Apa maksud dari mendayung diantara dua karang?

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - “Mendayung di antara dua karang.” Itulah tema pidato Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada 2 September 1948, terkait posisi Indonesia dalam percaturan politik internasional antara Blok Barat (liberalisme yang dimotori Amerika Serikat) dan Blok Timur (komunisme yang dimotori Rusia). Di kemudian hari, prinsip politik luar negeri semacam ini dikenal sebagai “bebas aktif”.

Kini, meski dalam konteks berbeda, ingatan kita kembali melayang ke tema pidato Bung Hatta itu, ketika kita dihadapkan pada kegaduhan yang tak kunjung usai, baik di dunia maya maupun nyata, antara mereka yang mengaku sebagai pembela Islam, dimotori oleh Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI); dan mereka yang mengaku menjunjung tinggi kebinekaan, yang di dalamnya dicurigai ada unsur komunis.

Kegaduhan bermula dari diunggahnya pidato Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu, 27 September 2016, yang menyinggung Surat Al Maidah ayat (51).

Kedua blok tersebut kemudian mengembangkan rasa saling curiga bahkan paranoia satu sama lain. FPI dan GNPF-MUI dikhawatirkan mengembangkan paham “negara khilafah”, dan oleh karena itu dicurigai hendak menggulingkan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dianggap memberi angin segar bagi berkembangnya komunisme.

Di pihak lain, FPI dan GNPF-MUI secara tersirat mencurigai Jokowi-JK akan “dimanfaatkan” penganut paham komunisme untuk mendesakkan agenda-agendanya, termasuk membangkitkan Partai Komunis Indonesia (PKI).Kecurigaan antarkedua blok tersebut bukan tanpa alasan. Dalam unjuk rasa menuntut Ahok ditahan, yang dikemas dalam “Aksi Bela Islam” pada 14 Oktober 2016, 4 November 2016 dan 2 Desember 2016, sempat tercetus tuntutan agar Jokowi-JK, yang dituding melindungi Ahok, mundur. Bahkan dalam orasinya, Wakil Ketua DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah sempat melontarkan wacana tentang dua cara memakzulkan Presiden, yakni melalui “parlemen ruangan” dan “parlemen jalanan”.

Kecurigaan kian kental ketika Imam Besar FPI Habib Rizieq Syihab melontarkan wacana tak perlu ada demo “Aksi Bela Islam” lagi, tapi langsung revolusi, bila Ahok divonis bebas pengadilan. Kecurigaan bertambah besar ketika beredar surat permintaan dukungan dari FPI ke pondok-pondok pesantren agar menjadikan Habib Rizieq Syihab sebagai Imam Besar Umat Islam Indonesia, kendati hal ini dibantah pihak FPI.

Ada analisis, bila Habib Rizieq diangkat sebagai Imam Besar Umat Islam Indonesia, maka revolusi tinggal selangkah lagi, mengikuti jejak “Arab Spring” di Mesir dan negara-negara Arab lainnya.

Di pihak lain, kedekatan pemerintahan Jokowi dengan pemerintahan Republik Rakyat Tiongkok yang menganut paham komunisme dan para konglomerat Tiongkok yang disebut sebagai “Sembilan Naga”, serta banyaknya warga Tiongkok yang masuk ke Indonesia sebagai tenaga kerja, baik legal maupun ilegal, makin menguatkan kecurigaan bahwa Jokowi hendak membangkitkan komunisme, bahkan “menggadaikan” Indonesia ke Tiongkok.

Apalagi Jokowi dinilai kurang tegas kepada para simpatisan PKI, misalnya mereka yang memakai atribut bergambar “palu arit” yang identik dengan PKI, ditambah dengan logo Bank Indonesia (BI) pada uang kertas emisi baru yang dicurigai Habib Rizieq mirip “palu arit”. Belakangan terbit buku “Jokowi Undercover” yang ditulis Bambang Mulyono yang menyebut Jokowi sebagai keturunan PKI.Paranoia kalangan Islam terhadap PKI memang bukan tanpa alasan, mengingat partai yang kemudian dinyatakan terlarang ini pernah melakukan dua kali pengkhianatan, yakni pada 1948 di Madiun dan pada 30 September 1965 di Jakarta.Pada era Orde Baru, mereka yang berafiliasi ke kelompok Islam bukan moderat disebut “ekstrem kanan”, dan mereka yang berafiliasi ke komunisme disebut “ekstrem kiri”. Karena sama-sama ekstrem, mohon maaf bila kita ibaratkan saja keduanya laksana karang, sehingga kini pemerintahan Jokowi-JK laksana mendayung di antara dua “karang”. Sayangnya, posisi Jokowi-JK saat ini dicurigai lebih condong ke “ekstrem kiri”.

Entah apa sebabnya, kecondongan suatu rezim kepada kelompok tertentu ternyata lazim terjadi di Indonesia. Sebut saja Bung Karno yang lebih dekat dengan PKI, Pak Harto yang lebih dekat dengan kalangan Islam yang berlanjut ke BJ Habibie dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Megawati Soekarnoputri dekat dengan kaum nasionalis, yang di dalamnya terdapat mereka yang dituduh PKI, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang lebih dekat dengan kalangan Islam, termasuk Islam bukan moderat. Kini, rezim Jokowi-JK dicurigai lebih dekat dengan komunisme.Semua belum terlambat. Dalam mendayung di antara dua “karang”, Jokowi-JK harus mengambil posisi dan jarak yang sama dengan kedua blok. Kecurigaan yang sudah terlanjur berkembang harus dijawab Jokowi-JK dengan bertindak tegas terhadap penganut dan simpatisan komunisme bila melanggar hukum, termasuk menindak tegas warga Tiongkok yang masuk ke Indonesia dengan melanggar aturan.Di pihak lain, Jokowi-JK harus tegas terhadap kelompok-kelompok Islam bukan moderat, apalagi intoleran dan radikal, bila melanggar hukum. Jangan sampai ada kesan mereka untouchable (tak tersentuh) dan mengingkari prinsip equality before the law. Mereka yang sudah terlanjur dianggap makar, yang dicurigai hendak menunggangi “Aksi Bela Islam”, harus dapat dibuktikan di pengadilan. Bila tidak terbukti, pemerintah harus melepaskan mereka, bahkan meminta maaf.Lebih dari itu, Jokowi-JK harus mampu mendamaikan dan merukunkan kedua blok, sehingga kegaduhan segera berakhir. Semua harus kembali ke Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta tujuan fundamental berbangsa dan bernegara, yakni menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.Islam tidak bertentangan dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, bahkan bersinergi, apalagi bila kita cermati “Piagam Madinah” yang digagas Nabi Muhammad SAW yang memberikan perlindungan kepada kaum minoritas, sehingga tak perlu dipolarisasikan. Piagam Djakarta yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat Pancasila juga merefer “Piagam Madinah” tersebut. Itulah!

*Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.

Warta 24 – Tanggal 2 September 1948 atau tepatnya 72 tahun silam, Wakil Presiden RI, yang juga Perdana Menteri, Mohammad Hatta memberikan pidato di depan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP).

Pidato bertajuk “Mendayung Antara Dua Karang” tersebut diucapkan saat umur Republik Indonesia masih muda dan tengah menghadapi blokade Belanda. Bung Hatta menancapkan pondasi kuat pada pidato tersebut mengenai sikap politik luar negeri Republik Indonesia,

“Mendayung di antara dua karang” itu digagas oleh Mohammad Hatta dalam politik Internasional Indonesia. Maksud dari konsep itu bukanlah menjadikan Indonesia memilih jalan tengah antar dua blok yang berpengaruh (Komunis dan Liberal), tetapi politik internasional Indonesia didasarkan tanpa sentimen dan lebih memperhatikan aspek realitas dan kepentingan negara.

“Tiap-tiap orang diantara kita tentu ada mempunyai simpati terhadap golongan ini atau golongan itu, akan tetapi perjuangan bangsa tidak bisa dipecah dengan menuruti simpati saja, tetapi hendaknya didasarkan kepada “realitiet”, kepada kepentingan Negara setiap waktu.”

Inilah yang dipraktikkan Indonesia pada tahun 1959-1960, ketika Sukarno melontarkan Manipol-USDEK dan NASAKOM untuk mempertahankan revolusi Indonesia. Indonesia menolak secara tegas Neo-Kolonialisme dan Neo-Liberalisme (Nekolim) yang mulai mengepung Indonesia, Malaysia dengan sokongan Inggris, Australia, dan New Zealand.

Demokrasi terpimpin yang dideklarasikan oleh Sukarno setelah melihat terlalu lamanya Konstituante mengeluarkan Undang-undang baru telah memperkuat posisi Sukarno secara absolut.

Di satu sisi lain, hal ini berdampak pada kewibawaan Indonesia di forum Internasional yang dilihatkan oleh berbagai manuver yang dilakukan Sukarno serta munculnya Indonesia menjadi kekuatan militer yang di perhitungkan di Asia.

Lantas mengarah ke manakah politik Luar Negeri yang dinahkodai Sukarno, setelah manuver poltik dalam negeri dengan menyusun Manipol USDEK, Nasakom, dan RESOPIM? Jika kembali pada konsep yang dicetuskan Hatta, maka akan terlihat kecenderungan politik Luar Negeri Indonesia yang selalu melihat realitas demi terciptanya kesejahteraan dan tercapainya kepentingan bangsa.

Pertama, pembentukan poros-poros. Mungkin sudah tidak asing lagi mendengar istilah poros Jakarta-Peking. Tahun 1950 Indonesia adalah negara pertama yang mengakui RRC di bawah pemerintahan Komunis, dan kedekatan itu ditindaklanjuti dengan pengiriman Arnold Mononutu sebagai Duta Besar RI untuk Cina yang dibarengi dengan penandatanganan nota kerjasama RI-Cina.

Kemudian pada awal 1960-an terciptalah poros Jakarta-Peking yang kemudian berkembang menjadi poros Jakarta-Peking-Pyongyang. Ketika menilik kondisi Indonesia pada saat itu, poros Jakarta-Peking-Pyongyang tidak semata-mata tercipta karena kerjasama ekonomi, tetapi Indonesia berusaha untuk menggandeng Korea Utara pimpinan militer Kim Il Sung serta China yang dipimpin Mao Zedong dalam kebijakan konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Memang agresifitas politik Luar Negeri Indonesia tidak bisa diputuskan dari politik Dalam Negeri yang gencar mendengunkan Anti-Nekolim dan lebih mengarah ke Uni Soviet.

Dikutip dalam buku Sejarah Indonesia Modern karangan Ricklef, hal ini juga dilakukan Indonesia dengan Kamboja dan Vietnam. Dalam pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan, Sukarno mengumumkan Poros Jakarta-Phonmpenh-Hanoi-Bejing-Pyongyang yang anti imperialis.

Kedua, Gerakan Non-blok. Atau dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan Non-Aligned Movement (NAM) yang diprakarsai oleh lima negara yaitu Indonesia (Sukarno), Mesir (Gamel Abdel Naser), India (Jawaharlal Nehru), Ghana (Kwame Nukrumah), dan Yugoslavia (Josep Bros Tito).

Melansir Wikipedia, pertemuan pertama dilaksanakan di Beograd yang dihadiri oleh 25 anggota, sebelas dari Asia dan Afrika dan tiga negara sisanya adalah Kuba, Siprus, dan Yugoslavia. Organisasi ini didedikasikan untuk melawan kolonialisme, imperialisme, neo-kolonialisme, apartheid, zionisme, agresi militer, dan semua yang berhubungan dengan kependudukan, interfensi, dan hegemoni negara lain.

Ketiga, Politik Mercusuar adalah salah satu politik yang dijalankan Sukarno pada masa demokrasi terpimpin yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai mercusuar yang menerangi jalan bagi New Emerging Force (Nefo) atau kekuatan yang baru tumbuh di dunia.

Pembangunan pun digencarkan, di antaranya pembuatan jalan, tugu Monas, Stadion Gelora Bung Karno, toko serba ada “Sarinah” di Semanggi, dan menyelenggarakan Game of the New Emerging Force (Ganefo). Semua ini dilakukan untuk menjadikan Indonesia bisa dipandang oleh dunia, seperti dituliskan Cindy Adams dalam biografi yang berjudul “Sukarno Penyambung Lidah Rakyat”.

Itulah yang maksud Hatta dalam istilah “Mendayung Di Antara Dua Karang”. Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan bangsa janganlah dijadikan obyek antara dua kubu yaitu Barat (Liberal) atau Timur (Komunis).

Tetapi Indonesialah yang menjadi subyek yang menentukan karang manakah yang akan dituju atau bahkan untuk memilih jalur tengah dengan tidak bertujuan ke salah satu dari dua karang tersebut, dengan tetap memperhatikan realitas kondisi bangsa yang bertujuan menyejahterakan dan memakmurkan Bangsa Indonesia.

Artikel ini sudah tayang di Pedomanbengkulu.com

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA