Apa dampak pernikahan Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani?

Koran Sulindo – Jelas butuh jiwa besar ketika akhirnya Samaratungga merelakan Pramodhawardani, putri semata wayangnya disunting Mpu Manuku yang menjadi rakai di Pikatan. Pilihan itu menyangkut soal maha genting yakni kelanjutan tahta Medang.

Di dalam Prasasti Kayumwungan disebut Pramodhawardani meresmikan Jinalaya bertingkat-tingkat yang sangat indah yang dikenal sebagai Kamulan Bhumisambhara nama asli Candi Borobudur.

Pramodhawardani juga disebut sebagai Sri Kahulungan oleh Prasasti Tri Tepusan ketika membebaskan pajak bagi pemeliharaan Bhumisambhara itu. Tak langsung ia adalah Maharani di Jawa yang mewakili ayahnya, Samaratungga.

Tak semata soal Pramodhawardani yang bakal menjadi pewaris tahta Medang, pernikahan itu jelas menabrak kelaziman karena keduanya menganut keyakinan yang berbeda.

Pramodhawardhani dan keluarganya adalah pemeluk Buddha aliran Mahayana, sementara di sisi lain Rakai Pikatan adalah penganut Hindu.

Tak cuma berbeda keyakinan, keduanya juga berasal dari dua wangsa berbeda yang bersaing sengit, bahkan sejak pertama kali Medang ring Bhumi Mataram didirikan Sanjaya.

Sementara Pramodhawardani merupakan keturunan Sailendra, Rakai Pikatan adalah pangeran dari Wangsa Sanjaya yang kalah berebut pengaruh dengan Sailendra.

Soal jiwa besar tak semata-mata dipunyai Samaratungga karena Rakai Pikatan juga tak kurangnya dalam berlapang dada. Sebagai keturunan Sanjaya, jelas tak mudah baginya mengabdi pada dinasti yang telah menyingkirkan leluhurnya.

Satu hal yang pasti, baik Samaratungga maupun Rakai Pikatain sampai kesadaran bahwa terus menerus bersaing dan berperang hanya akan memastikan satu hal yakni kehancuran.

Ketika akhirnya Samaratungga turun tahta di tahun 833 dan singgasana Medang diwariskan ke Pramodhawardani yang memerintah didampingi suaminya Rakai Pikatan.

Jelas, pernikahan politik itu merupakan langkah visioner Samaratungga untuk meredakan silang sekarut pertikaian kekuasaan di Medang.

Di sisi lain meski keberadaan Wangsa Sanjaya ditolak beberapa sejarawan seperti Poerbatjaraka, pertikaian sengit berebut pengaruh di Jawa bukannya tak terjadi.

Poerbatjaraka menyebut Wangsa Sanjaya tak pernah ada karena Sanjaya sebagai pendiri wangsa tersebut justru merupakan anggota Wangsa Sailendra.  Sailendra sendiri bermakna ‘penguasa gunung’ yang lazim digunakan untuk penyebutan Siwa.

Pendapat itu didukung Slamet Muljana. Ia meluruskan Prasasti Mantyasih yang dianggap Dr. Bosch dalam Sriwijaya, de Sailendrawamsa en de Sanjayawamsa sebagai dianggap daftar raja Wangsa Sanjaya sebenarnya merupakan daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang.

Berdampingan

Seperti yang dibayangkannya Samaratungga, pada akhirnya perkawinan itu bepengaruh langsung pada perdamaian dan kesadaran saling pengertian antara penganut Buddha dan Hindu di Jawa masa itu.

Prasasti Plaosan menyebut dari perkawinan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani itu lahir Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala seperti yang disebut dalam Prasasti Wantil.

Prasasti tersebut juga menjelaskan bahwa Rakai Pikatan membangun ibu kota baru di Mamrati dengan istana bernama Mamaratipura sebagai pengganti ibu kota yang lama di Mataram.

Disebut juga Rakai Pikatan mengundurkan diri menjadi brahmana dengan gelar Sang Jatiningrat sementara tahta dilanjutkan oleh putra bungsunya Dyah Lokapala. Ia menjadi raja menggantikan ayahnya setelah berjasa menumpas kraman Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yang berkubu di bukit-bukit sekitar situs Ratu Baka.

Pada masa pemerintahnnya, Pramodhawardani juga mengizinkan suaminya Rakai Pikatan membangun candi-candi Hindu di wilayah Medang termasuk Siwagrha atau Siwalaya yang belakangan lebih dikenal sebagai Candi Prambanan.

Candi itu menjadi kompleks percandian terbesar dan termegah yang pernah dibangun penganut Hindu.

Di sisi lain, Siwagrha sekaligus menjadi pengimbang bagi umat Buddha yang sebelumnya telah memiliki candi-candi megah seperti Candi Borobudur dan Candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan.

Sejarawan menyepakati pembangunan Prambanan digunakan untuk menunjukkan kembalinya kekuasaan Sanjaya di Jawa sekaligus membuktikan bahwa ajaran Hindu kembali mendapat dukungan keluarga kerajaan.

Dibangun kali pertama tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan, Siwagrha kemudian dilanjutkan penerusnya Dyah Lokapala dan raja Balitung Maha Sambu serta terus disempurnakan dan diperluas oleh Daksa dan Tulodong dengan membangun ratusan candi-candi perwara di sekitar candi utama.

Karena kemegahannya, Siwagrha berfungsi sebagai candi utama di Medang sekaligus tempat digelarnya berbagai upacara penting kerajaan.

Di puncak kejayaannya, sementara pusat kerajaan Medang terletak di suatu tempat di sekitar Prambanan di Dataran Kewu. Siwagrha menjadi tempat bagi ratusan pendeta brahmana dan murid-muridnya mempelajari kitab Weda sekaligus melaksanakan berbagai ritual Hindu.

Rakai Pikatan juga diketahui membantu membantu pembangunan candi-candi bagi penganut Buddha. Keadaan itu menunjukkan betapa penganut kedua agama berbeda itu bisa berdampingan dengan damai.

Di Plaosan candi bahkan didirikan secara gotong-royong antara para penganut agama Buddha dengan orang-orang beragama Hindu.

Ya, jauh sebelum masyarakat mengenal kata toleransi sebagai istilah generik dari penghargaan pada keragamanan, orang-orang Medang telah mempraktikan toleransi itu dalam ‘laku’.[TGU]

Advertising

Advertising

JATIMTIMES - Candi Borobudur belakangan ramai diperbincangkan. Hal itu karena pemerinta merencanakan kenaikan harga tiket menjadi Rp 750 ribu. 

Namun, kini rencana tersebut ditunda setelah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan bertemu.

Berbicara soal Candi Borobudur, banyak kisah menarik di baliknya yang perlu diketahui.  Salah satunya yaitu tentang kisah Pramodawardhani yang merupakan putri mahkota Wangsa Sailendra. Kala itu, Pramodawardhani menjadi permaisuri Rakai Pikatan, raja keenam Kerajaan Medang periode Jawa Tengah sekitar tahun 840.

Nama Pramodawardhani ditemukan dalam Prasasti Kayumwungan tanggal 26 Maret 824 sebagai putri Maharaja Samaratungga. Menurut prasasti tersebut, maharaja meresmikan sebuah bangunan Jinalaya bertingkat-tingkat yang sangat indah.  Bangunan itu  ditafsirkan sebagai Candi Borobudur. 

Sementara, Prasasti Tri Tepusan tanggal 11 November 842 menyebutkan adanya tokoh bergelar Sri Kahulunan yang membebaskan pajak beberapa desa agar penduduknya ikut serta merawat Kamulan Bhumisambhara (nama asli Candi Borobudur). 

Sejarawan Dr De Casparis menafsirkan istilah Sri Kahulunan dengan 'permaisuri', yaitu Pramodawardhani. Sebab, kala itu Rakai Pikatan diperkirakan sudah menjadi raja.

Pendapat lain disampaikan Drs  Boechari yang menafsirkan Sri Kahulunan sebagai ibu suri. Misalnya, dalam Mahabharata, tokoh Yudhisthira memanggil ibunya, yaitu Kunti, dengan sebutan Sri Kahulunan. 

Jadi, menurut versi ini, tokoh Sri Kahulunan bukanlah sosok Pramodawardhani, melainkan ibunya, yaitu istri Samaratungga. 

Rakai Pikatan sendiri merupakan raja keenam Kerajaan Medang menurut Prasasti Mantyasih. Dari Prasasti Wantil, diketahui bahwa Rakai Pikatan menganut agama Hindu Siwa dan menikah dengan seorang putri beragama Buddha. Mayoritas sejarawan sepakat bahwa putri yang dimaksud adalah Pramodawardhani.

Perkawinan Pramodhawardani dengan Rakai Pikatan disebut-sebut sebagai momen bersatunya dua keluarga besar yang sebelumnya berseteru. Penyatuan dua wangsa tersebut tentu berdampak positif terhadap toleransi beragama antara pemeluk Buddha dan Hindu di Jawa kala itu. 

Seperti diketahui, saat itu agama Buddha masih lebih dominan pada dekade awal abad ke-7. Salah satu buktinya adalah Candi Borobudur. 

Kompleks candi besar di kawasan yang kini termasuk wilayah Kabupaten Magelang itu dibangun pada era Samaratungga. Namun, yang meresmikan Borobudur adalah putrinya, Pramodhawardani, pada tahun 824 M. 

Setelah Pramodhawardani resmi bertakhta sejak 833 M, didampingi Rakai Pikatan, nuansa toleransi beragama semakin terasa. Pramodhawardani lantas mengizinkan sang suami merintis dibangunnya candi-candi Hindu di wilayah kekuasaan kerajaannya. 

Sebaliknya, Rakai Pikatan pun tidak segan membantu pendirian candi-candi umat Buddha (Sukamto, Perjumpaan Antarpemeluk Agama di Nusantara, 2015: 146). Bahkan, ia menyumbang pembangunan candi-candhi Buddha, termasuk di wilayah Plaosan, dekat Prambanan. 

Candi-candi di Plaosan yang diperuntukkan bagi pemeluk Buddha itu didirikan secara gotong-royong antara para penganut agama Buddha dengan orang-orang beragama Hindu. Situasi tersebut lantas menunjukkan betapa padu dan damainya pemeluk dua agama berbeda di bawah naungan Pramodhawardani sebagai ratu Mataram (Kuno) saat itu.

Kemudian, Rakai Pikatan turun takhta menjadi brahmana bergelar Sang Jatiningrat pada tahun 856. Takhta Kerajaan Medang lalu dipegang oleh putra bungsunya, yaitu Dyah Lokapala alias Rakai Kayuwangi. 

Penunjukan putra bungsu sebagai maharaja ini kiranya berdasarkan  jasa mengalahkan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni, sang pemberontak. Hal itu menyebabkan ketidakpuasan karena kelak muncul Prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi. 

Sayangnya nama ini tidak terdapat dalam daftar raja di  Prasasti Mantyasih. Sehingga bisa diperkirakan pada akhir pemerintahan Rakai Kayuwangi, telah terjadi perpecahan kerajaan.

Nama Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan Dyah Ranu kemudian ditemukan dalam Prasasti Plaosan setelah Rakai Pikatan. Hal itu terjadi karena mungkin mereka adalah anak dari Rakai Pikatan.  Atau mungkin juga hubungan antara Dyah Ranu dan Dyah Saladu adalah suami istri. 

Pada tahun 807 Mpu Manuku sudah menjadi pejabat, yaitu sebagai Rakai Patapan.  Ia lalu turun takhta menjadi brahmana pada tahun 856. Mungkin saat itu usianya sudah di atas 70 tahun. Setelah meninggal dunia, Sang Jatiningrat dimakamkan atau didharmakan di Desa Pastika.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA