luar jawa. Secara total, produksi padi di Indonesia meningkat dari sekitar 60 juta ton pada tahun 2008 menjadi 71 juta ton pada tahun 2013.

Sementara itu, kajian ini merekomendasikan beberapa hal antara lain: (i) Dalam merancang suatu kawasan, pusat pertumbuhan ekonomi diharapkan tidak mendekati areal pertanian lahan basah, karena secara otomatis akan terjadi konversi lahan pertanian menjadi non pertanian, (ii) Luas lahan yang terkonversi sebaiknya diganti dengan lahan pertanian minimal sama atau lebih luas dibanding lahan terkonversi, (iii) Diberikan insentif atau diinsentif baik hukum maupun ekonomis bagi para petani agar berkurang minat untuk mengkonversi lahannya dan (iv) Perlu studi lanjutan untuk pengganti lahan terkonversi melalui pembukaan lahan sawah baru.

Jakarta, CNN Indonesia --

Luas lahan pertanian di Indonesia semakin tergerus. Hal ini terjadi bukan karena 'tersulap' jadi pemukiman masyarakat, namun juga kawasan industri dan jalan.

Tengoklah kawasan industri di Bekasi dan Karawang, Jawa Barat. Dulu, lokasinya merupakan area sawah. Tapi kini sudah menjadi kawasan industri sibuk di tanah air.

Tak hanya dua lokasi itu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo bahkan mencatat ada 150 ribu hektare (ha) lahan pertanian yang sudah beralih fungsi menjadi nonpertanian. Padahal, lahan yang tersulap baru 30 ribu ha pada 1990.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Memang ada kenyataan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang masih terus berlangsung saat ini, bahkan cenderung meningkat, terjadi di perkotaan alihkan industri jalan strategis," ujar Syahrul dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR, Senin (29/3).

Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan masalah alih fungsi lahan pertanian sejatinya klasik. Ini sudah terjadi sejak lama.

Padahal, Pasal 44 Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan secara tegas mengatur lahan yang udah ditetapkan sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan harus dilindungi dan haram dialihfungsikan.

Dan kalaupun mau dilakukan, alih fungsi lahan pertanian pun hanya dapat dilakukan dengan beberapa syarat. Antara lain, kajian kelayakan strategis, rencana alih fungsi lahan, dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik, dan disediakan lahan pengganti terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dialihfungsikan.

[Gambas:Video CNN]

Dalam Pasal 73 beleid sama pun tertulis, pejabat yang melanggar aturan alih fungsi lahan pertanian dapat dipenjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun atau denda Rp1 miliar sampai Rp5 miliar.

"Catatan penting dari UU 41/2009 adalah sampai sekarang pemerintah baik pusat, provinsi, kabupaten/kota, belum menetapkan wilayah lahan pertanian berkelanjutan yang dilindungi. Sepanjang ini belum ditetapkan, secara teori lahan-lahan sawah yang ada akan selalu terancam konversi karena secara peraturan belum dilindungi," ujar Khudori kepada CNNIndonesia.com.

Masalahnya, ketika tidak ada aturan ketat dari pusat maupun daerah, tentu akan semakin mudah lahan pertanian digoyang untuk alih fungsi.

"Penentuan ini mesti berbarengan dengan penyelesaian tata ruang wilayah, yang belum semua daerah menuntaskannya," imbuhnya.

Sayangnya, perubahan aturan dari waktu ke waktu, bukannya semakin 'memagari' lahan pertanian, tapi justru makin memperparah alih fungsi. Salah satunya di UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Sebenarnya UU 41/2009 itu semangatnya adalah melarang konversi, konversi boleh tapi dengan syarat ketat, yang jika dilanggar, sanksinya juga berat, tapi UU ini diubah pasal-pasalnya lewat UU Cipta Kerja. Bahkan, jika sebelumnya lahan beririgasi dikecualikan dari konversi, lewat UU Cipta Kerja bisa dikonversi untuk proyek strategis nasional atau kepentingan umum. Sangat mungkin kehadiran UU Cipta Kerja akan membuat konversi semakin masif," terangnya.

Khudori pun membandingkan masalah perlindungan lahan pertanian ini dengan negara lain. Menurutnya, Indonesia cukup tertinggal soal perlindungan lahan pertanian dibandingkan negara maju, bahkan dengan Jepang.

"Jepang banyak sekali meriset tentang ini, makanya sawah atau lahan pertaniannnya dilindungi," katanya.

Khudori menyadari memang pembangunan perlu lahan tapak. Di sisi lain, pembangunan juga perlu seiring berubahnya arah aktivitas masyarakat yang semakin modern karena globalisasi.

Tapi masalahnya, kalau lahan pertanian sudah terlanjur disulap untuk peruntukan lain, akan sulit mengembalikan peruntukannya lagi.

"Artinya sekali terjadi konversi hampir mustahil bakal dikembalikan lagi untuk penggunaan pertanian seperti semula," tuturnya.

Ia mengakui dari sisi ekonomi, alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian bisa memberi nilai besar. Namun, jangan karena nilai itu pemerintah jadi menutup mata terhadap lahan pertanian seberapa kecil pun nilai ekonominya.

Lahan tersebut tetap perlu dipertahankan untuk menjamin kelangsungan pangan masyarakat di masa depan.

Hal ini karena lahan pertanian bukan cuma punya nilai terukur, tapi juga yang tak terukur (intangible). Hal yang bisa diukur, misalnya investasi untuk membuka lahan sawah, infrastruktur irigasi, jalan, dan lainnya. Setelah itu, baru bisa dihitung produktivitasnya dan output dalam menghasilkan pangan bagi masyarakat secara berkelanjutan.

"Tapi jangan lupa, sawah atau lahan pertanian itu ada multifungsi, yang selama ini hampir tak dihargai, misalnya menjaga budaya perdesaan, budaya masyarakat, kesehatan lingkungan, udara bersih, pengendali banjir dan air limpasan dan masih banyak lagi," ucapnya.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA