Cerai dalam rumah tangga- Keinginan untuk cerai bisa terjadi dalam suatu rumah tangga yang mungkin disebabkan karena adanya berbagai permasalahan dan ujian yang terjadi dalam rumah tangga tersebut. Karena keduanya tidak menemukan jalan keluar, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk cerai sebagai solusi terakhir. Kata “cerai” seringkali mudah untuk diucapkan ketika suatu pasangan suami istri sedang marah. Bahkan, saat marahpun bisa saja seorang suami memukul dan menganiaya istrinya sehingga istrinya itu terluka. Karena seringkali mendapatkan kekerasan dari suami, istripun bisa saja meminta dirinya untuk diceraikan demi kedamaian batin ataupun fisiknya.
Dalam agama, permintaan cerai dari pihak suami maupun pihak istri itu memiliki hukum yang berbeda. Istilah untuk seorang istri yang mengajukan cerai disebut dengan khuluk atau tebus talak. Permasalahan ini, memiliki legalitas hukum yang tercantum dalam Q.S.Al-Baqarah ayat 229.
//pixabay.com/id/illustrations/berpendapat-marah-suami-dan-istri-3767380/
Bagaimana hukum seorang istri yang mengajukan cerai atau khuluk kepada suami?
Pada dasarnya, cerai bukan hanya dilakukan oleh pihak suami, tetapi pihak istri juga memiliki hak yang sama untuk melakukan cerai, tentunya diajukan dengan syariat dan memenuhi persyaratan. Selain itu, keduanya juga harus sama-sama menjalin sebuah kesepakatan mengenai besarnya nominal tebusan, harta gono-gini dan lainnya. Selain itu, pihak istri juga harus ada kesanggupan untuk membayar tebusan yang telah disepakati. Pada umumnya, tebusan yang diajukan tidak boleh lebih dari nominal mahar yang pernah diberikan oleh suaminya pada saat pernikahan.
Hukum khuluk pada dasarnya adalah mubah atau boleh asal memenuhi syarat dengan membayar ganti rugi atau tebusan jika pihak istri itu ternyata membenci suaminya baik karena penampilannya yang jelek, mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga ataupun karena seorang suami yang mengabaikan hukum Allah Swt, misalnya seperti meninggalkan shalat dan ibadah wajib lainnya. Dalam hal ini, justru hukum khuluk bagi seorang istri berubah menjadi wajib. Namun, jika tidak ada alasan sama sekali, lalu tiba-tiba seorang istri meminta cerai kepada suaminya maka hukumnya haram. Sebagaimana sabda Rasulullah bahwa, “Semua wanita yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan, maka haram bagi dirinya untuk mencium aroma surga”.
Apa saja syarat dan rukun khuluk itu?
Jika seorang istri tidak lagi mempunyai jalan keluar lain dalam menghadapi permasalahan rumah tangga dan ia sudah mantap niatnya untuk menggugat suaminya, maka ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak agar niatnya bisa terwujud. Berikut ini syarat dan rukun khuluk yang perlu kita ketahui:
1. Harus ada akad atau ijab dari pihak suami maupun walinya
2. Pihak istri bersedia untuk membayar ganti rugi atau tebusan yang telah disepakati bersama
3. Pihak istri mempunyai hak untuk mengajukan khuluk jika keduanya tersebut masih berstatus suami istri dan belum berpisah
Yang perlu kita ketahui dari syarat dan rukun dalam khuluk, yaitu seseorang yang mengajukan khuluk ini harus bersedia untuk membayar ganti rugi khuluk, minimal sebesar mahar saat pernikahan. Dalam ganti rugi ini, tidak harus berupa harta, namun bisa juga dalam bentuk apapun dengan catatan memiliki nominal yang sama besarnya dengan nominal mahar saat pernikahan.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan agar dalam rumah tangga tidak terjadi khuluk?
Menurut saya, ada baiknya antara pihak suami dan istri bisa dengan mencari ketenangan masing-masing, yaitu dengan pisah ranjang untuk beberapa hari atau bisa juga pihak suami mengajukan talak satu terlebih dahulu. Sehingga ketika hati seorang suami dan istri sudah membaik, bisa untuk sama-sama menyelesaikan permasalahannya dengan merujuk kembali. Tetapi, jika pihak istri ternyata tetap kekeh untuk mengajukan khuluk dan sudah tidak ada jalan keluar lagi, maka apa boleh buat. Saya berpesan kepada diri saya sendiri dan kepada Anda untuk benar-benar mempertimbangkan dalam memutuskan untuk bercerai. Terlebih, jika dalam rumah tangga terdapat perselisihan kecil yang dibesar-besarkan, maka berhati-hatilah agar tidak terucap kata cerai apalagi hanya karena emosi yang sesaat. Jangan sampai mulut kita mengucapkan kata tersebut. Semoga Allah Swt memberikan ketenangan kepada kita semua.
Dalam Aun Al Ma’bud jil. 6 hal. 188 Al Khattabi mengatakan: Para ulama sepakat bahwa lafazh Thalak secara terang-terangan jika diucapkan oleh oleh seorang yang baligh dan berakal maka ucapan tersebut berlaku dan tidak bermanfaat jika ia beralasan hanya main-main, bersenda gurau atau tidak bermaksud thalak.
PARA ULAMA MENYEBUTKAN ADA 4 PERSYARATAN JIKA TERDAPAT PADA SEORANG LAKI-LAKI MAKA SAH-LAH THALAQNYA:
- Seorang suami bukan orang lain
- Sudah baligh
- Berakal
- Pilihannya dengan kemauannya sendiri bukan paksaan, atau hilang akal sebab gila atau tidur.
Cerai yang diucapkan oleh suami dengan marah tetap dihitung. Hakikatnya seorang suami menceraikan isterinya karena marah kepadanya, kecuali jika marahnya sampai kepada derajat hilang kesadaran dan tidak mampu mengendalikan ucapan dan kata-katanya.
LAYAKNYA ORANG GILA ATAU MENDEKATI ORANG GILA.
Maka dalam kondisi tersebut tidak dianggap sah ucapan thalaknya. Namun pemerintah Indonesia berdasarkan Kompilasi Hukum Islam yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama 2015 dalam pasal 115 dikatakan:
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadillan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Maka berdasarkan pasal tersebut ucapan perceraian yang tidak diucapkan di majlis hakim tidak dianggap perceraian yang sah.
Walau demikian ucapan ini harus dihindarkan sejauh mungkin dari kamus rumah tangga kita. Laki-laki yang bijak mampu mengendalikan ucapannya, dan wanita yang cerdas mampu mengendalikan emosinya sehingga tidak mudah meminta cerai dari suaminya.
Rumah tangga seperti ini insya Allah akan menjadi rumah tangga yang berkah, sakinah mawaddah wa rahmah. Maka berdasarkan pertanyaan yang ditanyakan dan juga berdasarkan KHI pasal 115 perceraian tersebut tidak dianggap sah.
Namun walau demikian saran saya bagi Ibu Ifa dan yang berkasus dengan masalah seperti ini: bahwa sebagaimana permulaan pernikahan dicatat di lembaga resmi, maka dalam urusan perceraian hendaknya juga menempuh jalur lembaga resmi. Mahkamah Syariah adalah lembaga yang bertanggung jawab dalam perkara ini.
Apa yang diputuskan dalam mahkamah Syariah itulah yang utama ibu jalankan. Sebab setiap permasalahan ada kondisi tersendiri, dan setiap solusi ada pertimbangannya tersendiri. Wallahu A’lam.