4 Alasan mengapa diperlukan penegakan hukum yang berkeadilan

19 Okt 2017 07:10:09 WIB | Kategori: Kelembagaan | Tags: Anggota KY Hukum Komisi Yudisial RI Penghubung Sosialisasi | Dibaca: 243946 kali


Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus di hadapan para peserta Lokakarya Pemahaman Masyarakat terhadap Dugaan Pelanggaran KEPPH di Semarang, Rabu (18/10).


Semarang (Komisi Yudisial) - Tujuan utama penegakan hukum adalah untuk mewujudkan adanya rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam masyarakat. Dalam proses tersebut, maka harus mencerminkan aspek kepastian dan ketertiban hukum.

Hal itu disampaikan Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus di hadapan para peserta Lokakarya Pemahaman Masyarakat terhadap Dugaan Pelanggaran KEPPH di Semarang, Rabu (18/10).

Jaja menjelaskan lebih lanjut lima hal yang menjadi tujuan penegakan hukum. Pertama, mengubah pola pikir masyarakat. Kedua, pengembangan budaya hukum. Ketiga, jaminan kepastian hukum. Keempat, pemberdayaan hukum. Terakhir, pemenuhan keadilan.

"Oleh karena itu, penegakan hukum harus dilakukan secara top down, dari penegak hukum kepada masyarakat," urai Jaja.

Dalam penegakan hukum, Komisi Yudisial (KY) yang merupakan lembaga hasil bentukan reformasi memainkan peranan penting. Sebagai penegak etika bagi para hakim, KY berfungsi sebagai checks and balances kekuasaan kehakiman dan untuk menghindari terjadinya "abuse of power". 

Selain itu, lanjut Jaja, KY juga berfungsi sebagai katalisator, yaitu mendekatkan masyarakat pencari keadilan dalam mendapatkan keadilan melalui peradilan bersih, transparan, independen dan berkeadilan.

"KY juga berfungsi sebagai penegak etik, yaitu menjaga Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dan mengembangkan kode etik bagi penyelenggara negara," pungkas Jaja.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Biro Pengawasan Perilaku Hakim KMS Abdul Roni menjelaskan tentang laporan pengaduan masyarakat terkait dugaan pelanggaran KEPPH. Menurutnya, antusias masyarakat untuk melaporkan dugaan pelanggaran KEPPH oleh hakim semakin meningkat. Hal itu dibuktikan dengan meningkatnya laporan pengaduan masyarakat kepada KY setiap.tahunnya. Namun, dari banyak laporan tersebut tidak semuanya dapat ditindaklanjuti.

Menurut KMS A. Rony, penyebab laporan tidak dapat ditindaklanjuti kerena rendahnya kualitas laporan tersebut. Tidak semua masyarakat telah mengetahui siapa saja yang dapat dilaporkan ke KY.

"Untuk meningkatkan kualitas laporan masyarakat tersebut, maka KY mengadakan lokakarya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap dugaan pelanggaran KEPPH", jelasnya. (KY/Eka Putra/Festy)

MEWUJUDKAN NEGARA HUKUM YANG BERKEADILAN

I.  PENDAHULUAN

Tujuan mendirikan negara adalah agar tercipta kesejahteraan masyarakat yang oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara merumuskannya dalam peraturan perundang-undangan yang responsif, aspiratif dan progresif sesuai dengan kepentingan masyarakat. Undang-undang responsif, aspiratif dan progresif itu semakin memasyarakat ketika penegak hukum khususnya hakim sebagai ujung tombak dalam penegakkan hukum (law enforcement) dalam penyelesaian perkara tidak semata-mata terfokus kepada kepastian hukum (rechtsvaardigheit), tetapi juga mengedepankan nilai-nilai keadilan yang hidup, tumbuh dan berkembang di masyarakat.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Artinya bahwa Indonesia wajib menjunjung tinggi hukum dan menjadikan hukum sebagia panglima dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara konstitusi, negara wajib menegakkan hukum untuk kesejahteraan masyarakat. Negara bertanggungjawab atas terselenggaranya penegakkan hukum yang ideal yang mememnuhi rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.

Disamping kepastian dan keadilan hukum juga berfungsi untuk kesejahteraan hidup manusia atau memberikan kemanfaatan kepada masyarakat. Sehingga boleh dikatakan bahwa hukum adalah sebagai medan dan perjuangan manusia dalam konteks mencari kebahagiaan hidup.[1]

Namun didalam realita kehidupan masyarakat, hukum mengalami sebuah masalah krusial atau bisa dikatakan sedang mengalami penyakit pada tahap kronis, sehingga yang mengaburkan makna dari hukum tersebut. hukum hanya dijadikan alat untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu dan hukum dijadikan sebuah alat untuk melegalkan tindakan-tindakan yang menistakan nilai-nilai keadilan di tengah-tengah masyarakat. Hukum hanya dijadikan alat bukan tujuan, atau mungkin para penegak hukum hanya memandang hukum sama dengan peraturan perundang-undangan tertulis, sedang disanubari masyarakat ada hukum yang tidak tertulis yang mereka sepakati.

Jika kita melihat, hukum dan keadilan pada hakikatnya merupakan dua buah sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Hukum bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan keadilan tanpa hukum adalah suatu yang tidak memungkinkan. Namun untuk mendapatkan keadilan, para pencari keadilan harus melalui prosedur-prosedur yang tidak adil, sehingga hukum menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat. Hukum bukan lagi membahagiakan masyarakat tetapi malah menyengsarakan masyarakat. Hukum gagal memberikan keadilan di tengah masyarakat. Supremasi hukum yang selama ini didengungkan hanyalah sebagai tanda tanpa makna. Teks-teks hukum hanya permainan bahasa yang cenderung menipu dan mengecewakan.

Perwujudan keadilan sosial yang dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan suatu pemahaman bahwa keadilan sosial merupakan bagian dari tujuan hukum nasional Indonesia. Namun pergantian rezim pemerintahan di Indonesia dari rezim orde baru kepada rezim reformasi, tujuan negara Indonesia dalam bidang hukum yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 masih belum terwujud.

Rasa kepuasan masyarakat terhadap hukum dan penegakkan hukum bukannya semakin meningkat melainkan semakin menunjukkan tingkatan yang rendah. Rasa kepuasan yang rendah terhadap hukum dapat dibuktikan melalui kasus pencurian sandal yang di vonis bersalah dan dijatuhi hukuman oleh hakim berdasarkan Pasal 362 KUHP yang merupakan produk Hindia Belanda yang sampai dengan sekarang masih diberlakukan.

Rendahnya rasa kepuasaan masyarakat terhadap hukum dan penegakkan hukum juga diperparah dengan kultur ketaatan masyarakat terhadap hukum yang juga semakin rendah. Buktinya pada hari Kamis, tanggal 4 Oktober 2013, masyarakat Indonesia dikagetkan dengan tertangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Prof. DR. Muhammad Akil Mochtar, S.H., M.H. karena diduga terlibat tindak pidana korupsi. Kasus ini ramai diberitakan dan dibicarakan dalam setiap kalangan masyarakat baik kalangan masyarakat awam hukum, apalagi teoritisi dan praktisi hukum, sebab pelakunya adalah seorang pemimpin tertinggi Mahkamah Konstitusi yang tidak lain adalah benteng terakhir terwujudnya tujuan hukum konstitusi di Indonesia. Selain itu masih banyak kasus-kasus lain yang melibatkan pejabat negara dan pejabat-pejabat pemerintahan daerah yang semakin memperburuk kondisi hukum di Indonesia

II.  RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian diatas, maka persoalan pokok yang ingin dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimanakah cara untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang berkeadlian?

III. PEMBAHASAN

1. Konsep keadilan

Teori-teori hukum alam sejak Socrates tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori hukum alam mengutamakan the search of justice.[2] Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu disebut teori keadilan Aristoteles dan teori keadilan sosial John Rawl.

 2. Teori Keadilan Aristoteles

Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nichomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan.[3] Yang sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan.

Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya.

Lebih lanjut Aristoteles membedakan keadilan menjadi keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan distributive dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidak setaraan yang disebabkan oleh misalnya pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.

Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan pembuktian matematis jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain yang berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya yakni nilainya bagi masyarakat.[4]

Disisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan, jika suatu kejahatan telah dilakukan maka hukuman yang sepantasnya diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya kesetaraan yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini Nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.[5]

3. Keadilan Sosial menurut John Rawls

John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung.

Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat, dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus.

Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang kurang beruntung dalam masyarakat.

Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa program penegakkan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan yaitu pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.[6]

4. Mewujudkan Indonesia sebagai Negara Hukum yang Berkeadilan

Sejak awal peradaban manusia, masalah keadilan merupakan masalah yang selalu dituntutkan. Sehingga seluruh umat manusia umumnya mendambakan keadilan hadir dalam kehidupannya. Keadilan mulai muncul bersamaan dengan munculnya konsep keadilan yang sangat banyak.

Karena masing-masing konsep memiliki plus minusnya, bahkan ada beberapa konsep yang banyak minusnya, maka dalam penerapan keadilan ini pun ditanggapi banyak pihak dengan nada skeptik, terutama dalam hal penegakan hukum, sebab ada anaggapan bahwa keadilan hanya milik orang tertentu saja atau dapat dikatakan hukum hanya berpihak terhadap orang yang memiliki kekuasaan dan orang kaya.

Berbicara sistem peradilan, tidak lepas dengan teorinya kekuasaan kehakiman menurut John Locke dan Montesquieu yang menyatakan kekuasaan kehakiman harus terpisah dari kekuasaan yang lain. Pemisahan kekuasaan dimaksudkan mencegah kesewenang-wenangan dan menjamin kekuasaan kehakiman yang independen (baik secara politis, administratif, struktural, maupun personal) sesuai dengan prinsip negara hukum.

Rasio lainnya adalah dengan adanya pemisahan kekuasaan, diharapkan akan terwujud kebebasan para penegak hukum untuk menegakkan keadilan, karena suatu persengketaan atau permasalahan harus diselesaikan dengan nilai-nilai filosofis humanis religious. Untuk negara Indonesia, nilai-nilai tersebut sudah ada cerminnya yaitu Pancasila. Dari cermin itulah seharusnya para penegak hukum atau aparat di lembaga kekuasaan kehakiman bercermin ketika menegakkan keadilan. Akan tetapi yang terjadi adalah para aparatur penegak hukum dalam menjalankan fungsi sistem peradilan justru tidak mau berkaca pada Pancasila tersebut, bahkan memalingkan diri dari nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila.

Konsep keadilan di Indonesia adalah berasaskan keadilan sosial sebagaimana tertuang dalam Sila Kelima dari Pancasila. Dipertegas lagi dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “……terbentuknya dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratanperwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. selanjutnya, dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Konsep tersebut menyiratkan bahwa adanya kesadaran penuh, agar keadilan sosial harus dilaksanakan dalam masyarakat sepenuhnya. Akan tetapi dalam kenyataannya hakekat keadilan sosial kurang dipahami arti serta isinya, sehingga cita-cita masyarakat yang adil dan makmur itu masih jauh dari harapan semua orang di Indonesia, khususnya para pencari keadilan.

Mohammad Hatta senantiasa mengemukakan Pancasila terdiri dari dua lapis fundamental, yaitu: a. fundamen politik; b. fundamen moral (etik agama). Negara dan pemerintahannya akan memperoleh dasar yang kokoh dan memerintahkan berbuat benar apabila meletakkan dasar moral di atas. Dengan politik pemerintahan yang berpegang kepada moral yang tinggi diciptakan tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[7] Selanjutnya dikatakan bahwa: Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa enjadi dasar yang memimpin cita-cita negara kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik. Sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktek hidup daripada dasar yang memimpin tadi. Dasar kemanusiaan yang adil dan beradab harus menyusul, berangkaian dengan dasar yang pertama. Letaknya tidak dapat dipisah dari itu, sebab dia harus dipandang sebagai kelanjutan ke dalam praktek hidup daripada cita-cita dan amal Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kaitannya Pancasila dengan penegakkan hukum yang berkeadilan, penulis spendapat dengan Sudjito yang menyatakan bahwa sebenarnya konsep negara hukum Indonesia merupakan perpaduan 3 (tiga) unsur yaitu Pancasila, hukum nasional dan tujuan negara. Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan utuh. Pancasila merupakan dasar pembentukan hukum nasional. Hukum nasional disusun sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara. Tidak ada artinya hukum nasional disusun apabila tidak mampu mengantarkan bangsa Indonesia menacpai kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam naungan ridha Illahi.[8] Dengan demikian, konsep penegakkan hukum di Indonesia yang berdasarkan “keadlian” dan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pun wajib hukumnya mengacu pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Bobroknya proses penegakkan hukum di Indonesia adalah indikator bahwa hukum di Indonesia telah gagal membawa keadilan bagi masyarakat. Pengadilan sebagai representasi dari penegakkan hukum seringkali membawa kekecewaan bagi masyarakat. Hakim melalui putusan-putusannya yang diharapkan mampu membawa keadilan justru melukai hati masyarkat sehingga menimbulkan rasa tidak ketidakpercayaan terhadap lembaga peradilan. Akhir-akhir ini hampir semua penegak hukum terkena masalah hukum. Adanya mafia peradilan menunjukkan bahwa hukum kita tidak didasari dengan Pancasila melainkan didasari dengan kepentingan semata. Para oknum penegak hukum kita seolah jadi mata rantai yang saling berkaitan untuk memuaskan nafsu duniawi belaka. Mulai dari kasus advokat senior Prof. DR. OC. Kaligis, S.H., M.H., kepala unit di Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri AKBP Pol. Brotoseno, Jaksa di Kejaksaan Tinggi Surabaya Ahmad Fauzi, Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara Rohadi, dan Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi Medan Kemas Ahmad Jauhari. Hampir semua pihak penegak hukum terlibat dalam mafia peradilan yang mengakibatkan roda penegakkan hukum tidak berjalan. Keadilan hanya identik milik penguasa, sementara masyarakat kecil sangat jauh bahkan terlalu tabu untuk merasakan keadilan tersebut.

Jika proses penegakkan hukum di Indonesia berjalan sesuai dengan Pancasila maka tujuan hukum yaitu keadilan pasti akan tercapai. Namun hal itu sangat jauh di angan. Buruknya mental para penegak hukum kita membuat tujuan hukum sangat sulit tercapai. Perlu pembaharuan yang komperehensif agar ada perubahan dari paradigma yang telah tertanam di pemikiran para penegak hukum.

Permasalahan kenapa proses penegakkan hukum kita tidak berjalan dengan benar sebenarnya adalah karena hukum kita bisa di beli. Money oriented menjadi tujuan dari hukum kita. Setiap tahap dalam proses penegakkan hukum mengeluarkan biaya, sehingga jika kita tidak mampu mempunyai biaya maka kita tidak akan merasakan “keadilan”. Karakterisitik pemidanaan yang kurang tegas mengakibatkan tidak adanya efek jera untuk para penegak hukum yang lain. Selan itu, budaya korupsi dan hedonisme sudah sangat mengakar dan sangat sulit untuk dihilangkan. Perlu terobosan yang sangat luar biasa untuk membenahi seluruh aspek penegakkan hukum di Indonesia.

Bisa ditarik kesimpulan bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang berkeadilan sosial adalah dengan memperbaiki proses penegakkan hukum. Penegakkan hukum di Indonesia harus bersih dan bebas korupsi. Jika penegakkan hukum di Indonesia bersih, maka tidak akan ada lagi istilah hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, karena hukum akan memandang semua orang sama derajatnya di mata hukum (equality before the law) sebagaimana teori keadilan Aristoteles.

Mungkin kita perlu mencontoh proses pemberantasan korupsi di Hongkong. Hongkong sebelum tahun 1977-an merupakan negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia. Hampir seluruh penegak hukum korupsi. Para penjahat berlindung di balik aparat kepolisian, sehingga hukum tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan. Ketika itu Hongkong memecat seluruh aparat penegak hukumnya dan diganti dengan aparat penegak hukum sewaan dari luar negeri. Kemudian mereka melakukan seleksi ulang dengan ketat. Pemberantasan korupsi di Hongkong pun tidak tebang pilih. Baik besar maupun kecil semua ditindak sampai tuntas. Hal inilah yang membuat  orang berpikir untuk korupsi. Akhirnya sekarang Hongkong masuk dalam 20 negara terbersih dari korupsi.

Kita memilik lembaga anti rusuah, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Walaupun kita tahu bahwa kinerja dari KPK belum maksimal, tapi sedikit banyak hadirnya KPK menjadi angin segar bagi para masyarakat yang telah lama menginginkan keadilan. Begitupun sebaliknya, KPK ditakuti oleh para koruptor. Perlu peningkatan secara Sumber Daya Manusia dan finansialnya serta profesionalitas  agar KPK dapat bekerja secara maksimal. Yang paling dinantikan adalah kehadiran KPK di daerah-daerah. Dengan adanya KPK di daerah-daerah, sedikit banyak akan mengurangi aktivitas korupsi. Mungkin kita bisa menyaksikan beberapa waktu lalu. Masyarakat di gemparkan dengan di tangkapnya oknum-oknum penegak hukum yang menerima suap untuk meringankan atau menunda hukuman. Tapi selama ini aktivitas KPK gencar hanya di ibukota saja. Praktek mafia-mafia peradilan di daerah-daerah luput dari pengamatan. Setidaknya dengan keberadaan KPK di daerah akan membuat para penegak hukum akan jujur dan tidak memanfaatkan jabatannya untuk memperjualbelikan hukum

Selain tindakan, perlu juga adanya pencegahan. Sekarang telah ada Tim Saber Pungli yang sudah menunjukkan aksinya dalam pemberantasan pungli. Harapannya, keberadaan Tim Saber Pungli tidak hanya sesaat, tetapi terus meningkat agar budaya pungli yang ada dapat dikurangi bahkan dihilangkan. Selain pencegahan, perlu juga adanya pendidikan. Dengan memasukkan pendidikan anti korupsi mulai dari tingkat Sekolah Menengah, diharapkan akan menanamkan rasa anti korupsi di para calon penerus bangsa. Jadi kedepan bukan hanya membentuk pola pikir takut melakukan korupsi karena dipenjara, melainkan malu melakukan korupsi.

Memang korupsi telah semacam menjadi budaya. Hal inilah yang harus dirubah secara perlahan-lahan. Peningkatan taraf hidup mungkin perlu dilakukan. Tetapi, selain peningkatan taraf hidup, pemberian hukuman untuk kasus korupsi perlu juga ditingkatkan agar memberi efek jera. Disinilah tugas para legislatif dan eksekutif. Perlu dilakukan revisi terhadap undang-undang tindak pidana korupsi dengan menambahkan sanksi yang berat.

Jika kita bisa menghilangkan budaya korupsi para penegak hukum, proses penegakkan hukum pasti akan berjalan dengan lancar. Tujuan dari hukum yaitu keadilan pun akan terlaksana. Proses penegakkan hukum yang bersih, akan membuat para pencari keadilan lebih merasakan arti negara hukum yang diamanatkan oleh konstitusi. Untuk mendapat keadilan tidak lagi perlu mengeluarkan biaya yang mahal, tapi mendapat keadilan sudah menjadi hak tiap-tiap warga yang telah dijamin konstitusi.

 IV.  PENUTUP

1.  Kesimpulan

Beradasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tujuan dari negara hukum adalah memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Tapi faktanya, penegakkan hukum yang merupakan proses dari hukum itu sendiri tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Banyaknya ketidakadilan yang dirasakan oelh masyarakat adalah akibat dari korupsi di lembaga penegak hukum. Hukum seolah-olah dapat dibeli dan bisa dimiliki oleh para penguasa atau yang mempunyai harta. Sementara masyarakat kecil hanya bisa jadi penonton dan tidak dapat menikmati keadilan tersebut. Perbaikan proses penegakkan hukum adalah hal yang perlu dilakukan untuk dapat mencapai keadilan. Pemberantasan korupsi dan mafia pengadilan akan menjadikan lembaga penegak hukum bersih, sehingga proses penegakkan hukum dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan dapat mencapai tujuan dari negara hukum Indonesia yaitu keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

2.  Saran

a. Peningkatan Sumber Daya Manusia, finansial dan profesionalitas Komisi Pemberantasan Korupsi dan menempatkan Komisi Pemberantasan Korupsi hingga ke daerah-daerah.

b.   Perlu adanya tindakan, pencegahan, dan pendidikan anti korupsi sejak dini untuk mengurangi budaya korupsi.

c.   Agar legislative dan eksekutif meningkatkan taraf hidup para penegak hukum dan meningkatkan sanksi bagi para penegak hukum yang melakukan tindakan korupsi dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

[1] Ahmad Erani Yustika, Pembangunan dan Krisis Memetakan Perekonomian Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. 24

[2] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Cet. VIII, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 196

[3] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan Media, 2004), hlm. 24

[4] Ibid, hlm. 25

[5] Ibid

[6] John Rawls, A Theory of Justice, Terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 44

[7] Roeslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perundang-undangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hlm. 46

[8] Sudjito, Negara Hukum dalam Perspekif Pancasila, (Yogyakrta: Universitas Gajah Mada, 2009), hlm. 5

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA