Apa pendapatmu tentang orang jepang yang jelek

Tulisan Berbentuk Essai Yang Ditulis Saya Tentang Orang-orang Jepang Lewat E-mail Yang Diadakan Radio Tampa, Jepang Tahun 1999. Saya Salah Satu Dari 20 Orang Pemenang Yang Dipilih Dari Lebih 1000 E-mail Essai Yang Masuk Dari Seluruh Negara ASEAN.

Essai Di Dalam Bahasa Indonesianya :

Saya mengajar Bahasa Indonesia kepada Orang Jepang sudah 6 tahun. Dan Saya akan coba menguraikan perasaan berinteraksi sosial dengan Orang Jepang . . .

Pertama-tama, poin yang Saya suka terhadap Orang Jepang . . .

Yang pertama adalah (kenson go/bentuk bahasa merendahkan diri). Misal nya ketika Saya memuji seorang wanita Jepang (anda pintar ikebana ya), dijawab dengan (tidak,tidaklah begitu. Itu karena Saya sudah lama latihan ikebana saja). Mereka punya perasaan yang rendah hati.

Yang kedua adalah (home kotoba/kata-kata pujian). Saya dipuji oleh Murid Orang Jepang, seperti(Bahasa Jepang nya pintar ya) atau (hebat bisa baca kanji), jadi ketika dipuji lebih dari kemampuan Kita, maka percakapan pun dibuat menjadi menyenangkan.

Yang ketiga adalah (kenjou go/bentuk bahasa yang rendah hati). Orang Jepang waktu meminta sesuatu kepada orang, pasti cara berkata nya penuh kerendahan hati seperti (maaf, tolong ya).

Sebalik nya, poin yang tidak begitu Saya suka adalah shakoujirei/basa-basi. Sering Orang Jepang kepada Orang Indonesia berkata (bagaimana pun silahkan mampir kalau datang ke Jepang), atau (mari Kita sama-sama makan). Tetapi kenyataan nya seperti nya banyak yang merasa tidak senang karena diganggu.

Hal yang Saya suka dari Orang Jepang, dan hal yang Saya tidak suka ada bermacam-macam, tetapi yang pasti, poin yang bisa buat Kita belajar dari Orang Jepang ada banyak, antara lain seperti ( jaga waktu), (sungguh-sungguh), (bertanggung jawab terhadap pekerjaan) dan lain-lain.

Dari sekarang pun Saya ingin bergaul dan banyak belajar lagi dengan menyenangkan lewat Murid Orang Jepang.

Essai Di Dalam Romajinya (Tulisan Di Dalam Bahasa Jepang) :

Watashi wa Indonesia go o Nihon jin ni roku nenkan oshiete imasu. Watashi ga Nihon jin Seito to sesshite ite higoro kanjiru ten o nobete mimasu . . .

Mazu, Watashi ga Nihon jin ni tai suru suki na ten wa . . .

Dai ichi ni (kenson go) desu. Tatoeba, Watashi ga Nihon jin josei ni (ikebana ojouzu desu ne) to homeru to kimatte (iie, nagai aida yatte iru dake de sore hodo de wa arimasen) to kotaemasu. Herikudari no kokoro wa koukan ga motemasu.

Dai ni ni (home kotoba) desu. Nihon jin no Seito ni (Nihon go ojouzu desu ne) toka (kanji ga yomete sugoi desu ne) to homerareru koto ga arimasu ga jitsuryoku ijou homerareru to kaiwa mo tanoshiku nari yukai ni sasete kuremasu.

Dai san ni (kenjou go) desu. Nihon jin wa hito ni nani ka o tanondari suru toki kanarazu (sumimasen ga onegai shimasu) to herikudatta iikata o shimasu.

Ippou amari suki ni narenai ten wa shakoujirei desu. Tama ni Nihon jin ga Indonesia hito ni (zehi Nihon ni kitara yotte kudasai) toka (shokuji demo go isshou ni shimashou) toka iimasu ga jissai ni wa meiwaku gararete fuyukai na omoi o suru koto ga ooi you desu.

Nihon jin no suki na tokoro, suki ni narenai tokoro iroiro arimasu ga Nihon jin kara manabu ten wa (jikan o mamoru koto), (kinben na koto), (shigoto ni tai suru sekininkan) nado takusan arimasu.

Kore kara mo Nihon jin Seito o ooku o manabi tanoshiku tsukiatte ikitai to omoimasu.

Owaru (Selesai).


Lihat Edukasi Selengkapnya

Orang Jepang lebih memprioritaskan bertindak sebagai sebuah kelompok daripada bertindak secara individu. Contohnya, ketika menghadapi situasi tertentu, jika sebagian besar orang merespon dengan cara yang sama, maka respon itu dianggap tepat. Hal itu terjadi karena sejak dulu pendidikan Jepang selalu menganjurkan untuk berperilaku berdasarkan kelompok. Artinya, siapa pun yang bertindak berbeda dari kebanyakan orang, sering kali dipandang rendah.

Meskipun informasi atau tindakan tersebut salah, semua tetap dianggap benar jika mayoritas orang menganggapnya demikian. Memang perlu waktu, tetapi kebenaran pada akhirnya pasti akan terungkap. Namun, orang-orang yang dibesarkan dengan ideologi seperti itu sering meyakini bahwa mayoritas-lah yang benar dan minoritas salah. Seiring berkembangnya era globalisasi, ideologi ini perlahan mulai dipertimbangkan kembali dalam beberapa tahun terakhir, tetapi konsep "berbeda dari yang lain" masih belum tersebar luas di Jepang.

Di sisi lain, ada konsep "migi e narae" yang melahirkan kebiasaan luar biasa, yaitu mematuhi peraturan di tempat umum. Berbaris rapi saat menunggu kereta dan mendahulukan penumpang yang turun sudah merupakan hal yang wajar bagi orang Jepang. Bahkan, ketika naik eskalator, mereka membiarkan satu sisi kosong untuk digunakan orang yang sedang terburu-buru. Mengantre di restoran atau saat membayar di mini market juga bukanlah pemandangan yang aneh di negara ini, karena orang Jepang selalu mengikuti aturan di mana pun mereka berada untuk menciptakan lingkungan yang nyaman bagi berbagai pihak. Dengan demikian, ideologi untuk bertindak secara berkelompok yang dibahas sebelumnya tidak hanya memiliki sisi negatif, tetapi juga sisi positif.

Konsep "Tatemae": Mengenyampingkan Perasaan Sendiri untuk Kebaikan Orang Lain

Orang Jepang selalu memikirkan pendapat orang lain dalam segala hal, di mana pun mereka berada atau apa pun yang mereka lakukan. Oleh sebab itu, orang Jepang berusaha semampu mereka untuk tidak mengganggu orang lain. Namun, dari sana muncul perilaku yang tidak biasa atau aneh, yaitu "tatemae". Terlepas dari apa yang dipikirkan seseorang tentangnya, prioritas utama diberikan untuk orang lain, dan orang tersebut mungkin tidak akan mengutarakan perasaan yang sesungguhnya agar terlihat lebih baik di depan publik.

Orang Jepang cenderung bersifat pemalu dan enggan berbicara dengan orang asing. Ditambah lagi, sifat kehatian-hatian dan memperhatikan pendapat orang lain menyebabkan mereka tidak terbuka. 

Misalnya, ketika seseorang sedang berada di pesta minum yang dihadiri banyak orang tidak dikenal. Lalu, orang tersebut berbincang-bincang dengan orang di sebelahnya dan mendapatkan undangan untuk datang kembali jika ada pesta. Walaupun jawaban yang diberikan umumnya adalah "Ya, tentu saja!", itu sebenarnya hanya sekadar basa-basi. Apabila mereka memang cocok satu sama lain, bisa saja mereka memutuskan untuk bertemu lagi. Namun, seringnya, jawaban "positif" adalah cara orang Jepang menolak ajakan seseorang dengan sopan. Tatemae diaplikasikan di sini untuk menunjukkan bahwa mereka tertarik, padahal tidak. Hal ini tidak dianggap berbohong, ia melakukannya hanya agar terhindar dari konflik dan membuat image yang baik tentang dirinya.

Benarkah Orang Jepang Selalu Berhati-hati? Bahaya dari Berpikir Komunal: Kegagalan Bukanlah Pilihan!

Di Jepang, orang-orang biasanya terlalu sangat berhati-hati dan overthinking terhadap orang-orang di sekitar mereka untuk menghindari berbuat kesalahan. Ini menjadi norma dalam masyarakat Jepang, dan juga memunculkan tradisi sulit memaafkan atau membiarkan kesalahan. Penyebabnya berasal dari sistem pendidikan Jepang. Para siswa diajarkan untuk takut melakukan sesuatu yang berbeda (seperti dijelaskan di atas) dan memahami betapa pentingnya hidup berkelompok atau berpikir komunal. Akibatnya, orang Jepang menilai bahwa fenomena sosial ini bukanlah suatu masalah, melainkan sebuah "kehatian-hatian".

Lalu, apa yang sebenarnya terjadi kepada seseorang yang membuat kesalahan di Jepang? Berikut adalah contoh dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika naik kereta. Di negara lain, jika Anda tidak sengaja menubruk seseorang karena kereta bergetar, situasi akan cepat terselesaikan dengan permintaan maaf, diikuti balasan "tidak apa-apa" dari orang yang Anda tabrak. Sementara di Jepang, permintaan maaf biasanya tidak ditanggapi dengan jawaban sama sekali atau ada yang membunyikan lidah (ck) untuk menunjukkan rasa jengkel (walaupun jarang dilakukan). Orang tersebut kemudian dianggap telah keluar dari kelompok mayoritas yang berupaya menjaga keharmonisan karena sudah mengganggu orang-orang di sekitar. Mungkin tampak seperti berhati dingin, tetapi itu adalah kebenaran budaya Jepang. Tentu saja, masih banyak orang baik yang merespon permintaan maaf seperti di kereta tadi dengan jawaban rendah hati. Namun, kebiasaan untuk menyatakan seseorang salah atau buruk meski itu kesalahan sepele tetap terlihat jelas.

Baik besar atau kecil kesalahan yang dilakukan, semua akan dilabeli buruk. Beberapa orang bahkan menyebut Jepang sebagai negara tanpa kesempatan kedua karena sulitnya memaafkan kesalahan.

Ini juga berlaku di tempat kerja. Apabila terjadi kesalahan, mereka akan memeriksa penyebabnya secara menyeluruh dan mencari pertanggungjawaban. Cara berpikir orang Jepang tidak berorientasi pada masa depan, mereka lebih suka bertanya "Bagaimana itu bisa terjadi?" daripada "Apa yang akan kita lakukan sekarang?".

Misalnya, suatu perusahaan yang mencoba mengembangkan model bisnis baru sering kali dikritik. Meskipun inovasi tersebut berhasil, mereka tidak akan menerima perhatian masyarakat lebih dari jika mereka gagal. Butuh waktu bertahun-tahun bagi perusahaan perintis untuk mendapatkan kesuksesan di Jepang, karena struktur sosial negara sulit menerima hal-hal baru.

Sebenarnya, manusia tidak akan pernah lepas dari kesalahan, bahkan seseorang tumbuh dan belajar dari membuat kesalahan. Seperti yang pernah dikatakan oleh Winston Churchill, "Jika Anda tidak membuat kesalahan, artinya Anda tidak benar-benar mencoba." Namun, ketakutan orang Jepang terhadap kegagalan lahir dari ideologi bahwa mayoritas selalu benar. Mereka terjebak dalam pertanyaan, "Apa yang harus saya lakukan jika membuat kesalahan?" Hasilnya, orang Jepang lebih banyak mengadopsi sikap beradaptasi daripada proaktif mencoba menunjukkan kelebihan mereka sendiri, serta berpegang teguh pada metode terlihat baik untuk menghindari kesalahan ketimbang mencoba hal-hal baru.

Eksklusivitas? Nilai Konservatif Lahir Dari Pendidikan Jepang dan Struktur Sosial

Ideologi orang Jepang yang mengikuti mayoritas, menghindari berbuat kesalahan, dan menyembunyikan niat mereka yang sebenarnya agar tidak menimbulkan konflik juga melahirkan cara berpikir "eksklusif" dan "konservatif" mengenai hal-hal dari negara lain. Meskipun mereka dapat menerimanya, hal-hal asing cenderung dikesampingkan dan diperlakukan secara berbeda.  

Contoh paling nyata dari "hal-hal" asing adalah makanan. Sudah merupakan hal umum bagi negara-negara di dunia untuk menerima masakan dari luar negeri untuk disantap di negara mereka. Sama seperti ramen dan sushi yang tersedia di berbagai negara, masakan internasional, seperti Meksiko, Itali, Prancis, Cina, Thailand, Vietnam, Taiwan, Korea, dan sebagainya dapat dinikmati juga di Jepang. Akan tetapi, yang membedakan Jepang adalah cara penyajiannya. Mereka membuat masakan dari luar negeri menjadi ke-Jepang-an. Tacos dari Meksiko dibuat menjadi taco rice; Omelet Prancis menjadi "omurice"; Pizza Italia disajikan dengan topping ala Jepang seperti jagung dan mayones; ada pula "naporitan" pasta dengan bawang bombay, paprika hijau, daging ham, dan lebih banyak saus tomat; kemudian ada doria dengan saus krim seperti gratin dan keju di atas nasi pilaf, serta beragam hidangan dari seluruh dunia yang telah dimodifikasi dalam gaya Jepang. Sungguh menarik melihat kreativitas orang Jepang memasukkan hal-hal dari negara lain ke dalam kehidupan mereka. Selain itu, bahasa asing, terutama bahasa Inggris, juga telah diadopsi ke dalam bahasa Jepang yang disebut wasei-eigo (和製 英語) dan ditulis dengan huruf katakana. Oleh karenanya, orang Jepang bisa menikmati banyak kesempatan untuk merasakan budaya lain di kehidupan sehari-hari.

Di sisi lain, ketika berhadapan dengan orang asing, masalahnya akan bertolak belakang karena orang Jepang berpikir eksklusif. Contoh paling jelas adalah kasus orang asing yang akan pindah ke Jepang. Banyak properti sewa yang tidak menerima orang asing atau menyeleksinya secara ketat tanpa berusaha untuk mengenal mereka terlebih dulu. Mereka ditolak hanya karena mereka orang asing. Fakta bahwa Jepang memiliki banyak aturan juga menjadi penyebabnya. Di masa lalu, ada beberapa kasus terkait orang asing yang sulit mengikuti peraturan dan diminta untuk pindah. Sampai saat ini, masih ada sejumlah apartemen yang tidak menerima orang asing. Bahkan, jika penyewa telah memasuki tahap persetujuan aplikasi apartemen, mereka sering kali ditolak karena mereka adalah orang asing.

Mungkin persoalan di atas bukan masalah besar bagi orang-orang yang datang ke Jepang hanya untuk berlibur. Namun, hal itu pun sebenarnya juga terjadi di restoran-restoran yang menawarkan masakan Jepang atau masakan Cina, mereka menolak orang asing karena staf di sana tidak bisa berbahasa asing. Memang sekarang jumlah toko yang mendukung berbagai bahasa dan melayani orang asing semakin bertambah, tetapi masih banyak toko tua yang tidak bisa melayani orang asing. Mereka mengklaim bahwa menerima pelanggan Jepang saja cukup menutupi biaya toko. Hal itu didukung dengan banyaknya aturan di Jepang, seperti cara menggunakan sumpit atau bagaimana etika naik kereta, yang dianggap penting bagi orang Jepang. Jadi, melihat orang asing yang kesulitan mematuhi aturan membuat orang Jepang merasa tidak nyaman. Apakah Anda benar-benar tahu tradisi dan etiket yang berlaku di Jepang atau tidak, itu bukanlah alasan. 

Jika biasanya pengaruh asing dipandang sebagai hal yang positif, dan dapat menghilangkan konformitas dan pemikiran mutlak dalam masyarakat, Jepang justru sering kali merasa terancam. Mereka khawatir orang dan budaya asing akan mengubah cara hidup orang Jepang. Pemikiran komunal tentang orang yang melanggar peraturan adalah salah, bahkan membentuk suasana dengan konformitas yang lebih kuat.

Kesimpulan

Tempat wisata, lokasi bersejarah, dan teknologi terbaru melahirkan Jepang yang modern dengan budaya trendi dan unik. Tidak diragukan lagi, Jepang memiliki sejuta pesona yang memikat hati semua orang. Namun, di era globalisasi ini, Jepang masih tertinggal dalam bidang-bidang tertentu seperti metode komunikasi dan bagaimana menangani pengunjung asing. Sebagai negara yang memadukan hal-hal kuno dan modern, Jepang perlu mengombinasikan sumber pariwisata yang berkualitas dan kepatuhannya melestarikan budaya kuno dengan menerima berbagai opini yang berbeda dari mayoritas, mengadopsi cara berpikir yang lebih inovatif, serta mengekspresikan pandangan dan menerima keberagaman. Dengan demikian, Jepang dapat benar-benar merepresentasikan negara yang indah, aman, dan damai.

Jika Anda ingin memberikan komentar pada salah satu artikel kami, memiliki ide untuk pembahasan yang ingin Anda baca, atau memiliki pertanyaan mengenai Jepang, hubungi kami di Facebook, Twitter, atau Instagram!

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA