Apa hubungan kisah tersebut dengan sikap ikhtiar

Takdir adalah hukum sebab-akibat yang berlaku secara pasti di bawah pengawasan Allah

Sabtu , 02 May 2020, 23:19 WIB

Republika/Putra M. Akbar

Berdoa termasuk cara ikhtiar dalam menjalani takdir (Ilustrasi)

Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kata takdir berasal dari bahasa Arab, qadara-yuqaddiru-taqdir. Artinya, 'ukuran', 'ketentuan', 'kemampuan', atau 'kepastian.'

Baca Juga

Kata ikhtiar pun berasal dari bahasa Arab. Akar katanya memunculkan khayr, yang berarti 'baik.' Mengutip buku Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, kata ikhtiar lebih tepat diartikan sebagai 'memilih yang lebih baik di antara apa yang ada.'

Bagaimana hubungan antara takdir dan ikhtiar? Sebagai orang Islam, kita meyakini Allah SWT Mahakuasa atas segala sesuatu. Dalam kehidupan di dunia, manusia mengalami banyak kejadian. Ada di antaranya yang tak dapat ditolak. Sebab, memang begitulah hukum kausalnya.

Takdir dapat didefinisikan sebagai hukum sebab-akibat yang berlaku secara pasti di bawah pengawasan Tuhan. Namun, ada pula di antara hal-hal itu yang dapat diupayakan agar dihindari. Di sanalah letak ikhtiar.

Misalnya, ketika seorang Muslim hendak mencari nafkah. Ia dapat berikhtiar menghindari pekerjaan yang haram. Caranya, dengan memilih pekerjaan yang halal serta baik.

Dalam Alquran, ada tiga pokok persoalan tentang takdir. Pertama, takdir Allah berlaku pada fenomena alam. Artinya, hukum yang berlaku objektif sehingga kausalitas alam dapat dipahami dan diperkirakan oleh manusia.

Kedua, sunnatullah. Ini berkaitan dengan hukum sosial yang di dalamnya manusia terlibat. Ketiga, efek takdir yang baru dapat diketahui kelak di akhirat.

Pada poin ini, iman berperan penting agar seseorang dapat memahaminya. Ada enam perkara rukun iman. Salah satunya berkaitan dengan qadha dan qadar.

Manusia yang merupakan bagian dari alam ini dan juga berada di bawah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dalam menjelaskan kemutlakan Tuhan ini, Abu Hasan al-Asy'ary dalam kitab Al-Ibanah an Usul ad-Dinayah ("Uraian tentang Prinsip-Prinsip Agama") menyatakan, Allah SWT tidak tunduk kepada siapapun. Tidak ada zat apa pun di atas Allah yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat oleh Allah dan apa yang tidak boleh dibuat. Memahami takdir adalah menyadari Kemahakuasaan Allah.

  • takdir
  • ikhtiar
  • qadha dan qadar

sumber : Pusat Data Republika

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Ibnu Hajar Al Asqalani dikenal dengan kitab-kitabnya.

Senin , 04 May 2020, 05:38 WIB

Blogspot.com

Ibnu Hajar Al Asqalani (Ilustrasi).

Rep: Nidia Zuraya Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para santri di pondok pesantren tentu tak asing dengan nama Ibnu Hajar al-Asqalani. Ulama ini mengarang sejumlah kitab yang senantiasa dijadikan referensi atau dipelajari di pondok pesantren. Kitab yang dikarangnya antara lain Fath al-Bari, Bulugh al-Maram, Tahdzib al-Tahdzib, dan lainnya.

Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Kinani Al-Asqalani. Namun, ia lebih dikenal dengan Ibnu Hajar Al-Asqalani. Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai seorang ahli hadits. Karyanya yang berjudul Fath al-Bari (Kemenangan Sang Pencipta) merupakan syarah (penjelas atau komentar) atas kitab sahihnya Imam Bukhari. Oleh banyak ulama, karya Ibnu Hajar al-Asqalani tersebut disepakati sebagai kitab penjelasan yang paling detail yang pernah dibuat.

Ibnu Hajar dilahirkan pada tahun 773 Hijriah dan wafat pada tahun 852 Hijriah. Mengenai tempat kelahirannya, ada beberapa pendapat. Ada yang menyebutkan ia dilahirkan di Kota Asqalan, Palestina. Versi lain menyebutkan bahwa ia lahir, besar, dan meninggal dunia di Mesir.Ibnu Hajar digambarkan sebagai sosok yang mempunyai tinggi badan sedang, berkulit putih, muka bercahaya dan berseri-seri, bentuk tubuh indah, lebat jenggotnya, serta pendek kumisnya. Dia juga memiliki pendengaran dan penglihatan yang sangat baik. Giginya tampak kuat dan utuh serta mempunyai fisik yang kekar dan kuat. Di samping itu, ia juga dikenal sangat fasih dalam berbicara, lirih suaranya, cerdas ungkapannya, pandai strateginya, dan pintar dalam bersyair.Dalam buku 60 Biografi Ulama Salaf karya Syekh Ahmad Farid, disebutkan bahwa Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim piatu. Ayahnya meninggal ketika ia berumur empat tahun dan ibunya meninggal dunia ketika ia masih balita. Sepeninggal kedua orang tuanya, ia diasuh oleh kakak tertuanya, Az-Zaki Al-Kharubi.Ketika sang kakak memutuskan berhijrah ke Makkah, Ibnu Hajar turut serta. Saat bermukim di Tanah Suci, Ibnu Hajar dimasukkan ke Al-Maktab (sekolah khusus untuk belajar dan menghafal Alquran). Ia saat itu baru menginjak usia lima tahun. Salah seorang gurunya di Al-Maktab adalah Syamsuddin bin Al-Alaf yang saat itu menjadi gubernur Mesir. Guru lainnya adalah Syamsuddin Al-Athrusy.Akan tetapi, saat menimba ilmu di Al-Maktab, Ibnu Hajar belum berhasil menghafal Alquran. Kemudian, ia belajar oleh seorang fakih (ahli fikih) dan pengajar sejati, yaitu Shadrudin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq As-Safthi Al Muqri’. Kepada ulama inilah, Ibnu Hajar dapat mengkhatamkan hafalan Alquran ketika berumur sembilan tahun.Ketika berumur 12 tahun, ia ditunjuk sebagai imam sholat tarawih di Masjidil Haram. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Ramadhan tahun 785 H. Ketika sang kakak pindah ke Mesir pada 786 H, Ibnu Hajar juga turut serta. Di Mesir, Ibnu Hajar benar-benar berusaha belajar. Dia menghafal beberapa kitab, di antaranya kitab al-Hawi karangan Al-Mawardi dan kitab Mukhtasar karangan Ibnu Hajib.Kendati sudah menimba ilmu di banyak tempat, Ibnu Hajar belum merasa puasa dengan ilmu yang telah diperolehnya. Ia kemudian memutuskan berguru kepada Al-Hafizh Al-Iraqi, seorang syekh besar yang terkenal sebagai ahli fikih dari Mazhab Syafii. Selain menguasai fikih, Syekh Al-Hafizh juga menguasai ilmu tafsir, hadits, dan bahasa Arab.Ibnu Hajar menyertai sang guru selama sepuluh tahun. Dalam masa itu, Ibnu Hajar menyelinginya dengan perjalanan ke Syam, Yaman, dan Hijaz. Di bawah bimbingan Syekh Al-Hafizh, Ibnu Hajar berkembang menjadi seorang ulama sejati dan menjadi orang pertama yang diberi izin oleh gurunya untuk mengajarkan hadis.Setelah sang guru wafat, Ibnu Hajar belajar dengan Nuruddin Al-Haitsami dan Imam Muhibbuddin Muhammad bin Yahya bin Al-Wahdawaih. Melihat keseriusan Ibnu Hajar dalam mempelajari hadis, gurunya ini memberi saran kepada Ibnu Hajar agar mempelajari ilmu fikih. Sebab, sang guru yakin bahwa banyak orang akan membutuhkan ilmu itu. Selain itu, sang guru beralasan bahwa ulama di daerah tersebut akan habis sehingga keberadaan Ibnu Hajar amat diperlukan sebagai penerus para ulama setempat.

Menjadi qadi

Setelah mendapatkan berbagai bidang ilmu pengetahuan, Ibnu Hajar memutuskan untuk kembali ke Mesir dan menetap di sana hingga akhir hayatnya. Selama bermukim di Mesir, ia tercatat pernah menjadi qadi (hakim) selama kurang lebih 21 tahun. Beliau adalah seorang hakim yang menganut Mazhab Syafii.Selain itu, Ibnu Hajar juga menjadi syekh dari para guru hadis dan mengajarkan ilmu fikih di beberapa tempat di negeri Mesir. Ia juga kerap diminta naik mimbar sebagai khatib di Masjid Amru bin Ash dan Masjid Al-Azhar.Ibnu Hajar mengundurkan diri dari jabatannya sebagai seorang qadi begitu terpilih untuk yang keenam kalinya pada tahun 852 H. Tak lama berselang, ia jatuh sakit di rumahnya. Ketika tengah sakit hingga membawanya kepada kematian, Ibnu Hajar berkata, Ya, Allah, bolehlah Engkau tidak memberikanku kesehatan, tetapi janganlah Engkau tidak memberikanku pengampunan.”Pada malam Sabtu, 28 Dzulhijjah, berselang dua jam setelah shalat Isya, orang-orang dan para sahabatnya berkerumun di dekat Ibnu Hajar untuk membacakan surah Yasin. Ketika sampai ayat ke-58, keluarlah roh dari jasadnya.Berita wafatnya sang ulama ini menimbulkan luka mendalam bagi warga. Mereka menganggap, hari itu merupakan hari musibah yang sangat besar.Orang-orang menangisi kepergiannya sampai-sampai orang non-Muslim pun ikut meratapi kematian beliau. Pada hari itu, pasar-pasar ditutup demi menyertai kepergiannya. Para pelayat yang datang pun sampai-sampai tidak dapat dihitung. Semua para pembesar saat itu datang melayat.

Baca Juga

  • ibnu hajar al asqalani
  • ibnu hajar
  • biografi ibnu hajar
  • kitab bulugh al maram

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

tirto.id - Optimis, ikhtiar, dan tawakal merupakan rangkaian sikap yang perlu dilakukan oleh setiap orang dalam menapaki cita-cita yang hendak diwujudkannya.

Setiap manusia akan memperoleh ujian dari Allah. Bagi setiap muslim, ujian menjadi bentuk kasih sayang Allah untuk meningkatkan derajat ketakwaannya.

Oleh sebab itu, di saat mendapatkan ujian, seorang muslim tidak disarankan untuk menyerah pada keadaan dan senantiasa optimis dalam berusaha, serta melibatkan kehadiran Allah untuk memperoleh hasil terbaik.

Hanya saja, kadang musibah datang bertubi-tubi. Sesekali musibah ini berlangsung dalam jangka panjang. Hal tersebut kadang membuat seseorang putus asa dan seolah semua usahanya sia-sia.

Bagi muslim justru sikap yang harus diambil adalah sebaliknya. Sikap optimis, ikhtiar, dan tawakal mesti dibangun sekaligus agar tidak sampai berputus asa dan tetap memiliki harapan atas izin Allah.

1. Optimis

Mengutip laman MUI, optimis merupakan sikap untuk terus berjuang secara sungguh-sungguh sampai akhir.

Orang yang senantiasa optimis, akan memandang berbagai hal dengan pandangan positif. Lawan dari sikap optimis adalah pesimis yang membuat seseorang sering berprasangka buruk.

Contoh sikap optimis yaitu memiliki keyakinan bahwa seseorang dapat melalui berbagai masalah yang menghadangnya.

Misalnya saat seorang siswa memperoleh nilai jelek pada sebuah mata pelajaran, dia dapat mengembangkan optimismenya dengan berkeyakinan akan memperoleh nilai baik pada tes selanjutnya dengan usaha berupa lebih tekun belajar.

Sikap optimis telah dianjurkan bagi setiap muslim. Sebuah hadits telah membicarakan tentang sikap ini.

“Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: 'Tidak ada rasa tiyarah (firasat buruk dan kesialan), dan yang lebih baik dari itu adalah rasa optimis.' Maka ditanyakanlah kepada beliau: 'Apa yang dimaksud dengan rasa optimis?' Beliau bersabda: 'Yaitu kalimat baik yang sering didengar oleh salah seorang dari kalian.'" (HR Ahmad)

2. Ikhtiar

Ikhtiar adalah berusaha dengan sunguh-sungguh dalam menggapai harapan, keingian, atau cita-cita.

Ikhtiar menjadi pelengkap dari sikap optimis. Hanya dengan optimis saja tidaklah cukup, karena bagi seseorang untuk bisa mendapatkan apa yang diinginkan diperlukan ikhtiar.

Contoh ikhtiar seperti Orang yang ingin pandai harus rajin belajar. Atau, saat seseorang ingin hidup berkecukupan maka mesti berusaha dengan rajin bekerja.

Dikutip dari buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Kelas IX (2014), usaha-usaha adalah bagian penting yang mesti dilakukan setiap orang.

Dan, bagi orang Islam, dalam berusaha hendaknya diikuti dengan doa kepada Allah agar tujuan ikhtiarnya terwujud.

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (QS. Al Baqarah: 186).

3. Tawakal

Apabila sikap optimis dan ikhtiar sudah dilakukan, maka langkah terakhir adalah tawakal. Tawakal yaitu berserah diri pada Allah atas usaha-usaha yang sudah dilakukan dengan sungguh-sungguh dan berdoa.

Bagaimana pun juga manusia hanya bisa merencanakan dan mengambil tindakan agar keberhasilan yang diimpikannya terwujud. Namun, tetap saja penentu berhasil tidaknya usaha adalah atas izin Allah.

Contoh dari tawakal seperti seorang ayah bekerja keras agar keluarga mereka mendapatkan penghidupan yang layak.

Namun sang ayah bertawakal kepada Allah terkait seberapa besar banyaknya rezeki yang akan diberikan oleh Allah. Dia meyakini bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Pemberi Rezeki,, Maha Pemurah, dan Maha Kaya.

Baca juga:

  • Ayat Al Quran Tentang Kejujuran: Sikap Siddiq di Al Ahzab-At Taubah
  • Putus Asa dalam Islam: Pengertian, Ciri-ciri, & Dampak Negatifnya
  • Arti Suudzon dalam Islam: Contoh Perilaku dan Macam-macamnya

Baca juga artikel terkait OPTIMISME atau tulisan menarik lainnya Ilham Choirul Anwar
(tirto.id - ica/tha)


Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Dhita Koesno
Kontributor: Ilham Choirul Anwar

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA